TENTANG BUDAYA DI KAJANG
Jenis - Jenis dan Sejarah Kebudayaan (Adat Istiadat)
Komunitas adat Ammatoa memiliki
hirarki structural dalam mengatur tata kelola acara adat maupun system
pemerintahan. Komunitas adat percaya bahwa Ammatoa merupakan wakil dari Bohe
Amma atau Tu’re’a’ra’na (Yang Satu atau Tuhan) di dunia. Manusia
pertama dalam adat Ammatoa juga diyakini berasal dari Tana Toa. Konon
kabarnya, sewaktu beliau masih hidup selalu dilindungi oleh awan apabila
berjalan di bawah terik matahari dan beliau selalu terlihat awet muda.
Sedangkan sewaktu sepeninggalnya, beliau tidak dikuburkan karena beliau lenyap.
Ammatoa
pengatur dan penentu kebijakan adat maupun pemerintahan, sebab mereka percaya
bahwa Tana Toa adalah tanah tertua yang menjadi awal dari keberadaan dunia.
Mitos kajang menyebutkan bahwa awalnya di dunia ini hanya ada satu daratan yang
mereka namakan Tombolo. Tanah ini kemudian mengefeki munculnya daratan lain
yang membentuk dunia. (*Aswan, S.Pd).
Masyarakat adat Ammatoa juga meyakini bahwa awal
kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan berasal dari Tana Toa. Berdasarkan
pembagian territorial, orang-orang kajang yang keluar dari kawasan adatdan
memimpin suatu wilayang masing-masing. Teritorialisasi dan kepercayaan akan
pengaruh Ammatoa terhadap eksistensi tersebut lantas dituangkan dalam
suatu sebutan : Ammatoa ri Kajang, sombayya ri Gowa, Pajung ri Luwu,
Mangkawu ri Bone. Ammatoa merupakan representasi pemimpin tertinggi dari
segi spiritualitas dan pemerintahan dari kerajaan-kerajaan besar yang pernah
ada tersebut.
Pola perilaku masyarakat dan masuknya artefak materil maupun
subtil dalam kawasan adat Ammatoa tentunya bertentangan dengan pola
hidup Kamase-mase yang dianut dan dijadikan rujukan dalam menentukan
tindakan hidup masyarakat adat Kajang. Walaupun masih banyak masyarakat adat
Kajang yang memegang teguh pendirian kajang, namun pengaruh modernitas terlalu
sulit untuk dikalahkan oleh spiritualitas local dalam kosmologi Kajang. Kamase-
mase adalah representasi idielogis dari kesadaran masyarakat adat untuk
senantiasa hidup bersahaja.
Adapun artefak modern dalam lingkungan keluarga masih
sebagian kecil dari hasil negosiasi kebudayaan antara adat lokal Kajang dan
modernitas. Pengaruh modernitas akan semakin kental sejalan dengan kebutuhan
masyarakat yang semakin kompleks. Kamase - masea secara ideal dalam
kosmologi Kajang adalah keniscayaan sebagaiman diutaraka Puto Palasa selaku
pimpinan komunitas adat. Bahkan jika ada masyarakat yang tidak ingin patuh pada
aturan tersebut dipersilahkan untuk keluar dari kawasan adat. Sebab hanya
manusia dengan prinsip Tu Kamase - masea pada pemikiran dan
tindakannyalah yang dapat memasuki dan menetap dalam kawasan adat.
Ammatoa
selaku pemimpin adat serta beberapa pemangku adat lainnya juga mengakui
mengenai fenomena pergeseran pelaksanaan aturan adat yang telah dianut selama
berates-ratus tahun. Pada suatu sesi Focus Group Discussion (FGD) yang
dilaksanakan peneliti dengan Ammatoa dan beberapa pemangku adat di dusun
Pangi memunculkan suatu fakta bahwa ada ambivalensi argumentasi antara petinggi
adat dengan fakta lapangan yang ditemukan. Petinggi adat di satu sisi tetap
bersikukuh bahwa aturan adat masih dijalankan masyarakat Ammatoa, tetapi
fakta lapangan menunjukkan bahwa aturan adat utamanya persoalan pakaian mulai
diabaikan.
Adat adalah suatu yang dikenal, diketahui, serta menjadi
kebiasaan dalam masyarakat berupa kata-kata atau macam - macam. Jadi adat dapat
diartikan sebagai sesuatu yang telah menjadi kebiasaan terus menerus berlaku
dalam masyarakat dan menjadi kebiasaan masyarakat pada umumnya. Sekelompok ahli
menyatakan bahwa kebudayaan sebagai keseluruhan system pengetahuan yang menjadi
landasan, pedoman atau acuan terwujudnya perilaku manusia. Budaya dapat
diperoleh melalui proses belajar dalam masyarakat dan lingkungan hidup manusia.
Yang menjadi landasan atau pedoman masyarakat Desa Tana Toa
sehingga tercipta perilaku yang baik adalah Kitta’ (Kitab) dan Pasang (Pesan).
Distorsi terhadap aktualisasi aturan adat tidak lepas dari semakin kompleksnya
dinamika hukum yang menelikung kedalam norma - norma adat. Padahal Pasang
sebagai abstraksi sebagai konsep kosmologi yang dianggap ideal dan
dimistifikasi oleh komunitas Ammatoa memiliki posisi yang lebih tingi
disbanding aturan hokum tertulis. Pasang Kajang tidak dituliskan,
melainkan dihafalkan atau dilisankan dan dipahami sebagai bentuk transendesi
nirmateril yang hakiki oleh komunitas adat Ammatoa. Pasang
melahirkan aturan normatif yang setelah diturunkan menjadi Lontara’ atau
Sure’ yang dituliskan. Baik Lontara maupun Sure’
telah ditransformasi menjadi norma hukum yang kadarnya lebih rendah dari Pasang.
Untuk konteks sekarang, aturan normatif sebagaimana dituliskan dalam Lontara’
sepadan posisinya dengan undang-undang. Dengan demikin secara logika, Pasang
sebenarnnya berposisi lebih tinggi dalam aturan adat.
Mengenai soal pemilihan warna dalam adat Ammatoa,
terdapat beberapa klasifikasi. Warna hitam dimaknai sebagai warna paling tua
dan menyimbolkan perilaku Kamase-mase. Bagi manusia Kajang, hitam
merupakan sublimasi transendental yang merepresentasikan keidealan dan
kesederhanaan. Simbolisasi sarung dengan kombinasi celana pendek berwarna putih
pakaian hitam serta Passapu (penutup kepala) merupakan pakaian adat yang
dimistifikasi dalam kawasan adat. Adat kajang juga membagi warna berdasarkan
territorial kerajaan yang pernah ada di Sulawesi Selatan, yakni : warna putih
untuk kerajaan Gowa, merah untuk kerajaan Bone, hijau untuk kerajaan Luwu dan
biru untuk kerajaan Wajo.
Bagi sebagian besar pemuda dalam masyarakat adat Ammatoa,
kamese - masea hanya merupakan aturan adat yang diperintahkan Ammatoa
sebagai pemimpin spiritual. Lantaran sudah menjadi aruran maka setiap
masyarakat wajib untuk menjalankan. Namun jika ditelusuri lebih jauh pada
persoalan substansi kamase - masea sehingga menjadi aturan tidak
dipahami. Interpretasi atas kamase - masea hanya seputar anatomi
materilnya, dipahami sebagai normatifitas yang bila dilangar akan dikenai
hukuman. Padahal prinsip kamase - masea mengatur segala totalitas pola
hidup disamping pemahaman patuntung yang mengatur norma spiritualitas.
Persoalan tersebut lebih disebabkan transformasi ilmu kepada pemuda yang kurang
maksimal, disamping aktivitas mereka yang harus keluar masuk kawasan adat untuk
mencari nafkah. Bahkan, pemuda sendirilah yang membuat arus modernitas menjadi
intens masuk ke kawasan adat Ammatoa dengan membawa berbagai perangkat
dari luar kawasan. Hal ini diakui pemuka adat Ammatoa, Galla Puto
(saat ini dijabat Bapak Amir Bolong yang tingal di Dusun Sobbu) membenarkan
argument - argumen serupa yang diutarakan responden dari masyarakat serta
kepala Dusun Pangi.
Integrasi ilmu berupa Pasang Kajang pada kaum muda
menjadi persoalan tersendiri yang cukup mempengaruhi eksistensi adat Kajang di
masa mendatang. Pasang telah dianggap sebagai elemen dasar (basic
elementer) yang membentuk adat Ammatoa. Disamping persoalan iti juga
terdapat persoalan transformasi ilmu bagi kaum perempuan dalam hal menenun
sarung. Kerajinan menenun sarung Kajang sudah semakin melemah dan mendekati
kepunahan. Kebiasaan menenun sudah menjadi cirri khas perempuan dalam adat Ammatoa
yang menandai kedewasaan dan kesiapan dalam kehidupan berkeluarga. Berdasarkan
hasil penelitian di lapangan, masyarakat yang masih menenun adalah generasi tua
dan mereka yang sudah berkeluarga dengan kisaran umur antara 30 tahun ke atas.
Bahkan sejumlah masyarakat menegaskan bahwa kerajinan menenun hanya dilakukan
oleh sejumlah kecil sejawatnya. Persoalan tersebut lebih disebabkan oleh
semakin banyak perempuan yang menempuh pendidikan formal dan mengabaikan alat
tenunan.
Idealnya,dalam kacamata adat Kajang bahwa kaum perempuan
mesti mengetahui cara menenun sarung dan kaum lelaki mesti mengetahui cara
bercocok tanam untuk menandai bahwa mereka telah dewasa dan siap untuk
menjalankan kehidupan secara mandiri. Dengan kata lain, seorang perempuan
Kajang baru dapat dikatakan dewasa ketika mampu menenun. Aktifitas tersebut
merupakan salah satu tanda kamase - masea yang dijadikan prinsip bagi
masyarakat Kajang. Namun sekarang, manuia Kajang bahkan dapat membeli pakaian
atau sarung hitam secara instan di pasar-pasar tradisional di Desa Tana Toa
atau yang bersebelahan dengan desa tersebut.
Beberapa poin persoalan sebagaimana telah disebutkan di
atas, bahwa aktualisasi prinsip kamase - masea manusia Kajang telah
bernegosiasi dengan tawaran-tawaran modernitas. Disadari atau tidak, manuia
Kajang telah mulai meninggalkan resolusi transcendental pasang.
Kesederhanaan dan hidup bersahaja (kamase - masea) merupakan konsepsi
dan prinsip hidup yang penting jika dipahami secara subtansif. Ajaran adat
Kajang mengajarkan melalui prinsip kamase - mase tentang kesederhanaan
dan keseimbangan. Alasan utama mereka menolak modernisasi karena dapat merusak
keseimbangan alam yang menjadi tumpuan utama manisia di dunia.
Bagi masyarakat Kajang, alam adalah entitas penting yang
membuat dunia tetap seimbang. Untuk menjaga keseimbangan alam, maka perlu untuk
membatasi diri dalam memenuhi kebutuhan dari alam. Selain untuk hidup, alam
juga dihormati sebagaisublimasi yang menjaga manusia Kajang dari segala bentuk
ancaman ghaib. Kamase - masea mengajarkan manusia Kajang untuk hidup
seadanya dan bertindak seperlunya. Kemiskinan di dunia bagi mereka akan
mendapatkan ganjaran kekayaan di akhirat kelak. Alam perlu dijaga agar tetap
menjaga keseimbangan kosmos bumi. Modernitas bagi manusia Kajang hanya akan
mendatangkan bencana dan musibah bagi umat manusia.
Persoalan pemahaman adat pada diri individu - individu dalam
komunitas yang sudah bernegosiasi dengan modernitas tentunya menjadi tantangan
bagi eksistensi dan keberlangsungan pola hidup Kamase - masea adat
Kajang. Satu - satunya artefak utama yang belum masuk dan jika kehadirannya
mulai Nampak dalam komunitas adat maka akan menghancurkan seluruh tatanan adat Ammatoa
adalah listrik. Jika listrik sudah masuk ke dalam dusun adat, bersamaan dengan
kehadirannya prinsip Kamase - masea yang dimiliki kebudayaan Ammatoa
hanya akan menyisahkan catatan antropologis.
Persoalan kedua yang menjadi titik negosiasi kebudayaan adat
Kajang adalah relasi social yang berimplikasi pada perilaku politik masyarakat
Kajang. Implikasi dari perkembangan model relasi sosial politik modernitas
adalah dualisme kepemimpinan Amaatoa. Persoalan ini ambivalen dengan
konsepsi Tu Kamase - masea yang mengedepankan keharmonisan,
kesederhanaan dan kehidupan yang selaras. Namun dualism kepemimpinan yang menimpa
komunitas adat Ammatoa telah menimbulkan perpecahan dalam masyarakat.
Hal ini merupakan implikasi dari pemilihan Ammatoa
yang menyisahkan permasalahan besar. Di satu sisi sebagian masyarakat mengakui Puto
Palasa sebagai Ammatoa, sementara di sisi lain sebagian di antaranya
mengakui Puto Bekkong sebagai Ammatoanya. Dan setelah
mengalami konfrontasi panjang serta upaya rekonsiliasi yang diwadahi langsung
pemerintah Kabupaten Bulukumba, diputuskan secara hukum bahwa Puto Palasa
adalah Ammatoa yang sah. Meskipun demikian bukan berarti permasalahan
selesai dengan rekonsiliasi yang diinisiasi oleh pemerintah kabupaten tersebut.
Jusrtru permasalahannya semakin kompleks karena masyarakat yang mengakui Puto
bekkong sebagai Ammatoa tetap bersikukuh pada pendiriannya. Pada
akhirnya perpecahan tetap terjadi dan persoalan otoritas dikembalikan kepada
maing - masing individu.
Sebagaimana dikatakan sebelumnya bahwa persoalan dualism
tersebut berefek pada disharmonisasi relasi antar masyarakat dalam kawasan
adat. Amanah Pasang yang disebutkan untuk senantiasa hidup berdampingan,
bergotong royong dan saling membantu tampak terabaikan dengan dualime Ammatoa
tersebut. Prinsip Kamase - masea yang menegaskan dan mengharuskan
komunitas adat untuk mengedepankan kesederhanaan maupun kepentingan komunitas
adat demi menjalankan aturan adat menemui titik - titik kontradiksi.
Di dalam kehidupan beradat, seringkali terjadi kesalah
pahaman di antara warga adat itu sendiri. Untuk mengadili orang yang bersalah,
maka dilakukan ritual-ritual berupa bakar Passau. Dengan jampi-jampi Ammatoa
menyerahkan segala sesuatunya kepada Turie’a A’ra’na (Tuhan yang mereka
yakni/ Alah SWT) untuk mengadili orang tersebut. Apabila telah dilakukan
pengadilan dan orang yang bersalah tidak memberikan pengakuan, maka orang
tersebut akan menerima ganjaran berupa musibah kepadanya atau kepada
keluarganya dalam waktu dekat.
Di kawasan adat Ammatoa, terdapat sebuah tanah adat
yang berupa sawah yang sering disebut sawah adat atau tanah bengkok. Sawah adat
ini diberikan kepada Ammatoa untuk dikelolah dan apabila Ammatoa
berganti maka sawaha adat ini dipindahtangankan pula kepada Ammatoa yang
baru. Sawah adat ini hanya dapat ditanami pada satu musim saja. Karena Ammatoa
tidak memakan hasil panen di luar dari hasil panen musim yang ditentukan.
Kawasan adat Ammatoa harus dijaga karena kapan
kawasan tersebut rusak, maka seluruh dunia akan rusak karena mereka meyakini
bahwa kawasan adat tersebut merupakan Possi Tana (pusat bumi). Sedangkan
pada kenyataannya, Possi Tana sendiri berada di luar kawasan adat Ammatoa.
Possi Tana merupakan tempat pelantikan Ammatoa beserta jajarannya
oleh Anrong. Dan Possi Tana merupakan kawasan adat yang keramat.
Di sekitar tempat tersebut terdapat banyak sesajen yang merupakan bentuk permintaan
warga di sana kepada Turie’a A’ra’na.
Lebih utama, bahwa modernitas yang selain merusak alam juga
dapat merusak moral manusia Kajang. Modernitas bagi mereka hanya akan membuat
manusia jauh dari norma - norma sosial, lepas dari kolektivitas dan mencabut
akar manusia. Modernitas dipahami sebagai kemerosotan, sementara kekolotan yang
dilakukan manusia Kajang adalah pilihan hidup yang menandai kemajuan spiritual.
Akan tetapi kemampuan modernitas dengan semangat individualism serta berbagai
kemudaha dalam mengakses berbagai kebutuhan hidup secara instan maupun
menelikung jauh ke dalam entitas adat Kajang, komunitas Ammatoa.
Modernitas merupakan perangkat ideologis yang sulit ditolak
oleh berbagai etnitas kebudayaan mistis manapun, termasuk adat Ammatoa
Kajang. Walaupun manusia Kajang mencobamenghindarkan diri (akling) dari
segala hegemonis modernitas, namun upaya yang dilakukan tetap mengalami
hambatan dan tantangan. Hambatan dan tantangan tersebut merupakan ancaman
eksistensial bagi generasi muda yang tinggal di dalam komunitas adat. Hal ini
lebih disebabkan pengaruh arus luar jyang didapatkan melalui berbagai variabel
yang di antaranya pendidikan, persentuhan dengan masyarakat perbatasan desa,
pendatang dan masyarakat adat yang bekerja di luar kawasan adat.
Peninggalan kebudayaan oleh para leluhur yang sangat mereka
jaga dan kemudian mereka lestarikan yaitu kesenian dan alat industri rumah
tangga berupa alat tenun (Pattannungang) dan alat pertanian
tradisiaonal. Adapun kesenian tersebut antara lain :
a.
Tari Pa’bitte Passapu : untuk acara
kegembiraan seperti acara pernikahan, penjemputan tamu, dll.
Tari Pa’bitte Passapu ditampilkan pada acara-acara adat,
acara penjemputan tamu yang dihormati. Tarian ini sering ditampilkan di luar
kawasan adat dan diberikan imbalan sesuai kemampuan orang yang mengundang para
penari.
Komposisi Tari Pa’bitte yaitu sebagai berikut :
1.
Passisengang (perkenalan)
2.
Appasilele (pemanasan ayam aduan)
3.
Assahung (penyabung ayam) : mengasah taji
lalu menyabung
4.
Appasicoco’ (mencocokkan pada ayam mana yang
menang dan kalah)
5.
Sijallo (perkelahian antara dua kelompok
penyabung)
6.
Sibotto’ (saling menikam)
7.
Sibajiki (berdamai)
Jumlah penari terdiri atas 8 orang pria. Mereka bernyanyi
sambil menari. Pemain gendang 2 orang, serta 1 orang pembina dan pemimpin group
tari.
Kostum penari berupa jas tutup, sarung, celana pokki’ dan
passapu yang masing-masing berwarna hitam.
b.
Seni Suara berupa nyanyian (Kelong)
:
Kelong
diiringi gendang dan dinyanyikan dalam rangkaian tari Pa’bitte Passapu untuk
acara kegembiraan.
c.
Seni Teater :
Menggambarkan
sosok Ammatoa dan pendampingnya.
d.
Seni Drama :
Anggaru.
e.
Seni Musik :
Menggunakan
alat berupa suling (Basing).
Kegiatan menenun dilakoni oleh kaum perempuan. Kaum
perempuan harus pandai membuat sarung hitam (Tope) dan Passapu yang
digunakan sehari-hari. Alat pertanian yang menjadi peninggalan leluhur mereka
yaitu bersifat tradisional, misalnya parang, cangkul, linggis dll. (*Dinas
Parawisata dan Kebudayaan Pemkab. Bululkumba).
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !