Belajar Menjadi
Manusia
“Tugas manusia adalah menjadi manusia.” (Multatuli)
Manusia, sebagaimana makhluk lainnya, adalah cermin Tuhan di dunia. Dalam
hadis qudsi disebutkan bahwa Dia adalah khazanah tersembunyi, yang karena ingin
dikenal kemudian menciptakan makhluk. Tentu maknanya bukan pertanda kebutuhan
Tuhan akan makhluk-Nya. Sebaliknya, penciptaan adalah karunia terbesar yang
dengannya makhluk “menjadi eksis”.
Kejadian manusia adalah simbol praktis kasih sayang Tuhan. Karena kasih
sayang-Nya, manusia yang awalnya tidak ada menjadi bernilai. Semuanya
bergantung penuh kepada Tuhan, mustahil lepas dari-Nya, sampai kapan pun.
Bentuk paling utama pengungkapan rasa syukur kita adalah menyesuaikan
seluruh perilaku kita dengan apa-apa yang telah digariskan-Nya. Dalam
kefitrian, kita terbimbing untuk melaksanakan kasih sayang itu adalah dengan
menyebarkan nilai-nilai kemanusiaan kepada sesama manusia dan seluruh alam.
Sesungguhnya, tidak ada yang luar biasa ketika kita harus mencintai
sesama, membela kaum tertindas, memelihara fakir miskin dan menentang segala
bentuk kezaliman. Sebab manusia itu cermin Tuhan.
Sayang, setelah eksis, manusia merasa independen, untuk kemudian berlaku
seperti kacang lupa pada kulitnya.
Karena menganggap diri sebagai pusat kosmos, mulailah kita berlaku
sombong dan merendahkan makhluk lainnya. Baik buruk sebuah perilaku dinilai
melulu dari perspektif subjektif kita. Kalau kita berkuasa, kebenaran adalah
milik kita dan menentangnya adalah kesalahan. Kalau dibawah, demi menjaga kedudukan,
kita menjilat penguasa. Sambil terus menginjak yang di bawah.
Maka kita tidak peduli dengan jerit tangis orang yang lebih rendah dari
kita. Kita tidak peduli dengan kejahatan penguasa. Kalau kita senang, itu
berasal “murni usaha kita”; kalau orang lain susah, itu “memang nasibnya”. Saat
kita susah dan menderita, Tuhan hadir sebagai kambing hitam. Di saat kita
bahagia dan merasa aman, Tuhan kita letakkan begitu saja. Entah di mana.
Pembenaran selalu ada mengiringi setiap laku. Sebab kita tidak mau disalahkan.
Kejahatan yang kita lakukan terhadap sesama dianggap dapat dicuci dengan
sekadar sedekah dan beberapa ritual.
Seringkali kesalehan ritual mengunci mati rasa kita. Setelah terlaksana,
segala tanggung jawab selesai. Tuhan dianggap sudah puas melihat segala laku
ibadah kita. Padahal reritualan yang kita jalankan adalah bagian dari
rutinitas. Setelah seluruh tenaga dan konsentrasi habis untuk memperkuat posisi
keduniawian kita. Kita selalu berkonsentrasi dengan pekerjaan dunia kita. Dan
konsentrasi kita terlalu sering buyar dengan hanya ibadah beberapa menit.
Pada saat yang sama kita tidak ragu untuk berbuat maksiat dan kezaliman.
Kita menganggap itu bukan wilayah Tuhan. Atau kita punya pembenaran lain atas
nama Tuhan. “Manusia itu adalah tempatnya lalai dan dosa”, demikian sebuah ayat
suci. Dan kita selalu mentolerir perbuatan dengan memelintir ayat suci ini.
Maka kita tidak ragu untuk menjual diri dan terus korupsi. Kita tidak
malu memperturutkan nafsu berkuasa kita, meskipun mengorbankan rakyat. Kita
tidak takut untuk mempermainkan ayat-ayat Tuhan.
Kita memang sudah sakit jiwa.
***
Jika waktu kita tertutup untuk kembali kepada Tuhan, kita akan tenggelam
dalam kerusakan dan kelalaian.
Sesungguhnya, langkah pertama adalah senantiasa sadar dan bangkit dari
kesadaran. Akan tetapi, hingga saat ini, kita masih tidur nyenyak. Mata kita
terbuka, tetapi hati kita terlena dalam tidur yang berkepanjangan. Sekiranya
bukan sebab banyaknya melakukan dosa, niscaya tidak demikianlah akibatnya. Kita
tidak berpikir bahwa semua benda yang maujud ini akan kembali dan dihisab.
Segala sesuatu yang terbatas pasti berubah dan akan mengalami kehancuran.
Tidak ada kelonggaran di sisi Allah. Di antara kebahagiaan manusia adalah
bahwa ia tidak diuji dengan penyakit yang tidak dirasakannya. Sakit yang
diderita tubuh mendorong kita untuk berobat ke dokter. Namun, penyakit yang
tidak disertai rasa sakit lebih berbahaya ketimbang sakit yang langsung
terasakan. Penyakit-penyakit hati atau jiwa hampir bersifat seperti ini.
Kelalaian, keangkuhan dan setiap maksiat yang merusak hati dan ruh tidak
terasakan sakitnya oleh tubuh. Padahal penyakit ini lebih parah. Malah kadang
kita lebih menikmatinya.
Cinta dunia dan cinta diri adalah sumber asasi setiap dosa, pokok setiap
kejahatan, pintu setiap malapetaka, lubang setiap fitnah dan penyeru setiap
kedurjanaan yang dirasakan oleh manusia dengan perasaan nyaman dan enak. Jika
penderita penyakit diberitahukan bahwa sebenarnya ia sakit, niscaya ia akan
membantahnya.
Apabila seseorang tidak pernah mendidik dirinya dan tidak luput dalam
dirinya kecenderungan duniawi, maka dia akan merasa takut meninggalkan dunia.
Hatinya penuh dengan dendam terhadap Allah dan penolong-penolong agama-Nya. Dan
apakah manusia semacam ini merupakan sebaik-baik makhluk, ataukah seburuk-buruk
makhluk?
Allah berfirman: “Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar dalam
kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan
nasehat-menasehati dalam hal kesabaran”. (QS. Al-‘Ashr 103:1-3).
Pengecualian yang terdapat dalam surat
ini adalah orang-orang yang beriman dan beramal saleh. Amal saleh merupakan
amal yang dilaksanakan dengan ruh (keikhlasan). Tetapi kebanyakan amal-amal
kita hanya dilakukan dengan anggota indera tanpa kandungan pesan-pesan seperti
yang tersebut dalam surat
suci itu.
Manusia seperti ini senantiasa akan melakukan maksiat siang dan malam. Ia
sukar menyucikan hati sementara usianya semakin lanjut. Semakin lama manusia
terlena berbuat dosa, cermin bening dihatinya sedikit demi sedikit ternoda dan
menghitam. Bila hal ini terus berlanjut, ia akan berada pada satu keadaan di
mana berbuat kejahatan lebih dinikmati ketimbang berbuat kebaikan.
***
Ketika kejahatan menjadi kebiasaan, kebaikan tidak lagi dianggap. Ketika
Tuhan telah kita singgirkan dari dalam diri, kita tempatkan mahkluk lain
sebagai pengganti-Nya. Ketika kita mengganti kedudukan-Nya dengan selain-Nya,
sempurnalah kemusyrikan kita.
Sudah saatnya kita kembali kepada kemanusiaan kita yang fitri. Selama
ini, segenap perilaku kita ternyata tidak menunjukkan bahwa kita ini manusia.
Kesadaran diri bahwa kita adalah manusia yang sepantasnya berbuat sesuai dengan
kemanusiaan kita adalah pembenahan paling awal. Selanjutnya, penghancuran ego,
sedikit demi sedikit, harus dijadikan komitmen abadi. Ego yang menganggap diri
kita lebih dari yang lain. “Tidak akan masuk surga seorang hamba yang di dalam
hatinya masih ada seuil kseombongan.”
Dikisahkan dalam sebuah hadis, seorang pelacur melihat seekor anjing yang
kehausan. Ia masuk ke dalam sumur, menjadikan sepatunya sebagai wadah untuk
kemudian diminumkan kepada anjing tersebut. Atas perbuatan ini, pelacur itu
masuk surga. Orang yang mendengar menilai bahwa kisah ini adalah bukti kasih
sayang Tuhan, sehingga seorang pelacur pun dapat masuk surga.
Hal itu benar. Tetapi, ada hal yang lebih substansial. Ketika pelacur itu
memberikan minuman kepada anjing, ia berkata, “Ya Allah, betapa mulia anjing
ini. Ia sadar dengan keanjingannya, sedang aku tidak sadar dengan
kemanusiaanku.” Kesadaran bahwa betapa dirinya demikian hina, bahkan bila
dibandingkan oleh seekor anjing, membuatnya masuk ke surga.
“Barang siapa yang mengenal dirinya akan mengenal Tuhannya”, demikian
kata hadis. Manusia adalah cermin Tuhan. Kasih Tuhan harus kita terjemahkan dan
bumikan ke seluruh alam. Indikasi utama terlaksana tidaknya pembumian kasih itu
adalah dengan menerapkan keadilan yang menjunjung tinggi harkat kemanusiaan.
Manusia adalah cermin Tuhan. Cermin
adalah subjek pasif. Kedudukan setiap cermin adalah sama dan sejajar. Sempurna
tidaknya sebuah cermin tergantung sejauh mana ia dapat memantulkan kesempurnaan
Subjek sesungguhnya, yaitu Tuhan. Refleksi kebertuhanan individu berbanding
lurus dengan sejauh mana ia dapat menjadi media bagi menyebarnya kasih Tuhan di
dunia.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !