Sistem Kausalitas Umum
Qadha dan Qadar
Qadha berarti penetapan hukum, atau
pemutusan dan penghakiman sesuatu. Seorang qadhi (hakim), dinamakan
demikian sebab ia bertugas atau bertindak menghakimi dan memutuskan perkara
antara kedua orang yang bersengketa di muka pengadilan. Al-Quran al-Karim
menggunakan kata ini dengan menisbahkannya, kadang-kadang kepada Allah dan
kadang-kadang kepada manusia, untuk memisahkan dua pokok bahasan dalam
pembicaraan dan juga untuk memisahkan antara dua penciptaan di alam ini.
Qadar berarti kadar dan ukuran tertentu.
Kata ini juga seringkali digunakan dalam Al-Quran untuk menunjukkan arti ini.
Kejadian-kejadian alam, ditinjau dari sudut
keberadaannya di bawah pengawasan dan kehendak Allah yang pasti, dapat
dikelompokkan ke dalam qadha Ilahi, dan dari sudut sifatnya yang
terbatas pada ukuran dan kadar tertentu serta pada kedudukannya dalam ruang dan
waktu, dapat dikelompokkan ke dalain qadar Ilahi.
a. Bahwa semua kejadian tidak berkaitan dengan
masa lalu yang mendahuluinya, baik keterdahuluan dalam waktu atau lainnya, dan
karena itu eksistensinya tidak berkaitan dengan segala yang mendahuluinya.
Demikian pula segala ciri khas atau karakteristiknya. Dengan hipotesis ini,
maka qadha dan qadar tidak ada artinya lagi setelah penyangkalan
terhadap adanya kaitan antara eksistensi serta berbagai karakteristiknya yang
berhubungan dengan waktu dan tempat, dengan masa lalu dan ketentuan (qadar)
yang mendahuluinya. Berdasarkan teori ini, teori kausal atau sistem
sebab-akibat harus pula diingkari, dan sebagai gantinya, menerima faktor
"kebetulan" sebagai tafsiran adanya segala sesuatu.
Padahal, prinsip sebab-akibat atau kausalitas
umum dan keterkaitan yang dharuri dan pasti antara segala kejadian, dan
bahwa setiap kejadian memperoleh kepastian dan keharusan serta
kekhususan-kekhususan eksistensinya dari sesuatu atau berbagai hal lainnya yang
mendahuluinya, merupakan hal-hal yang diterima tanpa ragu dan tidak memerlukan
sanggahan. Keharusan dan keaslian sistem kausal merupakan bagian dari ilmu-ilmu
manusia yang telah dikenal bersama dan tidak diliputi keraguan apapun.
b. Mengakui bahwa setiap kejadian mempunyai suatu
sebab yang mendahului, tapi menolak adanya sistem sebab-akibat yang berlaku
antara segala kejadian. Dengan demikian, segalanya adalah akibat langsung dari
sebab yang pertama dan utama, yaitu Allah SWT. Di seluruh alam ini tidak ada
penyebab dan pelaku kecuali satu, yaitu Zat Ilahi. Daripada-Nya muncul semua
maujud secara langsung. Iradat-Nya berkaitan dengan setiap kejadian, secara
sendiri-sendiri, terpisah dari Iradat-Nya yang lain. Hal itu dapat dibayangkan
atau diperkirakan seperti demikian: Qadha berarti pengetahuan dan
kehendak Ilahi berkenaan dengan terwujudnya suatu kemaujudan. Setiap kali,
pengetahuan dan kehendak-Nya itu terpisah dari pengetahuan dan kehendak-Nya
yang lain.
Dengan ini, kita harus menyetujui dan menerima
bahwa tak ada pelaku kecuali Allah. Pengetahuan Allah secara azali (sejak
dahulu dan permulaan zaman), sudah menyatakan bahwa peristiwa yang
"ini" terjadi pada waktu yang "ini"; peristiwa yang
"itu" pasti terjadi tanpa adanya sesuatu (sebab) yang ikut campur
dalam perwujudannya. Semua perbuatan dan tindakan manusia termasuk katagori
ini. Jadi, sesuatu yang mewujudkan suatu perbuatan dan tindakan, secara
langsung dan tanpa lantaran, adalah qadha dan qadar Ilahi atau,
dengan kata lain pengetahuan dan iradat Ilahi. Daya dan kekuatan manusia itu
sendiri sama sekali tidak memiliki suatu peran serta dalam pemunculan
perwujudannya. Kalaupun tampak daya dan kekuatannya, maka itu hanya peran
secara lahiriah dan khayali (imajinatif) belaka, tidak lebih dari itu. Inilah
inti kepercayaan jabr serta berkuasa penuhnya nasib. Akidah seperti ini,
jika menjadi anutan suatu masyarakat ataupun perorangan, pasti akan
menghancurkan kehidupannya dan menariknya ke arah kesimaan.
Pikiran seperti ini, di samping keburukannya
secara praktis dan sosial, tertolak oleh logika dan batal sepenuhnya ditinjau
dari sudut dalil-dalil intelektual dan filosofis seperti yang disebutkan pada
pembahasan-pembahasan mengenai hal itu. Keterkaitan sebab dan akibat di antara
semua kejadian adalah sesuatu yang tak mungkin dipungkiri. Bukan hanya
ilmu-ilmu fisika serta penyaksian inderawi dan eksperimental saja yang
merupakan dalil berlakunya sistem sebab-akibat, tapi ilmu Ilahi pun telah
memberikan bukti yang paling tepat dan teliti mengenai hal ini. Demikian pula
Al-Quran al-Karim menguatkan berlakunya sistem ini.
c. Pernyataan bahwa konsep dan sistem
sebab-akibat umum berkuasa atas alam serta seluruh peristiwa dan kejadian di
dalamnya. Setiap peristiwa memperoleh esensi wujudnya, bentuknya,
karakteristiknya yang berkaitan dengan ruang dan waktu serta kekhasan wujudnya
yang lainnya dari penyebab-penyebab yang mendahuluinya. Demikian pula adanya
ikatan kuat yang tak mungkin terlepas antara masa lalu, masa kini dan masa
mendatang, dengan semua maujud dan sebab yang mendahuluinya. Atas dasar itu,
nasib setiap maujud berada di tangan suatu maujud lainnya, yaitu penyebab yang
telah mewajibkan kewujudannya dan memberinya kepastian dan keharusan serta
seluruh karakteristik wujudnya, dan bahwa penyebab itu pada gilirannya
diakibatkan oleh penyebab lainnya dan begitulah seterusnya.
Kesimpulannya, konsekuensi sikap menerima teori
kausal atau sistem sebab-akibat umum ialah menerima pula bahwa setiap peristiwa
memperoleh kepastian wujud, karakteristik, bentuk, kadar dan kualitasnya dari
penyebabnya.
Dalam hal ini tidak terdapat perbedaan apakah
kita berperilaku sebagai para ahli teologi yang mempercayai bahwa asal segala
ketetapan (qadha) dan sumber segala ketentuan (qadar) adalah
"Sebab dari segala sebab" ataukah kita tidak berakidah seperti itu
dan tidak mengetahui sebab yang pertama seperti ini.
Karena itu, tidak ada perbedaan dalam masalah
ini, ditinjau dari sudut praktis dan sosial, antara seorang ahli teologi dan
seorang materialis. Sebab, seluruh bentuk pembenaran bagi kepercayaan kepada
takdir, bersumber pada akidah tentang kausalitas dan hukum sebab-akibat umum,
baik bagi yang tergolong ahli teologi ataupun materialis.
Memang perbedaan antara keduanya ialah bahwa
takdir, dalam pandangan seorang materialis, adalah suatu ketentuan yang
benar-benar bersifat eksternal, sedangkan dalam pandangan seorang ahli teologi,
takdir adalah ketentuan yang sadar akan dirinya. Dengan kata lain, seorang
materialis berpendirian bahwa nasib setiap maujud ditentukan oleh
penyebab-penyebabnya yang terdahulu sementara penyebab-penyebab ini tidak mengetahui
peran dan khasiatnya (ciri khasnya) sendiri. Sedangkan seorang ahli teologi
melihat bahwa rangkaian panjang penyebab ini, yakni penyebab-penyebab yang
berada di luar lingkup waktu, mengetahui dan menyadari perbuatan dan khasiatnya
sendiri. Oleh sebab itu, penyebab-penyebab ini dalam ajaran-ajaran Ilahiyah
diberi nama-nama tertentu seperti kitab, loh, pena dan sebagainya, namun dalam
aliran materialisme tidak ada sesuatu yang patut menyandang nama-nama ini.
Jabr (Determinisme)
Dari uraian-uraian yang telah lalu, kita beroleh
kesimpulan bahwa mempercayai takdir tidak identik dengan mempercayai paham
Jabariyah. Halnya akan menjadi demikian itu hanya apabila kita tidak memberikan
peranan apapun kepada manusia dalam menciptakan perilakunya sendiri, yakni dengan
menyerahkannya bulat-bulat kepada takdir. Padahal sungguh tak dapat diterima
apabila kita mengatakan bahwa Allah SWT melakukan segala sesuatu tanpa
perantaraan. Bahkan, yang benar ialah bahwa Allah SWT telah mengharuskan
perwujudan segala sesuatu melalui lantaran-lantaran dan sebab-sebabnya yang
khusus.
Qadha dan qadar tidak memiliki arti
lain kecuali terbinanya sistem sebab akibat umum atas dasar pengetahuan dan
kehendak Ilahi. Di antara konsekuensi penerimaan teori kausal dan kemestian
terjadinya akibat pada saat adanya penyebab, serta keaslian hubungan antara
keduanya, ialah bahwa kita harus mengatakan bahwa nasib setiap maujud berkaitan
dengan sebab-sebab yang mendahuluinya. Dan bahwa sebab-sebab itu berkaitan
dengannya, baik dengan anggapan adanya konsep Ilahi atau tidak, yakni baik
sistem sebab akibat ini merupakan sistem yang terpisah dan mandiri ataupun ia
berdiri dengan sesuatu yang lain dan bersandar kepada kehendak Ilahi. Sebab
adanya sistem sebab-akibat tersebut, baik terpisah dan mandiri ataupun tidak,
tak ada pengaruhnya terhadap masalah nasib dan kebebasan manusia.
Dari makna ini, kita berani mengatakan bahwa
ucapan yang menyebutkan bahwa kepercayaan Jabariyah berasal dari kepercayaan
kepada qadha dan qadar Ilahi, sungguh merupakan puncak kebodohan.
Oleh sebab itu, wajiblah kita menyanggah kepercayaan seperti ini agar terlepas
dari kesimpulan tersebut.
Sebab seandainya kita, dengan kepercayaan ini,
bermaksud menolak keterkaitan antara sebab dan akibat, yang di antaranya
termasuk kemampuan dan daya manusia, kehendak dan ikhtiarnya, maka qadha
dan qadar seperti ini adalah suatu khurafat (nonsens) yang
mustahil bisa terwujud, sesuai dengan dalil-dalil pasti yang ditegakkan oleh
ilmu filsafat ketuhanan, sehingga tak ada lagi tempat untuk syak dan ragu.
Jika dengannya kita bermaksud menetapkan
keterikatan yang mesti antara sebab dan akibat, maka yang demikian itu adalah
suatu kebenaran yang diterima tanpa ragu, dan tidak hanya khusus dikatakan oleh
para ahli teologi saja, melainkan juga oleh setiap aliran yang mempercayai
prinsip kausal umum. Kendatipun terdapat perbedaan, yakni bahwa kaum teologis
mengangkat rangkaian sebab-sebab itu sampai ke suatu tingkat yang tidak terikat
oleh dimensi ruang dan waktu, yakni tempat bermuaranya segala sesuatu atau
sebab dari segala sebab, Zat yang Wajibul-Wujud, hakikat yang berdiri
sendiri dengan Zat-Nya, yang kepada-Nya bermuara segala ketetapan (qadha)
dan ketentuan (qadar). Namun perbedaan ini tidak berpengaruh sedikit pun
dalam menetapkan adanya jabr (determinisme) ataupun menafikannya.
Kebebasan dan Ikhtiar
Di sini akan timbul pertanyaan: Jika kita
menjadikan qadha dan qadar Ilahi berkaitan, secara langsung dan
tanpa perantaraan suatu sebab, dengan segala kejadian, maka apa artinya
kebebasan? Bagaimana kita dapat mempertemukan kepercayaan kepada sistem kausal
umum dengan kepercayaan kepada kebebasan manusia? Seandainya kita mau menerima
pengertian tentang kebebasan manusia, apakah kita diharuskan sepenuhnya
memisahkan perbuatan-perbuatan manusia dari penyebab eksternal yang
bagaimanapun, sehingga dengan demikian kita hanya menerima hipotesis yang
pertama? Jawabnya adalah: Pertanyaan-pertanyaan seperti inilah yang telah
mendorong banyak pemikir, pada masa lalu dan kini, untuk berlindung di balik
apa yang mereka namakan "kehendakbebas" (free will) yang tidak
berhubungan dengan sebab apapun. Dengan ini berarti bahwa mereka menerima baik
"konsep kebetulan" walaupun dalam kerangka kehendak manusia. Akan
tetapi, telah kaini tegaskan[1] bahwa prinsip kausal merupakan
sesuatu yang tidak mungkin dapat diingkari atau dikecualikan, dan seandainya
kita memutuskan semua kaitan antara perbuatan manusia dan sebab-sebabnya yang
mendahuluinya, niscaya kita akan terpaksa menerima pendapat mengenai tiadanya
ikhtiar bagi manusia.
Manusia sesungguhnya dicipta sebagai makhluk yang
bebas dan berikhtiar, dalam arti bahwa ia diberi pikiran dan kehendak. Manusia,
dalam perbuatannya, tidaklah sama seperti batu yang anda gelindingkan lalu ia
pun menggelinding dan kemudian jatuh karena pengaruh daya tarik bumi tanpa
memiliki kehendak sedikit pun. Atau seperti tumbuh-tumbuhan, tak memiliki
kecuali satu jalan saja, sehingga pada saat terpenuhinya kondisi-kondisi
tertentu, ia tumbuh dengan bentuk yang biasa. Atau seperti seekor binatang yang
melakukan perbuatan akibat dorongan nalurinya. Tidak! Manusia selalu mendapati
dirinya berada di persimpangan jalan, agar ia memilih salah satu yang
dikehendakinya di antara jalan-jalan itu dengan sepenuh kemerdekaan dan sesuai
dengan kehendaknya serta pemikirannya. la tidak majbur (terpaksa)
melintasi salah satu saja daripadanya. Yang menentukan salah satu dari
jalan-jalan itu adalah cara berpikimya dan kebebasan memilihnya.
Di sini menonjollah faktor-faktor kepribadian,
sifat-sifat moral dan spiritual, pengalaman-pengalaman pendidikan dan
keturunan, nilai-nilai intelektual dan pandangan-pandangan jauh manusia,
sehingga ia dapat mengetahui sampai sejauh mana masa depannya, bahagia ataupun
sengsara, berkaitan dengan faktor-faktor tersebut atau, dengan kata lain,
dengan jalan yang dipilihnya bagi dirinya sendiri.
Perbedaan antara manusia dan api yang membakar,
air yang menenggelamkan dan tanaman yang tumbuh bahkan binatang yang berjalan
adalah unsur ikhtiar (kebebasan memilih). Sebab semua yang tersebut di atas,
tidak dapat memilih jalannya sendiri. Hanya manusia sajalah yang dapat memilih
jalannya dengan kebebasan. Setiap kali menjumpai beberapa jalan, kepastian
melintasi salah satu daripadanya tidak memperoleh kekuatan melainkan dari
kehendak pribadinya.
Takdir yang Definitif dan yang
Tidak Definitif
Berbagai riwayat keagamaan dan isyarat-isyarat
Al-Quran berbicara tentang "takdir yang definitif" (mahtum)
dan takdir yang tidak definitif. Hal itu menunjukkan adanya dua jenis qadha
dan qadar atau takdir, yakni yang mengalami perubahan dan yang definitif
dan dharuri (tidak boleh tidak) yakni tidak dapat mengalami perubahan.
Di sini akan timbul pertanyaan sekitar arti
takdir yang tidak definitif. Pada saat kita melihat suatu peristiwa tertentu
dengan penuh perhatian, kita akan bertanya: Adakah pengetahuan Ilahi yang azali
meliputi peristiwa itu atau tidak? Jika ia tidak meliputinya, maka hal ini
berarti tidak hanya qadha dan qadar. Tapi jika ia meliputinya,
maka peristiwa itu secara dharuri sudah pasti terjadi. Jika tidak, maka
konsekuensinya ialah tidak cocoknya pengetahuan Allah dengan kenyataan, serta
berlawanannya sesuatu yang dikehendaki-Nya dengan kehendak-Nya. Hal ini
tentunya menunjukkan kekurangsempurnaan Zat Allah (Mahasuci lagi Mahatinggi Dia
dari segala kekurangan).
Dengan kata lain, yang lebih teliti dan lebih
mencakup, dapat dikatakan bahwa takdir, dalam kenyataannya, ialah munculnya
semua lantaran dan sebab dari kehendak dan pengetahuan Allah, yaitu sebab dari
segala sebab. Atas dasar itu, qadha menurut istilah ialah pengetahuan
akan sistem yang paling baik dan yang merupakan pembuat dan pewujud sistem
tersebut.
Dari segi lain, hukum sebab-akibat seperti yang
kita ketahui, mewajibkan adanya kepastian dan keharusan, mengingat bahwa
konsekuensi hukum kausal ialah terjadinya sesuatu yang telah memenuhi
persyaratan-persyaratan khususnya dan yang telah sesuai dengan kondisi ruang
dan waktu tertentu, secara pasti, definitif, dan tidak mungkin menemui
kegagalan. Persis demikian pula halnya dengan tidak akan terjadinya peristiwa
itu, di luar persyaratan dan kondisi tersebut, juga merupakan sesuatu yang
definitif dan tidak boleh tidak.
Ilmu-ilmu memperoleh kepastian berdasarkan konsep
ini. Kemampuan seseorang melakukan peramalan secara ilmiah adalah sekadar
pengetahuannya akan berbagai lantaran dan sebab. Demikian pula, mengingat bahwa
qadha dan qadar adalah pengharusan dan penentuan terjadinya
peristiwa-peristiwa melalui sebab-sebab dan akibat-akibat, maka pada
hakikatnya, qadha dan qadar adalah inti kemestian dan kepastian
itu sendiri.
Berhubung dengan itu, bagaimanakah kiranya dapat
dilakukan pembagian qadha dan qadar menjadi yang definitif dan
tidak definitif, atau yang dapat mengalami perubahan dan yang tidak dapat
mengalami perubahan?
Di sini tampaknya kita menemui jalan buntu,
seakan-akan tak ada pilihan lain kecuali menyatakan seperti kaum Asy'ariyah,
bahwa qadha dan qadar hanya satu macam saja dan tidak dapat
mengalami perubahan atau pergantian; dan bahwa nasib manusia tidak mungkin
menyimpang dari yang telah digariskan atasnya. Dengan demikian, kita telah
mencabut dari manusia segala kemampuan untuk mengubah nasibnya, juga kebebasan
dan kehendaknya. Atau kita berpendapat seperti kaum Mu'tazilah yang mengingkari
qadha dan qadar serta pengaruhnya atas segala peristiwa alam,
atau paling sedikit atas tindakan dan perbuatan manusia. Ada atau tidakkahjalan
keluar dari kebingungan ini?
Rasanya kita harus mengalihkan perhatian ke arah
suatu titik yang amat penting. Yaitu, sebagaimana konsekuensi teori kaum
Asy'ariyah, yang bertumpu atas dasar "tidak mungkinnya qadha dan qadar
mengalami pergantian", telah menyebabkan penafian kemampuan dan ikhtiar
manusia serta ketiadaan kekuasaannya atas masa depannya, maka teori kaum
Mu'tazilah pun tidak merupakan terapi yang tepat untuk itu. Sebab, di samping
kemusykilan yang berkaitan dengannya, seperti ditunjukkan oleh ilmu Ketuhanan,
ditinjau dari sudut keberlawanannya dengan ketauhidan, teori tersebut juga
tidak berguna dalam mengembalikan esensi kemampuan dan ikhtiar bagi manusia.
Seandainya tidak menerima masalah takdir sesuai dengan pemahaman Ilahiyah pun,
kita akan tetap berada dalam kebingungan di hadapan pemahaman materialistis
mengenai hal itu, yakni adanya kekuasaan qat'iy (pasti) yang tidak
tunduk pada sistem kausal umum maupun kekuasaan hukum-hukum yang bersumber
daripadanya.
Dapatkah kita mengingkari pengaruh hukum
sebab-akibat dalam perlangsungan peristiwa-peristiwa atau, paling sedikit,
dalam perbuatan manusia?!
Dalam kenyataannya, kaum Mu'tazilah dan
pengikut-pengikut mereka memang telah melakukan hal itu, yakni mengingkari
konsep keharusan sebab-akibat, sedikitnya pada si pelaku yang bebas memilih
atau berikhtiar. Beberapa pemikir Barat modern juga telah mengadaptasi
pikiran-pikiran kaum Mu'tazilah dalam masalah ini, lalu mereka berbicara
tentang "kehendak bebas" (free will), yakni bebas dari hukum
kausal, sampai-sampai mereka mendakwakan bahwa hukum kausal hanya berlaku di
dunia materi yang terbentuk dari atom-atom, bukannya di dunia spiritual atau
dunia internal atom-atom itu sendiri.
Pada waktu ini, kami tidak hendak menarik
pembahasan ini ke hukum kausal, tetapi kami persilakan pembaca yang terhormat
membaca catatan-catatan kami dalam buku Ushul al-Falsafah wal-Madzhab
al-waqi'i (Dasar-dasar Filsafat dan Aliran Pragmatisme), jilid III. Di sini
kami hanya mencukupkan diri dengan nnenyatakan bahwa kebimbangan para pemikir
tersebut mengenai berlakunya hukum kausal secara umum, ialah disebabkan mereka
mengira bahwa hukum tersebut bersifat eksperimental. Oleh sebab itu, ketika
eksperimen-eksperimen ilmiah yang dilakukan orang, menemui kegagalan dalam
menyingkap hubungan antara hukum sebab-akibat dan terwujudnya akibat tertentu
setelah adanya sebab tertentu, para pemikir tersebut mengira bahwa hal ini
berada di luar sistem sebab-akibat.
Pada hakikatnya, hipotesis tentang tumbuhnya
semua kaidah dan hukum ilmiah pada diri manusia serta kesempurnaan
pemikirannya, berdasarkan perasaan dan eksperimen, merupakan penyebab utama
timbulnya kebingungan yang menimpa teori-teori filsafat Barat, yang kemudian
mempengaruhi pula kaum penirunya di Timur.
Bagaimanapun juga, tindakan mengingkari sistem
sebab-akibat umum, adalah sesuatu yang mustahil. Seandainya diterima juga,
kemusykilan arti takdir dari jenis yang tidak definitif tetap tidak
terpecahkan, baik kita menyetujui teori takdir Ilahi ataupun tidak.
Kemusykilan tersebut, secara ringkas, ialah bahwa
setiap kejadian, termasuk di dalamnya perbuatan manusia, menjadi definitif
(terlaksana qadha-nya) jika telah sempurna sebab-sebab dan
lantaran-lantarannya. Ia pun memperoleh bentuk dan ciri-ciri khasnya dari
sebab-sebab takdir tersebut. Dengan demikian, prinsip sebab-akibat adalah
identik dengan determinisme dan keharusan kemunculan. Tidak mungkin ada
perubahan dan tidak mungkin ada pergantian.
Oleh sebab itu, setiap orang mengakui teori
kausal, termasuk kaum materialis, pasti diliputi kemusykilan dan pertanyaan. Di
satu pihak mereka telah menerima keharusan sebab-akibat (determinisme) dan di
lain pihak, menyatakan nasib manusia sebagai sesuatu yang dapat diubah, di
samping memberikan kepadanya peran penguasa atas nasibnya itu.
Berdasarkan itu, teori kaum Mu'tazilah yang
bertumpu atas penafian qadha dan qadar dalam pengertian Ilahi,
yakni penafian totalitas kehendak Ilahi dan kemampuan-Nya yang mencakup seluruh
kejadian alam, serta penyangkalan terhadap ilmu Ilahi sebagai awal dari sistem
alam secara umum, sama sekali tidak berguna sebagai terapi bagi problem yang
amat rumit tersebut.
Mengkhayalkan Sesuatu yang
Mustahil
Bila yang dimaksudkan dengan perubahan dan
pergantian dalam takdir yang tidak definitif dari sisi Ilahi adalah bahwa Ilmu
dan iradat (pengetahuan dan kehendak) Ilahi menetapkan sesuatu kemudian faktor
lain yang mandiri (yang tidak berasal dari takdir) mewujudkannya dengan cara
yang berlawanan dengan ilmu dan iradat Ilahi itu, ataupun faktor eksternal yang
mandiri itu bertindak mengubah ilmu dan Iradat Ilahi, maka hal ini mustahil.
Demikian pula, dari sudut kausalitas umum, bila
yang dimaksud adalah bahwa sistem ini menetapkan sesuatu kemudian muncul faktor
lain di hadapannya dan mencegahnya dari pelaksanaan penetapannya itu, maka hal
ini juga mustahil.
Sebab, semua faktor dalam wujud ini hanya timbul
dari ilmu dan iradat Allah saja, dan semua faktor yang muncul di alam ini tidak
lain adalah penampakan Ilmu dan iradat Allah serta alat untuk berlangsungnya qadha
dan qadar-Nya. Demikian pula setiap faktor yang kita amati dengan
seksama berada di bawah pengaruh hukum sebab-akibat dan merupakan suatu
penampakan darinya. Tidak ada artinya membayangkan munculnya suatu faktor yang
bukan merupakan penampakan iradat Ilahi dan bukan sebagai alat untuk
berlangsungnya qadha dan qadar-Nya, ataupun membayangkan
adanya faktor berpengaruh yang berada di luar hukum sebab akibat, atau
berlawanan dengannya.
Dengan begitu, perubahan dan pergantian pada
nasib, dalam arti munculnya suatu faktor yang berlawanan dengan qadha
dan qadar atau berlawanan dengan hukum sebab-akibat adalah mustahil.
Kenyataan yang Mungkin Terjadi
Adapun perubahan nasib dalam arti bahwa penyebab
perubahan itu sendiri merupakan suatu penampakan aktifitas qadha dan qadar
serta satu dari serangkaian sistem sebab-akibat atau, dengan kata lain,
perubahan nasib dengan ketentuan nasib dan penggantian takdir dengan penetapan
takdir itu sendiri, maka hal itu merupakan suatu kenyataan, kendati tampak aneh
dan musykil.
Yang lebih aneh lagi ialah bila kita memusatkan
pandangan kepada qadha dan qadar dari sudut pandang sisi Ilahi.
Sebab, perubahan qadha dan qadar di sisi ini akan menimbulkan
perubahan di "alam atas" pada loh-loh, kitab-kitab malakut
serta Ilmu Ilahil Mungkinkah melakukan perubahan dalam Ilmu Ilahi? Keanehan
akan makin mencapai puncaknya ketika kita membayangkan kejadian-kejadian di
alam bawah (alam dunia), khususnya kehendak dan perbuatan-perbuatan manusia,
sebagai menjadi penyebab timbulnya perubahan-perubahan, penghapusan dan
penetapan di "alam atas" pada sebagian loh-loh takdir dan kitab-kitab
malakut (supra natural).
Bukankah sistem "alam bawah" (duniawi)
dan inderawi, bersumber pada sistem "alam atas" dan pusat Ilmu Ilahi
serta muncul daripadanya? Bukankah alam dunia ini rendah dan alam atas itu
tinggi? Bukankah alam nasut (manusiawi) diatur dan diperintah oleh dunia
supra natural (malakut). Mungkinkah, meski hanya sesekali, sistem alam
bawah atau bahkan sebagian daripadanya, yakni alam manusia, mampu memberi
pengaruh pada sistem atas dan pusat ilmu Ilahi, ataupun menyebabkan adanya
beberapa perubahan tertentu padanya walaupun perubahan-perubahan ini sendiri
berdasarkan qadha dan qadar?
Begitulah pertanyaan demi pertanyaan yang
aneh-aneh akan bermunculan di dalam pikiran... Adakah ilmu (pengetahuan) Allah
dapat mengalami perubahan?! Ataukah hukum Allah dapat mengalami pembatalan?!
Dapatkah yang rendah berpengaruh pada yang tinggi.
Jawaban tegas atas pertanyaan ini ialah : Ya,
ilmu Allah dapat mengalami perubahan, dalam arti bahwa Allah mempunyai suatu
pengetahuan tertentu yang dapat mengalami perubahan. Hukum Allah dapat
mengalami pembatalan, dalam arti bahwa Allah SWT memiliki beberapa hukum yang
memang dapat mengalami pembatalan. Dan bahwa yang rendah adakalanya dapat
memberikan pengaruhnya terhadap yang tinggi, dan bahwa sistem alam bawah,
terutama kehendak dan perbuatan manusia, bahkan kehendak manusia semata-mata,
adakalanya dapat "mengguncang" alam atas dan menyebabkan timbulnya
beberapa perubahan padanya. Inilah kekuasaan tertinggi manusia atas nasibnya.
Harus diakui bahwa hal ini akan menimbulkan
keheranan, akan tetapi kenyataan masalah yang amat agung dan mengagumkan inilah
yang disebut sebagai masalah bada' (kemunculan sesuatu yang sebelumnya
belum muncul) yang dibicarakan oleh Al-Quran al-Karim pertama kali dalam
sejarah ma'rifat (pengetahuan) manusia, yaitu dalam firman-Nya:
"Allah menghapus apa saja yang
dikehendaki-Nya dan menetapkan, dan di sisi-Nyalah terdapat Ummul Kitab."
(QS 13 : 39)
Masalah bada' ini tidak ada padanan dan
persamaannya dalam semua konsep dan doktrin ilmiah manusiawi, dan di antara
kelompok-kelompok Islam tidak bisa dijumpai kecuali pada para ulama dari
kelompok Syi'ah Itsna Asyariyah. Dengan mengikuti ucapan-ucapan Ahlul Bait (alaihimussalam),
mereka dapat mencapai hakikat ini dan dengan begitu meraih kehormatan dan kebanggan
ini.
Di sini kami tidak dapat, secara terperinci,
memasuki pembahasan filosofis yang amat canggih ini serta memberikan penjelasan
yang luas mengenainya. Kami hanya mencukupkan diri dengan memberikan sepintas
isyarat demi menandaskan bahwa teori bada' memiliki dasar dalam
Al-Quran. Dan bahwa ia merupakan salah satu hakikat filosofis yang sedemikian
halusnya, sampai-sampai para filosof Syi'ah pun tak berhasil mencapai
kedalamannya kecuali sebagian dari mereka. Yaitu yang termasuk para peneliti
dan pemerhati Al-Quran serta peninggalan-peninggalan para pemimpin utama, yakni
Nabi saw., serta para imam Ahlul Bait (alaihiimissalam), khususnya yang
tersebut dalam ucapan-ucapan Amirul Mukminin Ali bin Abi Talib a.s.
Sudah barang tentu kita tidak boleh berpuas diri
dengan imajinasi kaum awam yang dikembangkan oleh orang-orang dungu dan mereka
namakan bada', kemudian mereka kritik dan sanggah berdasarkan apa yang
mereka bayangkan.
Betapapun juga, dalam risalah ringkas ini, kami
tidak dapat memasuki pembahasan yang canggih ini. Kami hanya akan membahasnya
dari segi persoalan terbaginya qadha dan qadar, serta kemungkinan
perubahan nasib ditinjau dari sudut kenyataan yang telah ditentukan dan teori
kausal umum, serta melihat kemungkinan bahwa qadha dan qadar terdiri
atas dua macam: yang pasti dan tidak tersentuh perubahan, dan yang tersentuh
perubahan. Jika demikian, bagaimana hal itu dapat dijelaskan?
Maujudat (segala suatu yang ada di alam
ini) terbagi atas dua bagian :
a. Yang hanya bisa terdiri atas satu jenis khusus
seperti hal-hal yang bersifat mujarrad (abstrak, ruhani).
b. Yang bisa terdiri atas lebih dari satu jenis,
yaitu benda-benda materi atau sesuatu yang berasal dari materi tertentu dan
merupakan dasar pembentukan benda-benda lainnya, seperti segala sesuatu yang
dapat dirasa dan diraba.
Benda-benda alami dapat mengambil berbagai
bentuk, memiliki kemampuan berintegrasi dan, dengan pengaruh beberapa faktor
tertentu, dapat menjadi daya dan kekuatan, sementara beberapa faktor lainnya
dapat mengubahnya menjadi makin sempurna ataupun makin kurang sempurna. Jadi,
ia memiliki kemampuan menghadapi berbagai faktor, sebagaimana pengaruh yang
dialaminya dari suatu faktor berbeda dengan yang dari faktor lainnya. Suatu
benih yang menjumpai lingkungan yang serasi, lalu tidak dijangkiti
penyakit-penyakit tumbuh-tumbuhan, akan tumbuh subur dan mencapai
kesempurnaannya. Akan tetapi, dengan berkurangnya salah satu faktor keserasian
lingkungannya, atau dengan adanya penyakit yang menimpanya, ia tidak dapat
tumbuh dengan baik. Demikianlah, setiap benda alami memiliki ribuan kondisi,
sehingga membentuk dirinya dengan beraneka bentuk sesuai dengan perbedaan
kondisi ini.
Dengan ini kita mengetahui bahwa berbagai mujarrad
di alam ruhani berbeda sepenuhnya dari keadaan benda-benda material. Pada yang
pertama, qadha dan qadar menjadi definitif, dalam arti nasibnya
berada di tangan sebabnya yang tunggal yang tak mungkin berubah. Adapun dalam
hal benda-benda yang dapat mengalami perubahan dan menerima warna-warna serta
berada di bawah pengaruh hukum gerak, maka qadha dan qadar
baginya tidak definitif, dalam arti bahwa qadha tidak menentukan
nasibnya. Bahkan, nasib setiap akibat mengikuti jenis penyebabnya. Lagi pula,
disebabkan ia berhubungan dengan berbagai sebab, maka ia pun memiliki nasib
yang berbeda-beda pula. Setiap sebab yang mana pun dapat mengisi tempat yang
lain. Dengan demikian, kita tidak dapat melukiskan takdir dalam benda-benda
dengan kemestian dalam arti ini. Bahkan setiap kali faktor-faktor itu
bertambah, bertambah pulalah ragam nasib benda-benda itu.
Dengan sebab tertentu, seseorang ditimpa penyakit
lalu timbullah rasa sakit. Dengan sebab yang tersembunyi dalam obat, hilanglah
penyebab sakit itu dan berubahlah nasib orang itu. Seandainya dua orang dokter
memberikan dua lembar resep, yang satu mendatangkan mudarat dan yang lainnya
mendatangkan manfaat, maka dua keadaan yang berbedalah yang menunggu si sakit.
Ikhtiar (pilihan) antara keduanya berada di tangannya. Ikhtiar inipun berkaitan
dengan serangkaian sebab dengan cara yang tidak melucuti orang itu dari
ikhtiarnya. Dengan kata lain, kendatipun telah tetap pilihannya atas salah satu
dari kedua resep tersebut, tidaklah berarti bahwa selanjutnya ia tidak memiliki
pilihan atau resep lainnya. Sebab, kemungkinan untuk memilih resep yang kedua
tetap ada dan terpelihara.
Dengan demikian, dapatlah diketahui adanya
bermacam-macam qadha dan qadar yang masing-masing dapat menempati
posisi yang lainnya. Hal ini, yakni pergantian tempat yang satu dengan lainnya,
sesuai pula dengan hukum qadha dan qadar. Atas dasar ini,
seandainya seorang penderita sakit minum obat lalu ia sembuh, yang demikian itu
adalah dengan ketentuan qadha dan qadar. Dan jika ia tidak minum
obat itu lalu tetap menderita sakit, atau minum obat yang mendatangkan mudarat
lalu mati, maka hal itu juga sesuai dengan qadha dan qadar.
Seandainya ia menjauhkan diri dari lingkungan penyakit dan tetap terjaga
daripadanya, maka hal itu juga sesuai dengan ketentuan qadha dan qadar.
Selanjutnya, segala yang dilakukan dan menimpanya adalah salah satu jenis qadha
dan qadar; tidak mungkin ia berada di luar lingkungan qadha dan qadar.
Arti seperti ini diungkap secara jelas dalam
untaian syair Hakim Maulawi, seorang penyair Iran terkenal.[2]
Makna tersembunyi dalam ungkapan
'Telah keringlah sang pena',
membangkitkan semangat tinggi
di antara seluruh bangsa
Pena kehendak Ilahi sejak dulu menetapkan
setiap perbuatan memiliki hasil dan ganjaran.
Jika membongkar, reruntuhanlah yang kau jumpai
jika membangun, kejayaanlah yang kau temui
jika tangan bertindak, ia pun memotong;
jika anggur bersemayam, ia pun memabukkan.
Setelah kezaliman, datanglah kehancuran.
Setelah keadilan, segera datang kemuliaan.
Adakah kau kira akal yang arif dan lurus
Memisahkan Allah dari kucisa-Nya yang azali
Seraya berkata: 'Telah berlaku hukum qadha'...?
Tinggalkan keluhan! Tinggalkan tangis ini!
Tidak! Bukan itu maksud ungkapan:
'Telah keringpena sang qadha'
Keadilan dan kezaliman pastilah tak sama...
Rahasia Persoalan Ini
Qadha bukanlah faktor pelaku yang
mempengaruhi di samping faktor-faktor lainnya, tapi ia adalah awal mula dan
tempat berseminya semua faktor alamiah. Semuanya merupakan tanda-tanda
esensinya dan tercakup dalam prinsip kausal umum. Jika ia mustahil berada di
samping faktor-faktor yang mempengaruhi, mustahil pula ia mencegah berlakunya
pengaruh setiap sesuatu dari faktor-faktor itu. Betapa hal itu dapat
dibayangkan, sedangkan ia adalah sumber faktor yang akan dicegahnya daripada
meneruskan pengaruhnya itu.
Oleh sebab itu, jabr (determinisme) dalam
arti yang berakhir dengan paksaan atas manusia oleh qadha dan qadar,
adalah mustahil. Memberikan pengaruh seperti ini pada qadha dan qadar,
padahal ia adalah asal mula segala faktor penyebab di wujud ini, dan bukannya
sekedar satu di antara faktor-faktor lainnya, adalah sesuatu yang mustahil.
Memang, adakalanya tampak pengaruh qadha
dan qadar seperti itu, dalam hal seseorang memaksa orang lain untuk
melakukan sesuatu. Tapi ini bukanlah jabr seperti yang diistilahkan itu.
Kita kini membahas jabr dalam arti pengaruh langsung qadha dan qadar
terhadap kehendak manusia, baik dalam bentuk faktor negatif yang mencegah
berpengaruhnya kehendak itu, ataupun faktor positif yang memaksanya
melaksanakan sesuatu.
Dengan kata lain, rahasia persoalan adanya
kemungkinan suatu perubahan nasib ini, terkandung dalam kenyataan bahwa qadha
dan qadar mewajibkan terwujudnya setiap maujud melalui sebab-sebabnya
yang khusus baginya, serta kemustahilan kewujudannya tanpa itu. Pada segi
lainnya, sebab-sebab dan akibat-akibat alami beraneka ragamnya, sedangkan
benda-benda di alam ini dapat terpengaruh oleh bermacam-macam sebab pada saat
bersamaan.
Akan tetapi, persoalannya akan menjadi lain jika
kita membayangkan qadha dan qadar seperti cara kaum Asy'ariyah
membayangkannya, dalam arti kita membayangkan sistem kausal umum dan gerakan
sebab-akibat sebagai sesuatu yang tidak memiliki hakikat, atau seperti yang
dibayangkan oleh kaum "Asy'ariyah yang setengah-setengah", yang
memberikan pada qadha dan qadar, dengan beberapa pengecualian
tertentu, kemungkinan ikut campur secara langsung dalam perjalanan
peristiwa-peristiwa. Namun, qadha dan qadar seperti ini tidak
pernah terwujud dan tidak mungkin terwujud.
Keistimewaan Manusia
Perbuatan dan tindakan manusia termasuk dalam
kejadian-kejadian yang atasnya tidak terdapat qadha dan qadar
yang deterministis, sebab ia bertautan dengan beribu-ribu sebab dan lantaran,
termasuk di dalamnya berbagai macam kemauan dan pilihan yang dimiliki dan
dialami oleh manusia.
Segala kemampuan yang terkumpul dalam jumlah
besar pada benda-benda, tumbuh-tumbuhan dan perbuatan naluriah hewan, terdapat
pula pada perbuatan-perbuatan manusia. Dalam pertumbuhan pohon apa pun, atau
dalam perbuatan naluriah hewan apa pun, terdapat beribu-ribu kondisi alami yang
memungkinkannya terwujud. Semua kondisi seperti ini terdapat pula pada
perbuatan-perbuatan dan tindakan-tindakan manusia; lebih-lebih lagi karena
kepada manusia diberikan akal, perasaan, kemauan moril serta kekuatan untuk
memilih.
Manusia memiliki kemampuan untuk meninggalkan
sesuatu perbuatan kendati perbuatan itu sesuai dengan naluri alamiah dan
dorongan biologisnya serta tidak ada pencegah atau hambatan eksternalnya. Akan
tetapi, ia meninggalkannya setelah berpikir dan memperbandingkan besar kecilnya
kemaslahatan dalam persoalan tersebut. Sebagaimana ia juga memiliki kemampuan
melaksanakan suatu pekerjaan yang ia ketahui berlawanan sepenuhnya dengan
wataknya atau kecenderungannya sendiri, serta tak adanya faktor yang memaksanya
untuk itu. Sebab ia berpikir dan melihat adanya kemaslahatan dalam hal itu.
Manusia, seperti juga binatang, berada di bawah
pengaruh berbagai dorongan kejiwaan serta keinginan-keinginannya sendiri. Akan
tetapi manusia bukannya tidak berdaya sama sekali di hadapan itu semua, atau
dapat dieksploitasi secara paksa oleh dorongan-dorongan dan keinginan-keinginan
tersebut. la memiliki kebebasan dalam berhadapan dengannya; dalam arti
sekiranya semua faktor dharuri mengharuskan dilakukannya sesuatu oleh
hewan, maka ia pasti bergerak melaksanakannya secara terpaksa; sementara
seorang manusia, seandainya telah terkumpul di hadapannya semua faktor dharuri
tersebut, ia masih tetap memiliki akal dan kemauan, yang dengannya ia dapat
melakukan perbuatan itu ataupun meninggalkannya.
Terlaksananya perbuatan itu bergantung pada
persetujuan akal sebagai kekuasaan legislatif tertinggi, serta kemauan sebagai
kekuatan eksekutif. Dari sini diketahui bahwa manusia dapat mempengaruhi nasibnya
sebagai pelaku yang dapat memilih. Dalam arti, setelah terkumpulnya semua
kondisi alami yang berpengaruh, ia masih tetap memiliki pilihan dan kebebasan
untuk melakukan ataupun meninggalkannya.
Kebebasan manusia tidak berarti bahwa
perbuatannya terlepas bebas dari hukum kausal, sebab hal ini tidak berkaitan
dengan ikhtiar, di samping kemustahilan terlepasnya ia dari hukum sebab-akibat
itu sendiri. Bahkan, pada hakikatnya, kebebasan macam ini identik dengan jabr.
Sebab, apa bedanya manusia menjadi majbur (terpaksa) melalui faktor
khusus yang memaksanya melakukan sesuatu yang berlawanan dengan watak dan
kecenderungannya, ataupun perbuatan itu sendiri terbebas dari hukum kausal dan
dari segala keterikatan dengan sebab apa pun, termasuk keterikatannya dengan manusia
itu sendiri, sehingga perbuatannya itu dapat terjadi dengan sendirinya tanpa
tanpa adanya pengaruh apa pun?!
Kita menyetujui pendirian tentang adanya
kebebasan manusia dalam hal bahwa perbuatan seseorang timbul dari manusia itu
sendiri, dengan sepenuh kemauan dan kerelaannya, serta dengan konsentrasi
kekuatan pencerapannya; dan bahwa tiada faktor apa pun yang memaksanya
melakukan sesuatu yang tidak dikehendakinya, baik faktor qadha dan qadar
atau apa pun lainnya.
Kesimpulannya, kesempurnaan sebab-sebab dan
lantaran-lantaran merupakan realisasi qadha dan qadar Ilahi.
Makin beraneka ragamnya sebab-sebab serta kejadian-kejadian yang dapat
berlangsung pada peristiwa apa pun, maka makin beraneka ragam pula jenis qadha
dan qadar berkenaan dengan kejadian-kejadian tersebut. Keadaan apa
saja yang telah terjadi, maka hal itu pasti terjadi oleh sebab qadha dan
qadar Ilahi; dan keadaan apa saja yang telah tidak terjadi, maka itu pun
tidak terjadi oleh sebab qadha dan qadar Ilahi pula.
Tinjauan Singkat atas Masa Permulaan
Islam
Rasulullah saw. pernah ditanya tentang hirz
(tulisan yang mengandung ayat-ayat suci sebagai penangkal penyakit),[3] yakni apakah hirz itu dapat
menghentikan perjalanan qadar? Rasulullah saw. menjawab : "Itu
termasuk di antara qadar Allah."
Diriwayatkan dari Imam Ali (alaihissalam)
bahwa ia pernah bangkit dan pindah dari bawah sebuah dinding yang mulai miring
ke dinding yang lain. Seseorang bertanya kepadanya: "Wahai Amirul
Mukminin, apakah anda lari dari qadha Allah?" Beliau menjawab:
"Aku lari dari qadha Allah ke qadha-Nya SWT." Jadi, ia
lari dari sejenis qadha kepada sejenis lainnya. Jatuhnya dinding yang
telah miring merupakan qadha Ilahi, dalam arti bahwa ia secara wajar dan
alamiah akan menjatuhi kepala seorang manusia pada saat terlaksananya segala
persyaratannya. Akan tetapi bila manusia itu menarik dirinya dari tempat
tersebut, ia akan tetap selamat dari bencana; dan ini pun merupakan qadha
Ilahi pula. Meskipun demikian, masih ada kemungkinan ia tertimpa oleh bencana
itu sementara ia berada dalam keadaan yang kedua sebagai akibat dari
faktor-faktor lainnya. Inipun pada gilirannya termasuk qadha dan qadar.
Hakim Maulawi, si penyair, berkata:
Meninggalkan keraguan mengajarkan pada kita
Bahwa dari qadha kita lari ke qadha lainnya.
Tidaklah mungkin berlangsung usaha melawan
qadha
Karena setiap usaha adalah bagian dari qadha.
Setiap orang yang mempelajari hidup kaum Muslimin
terdahulu, akan mengetahui dengan jelas bahwa mereka memahami qadha dan qadar
dalam bentuk yang tidak bertentangan dengan kekuasaan manusia atas nasibnya,
dan bahwa perubahan-perubahan yang terjadi padanya hanyalah dalam kerangka qadha
dan qadar. Mereka sama sekali bukanlah orang-orang fatalis, melainkan
selalu mencari kejayaan dengan jihad dan upaya sungguh-sungguh. Mereka berdoa
kepada Allah agar beroleh rizki berupa qadha yang terbaik, mengingat
banyaknya kemungkinan yang bisa terjadi atas segala sesuatu. Patutlah
diperhatikan bahwa mereka meminta "qadha (ketetapan) yang
terbaik", bukannya "sesuatu yang terbaik dari yang diqadha dan
ditakdirkan". Hal seperti ini banyak sekali kita jumpai dalam berbagai doa
Islami. Yang lebih mengherankan lagi ialah terdapatnya ungkapan-ungkapan seperti
ini, hatta pada orang-orang kebanyakan di kalangan kaum Muslimin pada permulaan
Islam.
Ibn Atsir mengutip[4] dari Tarikh at-Tabari, isi surat yang
dikirimkan oleh Sa'd bin Abi Waqqas kepada Umar bin Khattab, antara lain:
"Ketetapan Allah pasti berlangsung. Qadha-Nya mengantarkan
keuntungan ataupun kerugian yang ditakdirkan bagi kita. Kepada-Nyalah kita
memohon qadha yang terbaik dan qadar yang terbaik pula, dalam keselamatan."
Dalam Syarh Ibn Abil Hadid atas Nahjul Balaghah,
khutbah Nonior 132, disebutkan bahwa Umar r.a., dalam perjalannya menuju Syam
dan sebelum memasuki daerah itu, mendengar berita adanya wabah sampar. Ketika
bermusyawarah dengan orang-orang yang bersamanya, mereka semuanya mencegahnya
meneruskan perjalanan, kecuali Abu Ubaidah bin Jarrah yang waktu itu menjabat
panglima pasukan Muslim di Syam. Ia berkata kepada Umar: "Wahai Amirul
Mukminin, adakah Anda melarikan diri dari takdir Allah?" Umar menjawab:
"Ya, aku lari dari takdir Allah dengan takdir-Nya dan kepada
takdir-Nya." Pada saat itu, seseorang mengaku pernah mendengar Rasulullah
saw. memerintahkan orang-orang yang berada di luar kota yang terkena wabah
sampar agar jangan memasukinya, dan orang-orang yang berdiam di dalam kota agar
jangan keluar dari sana. Hal itu mengakhiri kebimbangan Umar dan ia pun
membatalkan niatnya untuk memasuki kota tersebut.
Demikianlah yang dapat dipahami dari
sumber-sumber berita dari kedua kelompok, Syi'ah dan Sunnah, bahwa Nabi saw.
membicarakan masalah qadha dan qadar di antara para sahabatnya.
Juga Amirul Mukminin Ali (alaihissalam) berulangkali menyebut masalah
itu dalam ucapan-ucapannya. Di antara yang membangkitkan rasa kekaguman ialah
bahwa pengajaran atau pendidikan yang gemilang ini telah memberikan, kepada
kaum Muslimin, segala kecerdasan dan kecermatan dan sepenuhnya menjauhkan
mereka dari pemahaman yang bersifat fatalisitis dan, sebaliknya, tidak pernah
mendorong mereka ke arah itu. Sebagai hasilnya, pemahaman seperti itu tidak
pernah menjadikan mereka membayangkan diri mereka kehilangan kehendak dan
kebebasan memilih. Makna ini ditegaskan oleh tindakan dan ucapan-ucapan kaum
Muslimin pada permulaan masa Islam sebagai dinukilkan di sana sini.
Namun para ahli ilmu-kalam yang datang setelah
itu, yang hendak melakukan analisis dan menyusun pembuktian-pembuktian berdasar
itu semua, temyata tidak mampu membedakan antara takdir dan jabr. Sampai
hari ini pun, setelah berlalunya enipat belas abad semenjak masa itu, hanya
sedikit saja orang, di Barat dan di Timur, yang mampu membuat perbedaan antara
kedua akidah tersebut. Sumber asli pendapat yang benar ialah Al-Quran al-Karim
yang berbicara tentang berbagai jenis qadar seperti di dalam ayat mulia
berikut:
Dialah yang telah menciptakanmu dari tanah lalu
menetapkan suatu ajal dan 'ajal lainnya' yang ditentukan di sisi-Nya. (QS 6 :
2)
Ketika Al-Quran berbicara tentang lauh
mahfuzh, kitab azali dan takdir yang mendahului, ia berkata : "Dan
tiada sesuatu yang basah ataupun yang kering kecuali tercatat di dalam kitab
yang nyata." (QS 6 : 59). Juga: "Tiada suatu musibah di bumi
ataupun dalam diri kamu kecuali telah ada dalam suatu kitab sebelum Kami
menciptakannya." (QS 57 : 22). Di waktu yang sama, ia berkata: "Setiap
hari Dia berada dalam sesuatu kesibukan." (QS 55 : 29).
Rasulullah saw. pernah ditanya: "Adakah kita
ini berada dalam suatu urusan yang telah selesai diputuskan atau dalam urusan
yang baru dimulai?" Jawab beliau: "Dalam sesuatu yang telah
selesai dan sesuatu yang baru dimulai".[5]
Alam yang Tidak Terkena
Perubahan
Telah kami nyatakan bahwa pembicaraan tentang
kedua jenis qadha dan qadar dapat dijumpai melalui ucapan para
Imam, baik dalam doa ataupun lainnya, dan telah kami jelaskan pula bahwa
hal-hal mujarrad (abstrak) yang berasal dari "alam atas"
memiliki qadha dan qadar definitif tidak seperti halnya
maujud-maujud alamiah. Harus ditambahkan di sini, bahwa di alam ini pun ada
hal-hal yang bersifat definitif, yakni termasuk dalam qadha dan qadar
definitif yang tidak mungkin mengalami perubahan.
Setiap maujud di alam ini didahului oleh
ketiadaan, dan harus diakibatkan oleh suatu maujud lainnya. Hal ini merupakan qadha
definitif. Kemudian setiap maujud tentunya berjalan menuju kefanaan dan
kesimaan bila tidak berubah menjadi maujud non-material. Inipun qadha
dan qadar definitif. Semua maujud alamiah mencapai suatu titik yang dari
sana ia tidak mungkin dapat mengubah arahnya. Ia menjadi tiada atau melintasi
arah yang telah ditentukan itu. Hal ini berarti bahwa ia berada di bawah
kekuasaan takdir yang definitif. Contohnya, sperma laki-laki pada saat bertemu
dengan telur perempuan, lalu sel yang telah dibuahi (zygot) itu menetapkan jenis
bahan dasar yang kelak ikut menentukan masa depan si bayi dengan segala
karakteristik yang diwarisinya, dan dengan begitu pasti mempengaruhi nasib dan
masa depannya. Jelas sekali bahwa seandainya sperma laki-laki yang sama itu
membuahi telur perempuan lainnya, niscaya akan terbentuk bahan dasar yang lain
pula. Setelah terbentuknya bahan dasar, ia tidak dapat diubah lagi menjadi
bahan dasar lain. Hal ini berarti bahwa qadha dan qadar dalam
tahapan ini adalah dari jenis yang definitif. Demikian pula tahapan-tahapan
berikutnya, yang berlangsung dalam rahim, merupakan sesuatu yang pasti dan
definitif. Itulah sebabnya, mengapa kita dapati beberapa riwayat menyatakan
bahwa rahim adalah satu di antara loh-loh qadar.
Sistem-sistem yang Tetap
Sebagaimana hukum-hukum dan sistem-sistem yang
berlaku di alam ini tidak tersentuh perubahan dan pergantian, meskipun
maujud-maujud alamiah berubah dan berganti, namun sistem-sistem alamiah tetap
tak berubah.
Maujud-maujud alamiah selalu berubah dan berusaha
mencapai kesempurnaan. Masing-masing menjalani cara yang bermacam-macam.
Adakalanya ia mencapai kesempurnaan, tapi adakalanya ia berhenti. Kadang-kadang
ia berjalan cepat, tapi kadang-kadang pula lambat, sementara nasibnya diubah
oleh berbagai faktor yang berbeda. Namun sistem-sistem alamiah tidak pernah
berubah ataupun berusaha mencapai kesempurnaan, tapi ia tetap dalam keadaan
yang sama.
Al-Quran al-Karim berbicara tentang sistem-sistem
yang tetap dan menamakannya sunnatullah (hukum Allah):
Kamu sekali-kali tiada akan mendapati
perubahan pada sunnah Allah. (QS 33 : 62)
Sebagai contoh, Al-Quran menyebutkan bahwasannya
kemenangan akhir adalah bagi orang-orang bertakwa dan bahwa bumi ini pada
akhimya disediakan bagi hamba-hamba Allah yang saleh; semua itu merupakan
sunnah Allah yang tak berubah;
Dan sungguh telah Kami tulis di dalam Zabur,
sesudah Kami tulis dalam Lanhul Mahfuzh, bahwasannya bumi ini dipusakai
hamba-hamba-Ku yang saleh.(QS 21 : 105)
Sesungguhnya bumi ini kepunyaan Allah;
dipusakakan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya dari hamba-hamba-Nya, dan
kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa. (QS 7 : 128)
Di antara berbagai sunnah Allah yang definitif
ialah selama manusia tidak mengubah sendiri kondisi-kondisi dan keadaan-keadaan
mereka, maka Allah tidak akan mengubah kondisi umum mereka.
Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu
kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. (QS 13
: 11)
Termasuk sunnah Allah yang definitif ialah bahwa
orang yang berkuasa atas sekelompok manusia selalu berada dalam keadaan yang
saling bersesuaian, yakni antara yang berkuasa dan yang dikuasai, dalam hal
mental, karakter dan kecenderungan-kecenderungan mereka.
Dan demikianlah Kami jadikan sebagian orang-orang
yang zalim itu menjadi teman bagi sebahagian yang lain. (QS 6 : 129)
Di antaranya ialah bahwa kaum mutrafin
(kaum elite yang berfoya-foya) yang terdapat pada suatu bangsa dan melakukan
perbuatan-perbuatan tirani, kefasikan dan kedurhakaan serta bertindak
semau-maunya, maka mereka akan menyebabkan kehancuran bangsa itu.
Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri,
maka Kami perintahkan kepada kaum mutrafin di negeri itu supaya menaati Allah,
tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya
berlaku terhadapnya ketentuan Kami, kemudian Kami hancurkan negeri itu
sehancur-hancumya. (QS 17 : 16)
Demikian pula, keberhasilan khalifah kaum
mukminin, yang menyiapkan diri untuk berjihad dalam medan perjuangan hidup, di
atas bumi merupakan ketentuan yang pasti takkan berubah.
Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang
yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal saleh bahwa Dia
sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di Bumi sebagaimana Dia telah
menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan Dia akan meneguhkan
bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka dan Dia benar-benar akan
menukar keadaan mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan, menjadi aman
sentosa. (QS 24 : 55)
Di antaranya pula ketentuan bahwa akibat
kezaliman adalah kehancuran:
Dan penduduk negeri itu telah Kami binasakan
ketika mereka berbuat zalim dan telah Kami tetapkan waktu tertentu bagi
kebinasaan mereka. (QS 18 : 59)
Dalam suatu hadis Nabi saw. disebutkan: "Kekuasaan
adakalanya tetap tinggal bersama dengan kekufuran, tetapi tidak akan tinggal
bersama kezaliman."
Beberapa Pendapat Lainnya
Sesuai dengan yang telah kami jelaskan terdahulu,
terbaginya qadha dan qadar menjadi definitif dan tidak definitif,
berasal dari kondisi khas maujud-maujud. Suatu maujud yang memiliki berbagai
kapasitas dan aneka sebab, dapat dipengaruhi oleh semuanya itu, sehingga ia
ditarik oleh masing-masing sebab ke suatu arah tertentu. Maujud ini memiliki
beraneka ragam kemampuan yang sesuai dengan keterikatannya dengan sebab-sebab
yang beraneka ragam pula. Atas dasar ini, dapatlah dikatakan bahwa qadha
dan qadar bagi maujud seperti ini tidaklah definitif. Adapun maujud yang
hanya mempunyai satu kapasitas saja, yang tak memiliki kemungkinan kecuali
melintasi satu jalan saja dan tidak memiliki ikatan kecuali dengan satu sebab
saja, tidaklah memiliki kecuali satu nasib yang definitif saja, yang tak
mungkin berubah. Dengan kata lain, definitif atau tidaknya berasal dari sisi
kepasifan, bukannya dari sisi keaktifan, yakni satu kepasifan atau berbagai
kepasifan yang meliputinya.
Oleh sebab itu, benda-benda mujarrad
(abstrak) yang kehilangan kapasitasnya, seperti halnya berbagai maujud alamiah
yang dalam beberapa keadaan, juga tidak memiliki kapasitas hanya untuk satu
masa depan saja, nasibnya bersifat definitif. Sedangkan kumpulan yang terdiri
atas berbagai fenomena alami yang memiliki lebih dari satu kapasitas inaka
nasibnya pun tidak definitif.
Itulah ringkasan penjelasan tentang soal qadha
dan qadar yang definitif dan yang tidak definitif. Masalah ini juga
telah ditafsirkan dengan berbagai penafsiran lainnya. Adakalanya dengan ukuran
kemampuan manusia, seperti yang dikatakan oleh sebagian orang, bahwa kejadian
yang perubahan serta penggantiannya tak berada dalam tangan manusia, maka
takdirnya menjadi definitif; sedangkan yang berada di bawah ikhtiar (kemampuan
memilih) manusia, maka takdirnya tidak definitif. Contohnya: manusia, paling
tidak di masa sekarang, tidak memiliki kemampuan mengubah kondisi cuaca panas,
dingin, salju, hujan, dan angin atau kondisi bumi gempa, badai dan banjir.
Masing-masing kondisi itu, yang dapat terjadi, baik diingini oleh manusia
ataupun tidak, adalah hal-hal definitif. Ketentuan takdir Allah dalam hal itu
pasti bersifat definitif. Akan tetapi, perubahan kondisi-kondisi sosial dan
perbaikan keadaan berdasar ukuran-ukuran keadilan, demikian pula kesejahteraan
sosial serta kebahagiaan umum, semua itu berada dalam lingkup kemampuan dan di
bawah kehendak manusia. Ia dapat mengubahnya, dan dengan demikian hal tersebut
tidak definitif. Demikian pula, ketentuan takdir Allah atasnya juga tidak
definitif.
Penafsiran seperti ini tidak benar, sebab tidak
ada keharusan untuk menjadikan kemampuan dan kapasitas manusia dalam hal-hal
yang dapat dilakukannya, sebagai penentu definitif atau tidak definitifnya
takdir. Selain dari itu, logika berita-berita dan riwayat-riwayat keagamaan
tidak bersesuaian dengan penafsiran seperti ini.
Ada lagi sebagian orang yang menafsirkan
definitif atau tidak definitifnya takdir dengan ukuran terpenuhinya
kondisi-kondisi yang dibutuhkan atau tidak terpenuhinya. Dalam arti bahwa semua
maujud memiliki berbagai macam kapasitas dan ikatan dengan beraneka ragam
sebab. Sesuai dengan ikatan-ikatannya dengan beraneka ragam sebab itulah ia
memiliki berbagai kapasitas pula. Jadi, pada hakikatnya, nasibnya berada di
tangan sebab-sebab tersebut. Setiap sebab memegang nasib tertentu suatu maujud.
Tentunya jelas bahwa sebagian dari sebab-sebab itu mendapat kesempatan untuk
terjadi dan sebagiannya yang lain tidak mendapat kesempatan sehingga tidak
terjadi. Jelas pula bahwa terjadinya yang sebagian itu hanyalah disebabkan
terjadinya sebab-sebab dan terpenuhinya persyaratan-persyaratan atau
kondisi-kondisinya, sebagaimana tidak terjadinya sebagiannya yang lain
disebabkan tidak terjadinya sebab-sebab itu dan tidak terpenuhinya
persyaratan-persyaratan atau kondisi-kondisinya. Demikian pulalah halnya dengan
sebab-sebab dan kondisi-kondisi lainnya, dalam tahapan ketiga, keempat dan
seterusnya.
Ketentuan-ketentuan takdir definitif ialah
ketentuan-ketentuan yang berada di tangan sebab-sebab dan kondisi-kondisi yang
terwujud (atau yang terjadi). Adapun ketentuan-ketentuan takdir yang tidak
definitif ialah yang berada di tangan sebab-sebab yang baginya tidak tersedia
kesempatan untuk terjadi atau terwujud. Kita misalkan ada seseorang yang
memiliki kesiapan jasmani untuk hidup selama seratus lima puluh tahun, dengan
catatan jika ia mengikuti dan melaksanakan dengan sempurna
persyaratan-persyaratan kesehatan. Akan tetapi jika ia tidak memperhatikannya,
usianya akan berkurang hingga separuhnya saja. Maka yang ditakdirkan baginya
ialah hidup selama seratus lima puluh tahun jika ia mengikuti
persyaratan-persyaratan kesehatan, atau tujuh puluh lima tahun jika ia tidak
mengikutinya. Dengan demikian jika orang tersebut tidak mengikuti pesan-pesan
itu lalu meninggal dalam usia tujuh puluh lima tahun, kita dapat mengatakan
bahwa bagi orang ini ditakdirkan dua usia, masing-masing dengan syarat. Hanya
saja, salah satu dari kedua persyaratan itu terpenuhi (terwujud) sedangkan yang
lain tidak. Maka takdir yang terlaksana persyaratannya dan menjadi kenyataan
adalah qadha dan qadar definitif; adapun yang tidak terjadi
itulah qadha dan qadar yang tidak definitif.
Pada perumpamaan itu, dapat dikatakan bahwa kedua
takdir tersebut adalah seperti dua peraturan hukum bagi satu pribadi dalam
kerangka dua persyaratan yang berlainan. Misalnya, peraturan menentukan bahwa
si tertuduh, jika mengakui kejahatannya, akan dijatuhi hukuman tertentu;
sedangkan jika tidak mengaku dan tidak ada bukti-bukti penguat tuduhan
tersebut, maka ia harus dibebaskan. Dalam hal ini, jika si tertuduh mengaku, ia
akan dihukum, sehingga dengan demikian, peraturan tentang "hukuman atas
dasar pengakuan" telah terlaksana dan menjadi definitif. Tetapi jika ia
tidak mengaku dan pegangan lainnya tidak ada, maka ia harus dibebaskan, karena
peraturan "hukuman atas dasar pengakuan" tidak memperoleh kepastian
dan kedefinitifannya.
Sesuai dengan penafsiran ini, yang dimaksud
dengan kepastian dan kedefinitifan ialah terwujudnya persyaratan dan kesesuaian
praktis dengan bunyi peraturan. Padahal, peraturan itu, ditinjau dari sifatnya
sebagai konsep umum, memiliki kepastian dari kedua sisinya.
Tak ada kebimbangan dalam hal ini, karena
rangkaian hukum dan peraturan yang pasti berlaku atas alam semesta. Semua
peraturan hukum, ditinjau dari sifatnya sebagai peraturan-peraturan yang
menyeluruh, bersifat definitif tanpa terkecuali. Misalnya saja, hukum tentang
pencapaian usia seratus lima puluh tahun bagi seseorang vang memiliki kesiapan
jasmani untuk itu bilamana ia mengikuti persyaratan kesehatan, adalah hukum
yang berlaku secara pasti di seluruh alam. Dan bahwa berkurangnya usianya
menjadi tujuh puluh lima tahun bilamana tidak mengikuti persyaratan tersebut
juga merupakan hukum yang definitif pula. Semua hukum dan sunnah yang
pasti adalah penampakan dan saluran qadha dan qadar Ilahi.
Berdasarkan itu, qadha dan qadar yang definitif berarti hukum, sunnah
dan aturan yang telah terpenuhi persyaratan-persyaratan atau kondisi-kondisi
kewujudannya dan terlaksana secara praktis di alam ini. Sedangkan qadha
dan qadar yang tidak definitif, adalah hukum dan sunnah alamiah
yang tidak terpenuhi persyaratannya dan tidak mencapai realisasi praktis.
Penafsiran seperti ini, meskipun pada dasarnya
dapat diterima dan tidak jauh dari berbagai ungkapan riwayat keagamaan, tidak
dapat dianggap sebagai tafsiran yang tepat bagi ungkapan-ungkapan dalam
riwayat-riwayat itu yang menggunakan istilah: "takdir lazim"
(yang harus) dan "takdir tidak lazim" (yang tidak harus) serta
"takdir hatmiy" (definitif) dan "takdir tidak hatmiy"
(tidak definitif). Sebab, pengertian yang telah diterima secara luas ialah
bahwa yang dimaksud dengan qadha dan qadar lazim dan tidak lazim
ialah qadha dan qadar yang memiliki kemungkinan untuk menerima
perubahan yang tidak memiliki kemungkinan untuk itu. Sebagaimana juga telah
diterima bahwa hal tersebut termasuk kasus-kasus yang bilamana terwujud
persyaratan berlakunya suatu hukum umum tertentu di dalamnya, maka kemungkinan
perubahannya tetap ada. Kasus itu pada dasarnya memang memiliki kemungkinan
untuk menjadi suatu bentuk lainnya. Oleh sebab itu, meskipun dengan pengendaian
terpenuhinya semua persyaratan, takdir yang tidak definitif tidak kehilangan
fungsinya bila dilihat dari sudut tinjauan yang tadi.
Penafsiran lainnya ialah bahwa takdir yang
definitif adalah yang telah ditegaskan terjadinya oleh Allah SWT dan itu pasti
akan terjadi, adapun takdir yang tidak definitif ialah yang terhadapnya iradat
(kehendak) Allah bersikap netral; atau, meskipun tidak netral, tidak ada
pengharusan berkenaan dengan salah satu dari dua hal tersebut. Contohnya dalam
peraturan hukum taklif (pewajiban) yang dibebankan atas seseorang. Dalam
hal ini, adakalanya si pemberi perintah menegaskan sesuatu dan mengharuskannya,
maka hukumannya menjadi wajib. Dalam hal lain, si pemberi perintah atau pembuat
hukum terhadap suatu perbuatan bersikap netral; baik dikerjakan ataupun tidak,
maka hukumnya menjadi mubah. Adakalanya kita mendapati keinginannya lebih
condong ke arah terjadinya atau tidak terjadinya sesuatu, tanpa pengharusan
(pewajiban), maka hukumnya menjadi mustahab (disukai) atau makruh (tidak
disukai).
Demikianlah halnya dengan soal-soal fisis (yang
bersangkutan dengan alam). Adakalanya terdapat hukum yang mewajibkan, maka
itulah qadha dan qadar definitif. Adakalanya terdapat hukum
netral atau lebih condong ke arah terjadinya atau tidak terjadinya sesuatu,
tanpa keharusan, maka dalam hal-hal ini berlakulah qadha dan qadar yang
tidak definitif.
Namun, penafsiran seperti ini sangat jauh dari
sifat ilmiah dan dari realitas karena sama sekali menafikan qadha dan qadar.
Mustahil kehendak Allah mengenai suatu kejadian bersikap netral dan acuh tak
acuh, ataupun tidak netral tapi tidak pula sungguh-sungguh mengharuskan,
sebagaimana mustahilnya pengecualian sesuatu dari hukum sebab-akibat atau tetap
beradanya di bawah kendalinya tanpa adanya pengharusan mengerjakan salah satu
dari dua hal.
Bagaimanapun, pcngikiasan hal-hal fisis dengan
hal-hal yang berkenaan dengan pengalaman tradisional adalah sesuatu yang tidak
sempurna.
Faktor-faktor Spiritual
Pada contoh-contoh yang lalu, yang bersangkutan
dengan sebab-sebab dan faktor-faktor yang berpengaruh pada perubahan nasib
manusia, kami tidak melampauai faktor-faktor material dan berbagai pengaruhnya,
yakni kami hanya memusatkan pengamatan terhadap peristiwa-peristiwa dipandang
dari sudut dimensi-dimensi material serta hal-hal yang bersifat inderawi dan
jasmani. Karena itu, faktor-faktor yang kami sebutkan dalam lingkungan
sebab-akibat tersebut hanyalah faktor-faktor material saja. Jelas bahwa kita
harus membatasi diri dengan faktor-faktor ini dalam konsep materialis tentang
alam. Adapun dari sudut pandang yang bersangkutan dengan ketuhanan, yang tidak membatasi
kenyataan eksternal pada kerangka materi dan jasmani serta kualitas dan
pengaruh fisik saja, maka dunia peristiwa-peristiwa memiliki bentuk-bentuk yang
lebih rumit, lebih meliputi, dan lebih banyak, sehingga faktor-faktor yang
mempengaruhi terjadinya peristiwa-peristiwa menjadi amat banyak pula.
Dari sudut pandang materialis, faktor-faktor yang
mempengaruhi ajal, rizki, keselamatan dan kebahagiaan terbatas pada lingkup
material saja. Faktor-faktor materiallah yang mendekatkan ajal atau
menjauhkannya, melapangkan rizki atau menyempitkannya, memberikan keselamatan
pada tubuh atau menghilangkannya, mendatangkan kebahagiaan atau menghapusnya.
Adapun dari sudut pandang ketuhanan, ada berbagai faktor mental dan spiritual,
di samping faktor-faktor material, yang memberikan pengaruh pada ajal, rizki,
keselamatan, kebahagiaan dan sebagainya.
Alam, dalam pandangan para teologis, adalah
maujud yang tunggal, hidup dan berperasaan. Perbuatan-perbuatan manusia
menimbulkan konsekuensi dan reaksi tertentu. Kebaikan dan kejahatan, dalam
ukuran alam, tidaklah sama. Perbuatan manusia yang baik dan yang jahat
menghadapi reaksi-reaksi yang pengaruhnya bisa mencapai seseorang pada masa
hidupnya.
Mengganggu sesuatu yang hidup, baik manusia atau
binatang, khususnya mengganggu seseorang yang memiliki hak atas si pengganggu
seperti ayah, ibu, dan guru, mendatangkan pengaruh-pengaruh buruk dalam hidup
ini. Pembalasan atas hal-hal seperti itu amat banyak ragamnya di alam ini.
Pengaruh-pengaruh dan akibat-akibat itu sendiri merupakan bagian realisasi qadha
dan qadar. Jelas bahwa persoalan-persoalan dan aturan-aturan seperti
ini, yang menajdikan alam sebagai suatu perangkat yang hidup dan memiliki
kemauan serta perasaan, tidak akan dapat dijelaskan dan ditafsirkan kecuali
atas dasar pandangan ketuhanan tentang alam, yang menjadikan semua itu sebagai
bagian dari aturan-aturan sebab-akibat. Sedangkan dengan cara pemikiran
materialistis, ia sama sekali tidak akan dapat menerima penjelasan tersebut.
Dengan demikian, alam, ditinjau dari sudut
pandang ketuhanan, adalah sesuatu yang mendengar dan melihat; mendengar
panggilan mereka yang hidup dan menjawabnya. Karena itu, doa merupakan salah
satu sebab di alam ini yang memiliki pengaruh atas nasib manusia dan menangkal
terjadinya peristiwa-peristiwa ataupun mewujudkan berbagai peristiwa. Dengan
kata lain, doa adalah salah satu di antara realisasi qadha dan qadar
yang dapat berpengaruh atas jalannya suatu peristiwa, atau menahan suatu takdir
seperti yang tersebut dalam salah satu hadis: "Doa menolak qadha
walaupun telah selesai diputuskan".[6]
Firman Allah :
Jika hamba-hamba-Ku bertanya padamu tentang
Aku, sesungguhnya Aku dekat dan memenuhi doa orang yang menunjitkannya
kepada-Ku. (QS 2 : 186)
Demikian pula, macam-macam sedekah dan perbuatan
kebajikan adalah termasuk faktor-faktor dan realisasi qadha dan qadar
yang secara spiritual berpengaruh atas nasib seseorang.
Secara umum, dosa dan ketaatan, tobat dan maksiat,
keadilan dan kezaliman, kebajikan dan kejahatan, dosa dan kutukan, dan lain
sebagainya, adalah hal-hal yang berpengaruh atas nasib manusia dalam hal usia,
keselamatan dan rizki. Imam Ja'far as Shadiq (alaihissalam) berkata :
"Mereka yang mati disebabkan dosa-dosa, lebih banyak daripada yang mati
karena ajal; yang hidup disebabkan kebajikannya lebih banyak daripada yang
hidup karena usia."[7]
Maksud ucapan itu ialah bahwa dosa-dosa mengubah
ajal, dan berbagai macam kebajikan menambah usia, dalam arti, meskipun ajal dan
usia sudah ditentukan dengan qadha dan qadar, namun hal-hal
tersebut di atas dapat mengubahnya. Seperti yang telah kami uraikan sebelumnya,
perubahan ini pun termasuk qadha dan qadar pula.
Di sini kami tidak akan mempelajari cara kerja
pengaruh mengubah yang berasal dari aspek-aspek spiritual dalam lingkungan
material, ataupun menjelaskan cara kerja sebab-sebab dan akibat-akibat
berkenaan dengan hal ini. Sungguh amat banyak pendapat filosofis yang cermat
dan bersesuaian sepenuhnya dengan ungkapan-ungkapan keagamaan. Kami juga tidak
berada pada posisi untuk menjelaskan persyaratan-persyaratan berpengaruhnya
sebab-sebab spiritual, dalam arti bahwa doa, misalnya atau sedekah, kezaliman
atau sikap aniaya terhadap hak orang-orang lain, berada di bawah suatu
lingkungan yang dapat melahirkan reaksi-reaksi tertentu. Sebab, uraian dan
penjelasan tentang persoalan ini, dengan mengamati kasus-kasus dan pengalaman
pribadi-pribadi, akan memaksa kami menyusun buku yang amat tebal.
Kami hanya ingin menyebutkan suatu kenyataan,
yaitu bahwa tidak sepatutnyalah kita memiliki persangkaan bahwa rangkaian sebab
dan akibat di alam ini hanya terbatas pada hal-hal material saja. Yang demikian
itu sesuai dengan contoh-contoh dari alam materi yang telah kami sebutkan
sebelum ini.[]
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !