Biografi Buya Hamka
Dalam dekade 1970-an sampai awal 1980-an kalau orang bertanya, siapa pemimpin ulama Indonesia? Jawaban yang pasti adalah Buya Hamka. Sosok Hamka sebagai ulama dan pujangga Islam Indonesia tidak hanya dikenal luas di tanah air, tapi juga di luar negeri.
Saya masih ingat tulisan Dr. Nurcholish Madjid dalam buku 70 Tahun Buya Hamka (1978) mencatat peranan dan ketokohan Hamka sebagai figur sentral yang telah berhasil ikut mendorong terjadinya mobilitas vertikal atau gerakan ke atas agama Islam di Indonesia, dari suatu agama yang “berharga” hanya untuk
kaum sarungan dan pemakai bakiyak di zaman kolonial menjadi agama yang semakin diterima dan dipeluk dengan sungguh-sungguh oleh “kaum atas” Indonesia merdeka. Hamka berhasil merubah postur kumal seorang kiyai atau ulama Islam menjadi postur yang patut menimbulkan rasa hormat dan respek. Cak Nur lebih lanjut mengutarakan, melihat keadaan lahiriah yang ada sekarang, sulit membayangkan bahwa di bumi Indonesia akan lahir lagi seorang imam dan ulama yang menyamai Buya Hamka.
Haji Abdul Malik Karim Amrullah gelar Datuk Indomo yang terkenal dengan nama Hamka dilahirkan di Sungai Batang, Maninjau, Sumatera Barat pada 16 Februari 1908 (13 Muharram 1326 H). Dari segi keturunan, Hamka mewarisi darah ulama dan pejuang yang kokoh pada pendirian. Ayahnya Dr. H. Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul), ulama besar dan salah seorang tokoh utama dari gerakan pembaharuan atau modernisme Islam di Minangkabau yang terkenal dengan sebutan Kaum Muda. Hamka meresapkan dalam pikirannya pesan ayahnya yang diucapkan ketika Muktamar Muhammadiyah tahun 1930 di Bukittinggi, “Ulama harus tampil ke muka masyarakat, memimpinnya menuju kebenaran.”
Hamka semasa kecil dididik pertama kali di Diniyah School dan Sumatera Thawalib Padang Panjang, di samping ditempa di lingkungan pendidikan surau. Dia mewarisi dari ayahnya kecerdasan dan daya ingat yang sangat kuat. John L. Espito dalam Oxford History of Islam menyejajarkan Hamka dengan Sir Muhammad Iqbal, Sayid Ahmad Khan dan Muhammad Asad.
Modal Hamka yang utama sebagai seorang intelektual-otodidak adalah keberanian dan ketekunan. Karena dedikasinya di bidang dakwah, pada tahun 1960 Universitas Al-Azhar Cairo menganugerahkan Doktor Honoris Causa kepada Hamka yang membawakan pidato ilmiah berjudul “Pengaruh Ajaran dan Pikiran Syekh Mohammad Abduh di Indonesia”.
Kemudian, dari Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM), Hamka memperoleh Doktor Honoris Causa (Doktor Persuratan) yang pengukuhannya tahun 1974 dihadiri Perdana Menteri Tun Abdul Razak. Semasa hidupnya dalam kapasitas sebagai Guru Besar yang dikukuhkan oleh Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta dan Universitas Prof. Dr. Moestopo Beragama, Jakarta, Hamka sering memberi kuliah di berbagai perguruan tinggi. Demikian pula ceramah dakwah Hamka melalui Kuliah Subuh RRI Jakarta dan Mimbar Agama Islam TVRI diminati jutaan masyarakat Indonesia masa itu.
Ulama Berjiwa Independen
Sosok Hamka yang ramah, akrab dengan anak muda dan tiada jarak dengan segala lapisan masyarakat tidak dapat dipisahkan dari sejarah Masjid Agung Al-Azhar Kebayoran Baru Jakarta. Hamka saat itu baru pindah ke Jakarta diminta saran oleh Yayasan Pesantren Islam (YPI), manakah yang akan dibangun lebih dahulu, bangunan sekolah ataukah masjid, mengingat dana yang ada sangat terbatas?. Dia memberi saran, bangunlah masjid lebih dahulu!
Hamka kemudian sebagai pemimpin, khatib dan Imam Besar Masjid Agung Al-Azhar yang pertama kali menggerakkan kegiatan masjid yang paling luas pengaruhnya di tanah air itu. Ceramah-ceramah subuh di Jakarta dipelopori oleh Masjid Agung Al-Azhar. Seperti diketahui dari sejarah, masjid Al-Azhar menjadi kubu pertahanan umat Islam terhadap Komunis/PKI yang hendak menguasai Indonesia sebelum lahirnya Orde Baru. Dari kompleks Masjid Agung Al-Azhar yang selesai dibangun tahun 1957 itu Hamka menggerakkan penerbitan majalah Gema Islam, dan memimpin majalah Panji Masyarakat sejak terbit hingga ditinggalkan untuk selamanya.
Hamka menjabat Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) pertama tahun 1975 sampai 1981. Dia berhasil membangun citra MUI sebagai lem-baga independen dan berwibawa untuk mewakili suara umat Islam. Hamka menolak mendapat gaji sebagai Ketua Umum MUI. Mantan Menteri Agama H.A. Mukti Ali mengatakan, “Berdirinya MUI adalah jasa Hamka terhadap bangsa dan negara. Tanpa Buya, lembaga itu tak akan mampu berdiri.”
Dalam sejarah hidupnya kita membaca Hamka mengisi tempat yang penting di dalam perjuangan kemerdekaan nasional di Sumatera Barat. Selanjutnya tahun 1950-an dia aktif dalam Dewan Pimpinan Masyumi. Salah satu statement yang melukiskan muruah (martabat) sebagai pemimpin umat, antara lain tatkala politik menjadi “panglima” sekitar 1950-an, dia mengatakan, “Kursi-kursi banyak, dan orang yang ingin pun banyak. Tetapi kursiku adalah buatanku sendiri.”
Sebagai pengawal akidah umat, Hamka sebagai Ketua Umum MUI, menyampaikan masukan kepa-da Presiden Soeharto mengenai persoalan Kristenisasi, dan sikap Presiden sejalan dengan pandangan MUI bahwa kalau hendak menciptakan kerukunan beragama, maka orang yang sudah beragama jangan dijadikan sasaran untuk propaganda agama yang lain.
Pada awal dekade 70-an Hamka mengingatkan umat Islam terhadap tantangan al-ghazwul fikri (penjajahan alam pikiran). Menurut Hamka, penjajahan alam pikiran beriringan dengan penghancuran akhlak dan kebudayaan di negeri-negeri Islam. Sekularisasi atau sekularisme adalah setali tiga uang dengan ghazwul fikr yang dilancarkan dunia Barat untuk menaklukkan dunia Islam, setelah kolonialisme politik dalam berbagai bentuk gagal.
Di mata tokoh Nahdlatul Ulama (NU) K.H.A.Syaikhu dalam buku Hamka Di Mata Hati Umat, Hamka menempatkan dirinya tidak cuma sekedar pimpinan Masjid Agung Al-Azhar atau organisasi Muhammadiyah saja, tetapi juga sebagai pemimpin umat Islam secara keseluruhan, tanpa memandang golongan.
Teguh Pada Prinsip dan Pemaaf.
Tafsir Al-Quran yang diberi nama Tafsir Al-Azhar, sesuai dengan nama masjid Al-Azhar tempat Hamka selalu memberi kuliah subuh, adalah karya terbesar Buya Hamka di antara lebih dari 114 judul buku mengenai agama, sastra, filsafat, tasauf, politik, sejarah dan kebudayaan yang melegenda hingga hari ini.. Karya-karya Hamka mempunyai gaya bahasa tersendiri yang khas. Tafsir Al-Quran lengkap 30 juz itu disusun ketika dia berada dalam tahanan politik rezim Orde Lama selama 2 tahun lebih.
Kalau orang lain bebas dari tahanan politik mengeluarkan buku kecaman terhadap rezim penguasa. Tapi Hamka, keluar dari tahanan menghasilkan tafsir Al Quran. Malahan dia pun secara terbuka lewat tulisannya memaafkan semua orang yang pernah menyakitinya saat mereka berkuasa. Ketika mantan Presiden RI pertama Ir. Soekarno wafat 21 Juni 1970 Hamka bertindak sebagai imam shalat jenazahnya. Suatu akhlak mulia dan suri tauladan bagi bangsa Indonesia. Menjelang pertengahan 1981 Hamka meletakkan jabatan sebagai Ketua Umum MUI. Dia berhenti karena mempertahankan prinsip daripada mencabut peredaran Fatwa MUI yang menyatakan bahwa mengikuti upacara Natal bersama bagi umat Islam hukumnya haram. Ulama besar Hamka wafat di Jakarta 24 Juli 1981 (22 Ramadhan 1401 H) dalam usia 73 tahun.
Buya Hamka, seorang ulama, pemimpin, pujangga, pengarang, sejarawan, dan pendidik dalam arti yang luas sudah lama meninggalkan kita. Namun pengabdian, karya dan sumbangannya dalam membangun kesadaran umat Islam dan cita-cita bangsa tetap dikenang dan menjadi inspirasi bagi generasi masa kini.
Buya Hamka dengan Islam
Prof.Dr.H. Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA) dalam majalah tengah bulanan “Panji Masyarakat” No.169/ tahun ke XV11 15 februari 1975 (4 Shafar 1395 H) halaman 37-38 menjelaskan bahwa pengajaran agama Islam di negeri kita diajarkan langsung oleh para ulama keturunan cucu Rasulullah seperti Syarif Hidayatullah atau yang dikenal dengan Sunan Gunung Jati.
Berikut kutipan penjelasan Buya Hamka.
***** awal kutipan ****
“Rasulallah shallallahu alaihi wasallam mempunyai empat anak-anak lelaki yang semuanya wafat waktu kecil dan mempunyai empat anak wanita. Dari empat anak wanita ini hanya satu saja yaitu (Siti) Fathimah yang memberikan beliau shallallahu alaihi wasallam dua cucu lelaki dari perkawinannya dengan Ali bin Abi Thalib. Dua anak ini bernama Al-Hasan dan Al-Husain dan keturunan dari dua anak ini disebut orang Sayyid jamaknya ialah Sadat. Sebab Nabi sendiri mengatakan, ‘kedua anakku ini menjadi Sayyid (Tuan) dari pemuda-pemuda di Syurga’. Dan sebagian negeri lainnya memanggil keturunan Al-Hasan dan Al-Husain Syarif yang berarti orang mulia dan jamaknya adalah Asyraf. Sejak zaman kebesaran Aceh telah banyak keturunan Al-Hasan dan Al-Husain itu datang ketanah air kita ini. Sejak dari semenanjung Tanah Melayu, kepulauan Indonesia dan Pilipina.
Harus diakui banyak jasa mereka dalam penyebaran Islam diseluruh Nusantara ini. Diantaranya Penyebar Islam dan pembangunan kerajaan Banten dan Cirebon adalah Syarif Hidayatullah yang diperanakkan di Aceh. Syarif kebungsuan tercatat sebagai penyebar Islam ke Mindanao dan Sulu. Yang pernah jadi raja di Aceh adalah bangsa Sayid dari keluarga Jamalullail, di Pontianak pernah diperintah bangsa Sayyid Al-Qadri. Di Siak oleh keluaga Sayyid bin Syahab, Perlis (Malaysia) dirajai oleh bangsa Sayyid Jamalullail. Yang dipertuan Agung 111 Malaysia Sayyid Putera adalah Raja Perlis. Gubernur Serawak yang ketiga, Tun Tuanku Haji Bujang dari keluarga Alaydrus.
Kedudukan mereka dinegeri ini yang turun temurun menyebabkan mereka telah menjadi anak negeri dimana mereka berdiam. Kebanyakan mereka jadi Ulama. Mereka datang dari hadramaut dari keturunan Isa Al-Muhajir dan Fagih Al-Muqaddam. Yang banyak kita kenal dinegeri kita yaitu keluarga Alatas, Assegaf, Alkaff, Bafaqih, Balfaqih, Alaydrus, bin Syekh Abubakar, Alhabsyi, Alhaddad, Al Jufri, Albar, Almusawa, bin Smith, bin Syahab, bin Yahya …..dan seterusnya.
Yang terbanyak dari mereka adalah keturunan dari Al-Husain dari Hadramaut (Yaman selatan), ada juga yang keturunan Al-Hasan yang datang dari Hejaz, keturunan syarif-syarif Makkah Abi Numay, tetapi tidak sebanyak dari Hadramaut. Selain dipanggil Tuan Sayid mereka juga dipanggil Habib. Mereka ini telah tersebar didunia. Di negeri-negeri besar seperti Mesir, Baqdad, Syam dan lain-lain mereka adakan NAQIB, yaitu yang bertugas mencatat dan mendaftarkan keturunan-keturunan Sadat tersebut. Disaat sekarang umum- nya mencapai 36-37-38 silsilah sampai kepada Sayyidina Ali bin Abi Thalib dan Sayyidati Fathimah Az-Zahra ra.
***** akhir kutipan *****
Alm, Buya Hamka (Mantan Ketua Umum MUI Pusat).
Mengutip pernyataan Imam Syafi’i.“ Jika saya dituduh Syiah karena mencintai keluarga Muhammad Saw, maka saksikanlah wahai Jin dan Manusia, bahwa saya ini orang Syiah. Jika dituduhkan kepada saya bahwa saya Syiah karena membela Imam Ali, saya bersaksi bahwa saya Syiah”(majalah.tempointeraktif.com)
Pandangan Buya Hamka.
Buya Hamka dalam tulisannya yang berjudul “Majelis Ulama Indonesia Bicaralah! ” di sebuah Harian Kompas (11/9/1980), mengulas persoalan politik Iran dan bagaimana terjadinya Revolusi. Menurut Ustadz Fahmi, Buya Hamka menyatakan bahwa “Setelah saya mendapat kesempatan berkunjung ke Iran sendiri, bahwa apa yang dinamakan saudara-saudara kita di Iran sebagai revolusi Islam merupakan Revolusi Islam dalam anggapan Syiah, sedangkan kita sendiri di Indonesia adalah Golongan Sunni.
Buya Hamka juga menyikapi perubahan politik Iran, dengan menyatakan : “Sebagaimana preambule Undang Undang Dasar Republik Indonesia, Saya menghormati Revolusi Iran yang telah berlangsug dinegeri tersebut, melawan feodalisme Kerajaan yang sangata tidak adil, ini sesuai UUD RI teutama paragraf 2″.
“Karena Revolusi didasari mazhab Syiah, maka kita tidak berhak mencampuri urusan negara orang lain. Demikianpun sebaliknya, negara lain tidak boleh mencampuri urusan negara kita. Dan Saya pun, tetap seorang sunni yang tidak perlu berpegang kepada pendapat orang syiah dan ajaran-ajaran Ayatullah”.
Saya juga mengajukan data bila Almarhum Buya Hamka atau nama aslinya Haji Abdul Malik Karim Abdullah, salah seorang ulama terbesar dan terbaik yang pernah dimiliki oleh bangsa Indonesia pun dalam menulis bukunya yang berjudul asli “Sedjarah Ummat Islam” khususnya jilid 2 (terbitan Tokobuku Islamyah Medan 1952) justru banyak bercorakkan pemikiran syiah ketika membahas perihal kejadian-kejadian pasca wafatnya Rasulullah SAW sampai masa-masa pembantaian Husain cucu Nabi dipadang Karbala.
Sebelumnya, salah seorang sahabat lain digrup facebook juga menyebutkan bahwa Buya Hamka dalam tafsir Al-Azharnya juga ada merujuk pada literatur Syiah seperti berikut ini :
Muhammadiyah: Syiah hanya beda soal kepemimpinan.
Massa membakar pemukiman warga, saat terjadi kerusuhan bernuansa SARA di Desa Karanggayam, Omben Sampang, Jatim, Minggu (26/8). Dalam insiden tersebut seorang tewas, dua warga mengalami luka-luka serta puluhan rumah dibakar massa. (FOTO ANTARA/Saiful Bahri)
...kepada Syiah dan aliran atau paham apapun sebaiknya justru saling menghormati dan menghargai...
Surabaya (ANTARA News) - Ketua PP Muhammadiyah Prof H Syafiq A Mughni MA PhD berpendapat masalah Syiah dalam Islam sebenarnya berbeda dalam persoalan kepemimpinan Ali bin Abi Thalib.
"Dari sudut ajaran Islam, saya memang tidak sepakat dengan Syiah, tapi perbedaan itu juga ada dalam paham-paham lain yang ada di dalam Islam," katanya kepada ANTARA di Surabaya, Rabu, menanggapi konflik Syiah di Sampang, Madura, Jatim.
Menurut mantan Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur itu, hal yang tidak bisa disepakati umat Islam lainnya terkait Syiah adalah kepemimpinan Ali bin Abi Thalib atau perbedaan dalam aspek politik.
"Itu biasa dan nggak mungkin semuanya dijadikan satu pendapat, karena itu kepada Syiah dan aliran atau paham apapun sebaiknya justru saling menghormati dan menghargai untuk membangun kehidupan yang lebih baik," katanya.
Guru Besar Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel Surabaya itu menjelaskan perbedaan dengan Syiah dalam politik atau kepemimpinan itu memang berdampak pada beberapa amaliah keagamaan.
"Dalam amaliah keagamaan, Syiah memang lebih cenderung kepada amaliah yang terkait langsung dengan Ali bin Abi Thalib, tapi hal itu bukan berarti sesat, karena itu hanya konsekuensi dari sebuah kultus individu," katanya.
Oleh karena itu, perbedaan politik dengan Syiah itu hendaknya tidak dijadikan alasan untuk melakukan tindak kekerasan kepada penganut Syiah.
"Karena itu, Muhammadiyah mengutuk kekerasan yang dilakukan terhadap penganut Syiah di Sampang, sebab mereka juga sama dengan kita sebagai umat Islam dan sebagai warga negara Indonesia," katanya.
Sebelumnya (19/6/2012), ulama Baghdad Maulana Syech Afifuddin Abdul Qodir bin Mansyuruddin Aljailani Albaghdadi meminta kelompok Syiah dan non-Syiah untuk saling menebarkan cinta di antara mereka, karena Islam itu menyebarkan cinta, bukan kebencian.
"Karena itu, Syiah jangan membenci pecinta Abubakar Assiddiq dan sebaliknya non-Syiah juga jangan membenci pecinta Ali bin Abi Thalib, karena Nabi Muhammad SAW menggandeng keduanya untuk sama-sama masuk ke surga," kata generasi ke-19 dari mursyid tarekat Qodiriyah, Syech Abdul Qodir Aljailani itu dalam silaturrahmi dan pengajian Hari Lahir ke-89 Nahdlatul Ulama (NU) di Gedung PWNU Jatim.
=======
Berita ini saya publish karena grup Muhammadiyah sendiri adalah grup terbuka yang bisa diakses oleh siapa saja. Membernya pun beragam. Semoga menjadi dasar perbaikan kedepannya, demi tujuan dan cita-cita Muhammadiyah itu sendiri. Jangan sampai nanti, para pemimpin Muhammadiyah menyatakan keluar bahwa tidak semua syiah itu sesat dan keluar dari Islam, tetapi dalam grupnya sendiri justru banyak fatwa-fatwa sesatnya semua kelompok syiah bertebaran. Sepertinya ini juga menjadi PR bagi Pak Din Syamsuddin maupun pihak terkait lainnya di Muhammadiyah.
tokoh Muhammadiyah nyatakan Syiah tidak sesat
Kamis, 30 Agustus 2012 18:47:13
SURABAYA
Muhammadiyah menyatakan Syiah bukan ajaran sesat tetapi organisasi yang didirikan KH Ahmad Dahlan itu tidak sepakat dengan aliran keagamaan yang berkembang di Iran tersebut, sikap ini berbeda dengan yang dilakukan PW Muhammadiyah Jawa Timur pada Maret lalu.
“Syiah memang lebih cenderung kepada amaliah yang terkait langsung dengan Ali bin Abi Thalib, tapi hal itu bukan berarti sesat, karena itu hanya konsekuensi dari sebuah kultus individu,” Ketua PP Muhammadiyah Syafiq A Mughni di Surabaya sebagaimana dikutip dari Antara, Rabu (29/8).
Menurut Syafiq, perbedaan yang sangat menonjol terkait Syiah itu masalah kepemimpinan setelah Nabi Muhammadiyah harus dijabat Ali bin Abi Thalib.
“Dari sudut ajaran Islam, saya memang tidak sepakat dengan Syiah, tapi perbedaan itu juga ada dalam paham-paham lain yang ada di dalam Islam,” katanya.
Ia juga mengatakan kepada Syiah dan aliran keagamaan yang lain untuk saling menghormati dan membangun kehidupan berbangsa lebih baik.
“Kepada Syiah dan aliran atau paham apapun sebaiknya justru saling menghormati dan menghargai untuk membangun kehidupan yang lebih baik,” jelas Guru Besar Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel Surabaya ini.
Lanjutnya Muhammadiyah mengutuk kekerasan yang dilakukan terhadap penganut Syiah di Sampang. “Sebab mereka juga sama dengan kita sebagai umat Islam dan sebagai warga negara Indonesia,” papar Syafiq.
Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif mengutuk keras aksi pembakaran terhadap pondok pesantren Syiah di Kecamatan Karang Penang, Sampang. Terlebih jika aksi pembakaran tersebut dilatarbelakangi oleh perbedaan pandangan keagamaan.
Menurut pria yang lebih akrab dipanggil Buya ini, hal semacam itu harus dihentikan. Sebab kebenaran bukanlah milik individu apalagi kelompok. “Saya rasa sikap yang tidak baik, ada monopoli kebenaran,” ujar Buya kepada okezone, Minggu (1/1/2012).
Buya pun heran terhadap tindakan anarkistis sebagian masyarakat lantaran menganggap Syiah bertentangan dengan Islam. Padahal kata dia, Syiah diakui sebagai mazhab kelima dalam Islam. “Kalau Syiah dikalangan mazhab, dianggap sebagai mazhab kelima,” jelasnya.
Dia pun menyatakan bahwa setiap orang sekalipun atheis berhak hidup. Hal yang terpenting kata dia, bisa hidup rukun dan toleran. “Jadi perbuatan-perbuatan semacam itu harus dihentikkan, apalagi di Sampang itu bersaudara, masak agama memecah belah,” paparnya.
Dia meyakini para pemeluk agama yang melakukan tindakan anarkistis bukanlah penganut agama yang diridhai. “Menurut saya semacam itu bukan agama yang autentik,” pugkasnya.
Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Slamet Effendy Yusuf mengatakan kelompok aliran Syiah tidaklah bertentangan dengan Islam. Syiah dalam Islam diakui sebagai bagian aliran beberapa mazhab yang ada. Meskipun kata dia, Syiah memiliki beberapa perbedaan terkait cara pandang.
“MUI dalam rekomendasi pada 1984 menyatakan Syiah itu bagian dari mazhab dalam Islam, karena itu memang didalam mazhab, ada perbedaan-perbedaan tentang beberapa pandangan,” kata Slamet kepada okezone, Senin (1/1/2012).
Beberapa perbedaan dalam cara pandang antara lain terkait hadis dan imamah. “Seperti pandangan terhadap hadis, kalau Sunni, semua hadis yang diriwayatkan oleh para sahabat dan tabiin, oke. Sementara Syi’ah tidak. Soal Imamah di Sunni tidak mewajibkan tapi di Syiah mewajibkan, Terjemahan dalam solat antara Sunni dan Syiah ada perbedaan,” ujarnya.
terlepas dari apapun mazhab beliau, terlepas beliau sunni atau syi’ah: Din Syamsuddin Teguh dan Kokoh Bagai Batu Karang Sebagaimana Buya Hamka !
Din Syamsuddin (2008) : ““Mereka (Syiah) adalah saudara-saudara kita juga yang menjadi suhada. Mereka juga menjalankan rukun Islam, hanya saja memberikan penghargaan lebih tinggi terhadap Ali bin Abu Thalib, Masyarakat bisa memilih mana yang terbaik”
Biografi Din Syamsudin
February 15, 2010.
Kiprahnya di Muhammadiyah tetap berlanjut. Ia masuk dalam kepengurusan PP Muhammadiyah. Selain itu, Din juga menjadi wakil Muhammadiyah dalam tubuh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Ia bahkan menjadi sekjen selama satu periode mulai tahun 2000 sampai dengan 2005.
Memasuki tahun 2005, Din yang dikenal rajin mengunjungi cabang-cabang Muhammadiyah di daerah-daerah ini terpilih menjadi Ketum PP Muhammadiyah yang baru, menggantikan Syafii Maarif. Di bawah kepemimpinannya, Muhammadiyah terlihat menjaga jarak dengan Partai Amanat Nasional (PAN) yang didirikan oleh tokoh-tokoh Muhammadiyah
.
Din sendiri memang punya banyak pengalaman. Tak melulu berkutat perihal keagamaan. Din pernah menjadi birokrat saat direkrut menjadi Dirjen Binapenta Depnaker di awal reformasi, dan ia juga pernah menjadi politikus dengan menjadi anggota litbang Partai Golongan Karya, dan selanjutnya merambah menjadi wasekjen.
Berikut ini data lengkap tentang Din Syamsudin
Nama: Sirajuddin Syamsuddin
Tempat Tanggal Lahir: Sumbawa Besar, 31 Agustus 1958
Agama: Islam
Istri: Ny Fira Beranata
Anak:
1. Farazahdi Fidiansyah
2. Mihra Dildari
3. Fiardhi Farzanggi
Pendidikan:
- S1 IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta
- S2 University of California, AS tahun 1982
- S3 University of California, AS tahun 1996
Karir:
- 1982 – sekarang Dosen UIN Syarif Hidayatullah
- 1989 – 1993 Ketum PP Pemuda Muhammadiyah
- 1995 – Wasekjen Golkar
- 1998 – 2000 Dirjen Binapenta Depnaker
- 2000 – 2005 Sekjen MUI
- 2000 – 2005 Wakil Ketua PP Muhammadiyah
- 2005 – sekarang Ketum PP Muhammadiyah
Alamat: Jl. Kemiri no 24 Menteng Jakarta Pusat
by: syiahali
Dikutip.http://ejajufri.wordpress.com/2011/02/17/mencari-titik-kesamaan-sunah-syiah/
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !