Masyarakat Ammatoa merupakan salah
satu masyarakat adat yang masih eksis ditengah ‘gempuran’ kapitalisme liberal
dan merasuknya nilai-nilai ekstrimisme agama impor pada negeri ini.
Mereka berdomisili di Provinsi Sulawesi Selatan, tepatnya diwilayah Kecamatan
Kajang, Kabupaten Bulukumba. Eksistensi masyarakat Ammatoa ditopang oleh
keberhasilan mereka dalam mengelola ekosistem secara seimbang dan
berkesinambungan. Keberhasilan itu tak dapat dilepaskan dari sistem nilai
budaya mereka yang tertuang dalam Pasang ri Kajang.
Menjaga ’ Pesan’ Leluhur
Pasang ri Kajang merupakan pedoman hidup masyarakat Ammatoa yang terdiri
dari kumpulan amanat leluhur. Nilai-nilai yang terkandung dalam Pasang dianggap
sakral oleh masyarakat Ammatoa, yang bila tidak diimplementasikan dalam
kehidupan sehari-hari akan berdampak buruk bagi kehidupan kolektif orang
Ammatoa (Usop, 1978). Dampak buruk yang dimaksud adalah rusaknya
keseimbangan ekologis dan kacaunya sistem sosial. Begitulah keyakinan
masyarakat Ammatoa terhadap Pasang ri Kajang.
Pasang mengandung panduan bagi hidup manusia dalam segala aspek,
baik itu apek sosial, religi, mata pencaharian, budaya, lingkungan serta
sistem kepemimpinan. Bahkan Pasang juga mendeskripsikan proses
terjadinya bumi dengan berlandaskan pada mitologi masyarakat
Ammatoa. Secara esensi, Pasang mirip dengan Lontarak dalam sistem
kebudayaan Bugis.
Sekilas, Pasang menyerupai
ajaran agama yang mengatur pola kehidupan manusia secara
holistik. Meskipun tampaknya masyarakat Ammatoa tidak menganggap Pasang
sebagai suatu religi atau sistem kepercayaan, karena Pasang justru
dianggap lebih luas dari itu. Faktanya, masyarakat Ammatoa menganut
sistem kepercayaan yang dinamakan Patuntung. Dan ajaran Patuntung ini
menjadi bagian yang tak terpisahkan dari Pasang ri Kajang.
Sebagaimana halnya kearifan
lokal yang terdapat pada masyarakat adat pada umumnya, Pasang memuat
berbagai ajaran leluhur yang substansinya adalah menuntun manusia untuk
berbuat baik, hidup jujur dan sederhana. Hal itu tampak dalam ajaran
yang terdapat dalam Pasang berikut ini :
Patuntung manuntungi, Manuntungi
kalambusanna na kamase-maseanna, Lambusu’, Gattang, Sa’bara nappiso’na,
Artinya :
Manusia yang telah menghayati dan
melaksanakan apa yang dituntutnya dikawasan adat (Ammatoa), yakni yang menuntut
kejujuran, kesabaran, ketegasan, kebersahajaan dan kepasrahan dalam hidupnya.
Kebudayaan Ammatoa memang sangat
lekat dengan pola hidup sederhana. Itupun berkorelasi dengan ajaran Pasang yang
mengamanatkan kebersahajaan. Dalam konsepsi adat Ammatoa, ada ungkapan
yang berbunyi “Anre kalumanynyang kalupepeang,Rie’ Kamase-masea” yang
berarti “ditempat ini (kawasan adat Ammatoa) tidak ada kemakmuran, yang ada
hanya kebersahajaan . Hal ini mencerminkan pandangan hidup orang Ammatoa
yang menganggap kehidupan ideal itu adalah kehidupan yang sederhana atau
‘cukup’, bukan kehidupan yang makmur. Makmur diartikan sebagai kehidupan
yang berkelebihan.
Pasang mengajarkan :
Angnganre na rie’, care-care na rie,
Pammalli juku na rie’, tan koko na galung rie, Balla situju-tuju.
Artinya :
Hidup yang cukup itu adalah bila
makanan ada, pakaian ada, pembeli lauk ada, sawah dan ladang ada dan rumah yang
sederhana saja,
(Hijjang, 2002).
Kebersahajaan hidup inilah yang
berpengaruh pada sistem pengelolaan lingkungan hidup mereka yang berada di
hutan kawasan adat Ammatoa.
Hutan sebagai Tana Toa
Secara garis besar, sistem
pengelolaan hutan oleh masyarakat Ammatoa berbasiskan pada zonasi lahan yang
terbagi dalam dua area, yakni rabbang seppang (batas sempit) dan rabbang
laura (batas luas). Rabbang seppang mencakup kawasan adat Ammatoa
yang didalamnya terdapat hutan adat yang tidak boleh dirusak atau diganggu.
Sementara rabbang laura melingkupi kawasan yang dapat digunakan sebagai
sumber penghidupan orang Ammatoa yang rata-rata hidup dari berladang menetap serta
beternak. Wilayah rabbang laura mencakup seluruh kawasan diluar kawasan
adat atau rabbang seppang.
Hutan yang termasuk dalam kawasan
adat Ammatoa memiliki luas 110 hektar (Sakka, 1999). Kawasan adat ini
dinamakan juga Ilalang Embaya, sementara wilayah diluar kawasan adat
bernama Ipantarang Embaya. Pengelolaan hutan yang dilakukan masyarakat
Ammatoa sangat terkait dengan sistem religi mereka, Patuntung, yang merupakan
salah satu aspek dari sistem nilai Pasang ri Kajang.
Dalam konsepsi Patuntung, hutan
adat Ammatoa dipercaya sebagai tempat turunnya manusia pertama (Tau-Manurung)
dibumi. Tempat tersebut juga diistilahkan sebagai Tana Toa atau tanah
tua. Tana Toa juga diyakini sebagai tempat naiknya Tau-Manurung ke
langit untuk mencapai kehidupan bersama Tuhan yang dalam konsepsi
teologis Patuntung bernama Tau Rie’ A’ra’na (TRA).
Sakralitas kawasan adat Ammatoa
inilah yang membuat masyarakat Ammatoa enggan merusak ekosistem yang berada
dalam kawasan tersebut. Mereka melarang anggota masyarakatnya untuk menebang
pohon, berburu satwa serta melakukan perbuatan lainnya yang dapat merusak
sistem ekologi dalam Ilalang Embaya.
Dalam Pasang diserukan :
Punna nitabbangngi kayua,
Nipappirangngangngi angngurangi bosi, Appatanre’tumbusu, napau turiolowa.
Artinya :
Kalau kayu ditebang, akan mengurangi
hujan dan menghilangkan sumber mata air.
Begitu menurut nenek moyang kita
Lihat juga pernyataan penasehat adat
Ammatoa (Galla Puto) berikut ini :
Anjo borongna iya kontaki bosiya,
Nasaba konre mae anre’ pangairang, iyaminjo borongnga selaku pangairang, nasaba
iya nakabattui bosi.
Artinya :
Hutan adalah yang mengontak hujan,
sebab disini tidak ada pengairan, maka hutan lah yang berfungsi sebagai
pengairan, karena hutanlah yang menyebabkan turunnya hujan.
Dalam hal ini terlihat adanya
paradigma ekologis yang maju dari agama Patuntung. Sebuah kesadaran akan
fungsi hidrologis dari hutan sebagai pengatur tata air bagi kebutuhan
hidup masyarakat Ammatoa. Hutan dipandang sebagai tumbusu atau sumber
mata air.
Indigenous knowledge seperti itulah yang tampaknya melandasi sistem kepercayaan
mereka tentang sakralitas hutan adat sebagai tempat awal dan akhir dari
Tau-Manurung. Kepercayaan yang sifatnya fungsional karena lahir dari
pemikiran masyarakat peladang yang hidup menyatu dengan hutan sebagai
tempat tinggal maupun sumber pangan mereka. Bila hutan itu hancur, maka hancur
pula kehidupan mereka. Oleh sebab itulah lahir agama Patuntung serta Pasang
ri Kajang sebagai suprastruktur kebudayaan Ammatoa untuk menjaga
kelestarian hutan adat sebagai sumber penghidupan mereka.
Kearifan lokal masyarakat adat
Ammatoa yang berlandaskan pada Pasang ri Kajang dengan Patuntung sebagai
sistem religinya telah memberikan ‘pelajaran’ bagi kita, bahwasanya
pengelolaan hutan atau lingkungan hidup sangat berpengaruh bagi kehidupan
manusia secara keseluruhan. Bila pengelolaan hutan dilakukan dengan menggunakan
logika kapital yang tujuannya adalah akumulasi modal, maka kehancuranlah yang
didapat. Bukan hanya kehancuran hutan itu sendiri, namun juga kehancuran
manusia berikut peradabannya. Sementara bila pengelolaan hutan didasari
oleh kesadaran yang tinggi akan kebersinambungan hidup manusia, maka kita akan
selamat. Sudah saatnya kapitalisme ‘buta’ yang menjadi landasan dari
logika kapital dibuang ke ‘tong sampah’ peradaban, karena terbukti menistakan
kemanusiaan selama ratusan tahun.
Kearifan Lokal
Kawasan Adat Ammatoa” bertempat di Desa Tana Toa, Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba Provinsi Sulawesi Selatan yang berada sekitar 250 km dari kota Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan. Menurut tempat mukimnya, suku Kajang terbagi dalam dua kelompok yaitu suku Kajang Luar Dalam dan Suku Kajang Dalam. Suku Kajang Dalam meliputi tujuh dusun di Desa Tana Toa. Pusat kegiatan komunitas suku Kajang Ammatoa berada di Suku Kajang Dalam tempatnya di dusun Benteng yang ditandai dengan kehadiran rumah Ammatoa dan rumah warga kawasan adat dengan bentuk rumah panggung yang tiangnya berjumlah 16 dan ditanam di bawah tanah dan dapurnya terletak di samping pintu masuk. Rumah dibangun dari sumber daya alam seperti pepohonan. Perbedaan mendasar antara rumah masyarakat adat dengan Ammatoa lainnya adalah :
Dinding dan lantai rumah masyarakat adat terbuat dari papan dan boleh menggunakan paku. Sedangkan dinding dan lantai rumah Ammatoa buat dari bambu (te’re), dan antara dinding satu dengan yang lainnya dihubungkan oleh tali serat alam yang terbuat dari akar - akar pohon dsb (tidak menggunakan paku). Dimana pipmpinan Adat dalam komunitas ini adalah "Ammatoa".
Kelestarian hutan di Kajang Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan tak lepas dari payung hukum adat yang selama ini dihormati dan dijunjung tinggi masyarakat adat Kajang yakni, “Pasang”. Bagaimana masyarakat adat kajang mengimplementasi ajaran Pasang kaitanya dengan pelestarian lingkungan hidup? Hal yang membuktikan bahwa setiap orang yang melakukan pelanggaran terhadap Pasang langsung mendapatkan sanksi yang berlaku selama masih hidup di dunia dan juga akan didapatkan di akhirat nantinya.
Kearifan masyarakat adat Kajang dalam mengelola sumber daya alamnya memang diartikulasikan melalui media - media tradisional seperti mitos, ritual, dan pesan - pesan leluhur, tetapi sesungguhnya mengandung pengetahuan ekologis, yaitu sistem pengetahuan mengenai fungsi hutan sebagai penyeimbang ekosistem. Bahkan uraian di atas memperlihatkan empat elemen kearifan lingkungan, yaitu sistem nilai (value system), pengetahuan (knowledge), teknologi (technology), dan lembaga adat (institution).
Masyarakat Kajang dalam mengelola sumber daya hutan tidak terlepas dari kepercayaannya terhadap ajaran pasang. Masyarakat Kajang memahami bahwa dunia yang diciptakan oleh Turie’ A’ra’na beserta isinya haruslah dijaga keseimbangannya, terutama hutan. Karenanya hutan harus dipelihara dengan baik dan mendapat perlakuan khusus bagi penghuninya serta tidak boleh merusaknya.
Salah satu pasal dari pesan tersebut berbunyi: “Anjo boronga anre nakkulle nipanraki. Punna nipanraki boronga, nupanraki kalennu” artinya (Hutan tidak boleh dirusak. Jika engkau merusaknya, maka sama halnya engkau merusak dirimu sendiri). Selain itu, kita juga bisa melihat pasal lain yang berbunyi: “Anjo natahang ri boronga karana pasang. Rettopi tanayya rettoi ada” artinya (Hutan bisa lestari karena dijaga oleh adat. Bila bumi hancur, maka hancur pula adat). Ammatoa selaku pemimpin adat membagi hutan menjadi 3 bagian, yaitu:
1. Borong Karamaka (Hutan Keramat), yaitu kawasan hutan yang terlarang untuk semua jenis kegiatan, terkecuali kegiatan atau acara - acara ritual. Tidak boleh ada penebangan, pengukuran luas, penanaman pohon, ataupun kunjungan selain pengecualian di atas, termasuk larangan mengganggu flora dan fauna yang terdapat di dalamnya. Adanya keyakinan bahwa hutan ini adalah tempat kediaman leluhur (Pammantanganna singkamma Tau Riolonta), menjadikan hutan ini begitu dilindungi oleh masyarakatnya. Hal ini diungkapkan secara jelas dalam sebuah Pasang, yaitu:
Kelestarian hutan di Kajang Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan tak lepas dari payung hukum adat yang selama ini dihormati dan dijunjung tinggi masyarakat adat Kajang yakni, “Pasang”. Bagaimana masyarakat adat kajang mengimplementasi ajaran Pasang kaitanya dengan pelestarian lingkungan hidup? Hal yang membuktikan bahwa setiap orang yang melakukan pelanggaran terhadap Pasang langsung mendapatkan sanksi yang berlaku selama masih hidup di dunia dan juga akan didapatkan di akhirat nantinya.
Kearifan masyarakat adat Kajang dalam mengelola sumber daya alamnya memang diartikulasikan melalui media - media tradisional seperti mitos, ritual, dan pesan - pesan leluhur, tetapi sesungguhnya mengandung pengetahuan ekologis, yaitu sistem pengetahuan mengenai fungsi hutan sebagai penyeimbang ekosistem. Bahkan uraian di atas memperlihatkan empat elemen kearifan lingkungan, yaitu sistem nilai (value system), pengetahuan (knowledge), teknologi (technology), dan lembaga adat (institution).
Masyarakat Kajang dalam mengelola sumber daya hutan tidak terlepas dari kepercayaannya terhadap ajaran pasang. Masyarakat Kajang memahami bahwa dunia yang diciptakan oleh Turie’ A’ra’na beserta isinya haruslah dijaga keseimbangannya, terutama hutan. Karenanya hutan harus dipelihara dengan baik dan mendapat perlakuan khusus bagi penghuninya serta tidak boleh merusaknya.
Salah satu pasal dari pesan tersebut berbunyi: “Anjo boronga anre nakkulle nipanraki. Punna nipanraki boronga, nupanraki kalennu” artinya (Hutan tidak boleh dirusak. Jika engkau merusaknya, maka sama halnya engkau merusak dirimu sendiri). Selain itu, kita juga bisa melihat pasal lain yang berbunyi: “Anjo natahang ri boronga karana pasang. Rettopi tanayya rettoi ada” artinya (Hutan bisa lestari karena dijaga oleh adat. Bila bumi hancur, maka hancur pula adat). Ammatoa selaku pemimpin adat membagi hutan menjadi 3 bagian, yaitu:
1. Borong Karamaka (Hutan Keramat), yaitu kawasan hutan yang terlarang untuk semua jenis kegiatan, terkecuali kegiatan atau acara - acara ritual. Tidak boleh ada penebangan, pengukuran luas, penanaman pohon, ataupun kunjungan selain pengecualian di atas, termasuk larangan mengganggu flora dan fauna yang terdapat di dalamnya. Adanya keyakinan bahwa hutan ini adalah tempat kediaman leluhur (Pammantanganna singkamma Tau Riolonta), menjadikan hutan ini begitu dilindungi oleh masyarakatnya. Hal ini diungkapkan secara jelas dalam sebuah Pasang, yaitu:
Talakullei nisambei kajua,
Iyato’ Minjo Kaju Timboa.
Talakullei Nitambai Nanikurangi Borong Karamaka.
Kasipalli Tauwa A’lamung - Lamung Ri Boronga,
Nasaba’ Se’re Wattu La Rie’ Tau Angngakui Bate Lamunna
Talakullei Nitambai Nanikurangi Borong Karamaka.
Kasipalli Tauwa A’lamung - Lamung Ri Boronga,
Nasaba’ Se’re Wattu La Rie’ Tau Angngakui Bate Lamunna
Artinya :
Tidak Bisa Diganti Kayunya,
Kayu Itu Saja Yang Tumbuh
Hutan Keramat Itu Tidak bisa ditambah atau dikurangi.
Orang dilarang menanam di dalam hutan
Sebab Suatu Waktu Akan Ada Orang Yang Mengakui Bekas Tanamannya.
Tidak Bisa Diganti Kayunya,
Kayu Itu Saja Yang Tumbuh
Hutan Keramat Itu Tidak bisa ditambah atau dikurangi.
Orang dilarang menanam di dalam hutan
Sebab Suatu Waktu Akan Ada Orang Yang Mengakui Bekas Tanamannya.
Hutan keramat ini adalah hutan primer yang tidak pernah diganggu oleh komunitas Amma Toa. Jenis pelanggaran berat dalam hutan keramat itu, antara lain:Ta’bang Kaju (menebang kayu), Rao Doang (mengambil udang), Tatta’ Uhe(mengambil rotan), dan Tunu Bani (membakar lebah). Ada dua jenis hutan adat (Borong Karama’) yang terdapat di dalam kawasan ini antara lain Borong Ilau’ dan Borong Iraja. Dan hanya orang - orang tertentu saja yang boleh memasuki kawasan hutan adat tersebut. Konon katanya, hutan tersebut dikelilingi mantra sakti. Oleh karena itu, barang siapa yang memasuki hutan tersebut dengan niat buruk maka dia akan mendapatkan ganjaran yang setimpal. Bahkan apabila pelakunya adalah warga adat Kajang Ammatoa sendiri, maka akan disidang dan diberi sanksi sesuai pelanggarannya. Bisa saja orang tersebut tidak diperbolehkan lagi untuk tinggal di kawasan adat Kajang Ammatoa.
Dan apabila terjadi pelanggaran di dalam hutan keramat, pelanggaran terhadap ketentuan adat ini akan dijatuhi sanksi adat, dalam bentuk pangkal cambuk atau denda uang dalam jumlah tertentu, sesuai dengan Ada’ Tanayya, sebuah sistem peradilan adat Kajang. Mereka juga memiliki lembaga adat yang disebut dengan Tau Limayya (organisasi yang beranggotakan lima orang), dipimpin oleh seseorang yang bergelar ammatowa, yang tugas utamanya mengatur penebangan pohon, pengambilan rotan, dan pemanenan lebah madu di hutan adat, serta penangkapan udang.
Pelaku akan dikenakan sanksi yang disebut Poko’ Ba’bala’. Poko’ Ba’bala’ atau sanksi atas pelanggaran berat merupakan sanksi yang tertinggi nilai dendanya, yaitu sampulonnua real (12 real) atau 24 ohang. Denda ini jika dirupiahkan setara dengan Rp. 1.200.000 ditambah dengan sehelai kain putih dan kayu yang diambil dari hutan keramat harus dikembalikan.
2. Borong Batasayya (Hutan Perbatasan) merupakan hutan yang diperbolehkan diambil kayunya sepanjang persediaan kayu masih ada dan dengan seizin dari Amma Toa selaku pemimpin adat. Jadi keputusan akhir bisa tidaknya masyarakat mengambil kayu di hutan ini tergantung dari Amma Toa. Kayu pun yang ada dalam hutan ini hanya diperbolehkan untuk membangun sarana umum, dan bagi komunitas Amma Toa yang tidak mampu membangun rumah. Selain dari tujuan itu, tidak akan diizinkan.
Hanya beberapa jenis kayu yang boleh ditebang, yaitu kayu Asa, Nyatoh dan Pangi. Jumlahnya yang diminta harus sesuai dengan kebutuhannya. Sehingga tidak jarang, kayu yang diminta akan dikurangi oleh Amma Toa. Kemudian ukuran kayunya pun ditentukan oleh Amma Toa sendiri.
Syarat yang paling utama adalah ketika ingin menebang pohon, maka pertama - tama orang yang bersangkutan wajib menanam pohon sebagai penggantinya. Kalau pohon itu sudah tumbuh dengan baik, maka penebangan pohon baru bisa dilakukan. Penebangan 1 jenis pohon, maka seseorang harus menanam 2 pohon yang sejenis di lokasi yang telah ditentukan oleh Amma Toa. Penebangan pohon itu memakai alat tradisional berupa kampak atau parang. Dan kayu yang habis ditebang harus dikeluarkan dari hutan dengan cara digotong atau dipanggul dan tidak boleh ditarik karena akan merusak tumbuhan lain yang berada di sekitarnya.
Pelanggaran di dalam kawasan hutan perbatasan ini, seperti menebang tanpa seizin Ammatoa atau menebang kayu lebih dari yang diperkenankan, akan dikenai sanksi. Sanksinya dikenal dengan istilah Tangnga Ba’bala’. Sanksi ini mendenda pelakunya sebesar Sangantuju real (8 real) atau 12 ohang, yang setara dengan Rp. 800.000,- ditambah dengan satu gulung kain putih. Selain itu, dikenal juga sanksi ringan (Cappa’ Ba’bala’), yang dikenakan atas pelanggaran ringan, seperti kelalaian yang menyebabkan kayu dalam kawasan hutan mengalami kerusakan/tumbang. Untuk pelanggaran ini dikenakan sanksi berupa denda sebesar Appa’ real (4 real) atau 8 ohang, setara dengan Rp. 400.000,- ditambah satu gulung kain putih.
Sanksi terakhir ini dapat juga dijatuhkan kepada orang yang menebang pohon dari kebun warga masyarakat Amma Toa, yang selanjutnya mengenai hal ini akan dijelaskan pada bagian di bawah ini.
3. Borong Luara’ (Hutan Rakyat) merupakan hutan yang bisa dikelola oleh masyarakat. Meskipun kebanyakan hutan jenis ini dikuasai oleh rakyat, aturan - aturan adat mengenai pengelolaan hutan di kawasan ini masih berlaku. Tidak diperbolehkan adanya kesewenang - wenangan memanfaatkan hutan rakyat ini.
Selain sanksi berupa denda, seperti yang telah dijelaskan di atas, juga terdapat sanksi berupa hukuman adat. Hukuman adat sangat mempengaruhi kelestarian hutan karena ia berupa sanksi sosial yang dianggap oleh komunitas Amma Toa lebih berat dari sanksi denda yang diterima. Sanksi sosial itu berupa pengucilan. Dan lebih menakutkan lagi karena pengucilan ini akan berlaku juga bagi seluruh keluarga sampai generasi ke tujuh (tujuh turunan). Namun sanksi ini merupakan bagian dari Poko’ Ba’bala’.
Selain kepercayaanya, faktor yang berpengaruh untuk menjaga keseimbangan sumberdaya hutan adalah utuhnya pandangan mereka terhadap asal mula leluhurnya bahwa manusia berkembang dimulai dari Amma Toa pertama sebagai Tomanurung dan dunia meluas dimulai dari hutan Tombolo (Tana Toa), dimana manusia pertama itu (Amma Toa) “turun” di hutan Tombolo. Itulah keyakinan mereka terhadap leluhurnya yang hingga saat ini masih melekat dipikiran dan hati sanubari warga masyarakat Kajang.
Pemahaman masyarakat Ammatoa terhadap sumberdaya hutan sendiri dilandasi oleh prinsip hidup tallasa kamase - masea (kesederhanaan) dan ajaran pasang sebagai suatu nilai yang dipegang erat. Masyrakat Ammatoa meyakini, merawat hutan merupakan bagian dari ajaran pasang, karena hutan memiliki kekuatan gaib yang dapat mensejahterakan, sekaligus mendatangkan bencana manakala tidak dijaga kelestariannya. Untuk itu mereka senantiasa memelihara hutan agar terhindar dari mara bahaya yang dapat mengancam kehidupan mereka.
Mereka yakin dan percaya bahwa di sekitarnya terhadap sesuatu kekuatan “supernatural” yang bagi manusia tidak mampu menghadapinya. Untuk itu mereka senantiasa mengadakan upacara-upacara di hutan agar terhindar dari mara bahaya yang dapat mengancam kehidupannya. Dengan modal Pasang tersebut, masyarakat adat kajang menjadi bukti betapa kuatnya kearifan lokal masyarakat adat Kajang dalam pengelolaan hutan. ”Dengan Pasang inilah semua bentuk pemanfaatan dan pengelolaan hutan diatur dengan jelas termasuk menjadi alat pengawasan serta kontrol atas semua aktivitas yang berhubungan dengan kehutanan.
Persepsi masyarakat Kajang terhadap alam, bahwa di alam ini ada kekuatan-kekuatan dan kekuatan - kekuatan itu ada pada benda - benda, pohon besar dan lain-lain. Kekuatan - kekuatan alam itu ada pada gejala atau peristiwa alam yang digerakkan oleh dewa-dewa seperti kekuatan - kekuatan yang ada di hutan.
Selain ajaran Pasang, masyarakat yang kesehariannya serba berpakian hitam ini, juga memiliki aturan adat yang disebut Patuntung. Patuntung adalah sebuah aturan adat yang berhubungan dengan upaya - upaya untuk mempertahankan pengelolaan hutan yang lestari. Hal tersebut tidak terlepas dari keyakinan masyarakat adat Kajang bahwa hutan adalah merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dalam melangsungkan kehidupan mereka. Terbukanya akses dengan masyarakat luar, Patuntung menjadi sangat penting dalam menjaga kelestarian ekosistem dan mempertahankan fungsi - fungsi hutan adat Kajang karena disamping pengaturannya yang terkait dengan pengelolaan hutan, Patuntung juga memiliki nilai ritual. “Oleh karena itu, perlakuan masyarakat adat Kajang terhadap hutan tidak semata - mata hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari - hari, tapi untuk kepentingan menjaga keseimbangan ekosistem dan kepentingan ritualnya.
Pengaruh kehidupan modern, bagi masyarakat adat Kajang juga memiliki pengetahuan bahwa kayu atau hutan adalah memiliki nilai ekonomi yang sangat tinggi. Namun mereka masih sangat menghormati dan menjunjung tinggi peranan hutan sebagai hal yang sangat sakral. Karena itu prilaku keseharian masyarakat adat Kajang masih diwarnai oleh tindakan yang mementingkan keseimbangan antara spritual dan ekonomi.
Dalam hutan adat, warga adat dilarang menanam dan memotong kayu di kawasan hutan adat. Karena diragukan pada suatu saat nanti mereka menebang pohon karena pohon itu adalah pohon yang ditanamnya di masa lalu.
Masyarakat Ammatoa dalam menjaga hubungannya dengan sumber daya alam terletak pada pandangannya yang tidak dibenarkan untuk mengeksploitasi sumber daya alam secara berlebihan, seperti mengelolah tanah lebih dari satu kali dalam setahun, untuk memperoleh hasil yang lebih banyak. Etos kerja bagi masyarakat Ammatoa tidak lebih hanya bermotif "menjaga" yakni mengumpulkan bahan makanan sebanyak mungkin agar dapat dimanfaatkan pada saat tertentu seperti kegiatan - kegiatan upacara dengan tidak menguras sumber daya alam.
Butir - butir pasang yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya hutan yang dipegang teguh masyarakat adat Ammatoa : Pasang satu : "Jagai Linoa Lolong Bonena. Kammayya Tompa Langika. Siagang Rupa Taua. Siagang Boronga". Dalam bahasa Indonesia berarti (jagalah dunia beserta isinya, begitu juga langit, manusia dan hutan).
Masyarakat Ammatoa dalam menjaga hubungannya dengan sumber daya alam terletak pada pandangannya yang tidak dibenarkan untuk mengeksploitasi sumber daya alam secara berlebihan, seperti mengelolah tanah lebih dari satu kali dalam setahun, untuk memperoleh hasil yang lebih banyak. Etos kerja bagi masyarakat Ammatoa tidak lebih hanya bermotif "menjaga" yakni mengumpulkan bahan makanan sebanyak mungkin agar dapat dimanfaatkan pada saat tertentu seperti kegiatan - kegiatan upacara dengan tidak menguras sumber daya alam.
Butir - butir pasang yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya hutan yang dipegang teguh masyarakat adat Ammatoa : Pasang satu : "Jagai Linoa Lolong Bonena. Kammayya Tompa Langika. Siagang Rupa Taua. Siagang Boronga". Dalam bahasa Indonesia berarti (jagalah dunia beserta isinya, begitu juga langit, manusia dan hutan).
Oleh mereka ungkapan ini dipercaya sebagai pesan pertama dari Turie' A'ra'na (Tuhan YME) kepada Ammatoa (Tau Marioloa), yang menyatakan bahwa ekositem dunia (Lino) adalah sumber kehidupan yang menjadi jaminan keberadaan umat manusia di muka bumi. Selanjutnya ada pasang lain yang mengingatkan akan ketergantungan terhadap sumber daya hutan sebagai sumber hujan yang demikian besar, sehingga upaya pelestarian adalah amanah yang harus dijalankan oleh seluruh warga masyarakat Ammatoa.
Pasang ini mengingatkan bahwa kalau terjadi penebangan kayu di hutan secara terus menerus tanpa ada upaya pemulihan, maka akan mengurangi hujan dan menghilangkan sumber mata air. Oleh karena itu, menurut pasang adalah tidak dibenarkan dan apabila terjadi penebangan maka diidentifikasi sebagai melanggar pasang. Pasang ini secara administratif dijalankan oleh Galla Puto (lembaga yang khusus menangani hutan.
Sedangkan bagi masyarakat yang membutuhkan kayu di hutan, pertama harus disampaikan kepada Galla Puto. Kemudian, Galla Puto akan menyampaikan kepada Ammatoa. Setelah Ammatoa menganalisis kebutuhan masyarakat, maka selanjutnya diserahkan kepada Galla Lombo'. Galla Lombo' bersama Galla Puto memeriksa ketersediaan kayu di hutan batasannya (Boronga Batasayya). Pemanfaatan kayu hanya sebatas membangun rumah, bukan untuk diperdagangkan. Sebelum menebang satu pohon diwajibkan menanam pohon minimal dua pohon.
Pesan - pesan Suci Dari suci yang dipercaya masyarakat adat Tanah Toa Kajang, dan diyakini berasal dari Tau Rie’a A’ra’na (Pencipta Segala Sesuatu, Yang Maha Kekal dan Maha Mengetahui), yang diturunkan kepada manusia pertama yang disebut Ammatoa
Naparanakkang Juku
Napaloliko Raung Kuju
Nahambangiko Allo
Nabatuiko Ere Bosi
Napalolo Rang Ere Tua
Nakajariangko Tinanang
Pesan-pesan itu memiliki arti :
Ikan bersibak
Pohon - pohon bersemi
Matahari bersinar
Hujan turun
Air tuak menetes
Segala tanaman menjadi tumbuh
Naparanakkang Juku
Napaloliko Raung Kuju
Nahambangiko Allo
Nabatuiko Ere Bosi
Napalolo Rang Ere Tua
Nakajariangko Tinanang
Pesan-pesan itu memiliki arti :
Ikan bersibak
Pohon - pohon bersemi
Matahari bersinar
Hujan turun
Air tuak menetes
Segala tanaman menjadi tumbuh
Masyarakat yang memiliki pesan-pesan suci untuk berbaur dengan alam dan menghargai alam. Masyarakat adat yang di banyak bagian negara ini sering terjepit dan menjadi anak tiri pertiwi. Inilah potret masyarakat kita, yang tentunya harus dihargai, bukan untuk dirusak.
Kearifan lokal masyarakat Kajang Ammatoa dalam mengelola hutan sangatlah baik. Tetap terpatri di dalam jiwa mereka untuk selalu menjaga dan melestarikan hutan karena hutan merupakan kekayaan alam yang dimilikinya dan merupakan pusat kebudayaan dimana adat Kajang Ammatoa berada. Tidak ada hasil hutan yang boleh diganggu karena di dalam hutan terdapat kekayaan yang merupakan penjaga berupa :
1. Rotan
2. Kayu
3. Udang
4. Lebah
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !