BENTANG BUDAYA
1.
Jenis - Jenis dan Sejarah Kebudayaan
(Adat Istiadat)
Komunitas adat Ammatoa memiliki
hirarki structural dalam mengatur tata kelola acara adat maupun system
pemerintahan. Komunitas adat percaya bahwa Ammatoa merupakan wakil dari Bohe
Amma atau Tu’re’a’ra’na (Yang Satu atau Tuhan) di dunia. Manusia
pertama dalam adat Ammatoa juga diyakini berasal dari Tana Toa. Konon
kabarnya, sewaktu beliau masih hidup selalu dilindungi oleh awan apabila
berjalan di bawah terik matahari dan beliau selalu terlihat awet muda.
Sedangkan sewaktu sepeninggalnya, beliau tidak dikuburkan karena beliau lenyap.
Ammatoa
pengatur dan penentu kebijakan adat maupun pemerintahan, sebab mereka percaya
bahwa Tana Toa adalah tanah tertua yang menjadi awal dari keberadaan dunia.
Mitos kajang menyebutkan bahwa awalnya di dunia ini hanya ada satu daratan yang
mereka namakan Tombolo. Tanah ini kemudian mengefeki munculnya daratan lain
yang membentuk dunia. (*Aswan, S.Pd).
Masyarakat adat Ammatoa juga meyakini bahwa awal
kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan berasal dari Tana Toa. Berdasarkan pembagian
territorial, orang-orang kajang yang keluar dari kawasan adatdan memimpin suatu
wilayang masing-masing. Teritorialisasi dan kepercayaan akan pengaruh Ammatoa
terhadap eksistensi tersebut lantas dituangkan dalam suatu sebutan : Ammatoa
ri Kajang, sombayya ri Gowa, Pajung ri Luwu, Mangkawu ri Bone. Ammatoa
merupakan representasi pemimpin tertinggi dari segi spiritualitas dan
pemerintahan dari kerajaan-kerajaan besar yang pernah ada tersebut.
Pola perilaku masyarakat dan masuknya artefak materil maupun
subtil dalam kawasan adat Ammatoa tentunya bertentangan dengan pola
hidup Kamase-mase yang dianut dan dijadikan rujukan dalam menentukan
tindakan hidup masyarakat adat Kajang. Walaupun masih banyak masyarakat adat
Kajang yang memegang teguh pendirian kajang, namun pengaruh modernitas terlalu
sulit untuk dikalahkan oleh spiritualitas local dalam kosmologi Kajang. Kamase-
mase adalah representasi idielogis dari kesadaran masyarakat adat untuk
senantiasa hidup bersahaja.
Adapun artefak modern dalam lingkungan keluarga masih
sebagian kecil dari hasil negosiasi kebudayaan antara adat lokal Kajang dan
modernitas. Pengaruh modernitas akan semakin kental sejalan dengan kebutuhan
masyarakat yang semakin kompleks. Kamase - masea secara ideal dalam
kosmologi Kajang adalah keniscayaan sebagaiman diutaraka Puto Palasa selaku
pimpinan komunitas adat. Bahkan jika ada masyarakat yang tidak ingin patuh pada
aturan tersebut dipersilahkan untuk keluar dari kawasan adat. Sebab hanya
manusia dengan prinsip Tu Kamase - masea pada pemikiran dan
tindakannyalah yang dapat memasuki dan menetap dalam kawasan adat.
Ammatoa
selaku pemimpin adat serta beberapa pemangku adat lainnya juga mengakui
mengenai fenomena pergeseran pelaksanaan aturan adat yang telah dianut selama
berates-ratus tahun. Pada suatu sesi Focus Group Discussion (FGD) yang
dilaksanakan peneliti dengan Ammatoa dan beberapa pemangku adat di dusun
Pangi memunculkan suatu fakta bahwa ada ambivalensi argumentasi antara petinggi
adat dengan fakta lapangan yang ditemukan. Petinggi adat di satu sisi tetap
bersikukuh bahwa aturan adat masih dijalankan masyarakat Ammatoa, tetapi
fakta lapangan menunjukkan bahwa aturan adat utamanya persoalan pakaian mulai
diabaikan.
Adat adalah suatu yang dikenal, diketahui, serta menjadi
kebiasaan dalam masyarakat berupa kata-kata atau macam - macam. Jadi adat dapat
diartikan sebagai sesuatu yang telah menjadi kebiasaan terus menerus berlaku
dalam masyarakat dan menjadi kebiasaan masyarakat pada umumnya. Sekelompok ahli
menyatakan bahwa kebudayaan sebagai keseluruhan system pengetahuan yang menjadi
landasan, pedoman atau acuan terwujudnya perilaku manusia. Budaya dapat
diperoleh melalui proses belajar dalam masyarakat dan lingkungan hidup manusia.
Yang menjadi landasan atau pedoman masyarakat Desa Tana Toa
sehingga tercipta perilaku yang baik adalah Kitta’ (Kitab) dan Pasang (Pesan).
Distorsi terhadap aktualisasi aturan adat tidak lepas dari semakin kompleksnya
dinamika hukum yang menelikung kedalam norma - norma adat. Padahal Pasang
sebagai abstraksi sebagai konsep kosmologi yang dianggap ideal dan
dimistifikasi oleh komunitas Ammatoa memiliki posisi yang lebih tingi
disbanding aturan hokum tertulis. Pasang Kajang tidak dituliskan, melainkan
dihafalkan atau dilisankan dan dipahami sebagai bentuk transendesi nirmateril
yang hakiki oleh komunitas adat Ammatoa. Pasang melahirkan aturan
normatif yang setelah diturunkan menjadi Lontara’ atau Sure’ yang
dituliskan. Baik Lontara maupun Sure’ telah ditransformasi
menjadi norma hukum yang kadarnya lebih rendah dari Pasang. Untuk
konteks sekarang, aturan normatif sebagaimana dituliskan dalam Lontara’
sepadan posisinya dengan undang-undang. Dengan demikin secara logika, Pasang
sebenarnnya berposisi lebih tinggi dalam aturan adat.
Mengenai soal pemilihan warna dalam adat Ammatoa,
terdapat beberapa klasifikasi. Warna hitam dimaknai sebagai warna paling tua
dan menyimbolkan perilaku Kamase-mase. Bagi manusia Kajang, hitam
merupakan sublimasi transendental yang merepresentasikan keidealan dan
kesederhanaan. Simbolisasi sarung dengan kombinasi celana pendek berwarna putih
pakaian hitam serta Passapu (penutup kepala) merupakan pakaian adat yang
dimistifikasi dalam kawasan adat. Adat kajang juga membagi warna berdasarkan
territorial kerajaan yang pernah ada di Sulawesi Selatan, yakni : warna putih
untuk kerajaan Gowa, merah untuk kerajaan Bone, hijau untuk kerajaan Luwu dan
biru untuk kerajaan Wajo.
Bagi sebagian besar pemuda dalam masyarakat adat Ammatoa,
kamese - masea hanya merupakan aturan adat yang diperintahkan Ammatoa
sebagai pemimpin spiritual. Lantaran sudah menjadi aruran maka setiap
masyarakat wajib untuk menjalankan. Namun jika ditelusuri lebih jauh pada
persoalan substansi kamase - masea sehingga menjadi aturan tidak
dipahami. Interpretasi atas kamase - masea hanya seputar anatomi
materilnya, dipahami sebagai normatifitas yang bila dilangar akan dikenai
hukuman. Padahal prinsip kamase - masea mengatur segala totalitas pola
hidup disamping pemahaman patuntung yang mengatur norma spiritualitas.
Persoalan tersebut lebih disebabkan transformasi ilmu kepada pemuda yang kurang
maksimal, disamping aktivitas mereka yang harus keluar masuk kawasan adat untuk
mencari nafkah. Bahkan, pemuda sendirilah yang membuat arus modernitas menjadi
intens masuk ke kawasan adat Ammatoa dengan membawa berbagai perangkat
dari luar kawasan. Hal ini diakui pemuka adat Ammatoa, Galla Puto
(saat ini dijabat Bapak Amir Bolong yang tingal di Dusun Sobbu) membenarkan
argument - argumen serupa yang diutarakan responden dari masyarakat serta
kepala Dusun Pangi.
Integrasi ilmu berupa Pasang Kajang pada kaum muda
menjadi persoalan tersendiri yang cukup mempengaruhi eksistensi adat Kajang di
masa mendatang. Pasang telah dianggap sebagai elemen dasar (basic
elementer) yang membentuk adat Ammatoa. Disamping persoalan iti juga
terdapat persoalan transformasi ilmu bagi kaum perempuan dalam hal menenun
sarung. Kerajinan menenun sarung Kajang sudah semakin melemah dan mendekati
kepunahan. Kebiasaan menenun sudah menjadi cirri khas perempuan dalam adat Ammatoa
yang menandai kedewasaan dan kesiapan dalam kehidupan berkeluarga. Berdasarkan
hasil penelitian di lapangan, masyarakat yang masih menenun adalah generasi tua
dan mereka yang sudah berkeluarga dengan kisaran umur antara 30 tahun ke atas.
Bahkan sejumlah masyarakat menegaskan bahwa kerajinan menenun hanya dilakukan
oleh sejumlah kecil sejawatnya. Persoalan tersebut lebih disebabkan oleh
semakin banyak perempuan yang menempuh pendidikan formal dan mengabaikan alat
tenunan.
Idealnya,dalam kacamata adat Kajang bahwa kaum perempuan
mesti mengetahui cara menenun sarung dan kaum lelaki mesti mengetahui cara
bercocok tanam untuk menandai bahwa mereka telah dewasa dan siap untuk
menjalankan kehidupan secara mandiri. Dengan kata lain, seorang perempuan
Kajang baru dapat dikatakan dewasa ketika mampu menenun. Aktifitas tersebut
merupakan salah satu tanda kamase - masea yang dijadikan prinsip bagi
masyarakat Kajang. Namun sekarang, manuia Kajang bahkan dapat membeli pakaian
atau sarung hitam secara instan di pasar-pasar tradisional di Desa Tana Toa
atau yang bersebelahan dengan desa tersebut.
Beberapa poin persoalan sebagaimana telah disebutkan di
atas, bahwa aktualisasi prinsip kamase - masea manusia Kajang telah
bernegosiasi dengan tawaran-tawaran modernitas. Disadari atau tidak, manuia
Kajang telah mulai meninggalkan resolusi transcendental pasang.
Kesederhanaan dan hidup bersahaja (kamase - masea) merupakan konsepsi
dan prinsip hidup yang penting jika dipahami secara subtansif. Ajaran adat
Kajang mengajarkan melalui prinsip kamase - mase tentang kesederhanaan
dan keseimbangan. Alasan utama mereka menolak modernisasi karena dapat merusak
keseimbangan alam yang menjadi tumpuan utama manisia di dunia.
Bagi masyarakat Kajang, alam adalah entitas penting yang
membuat dunia tetap seimbang. Untuk menjaga keseimbangan alam, maka perlu untuk
membatasi diri dalam memenuhi kebutuhan dari alam. Selain untuk hidup, alam
juga dihormati sebagaisublimasi yang menjaga manusia Kajang dari segala bentuk
ancaman ghaib. Kamase - masea mengajarkan manusia Kajang untuk hidup
seadanya dan bertindak seperlunya. Kemiskinan di dunia bagi mereka akan
mendapatkan ganjaran kekayaan di akhirat kelak. Alam perlu dijaga agar tetap
menjaga keseimbangan kosmos bumi. Modernitas bagi manusia Kajang hanya akan
mendatangkan bencana dan musibah bagi umat manusia.
Persoalan pemahaman adat pada diri individu - individu dalam
komunitas yang sudah bernegosiasi dengan modernitas tentunya menjadi tantangan
bagi eksistensi dan keberlangsungan pola hidup Kamase - masea adat
Kajang. Satu - satunya artefak utama yang belum masuk dan jika kehadirannya
mulai Nampak dalam komunitas adat maka akan menghancurkan seluruh tatanan adat Ammatoa
adalah listrik. Jika listrik sudah masuk ke dalam dusun adat, bersamaan dengan
kehadirannya prinsip Kamase - masea yang dimiliki kebudayaan Ammatoa
hanya akan menyisahkan catatan antropologis.
Persoalan kedua yang menjadi titik negosiasi kebudayaan adat
Kajang adalah relasi social yang berimplikasi pada perilaku politik masyarakat
Kajang. Implikasi dari perkembangan model relasi sosial politik modernitas
adalah dualisme kepemimpinan Amaatoa. Persoalan ini ambivalen dengan
konsepsi Tu Kamase - masea yang mengedepankan keharmonisan,
kesederhanaan dan kehidupan yang selaras. Namun dualism kepemimpinan yang
menimpa komunitas adat Ammatoa telah menimbulkan perpecahan dalam
masyarakat.
Hal ini merupakan implikasi dari pemilihan Ammatoa
yang menyisahkan permasalahan besar. Di satu sisi sebagian masyarakat mengakui Puto
Palasa sebagai Ammatoa, sementara di sisi lain sebagian di antaranya
mengakui Puto Bekkong sebagai Ammatoanya. Dan setelah
mengalami konfrontasi panjang serta upaya rekonsiliasi yang diwadahi langsung
pemerintah Kabupaten Bulukumba, diputuskan secara hukum bahwa Puto Palasa
adalah Ammatoa yang sah. Meskipun demikian bukan berarti permasalahan
selesai dengan rekonsiliasi yang diinisiasi oleh pemerintah kabupaten tersebut.
Jusrtru permasalahannya semakin kompleks karena masyarakat yang mengakui Puto
bekkong sebagai Ammatoa tetap bersikukuh pada pendiriannya. Pada
akhirnya perpecahan tetap terjadi dan persoalan otoritas dikembalikan kepada
maing - masing individu.
Sebagaimana dikatakan sebelumnya bahwa persoalan dualism
tersebut berefek pada disharmonisasi relasi antar masyarakat dalam kawasan
adat. Amanah Pasang yang disebutkan untuk senantiasa hidup berdampingan,
bergotong royong dan saling membantu tampak terabaikan dengan dualime Ammatoa
tersebut. Prinsip Kamase - masea yang menegaskan dan mengharuskan
komunitas adat untuk mengedepankan kesederhanaan maupun kepentingan komunitas
adat demi menjalankan aturan adat menemui titik - titik kontradiksi.
Di dalam kehidupan beradat, seringkali terjadi kesalah
pahaman di antara warga adat itu sendiri. Untuk mengadili orang yang bersalah,
maka dilakukan ritual-ritual berupa bakar Passau. Dengan jampi-jampi Ammatoa
menyerahkan segala sesuatunya kepada Turie’a A’ra’na (Tuhan yang mereka
yakni/ Alah SWT) untuk mengadili orang tersebut. Apabila telah dilakukan
pengadilan dan orang yang bersalah tidak memberikan pengakuan, maka orang
tersebut akan menerima ganjaran berupa musibah kepadanya atau kepada
keluarganya dalam waktu dekat.
Di kawasan adat Ammatoa, terdapat sebuah tanah adat
yang berupa sawah yang sering disebut sawah adat atau tanah bengkok. Sawah adat
ini diberikan kepada Ammatoa untuk dikelolah dan apabila Ammatoa
berganti maka sawaha adat ini dipindahtangankan pula kepada Ammatoa yang
baru. Sawah adat ini hanya dapat ditanami pada satu musim saja. Karena Ammatoa
tidak memakan hasil panen di luar dari hasil panen musim yang ditentukan.
Kawasan adat Ammatoa harus dijaga karena kapan
kawasan tersebut rusak, maka seluruh dunia akan rusak karena mereka meyakini
bahwa kawasan adat tersebut merupakan Possi Tana (pusat bumi). Sedangkan
pada kenyataannya, Possi Tana sendiri berada di luar kawasan adat Ammatoa.
Possi Tana merupakan tempat pelantikan Ammatoa beserta jajarannya
oleh Anrong. Dan Possi Tana merupakan kawasan adat yang keramat.
Di sekitar tempat tersebut terdapat banyak sesajen yang merupakan bentuk
permintaan warga di sana kepada Turie’a A’ra’na.
Lebih utama, bahwa modernitas yang selain merusak alam juga
dapat merusak moral manusia Kajang. Modernitas bagi mereka hanya akan membuat
manusia jauh dari norma - norma sosial, lepas dari kolektivitas dan mencabut
akar manusia. Modernitas dipahami sebagai kemerosotan, sementara kekolotan yang
dilakukan manusia Kajang adalah pilihan hidup yang menandai kemajuan spiritual.
Akan tetapi kemampuan modernitas dengan semangat individualism serta berbagai
kemudaha dalam mengakses berbagai kebutuhan hidup secara instan maupun
menelikung jauh ke dalam entitas adat Kajang, komunitas Ammatoa.
Modernitas merupakan perangkat ideologis yang sulit ditolak
oleh berbagai etnitas kebudayaan mistis manapun, termasuk adat Ammatoa
Kajang. Walaupun manusia Kajang mencobamenghindarkan diri (akling) dari
segala hegemonis modernitas, namun upaya yang dilakukan tetap mengalami
hambatan dan tantangan. Hambatan dan tantangan tersebut merupakan ancaman
eksistensial bagi generasi muda yang tinggal di dalam komunitas adat. Hal ini
lebih disebabkan pengaruh arus luar jyang didapatkan melalui berbagai variabel
yang di antaranya pendidikan, persentuhan dengan masyarakat perbatasan desa,
pendatang dan masyarakat adat yang bekerja di luar kawasan adat.
Peninggalan kebudayaan oleh para leluhur yang sangat mereka
jaga dan kemudian mereka lestarikan yaitu kesenian dan alat industri rumah
tangga berupa alat tenun (Pattannungang) dan alat pertanian
tradisiaonal. Adapun kesenian tersebut antara lain :
a.
Tari Pa’bitte Passapu : untuk acara
kegembiraan seperti acara pernikahan, penjemputan tamu, dll.
Tari Pa’bitte Passapu ditampilkan pada acara-acara adat,
acara penjemputan tamu yang dihormati. Tarian ini sering ditampilkan di luar
kawasan adat dan diberikan imbalan sesuai kemampuan orang yang mengundang para
penari.
Komposisi Tari Pa’bitte yaitu sebagai berikut :
1.
Passisengang (perkenalan)
2.
Appasilele (pemanasan ayam aduan)
3.
Assahung (penyabung ayam) : mengasah taji
lalu menyabung
4.
Appasicoco’ (mencocokkan pada ayam mana yang
menang dan kalah)
5.
Sijallo (perkelahian antara dua kelompok
penyabung)
6.
Sibotto’ (saling menikam)
7.
Sibajiki (berdamai)
Jumlah penari terdiri atas 8 orang pria. Mereka bernyanyi
sambil menari. Pemain gendang 2 orang, serta 1 orang pembina dan pemimpin group
tari.
Kostum penari berupa jas tutup, sarung, celana pokki’ dan
passapu yang masing-masing berwarna hitam.
b.
Seni Suara berupa nyanyian (Kelong)
:
Kelong
diiringi gendang dan dinyanyikan dalam rangkaian tari Pa’bitte Passapu untuk
acara kegembiraan.
c.
Seni Teater :
Menggambarkan
sosok Ammatoa dan pendampingnya.
d.
Seni Drama :
Anggaru.
e.
Seni Musik :
Menggunakan
alat berupa suling (Basing).
Kegiatan menenun dilakoni oleh kaum perempuan. Kaum
perempuan harus pandai membuat sarung hitam (Tope) dan Passapu yang
digunakan sehari-hari. Alat pertanian yang menjadi peninggalan leluhur mereka
yaitu bersifat tradisional, misalnya parang, cangkul, linggis dll. (*Dinas
Parawisata dan Kebudayaan Pemkab. Bululkumba).
1.
Keadaan agama dan Bahasa.
a.
Agama
Agama yang dianut adalah “Sallang dalam dialek Konjo”
yang artinya Islam. Dan Tuhan yang mereka yakini adalah Turie’a A’ra’na
(Allah SWT).
Menurut Ammatoa, ada 4 rahasia Turie’a A’ra’na,
yaitu :
1.
Leteanng Dalle’ : Titian rejeki.
2.
Bala Tannisanna - sanna : Bencana yang tak disangka-sangka.
3.
Sura’ Nikka : Surat nikah.
4.
Cappa’ Umuru : Ujung usia.
Mereka juga menjalankan shalat 5 waktu seperti dalam Pasang
“ Je’ne Talluka, Sambayang Talatappu”, artinya “Jangan merusak Shalat dan
melunturkan Wudhu”. Masjidnya berada di luar kawasan adat Ammatoa yang
bertempat di dekat pintu gerbang kawasan adat tersebut. Masjid ditempatkan di
luar kawasan adat karena mereka tidak ingin peradaban yang mereka miliki
berbaur dengan peradaban yang lain eperti halnya manusia yang hidup di jaman
modern pada umumnya. Demikian bentuk toleransi yang diberikan masyarakat adat
Kajang dalam kawasan terhadap masyarakat luar kawasan, mesjid yang letaknya
berada dekat pintu gergang kawasan Ammatoa lebih memudahkan masyarakat
Kajang yang berada di dalam kawasan untuk beribadah. Adapun imam dalam kawasan
adat yang disebut Kali yang juga sebagai perangkat tambahan dalam membantu
tugas Ammatoa khusus dalam bidang keagamaan.
Bahkan sudah ada seorang warga kawasan adat Kajang Ammatoa
yang telah menunaikan ibadah haji pada tahun 1990 pada saat A. Lolotonang
menjadi Dirjen Haji di Jakarta yang diberikan secara gratis kepada Puto
Jumali yang merupakan keluarga dari Ammatoa pada saat itu (*Galla
Pantama).
-
Pernikahan
Masyarakat adat Kajang Ammatoa boleh menikah dengan
sesama warga dalam kawasan adat maupun warga yang berada di luar kawasan adat
tersebut dengan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan.
Prosedur pernikahan masyarakat adat Kajang Ammatoa
dimulai dengan acara lamaran oleh wali pihak laki - laki kepada pihak
perempuan, hal itu dikarenakan dalam silsilah keluarga garis keturunan menganut
sistem Patrilinear yang mengikuti darah ayahnya. Dalam acara
lamaran tersebut, wali perempuan menanyakan silsilah keturunan calon mempelai
laki-laki kepada walinya.
Adapun mahar yang berikan berdasarkan sissilah keturunan
yang mempunyai adat tersendiri yaitu : Sunrang Tallu (3 ekor kerbau), Sunrang
Kati (4 ekor kerbau), Sunrang Lima (5 ekor kerbau) dan Sunrang
Tuju (7 ekor kerbau). Dimana Sunrang tadi berarti mahar. Apabila
mahar yang berupa Sunrang beberapa ekor kerbau, maka banyaknya uang
telah terpahamkan oleh pihak laki-laki. Sedangkan mas kawin berupa Lima Tai’
(untuk keluarga keturunan pemangku adat) dan Empat Tai’ (untuk
masyarakat biasa).
Setelah itu, maka ditentukanlah hari resepsi pernikahan.
Rangkaian resepsi pernikahan selama 2 hari 2 malam dengan konsep yang
berlandaskan adat istiadat dan budaya Kajang Ammatoa secara
turun-temurun. Adapun baju adat yang digunakan pada saat pernikahan yaitu Baju
Pokki’ (baju pendek). Setelah resepsi pernikahan dan akan nikah
berlangsung, maka kedua mempelai sudah sah menjadi pasngan suami isteri. Hal
yang paling penting untuk mereka jaga adalah “Harus mempertahankan Hak dan
Keturunan”.
Mengenai kawin lari, kedua pihak diterima apabila telah
memenuhi persyaratan yang telah disetujui oleh kedua belah pihak dengan tetap
menjadikan adat istiadat sebagai pedoman. Prosesi pernikahan pun sama dengan
pernikahan seperti yang diterangkan di atas yaitu dari lamaran hingga resepsi
pernikahan dan akhirnya sah menjadi pasangan suami isteri.
Adapun simbol bahwa di suatu rumah telah diadakan acara
pernikahan yaitu diikatkannya tanduk kerbau pada tiang dalam rumah mereka.
Berapa pun jumlah tanduk yang diikat, sekian kali pula pada rumah tersebut
telah diadakan pernikahan. (*Galla Pantama).
-
Kematian
Apabila ada keluarga yang meninggal, maka salah seorang
keluarga yang ditinggalkan melaporkan kepada Ammatoa atau kepada Ombo
(isteri Ammatoa) apabila Ammatoa sedang tidak berada di rumah.
Khusus kepada keluarga yang ditinggalkan tidak boleh menangisi kepergiannya.
Adapun kuburannya bersifat tradisional dan menggunakan nisan yang terbuat dari
kayu dengan cara dipahat. Setelah sepeninggalnya , keluarga yang ditinggalkan
mengadakan acara :
1.
Mappilo (meratap apabila ada keluarga yang
meninggal). Akan tetapi jenazah baru boleh ditangisi pada saat setelah
dikuburkan.
2.
Pa’nganro (upacara keselamatan) dilaksanakan
setelah tiga bulan meninggalnya.
3.
Asse’re-se’re/ A’dunga’ (berkumpul-kumpul) dilaksanakan
selama 100 hari meninggalnya.
4.
A’dangang selama 2 hari 2 malam, dilaksanakan
setelah mengadakan Asse’re-se’re/ A’dunga’.
5.
Andingingi yaitu tolak bala dengan meminta
pertolongan kepada Turie’a’ra’na (dilaksanakan setelah A’dangang).
Andingingi juga kerap kali dilakukan pada acara-acara syukuran setelah
musim panen, apabila ada musibah atau wabah penyakit (*Galla Pantama.
Adapun teori Pasang adalah sebagai berikut :
1.
A’bulo Sibatang
2.
A’lemo Sibatu
3.
Tallang Sipahua
4.
Manyu Siparampe
5.
Mate Siroko
6.
Bunting Sipabasa
7.
Amminahang ri Ajang
Dimana
kesemuanya itu bermakna sama yaitu gotong royong dan saling tolong menolong.
Ajaran tallasa kamase-masea juga merupakan sebuah Pasang.
Pasang untuk tidak mengunakan alas kaki. Pasang dalam artian ‘Sederhana’
dalam hal ini tidak menggunakan alas kaki, tidak menggunakan alat
telekomunikasi, tinggal di kawasan adat yang tidak memiliki akses jalan dan
listrik yang memadai, serta hidup dari alam. Sementara anatomi subtil dari
pemahaman kamase-masea tidak dipahami secara maksimal. Pasang
menjadi landasan atau pedoman masyarakat Desa Tana Toa sehingga tercipta
perilaku yang baik adalah “Kitta’ (Kitab) dan Pasang (Pesan)”
Kajang Ammatoa yang memegang prinsip Tallasa Kamase-masea
berbasis Pasang yang menekankan tentang :
1.
Mengekang hawa nafsu
2.
Menaati aturan
3.
Jujur
4.
Tegas
5.
Sabar
6.
Merendahkan diri
7.
Tidak cinta materi
8.
Pasrah kepada Ilahi
Pasang yang paling dijaga oleh masyarakat
adat Kajang Ammatoa yaitu :
Parakai
Lino A’rurung Bonena
Kammaya
Tompa Langika
Siagang
Rupa Taua
Siagang
Boronga
Artinya
:
Peliharalah
bumi beserta isinya
Demikian
pula langit
Demikian
pula manusia
Demikian
pula hutan
b.
Bahasa
Umumnya bahasa yang digunakan adalah bahasa daerah berdialek
Konjo. Karena sebagian besar dari kami tidak mengerti bahasa tersebut,
maka kami agak sedikit susah di dalam menggali informasi, namun itu tidak
menyusutkan semangat kami dalam hal pencarian informasi akan tetapi menjadi
motifasi dalam pengkajian dan pencarian informasi selama di sana. Ada pun Galla
Pantama dan anak dari Ammatoa (Ramlah) yang tahu
berbahasa Indonesia, jadi merekalah yang menerjemahkan apa yang disampaikan
oleh Ammatoa.
2.
Kebiasaan Masyarakat
Masyarakat adat Ammatoa menganggap pakaian berwarna
hitam dengan paduan celana pendek putih merupakan kewajiban dalam kawasan adat.
Belum lagi jika masyarakat yang bersangkutan telah mengikuti acara Pa’nganro
besar dalam hutan adat (Borong) maka yang bersangkutan sudah wajib
menangalkan celana panjang dan menggantinya dengan Tope (sarung hitam),
menggunakan Passapu (penutup kepala dari kain hitam yang menjulang ke
atas), tanpa alas kaki dan menanggalkan segala perangkat modernitas dari jasad.
Akan tetapi, dalam pengamatan peneliti, banyak di antara masyarakat dalam
kawasan adat mulai meningalkannya. Bahkan sebagian kecil di antaranya kadang
memakai pakaian berwarna terang semacam merah dan kuning dalam kawasan adat.
Masyarakat adat Ammatoa mempercayai bahwa Hitam
berarti :
1.
Penyesuaian diri dengan lingkungan
karena alam sekitar meliputi hutan, daerah yang lembab.
2.
Merupakan kepercayaan bahwa kita
terlahir dari tempat yang tinggi, dari kegelapan dan penuh rahasia.
3.
Menggambarkan sikap rasa persamaan,
senasib dan sepenanggungan.
4.
Melambangkan sikap kegotong -
royongan.
5.
Melambangkan asli penduduk.
Perangkat-perangkat modernitas dalam bertuk perabot dan
corak rumah tampak jelas pada beberapa dusun tersebut. Rumah batu sudah
digunakan dalam beberapa dusun, utamanya di perbatasan yang menjadi pusat desa.
Walaupun demikian, masih dapat ditemui rumah-rumah panggung khas adat Ammatoa,
akan tetapi perangkat berupa listrik dan pengunaan perabotan modern lainnya
menjadi alat penunjang kebutuhan sehari-hari.
Meskipun beberapa dusun masih merasa bertanggung jawab pada
aturan adat dan ingin tetap menjalankan amanah Pasang, fakta lapangan
yang ditemukan peneliti menunjukkan bahwa tuntutan modernitas yang menawarkan
kemudahan-kemudahan instan tidak dapat dibendung oleh komitmen normative adat.
Dusun Bongkina, Pangi dan Tombolo yang dikenal sangat kental akan aturan adat
mulai bersentuhan dengan kemudahan yang ditawarkan modernitas tersebut. Bahkan
di Dusun Bongkina masyarakat sudah menggunakan kendaraan bermotor untuk
memudahkan akses terhadap berbagai kebutuhannya.
Persentuhan antara kawasan adat dan modernitas menjadi
sangat intensif karena akses jalan yang awalnya hanya berupa jalan pengerasan
yang dibuat secara manual telah berubah menjadi jalan aspal. Hal ini terlihat
di Dusun Balagana dan Janaya serta perbatasan Desa Tana Toa dengan beberapa
desa di Kecamatan Kajang. Akses jalan tersebut menjadi kebutuhan lumrah bagi
masyarakat sekitar dalam melakukan aktivitas kesehariannya. Selain mempercepat
akses, kerusakan jalan pada musim penghujan bukan menjadi persoalan lagi di
beberapa dusun tersebut.
Adapun dapur dan WC-nya yang terletak di depan pintu masuk
rumah dimana semua perangkat dapur tadi juga diletakkan. Hal ini menggambarkan
transparansi kehidupan masyarakat adat Kajang Ammatoa dalam kehidupan
kesehariannya. WC yang kami maksud di sini adalah tempat untuk mencuci piring
dan perlengkapan lain dan juga hanya untuk buang air kecil saja. Demikian juga
tempat mandi yang hanya disekat oleh perangkat kayu dan bambu, yang dilengkapi
dengan Gumbang (gentong/tempat air yang terbuat dari tanah liat). Airnya
pun di angkat dari sumur yang terletak cukup jauh dari rumah mereka dengan cara
Massohong (mengangkat air dengan menjujung Gumbang atau ember)
dengan lihai.
Masyarakat Kajang tidak menggunakan sabun untuk mandi maupun
untuk mencuci pakaian, hal itu karena mereka tidak ingin mencemari lingkungan
sekitar dengan penggunaan sabun tadi. Mereka tidak ingin keadaan lingkungan
yang asri jangan sampai terjamah oleh polusi.
Masyarakat adat Ammatoa yang paham kosmologinya
menganjurkan untuk hidup berdampingan dan memanfaatkan bahan - bahan dari alam
mulai bergeser untuk menggunakan perangkat modern. Hal yang paling menonjol
adalah alat-alat rumah tangga, baik alat memasak, makan dan minum, hingga alat
untuk mengolah tanah pertanian sudah mulai berubah. Perabot rumah tangga yang
awalnya mengandalkan tempurung kelapa untuk alat makan dan minum, dapo’
(alat masak tradisional) dan bahan dari tanah liat lainnya sudah mulai
ditinggalkan oleh mayoritas masyarakat dalam komunitas adat. Dapo’ ini
detempatkan di luar dekat pintu masuk.
Pada awalnya mereka membuat sendiri alat - alat rumah tangga
dalam lingkungan keluarga, namun sekarang perangkat dari plastik dan aluminium
sudah akrab digunakan bahkan di rumah Ammatoa (Puto Palasa)
sendiri. Kecuali dapo’ (dapur tradisional), perabot rumah tangga semacam
cerek, panci, alat menggoreng, hingga piring, gelas, dan sendok sudah menjadi
barang keperluan sehari-hari. Adapun perangkat - perangkat yang terbuat dari
alam sebagaimana disebutkan sebelumnya hanya wajib digunakan saat acara adat
saja, utamanya pada acara Pa’nganro (*Ramlah/ Anak dari Ammatoa Puto
Palasa).
Sebagai akibat langsung dari keberadaan jalan beraspal
tersebut, kawasan adat mulai disusutkan hingga perbatasan dusun Sobbu yang
ditandai dengan pintu gerbang masuk ke kawasan Ammatoa. Di dalam kawasan,
beberapa dusun masih tetap eksis dengan tetap menggunakan jalan tanah dan
berbatu - batu. Sehingga, untuk menjangkau beberapa tempat atau dusun yang
menjadi kawasan adat, wajib ditempuh dengan berjalan kaki. Dan mereka meyakini
bahwa batu yang dijalani mengandung unsur kesehatan (*Dinas Pariwisata dan
Kebudayaan Kabupaten Bulukumba).
3.
Kerifan Lokal
Kelestarian hutan di Kajang Kabupaten Bulukumba, Sulawesi
Selatan tak lepas dari payung hukum adat yang selama ini dihormati dan
dijunjung tinggi masyarakat adat Kajang yakni, “Pasang”. Bagaimana
masyarakat adat kajang mengimplementasi ajaran Pasang kaitanya dengan
pelestarian lingkungan hidup? Hal yang membuktikan bahwa setiap orang yang
melakukan pelanggaran terhadap Pasang langsung mendapatkan sanksi yang berlaku
selama masih hidup di dunia dan juga akan didapatkan di akhirat nantinya.
Kearifan masyarakat adat Kajang dalam mengelola sumber daya
alamnya memang diartikulasikan melalui media - media tradisional seperti mitos,
ritual, dan pesan - pesan leluhur, tetapi sesungguhnya mengandung pengetahuan
ekologis, yaitu sistem pengetahuan mengenai fungsi hutan sebagai penyeimbang
ekosistem. Bahkan uraian di atas memperlihatkan empat elemen kearifan
lingkungan, yaitu sistem nilai (value system), pengetahuan (knowledge),
teknologi (technology), dan lembaga adat (institution).
Masyarakat Kajang dalam mengelola sumber daya hutan tidak
terlepas dari kepercayaannya terhadap ajaran pasang. Masyarakat Kajang memahami
bahwa dunia yang diciptakan oleh Turie’ A’ra’na beserta isinya haruslah dijaga
keseimbangannya, terutama hutan. Karenanya hutan harus dipelihara dengan baik
dan mendapat perlakuan khusus bagi penghuninya serta tidak boleh merusaknya.
Salah satu pasal dari pesan tersebut berbunyi: “Anjo
boronga anre nakkulle nipanraki. Punna nipanraki boronga, nupanraki kalennu”
artinya (Hutan tidak boleh dirusak. Jika engkau merusaknya, maka sama halnya
engkau merusak dirimu sendiri). Selain itu, kita juga bisa melihat pasal lain
yang berbunyi: “Anjo natahang ri boronga karana pasang. Rettopi tanayya
rettoi ada” artinya (Hutan bisa lestari karena dijaga oleh adat. Bila bumi
hancur, maka hancur pula adat). Ammatoa selaku pemimpin adat membagi hutan
menjadi 3 bagian, yaitu:
1.
Borong Karamaka (Hutan Keramat), yaitu kawasan
hutan yang terlarang untuk semua jenis kegiatan, terkecuali kegiatan atau
acara - acara ritual. Tidak boleh ada penebangan, pengukuran luas, penanaman
pohon, ataupun kunjungan selain pengecualian di atas, termasuk larangan mengganggu
flora dan fauna yang terdapat di dalamnya. Adanya keyakinan bahwa hutan ini
adalah tempat kediaman leluhur (Pammantanganna singkamma Tau Riolonta),
menjadikan hutan ini begitu dilindungi oleh masyarakatnya. Hal ini diungkapkan
secara jelas dalam sebuah Pasang, yaitu:
Talakullei
nisambei kajua,
Iyato’ Minjo Kaju Timboa.
Talakullei Nitambai Nanikurangi
Borong Karamaka.
Kasipalli Tauwa A’lamung - Lamung Ri Boronga,
Nasaba’ Se’re Wattu La Rie’ Tau Angngakui Bate Lamunna
Kasipalli Tauwa A’lamung - Lamung Ri Boronga,
Nasaba’ Se’re Wattu La Rie’ Tau Angngakui Bate Lamunna
Artinya
:
Tidak Bisa Diganti Kayunya,
Kayu Itu Saja Yang Tumbuh
Hutan Keramat Itu Tidak bisa ditambah atau dikurangi.
Orang dilarang menanam di dalam hutan
Sebab Suatu Waktu Akan Ada Orang Yang Mengakui Bekas Tanamannya.
Kayu Itu Saja Yang Tumbuh
Hutan Keramat Itu Tidak bisa ditambah atau dikurangi.
Orang dilarang menanam di dalam hutan
Sebab Suatu Waktu Akan Ada Orang Yang Mengakui Bekas Tanamannya.
Hutan keramat ini adalah hutan primer yang tidak pernah
diganggu oleh komunitas Amma Toa. Jenis pelanggaran berat dalam hutan keramat
itu, antara lain: Ta’bang Kaju (menebang kayu), Rao Doang
(mengambil udang), Tatta’ Uhe (mengambil rotan), dan Tunu Bani (membakar
lebah). Ada dua jenis hutan adat (Borong Karama’) yang terdapat di dalam
kawasan ini antara lain Borong Ilau’ dan Borong Iraja. Dan hanya orang -
orang tertentu saja yang boleh memasuki kawasan hutan adat tersebut. Konon
katanya, hutan tersebut dikelilingi mantra sakti. Oleh karena itu, barang siapa
yang memasuki hutan tersebut dengan niat buruk maka dia akan mendapatkan
ganjaran yang setimpal. Bahkan apabila pelakunya adalah warga adat Kajang
Ammatoa sendiri, maka akan disidang dan diberi sanksi sesuai pelanggarannya.
Bisa saja orang tersebut tidak diperbolehkan lagi untuk tinggal di kawasan adat
Kajang Ammatoa.
Dan apabila terjadi pelanggaran di dalam hutan keramat,
pelanggaran terhadap ketentuan adat ini akan dijatuhi sanksi adat, dalam bentuk
pangkal cambuk atau denda uang dalam jumlah tertentu, sesuai dengan Ada’
Tanayya, sebuah sistem peradilan adat Kajang. Mereka juga memiliki lembaga
adat yang disebut dengan Tau Limayya (organisasi yang beranggotakan lima
orang), dipimpin oleh seseorang yang bergelar ammatowa, yang tugas utamanya
mengatur penebangan pohon, pengambilan rotan, dan pemanenan lebah madu di hutan
adat, serta penangkapan udang.
Pelaku akan dikenakan sanksi yang disebut Poko’ Ba’bala’.
Poko’ Ba’bala’ atau sanksi atas pelanggaran berat merupakan sanksi yang
tertinggi nilai dendanya, yaitu sampulonnua real (12 real) atau 24 ohang. Denda
ini jika dirupiahkan setara dengan Rp. 1.200.000 ditambah dengan sehelai kain
putih dan kayu yang diambil dari hutan keramat harus dikembalikan.
2.
Borong Batasayya (Hutan Perbatasan) merupakan hutan
yang diperbolehkan diambil kayunya sepanjang persediaan kayu masih ada dan
dengan seizin dari Amma Toa selaku pemimpin adat. Jadi keputusan akhir bisa
tidaknya masyarakat mengambil kayu di hutan ini tergantung dari Amma Toa. Kayu
pun yang ada dalam hutan ini hanya diperbolehkan untuk membangun sarana umum,
dan bagi komunitas Amma Toa yang tidak mampu membangun rumah. Selain dari
tujuan itu, tidak akan diizinkan.
Hanya beberapa jenis kayu yang boleh ditebang, yaitu kayu
Asa, Nyatoh dan Pangi. Jumlahnya yang diminta harus sesuai dengan kebutuhannya.
Sehingga tidak jarang, kayu yang diminta akan dikurangi oleh Amma Toa. Kemudian
ukuran kayunya pun ditentukan oleh Amma Toa sendiri.
Syarat yang paling utama adalah ketika ingin menebang pohon,
maka pertama - tama orang yang bersangkutan wajib menanam pohon sebagai
penggantinya. Kalau pohon itu sudah tumbuh dengan baik, maka penebangan pohon
baru bisa dilakukan. Penebangan 1 jenis pohon, maka seseorang harus menanam 2
pohon yang sejenis di lokasi yang telah ditentukan oleh Amma Toa. Penebangan
pohon itu memakai alat tradisional berupa kampak atau parang. Dan kayu yang
habis ditebang harus dikeluarkan dari hutan dengan cara digotong atau dipanggul
dan tidak boleh ditarik karena akan merusak tumbuhan lain yang berada di sekitarnya.
Pelanggaran di dalam kawasan hutan perbatasan ini, seperti
menebang tanpa seizin Ammatoa atau menebang kayu lebih dari yang diperkenankan,
akan dikenai sanksi. Sanksinya dikenal dengan istilah Tangnga Ba’bala’.
Sanksi ini mendenda pelakunya sebesar Sangantuju real (8 real) atau 12 ohang,
yang setara dengan Rp. 800.000,- ditambah dengan satu gulung kain putih. Selain
itu, dikenal juga sanksi ringan (Cappa’ Ba’bala’), yang dikenakan atas
pelanggaran ringan, seperti kelalaian yang menyebabkan kayu dalam kawasan hutan
mengalami kerusakan/tumbang. Untuk pelanggaran ini dikenakan sanksi berupa
denda sebesar Appa’ real (4 real) atau 8 ohang, setara dengan Rp. 400.000,-
ditambah satu gulung kain putih.
Sanksi terakhir ini dapat juga dijatuhkan kepada orang yang
menebang pohon dari kebun warga masyarakat Amma Toa, yang selanjutnya mengenai
hal ini akan dijelaskan pada bagian di bawah ini.
3.
Borong Luara’ (Hutan Rakyat)
merupakan hutan yang bisa dikelola oleh masyarakat. Meskipun kebanyakan hutan
jenis ini dikuasai oleh rakyat, aturan - aturan adat mengenai pengelolaan hutan
di kawasan ini masih berlaku. Tidak diperbolehkan adanya kesewenang - wenangan
memanfaatkan hutan rakyat ini.
Selain sanksi berupa denda, seperti yang telah dijelaskan di
atas, juga terdapat sanksi berupa hukuman adat. Hukuman adat sangat
mempengaruhi kelestarian hutan karena ia berupa sanksi sosial yang dianggap
oleh komunitas Amma Toa lebih berat dari sanksi denda yang diterima. Sanksi
sosial itu berupa pengucilan. Dan lebih menakutkan lagi karena pengucilan ini
akan berlaku juga bagi seluruh keluarga sampai generasi ke tujuh (tujuh
turunan). Namun sanksi ini merupakan bagian dari Poko’ Ba’bala’.
Selain kepercayaanya, faktor yang berpengaruh untuk menjaga
keseimbangan sumberdaya hutan adalah utuhnya pandangan mereka terhadap asal
mula leluhurnya bahwa manusia berkembang dimulai dari Amma Toa pertama sebagai
Tomanurung dan dunia meluas dimulai dari hutan Tombolo (Tana Toa), dimana manusia
pertama itu (Amma Toa) “turun” di hutan Tombolo. Itulah keyakinan mereka
terhadap leluhurnya yang hingga saat ini masih melekat dipikiran dan hati
sanubari warga masyarakat Kajang.
Pemahaman masyarakat Ammatoa terhadap sumberdaya hutan
sendiri dilandasi oleh prinsip hidup tallasa kamase - masea (kesederhanaan) dan
ajaran pasang sebagai suatu nilai yang dipegang erat. Masyrakat Ammatoa
meyakini, merawat hutan merupakan bagian dari ajaran pasang, karena hutan
memiliki kekuatan gaib yang dapat mensejahterakan, sekaligus mendatangkan
bencana manakala tidak dijaga kelestariannya. Untuk itu mereka senantiasa
memelihara hutan agar terhindar dari mara bahaya yang dapat mengancam kehidupan
mereka.
Mereka yakin dan percaya bahwa di sekitarnya terhadap
sesuatu kekuatan “supernatural” yang bagi manusia tidak mampu menghadapinya.
Untuk itu mereka senantiasa mengadakan upacara-upacara di hutan agar terhindar
dari mara bahaya yang dapat mengancam kehidupannya. Dengan modal Pasang
tersebut, masyarakat adat kajang menjadi bukti betapa kuatnya kearifan lokal
masyarakat adat Kajang dalam pengelolaan hutan. ”Dengan Pasang inilah semua
bentuk pemanfaatan dan pengelolaan hutan diatur dengan jelas termasuk menjadi
alat pengawasan serta kontrol atas semua aktivitas yang berhubungan dengan
kehutanan.
Persepsi masyarakat Kajang terhadap alam, bahwa di alam ini
ada kekuatan-kekuatan dan kekuatan - kekuatan itu ada pada benda - benda, pohon
besar dan lain-lain. Kekuatan - kekuatan alam itu ada pada gejala atau
peristiwa alam yang digerakkan oleh dewa-dewa seperti kekuatan - kekuatan yang
ada di hutan.
Selain ajaran Pasang, masyarakat yang kesehariannya serba
berpakian hitam ini, juga memiliki aturan adat yang disebut Patuntung.
Patuntung adalah sebuah aturan adat yang berhubungan dengan upaya - upaya untuk
mempertahankan pengelolaan hutan yang lestari. Hal tersebut tidak terlepas dari
keyakinan masyarakat adat Kajang bahwa hutan adalah merupakan bagian yang tidak
bisa dipisahkan dalam melangsungkan kehidupan mereka. Terbukanya akses dengan
masyarakat luar, Patuntung menjadi sangat penting dalam menjaga kelestarian
ekosistem dan mempertahankan fungsi - fungsi hutan adat Kajang karena disamping
pengaturannya yang terkait dengan pengelolaan hutan, Patuntung juga memiliki
nilai ritual. “Oleh karena itu, perlakuan masyarakat adat Kajang terhadap hutan
tidak semata - mata hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari - hari, tapi untuk
kepentingan menjaga keseimbangan ekosistem dan kepentingan ritualnya.
Pengaruh kehidupan modern, bagi masyarakat adat Kajang juga
memiliki pengetahuan bahwa kayu atau hutan adalah memiliki nilai ekonomi yang
sangat tinggi. Namun mereka masih sangat menghormati dan menjunjung tinggi
peranan hutan sebagai hal yang sangat sakral. Karena itu prilaku keseharian
masyarakat adat Kajang masih diwarnai oleh tindakan yang mementingkan
keseimbangan antara spritual dan ekonomi.
Dalam hutan adat, warga adat dilarang menanam dan memotong
kayu di kawasan hutan adat. Karena diragukan pada suatu saat nanti mereka
menebang pohon karena pohon itu adalah pohon yang ditanamnya di masa lalu.
Masyarakat Ammatoa dalam menjaga hubungannya dengan sumber
daya alam terletak pada pandangannya yang tidak dibenarkan untuk
mengeksploitasi sumber daya alam secara berlebihan, seperti mengelolah tanah
lebih dari satu kali dalam setahun, untuk memperoleh hasil yang lebih banyak.
Etos kerja bagi masyarakat Ammatoa tidak lebih hanya bermotif
"menjaga" yakni mengumpulkan bahan makanan sebanyak mungkin agar
dapat dimanfaatkan pada saat tertentu seperti kegiatan - kegiatan upacara
dengan tidak menguras sumber daya alam.
Butir - butir pasang yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya hutan yang dipegang teguh masyarakat adat Ammatoa : Pasang satu : "Jagai Linoa Lolong Bonena. Kammayya Tompa Langika. Siagang Rupa Taua. Siagang Boronga". Dalam bahasa Indonesia berarti (jagalah dunia beserta isinya, begitu juga langit, manusia dan hutan).
Butir - butir pasang yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya hutan yang dipegang teguh masyarakat adat Ammatoa : Pasang satu : "Jagai Linoa Lolong Bonena. Kammayya Tompa Langika. Siagang Rupa Taua. Siagang Boronga". Dalam bahasa Indonesia berarti (jagalah dunia beserta isinya, begitu juga langit, manusia dan hutan).
Oleh mereka ungkapan ini dipercaya sebagai pesan pertama
dari Turie' A'ra'na (Tuhan YME) kepada Ammatoa (Tau Marioloa),
yang menyatakan bahwa ekositem dunia (Lino) adalah sumber kehidupan yang
menjadi jaminan keberadaan umat manusia di muka bumi. Selanjutnya ada pasang
lain yang mengingatkan akan ketergantungan terhadap sumber daya hutan sebagai sumber
hujan yang demikian besar, sehingga upaya pelestarian adalah amanah yang harus
dijalankan oleh seluruh warga masyarakat Ammatoa.
Pasang ini mengingatkan bahwa kalau terjadi penebangan kayu
di hutan secara terus menerus tanpa ada upaya pemulihan, maka akan mengurangi
hujan dan menghilangkan sumber mata air. Oleh karena itu, menurut pasang adalah
tidak dibenarkan dan apabila terjadi penebangan maka diidentifikasi sebagai
melanggar pasang. Pasang ini secara administratif dijalankan oleh Galla Puto
(lembaga yang khusus menangani hutan.
Sedangkan bagi masyarakat yang membutuhkan kayu di hutan,
pertama harus disampaikan kepada Galla Puto. Kemudian, Galla Puto akan
menyampaikan kepada Ammatoa. Setelah Ammatoa menganalisis kebutuhan masyarakat,
maka selanjutnya diserahkan kepada Galla Lombo'. Galla Lombo' bersama Galla
Puto memeriksa ketersediaan kayu di hutan batasannya (Boronga Batasayya).
Pemanfaatan kayu hanya sebatas membangun rumah, bukan untuk diperdagangkan.
Sebelum menebang satu pohon diwajibkan menanam pohon minimal dua pohon.
Pesan - pesan Suci Dari suci yang dipercaya masyarakat adat
Tanah Toa Kajang, dan diyakini berasal dari Tau Rie’a A’ra’na (Pencipta
Segala Sesuatu, Yang Maha Kekal dan Maha Mengetahui), yang diturunkan kepada
manusia pertama yang disebut Ammatoa
Naparanakkang Juku
Napaloliko Raung Kuju
Nahambangiko Allo
Nabatuiko Ere Bosi
Napalolo Rang Ere Tua
Nakajariangko Tinanang
Napaloliko Raung Kuju
Nahambangiko Allo
Nabatuiko Ere Bosi
Napalolo Rang Ere Tua
Nakajariangko Tinanang
Pesan-pesan itu memiliki arti :
Ikan bersibak
Pohon - pohon bersemi
Matahari bersinar
Hujan turun
Air tuak menetes
Segala tanaman menjadi tumbuh
Pohon - pohon bersemi
Matahari bersinar
Hujan turun
Air tuak menetes
Segala tanaman menjadi tumbuh
Masyarakat yang memiliki pesan-pesan suci untuk berbaur
dengan alam dan menghargai alam. Masyarakat adat yang di banyak bagian negara
ini sering terjepit dan menjadi anak tiri pertiwi. Inilah potret masyarakat
kita, yang tentunya harus dihargai, bukan untuk dirusak.
Kearifan lokal masyarakat Kajang Ammatoa dalam mengelola
hutan sangatlah baik. Tetap terpatri di dalam jiwa mereka untuk selalu menjaga
dan melestarikan hutan karena hutan merupakan kekayaan alam yang dimilikinya
dan merupakan pusat kebudayaan dimana adat Kajang Ammatoa berada. Tidak ada
hasil hutan yang boleh diganggu karena di dalam hutan terdapat kekayaan yang
merupakan penjaga berupa :
1.
Rotan
2.
Kayu
3.
Udang
4.
Lebah
(*Galla
Pantama)
Untuk menjaga kelestarian hutan, maka Ammatoalah yang
berperan dalam menghimbau kepada warganya untuk tidak melakukan penebangan dan
perambahan hasil hutan. Mereka juga menyadari bahwa perambahan hutan merupakan
cikal bakal kerusakan hutan dan pemanasan global.
B. BENTANG SOSIAL
1. Sekilas Tentang Desa Yang Diteliti
Kawasan adat Ammatoa terletak di Desa Tana Toa kecamatan
Kajang Kabupaten Bulukumba. Warga kawasan adat Ammatoa yang
secara intensif berhubungan dengan dunia luar kawasan. Mereka
adalah masyarakat adat yang bersekolah dan berkuliah di kota.
Persentuhan tersebut menimbulkan satu gendre pemahaman baru
yang memberikan implikasi pada warga tersebut. Implikasi yang paling nyata
adalah bahwa masyarakat yang keluar dari kawasan dalam jangka waktu tertentu
dan kemudian ke kawasan adat akan membawa perangkat modernitas. Perangkat
tersebut bukan hanya barang materil, melainkan juga pemahaman baru. Akibatnya,
ada peniruan - peniruan dari masyarakat tersebut yang diaplikasikan dalam pola
kehidupannya.
Meskipun begitu adanya, mereka masih tetap menghargai dan
menjunjung tinggi nilai adat dan menjunjung tinggi Ammatoa sebagai pemangku
adat.
Lapisan masyarakat adat Ammatoa terdiri dari
3, yaitu :
1.
La’biria (dalam hal ini Kepala
Kecamatan Kajang).
2.
Puto (gelar Ammatoa dan para
pengikutnya).
3.
Puang (gelar untuk masyarakat adat
Kajang Luar).
Ada hal yang sangat menarik di dalam kehidupan bertetangga
dalam kawasan adat ini yaitu pada saat diadakannya acara adat misalnya Akkattere
(memotong rambut), maka warga akan berdatangan dengan membawa Passolo’
(bingkisan) berupa beras, uang dll.
2. Administrasi Wilayah
Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, Indonesia, koordinat
geografisnya 5 ° 33 '0 "South, 120 ° 11' 0" Timur dan nama aslinya
(dengan Diakritik) adalah Bulukumba). Lokasi Penelitian yaitu di “Kawasan Adat
Ammatoa” yang bertempat di Desa Tana Toa, Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba
Provinsi Sulawesi Selatan yang berada sekitar 250 km dari kota Makassar,
Provinsi Sulawesi Selatan. Menurut tempat mukimnya, suku Kajang terbagi dalam
dua kelompok yaitu suku Kajang Luar Dalam dan Suku Kajang Dalam. Suku Kajang
Dalam meliputi tujuh dusun di Desa Tana Toa. Pusat kegiatan komunitas suku
Kajang Ammatoa berada di Suku Kajang Dalam tempatnya di dusun Benteng. Wilayah
komunitas masyarakat adat kawasan hutan Tana Toa Kajang tersebut adalah :
a.
Kawasan Adat Dalam
Komunitas masyarakat adat Kajang
dalam terbagi atas beberapa wilayah administrasi pemerintahan desa, antara lain
:
-
Sebelah Selatan dengan nama Seppa.
-
Sebelah Barat dengan nama
Doro.
-
Sebelah Utara dengan nama Tuli.
-
Sebelah Timur dengan nama Limba.
b. Kawasan Adat Luar
-
Sebelah Selatan berbatasan dengan
Kecamatan Ujung Loe.
-
Sebelah Barat berbatasan
dengan Kecamatan Herlang.
-
Sebelah Utara berbatasan dengan
Kecamatan Sinjai.
-
Sebelah Timur berbatasan dengan
Kecamatan Bulukumpa.
(* Ir. Tamzil dkk).
Luas Hutan
Kawasan Hutan Tana Toa Kajang, berdasarkan Kepmenhut Nomor:
504/Kpts-II/1997 terdiri atas 331,17 ha. Kawasan hutan di Tana Toa Kajang
ditetapkan sebagai Hutan Produksi Terbatas, hal tersebut bisa dibaca dalam buku
Tata Guna Hutan Kesepakatan Provinsi Sulawesi Selatan tahun 1999.
Luas kawasan hutan Tana Toa ini adalah 331,17 ha secara
keseluruhan, baik yang termasuk wilayah Kajang dalam maupun Kajang luar. Dan
dari 331,17 ha tersebut, sekitar 90 ha digunakan sebagai lahan pertanian tadah
hujan. Tanaman yang dibudidayakan di atas lahan seluas itu cukup beragam, di
antaranya padi, jagung, coklat, kopi, dan lain-lain. Luas Hutan Adat (Borong
Karama’) yaitu ± 115 ha. Luas hutan adat tidak dapat diketahui pasti berapa
luasnya, hal itu dikarenakan belum pernahnya diadakan pemetaan. Namun sekianlah
menurut mantan kepala desa Desa Tana Toa, Abdul Kahar Muslim.
Struktrur
Pemerintahan
Ammatoa sangat berpengaruh dalam aspek pemerintahan. Sosok
Ammatoa yang ramah, tenang, berperawakan sedang, berkulit putih dan sorot mata
yang tajam tapi bersahabat. Sayangnya, beliau tidak bisa di abadikan dalam
beberapa kesempatan.
Selain sebagai pemimpin adat, Ammatoa bertugas sebagai
penegak hukum dan membagi otoritas pemerintahan sebagaimana dipesankan dalam Pasang
Ri Kajang. Komunitas adat Kajang menerapkan ketentuan - ketentuan adat
dalam kehidupan sehari-hari termasuk dalam pemanfaatan hutan. Otoritas
pemerintahan sebagaimana yang ditetapkan dalam pasang :
Amma mana’ ada’ : Amma melahirkan adat
Amma mana’ karaeng : Amma melahirkan pemerintah
STRUKTUR LEMBAGA ADAT
Dengan strukturisasi tersebut, Ammatoa
menempati pucuk pimpinan.
- Ammatoa sebagai pimpinan.
- Karaeng Tallu (Penasehat) yang meliputi : Karaeng La’biria (Karaeng Kajang : Camat Kajang), Sulehatang (Kepala Kelurahan), Moncong Buloa (Karaeng Tambangan).
3.
Ammatoa didampingi dua orang Anrong
(ibu) masing - masing Anrongta ri Pangi dan Anrongta ri Bungki. Anrongta
ri Pangi bertugas melantik Ammatoa. Selain itu, dalam sistem politik
tradisional yang berlaku di Kajang, Ammatoa juga dibantu oleh yang disebut
sebagai Ada’ Lima Karaeng Tallu.
- Ada’ Limayya yang terbagi atas dua adat.
Pertama
: Tana Lohea yang terdiri dari Galla Anjuruk, Galla Ganta, Galla
Sangkala, Galla Sopa’ dan Galla Bantalang
Kedua
: Tana Kekkesea yang memiliki beberapa tanggung jawab penting dalam
masyarakat adat meliputi : Galla Lombo’ (memiliki tugas menerima tamu
dan mengutus utusan untuk mengikuti upacara adat, baik di tingkat kabupaten
maupun tingkat nasional. Posisi Galla Lombo’ selalu diisi oleh
Kepala Desa Tana Toa). Galla Pantama (mengurusi masalah pertanian),
Galla Kajang (mengurus masalah ritual), Galla Puto (bertindak sebagai
juru bicara Ammatoa). Galla Malleleng (mengurusi masalah
kebutuhan ikan untuk digunakan pada acara adat).
- Perangkat tambahan yang membantu tugas Ammatoa : Galla Jo’jolo, Galla Tu Toa Sangkala, Tu Toa Ganta’, Anrong Guru, Kadaha, Karaeng Pattongko’, Lompo Karaeng, Lompo Ada’, Loha, Kammula, Kali (Imam), dan Panre (Pandai Besi).
Strukturalisasi tersebut jelas
menunjukkan bahwa Ammatoa memiliki dua fungsi, yakni pemimpin adat dan
pemerintahan. Namun dalam praktiknya, Ammatoa sekedar memiliki fungsi
dalam aspek spiritual. Camat Kajang yang semestinya dilantik oleh Ammatoa kini
tidak lagi. Bahkan sebaliknya, Camat Kajang yang semestinya.
Proses Pemilihan Ammatoa
Dalam pemimpinan adat di Kawasan Adat Ammatoa,
ditunjuk seorang pimpinan yang disebut Ammatoa (pemimpin tertua), lalu di
bawahnya ada pemangku adat lain sesuai dengan bidangnya masing - masing. Dalam
pertemuan antara berbagai elemen itu, soal utama yang dibahas adalah munculnya
dua Ammatoa. Saat itu ada dua orang yang mengaku menjadi Ammatoa, yaitu Puto
Palasa dan Puto Bekkong.
Pertemuan dipandu oleh pemangku adat yang bergelar Galla,
yaitu Galla Lombo’. Sebelumnya, ia menjelaskan mengenai aturan dalam pasang
ri Kajang dalam proses pemilihan Ammatoa. Di sana dikatakan bahwa yang
berhak mendapat gelar Ammatoa adalah yang sanggup melewati proses pengangkatan
yang terdiri dari empat tahapan.
Dalam kesaksian salah satu pemangku adat, empat tahapan itu
sudah dilalui oleh keduanya. Dalam proses itu Puto Palasa yang berhasil melalui
empat tahapan. Sementara Puto Bekkong, tidak sampai mengikuti seluruh tahapan.
Oleh karena itu, secara hukum adat Kajang, yang berhak menjabat Ammatoa adalah
Puto Palasa yang usianya lebih muda dari Puto Bekkong. Dari hasil ini
diputuskan bahwa Puto Palasa yang berhak menjadi Ammatoa.
Beberapa hari sebelumnya telah berlangsung pertemuan serupa,
dihadiri para pemangku adat butta Kajang. Dengan disaksikan warga komunitas
adat Kajang dan unsur pemerintah setempat, pertemuan tersebut berusaha mencari
solusi dualisme Ammatoa.
Pertemuan itu berupaya membahas duduk perkara terjadinya
dualisme dan mendamaikan dua kubu yang bersengketa, antara pihak Puto Bekkong
dan Puto Palasa (keduanya merasa sebagai Ammatoa).
Akhirnya, setelah melewati urun rembug yang menyita waktu
hampir enam jam, disepakati yang menjadi Ammatoa adalah Puto Bekkong. Keputusan
tersebut diambil berdasarkan pengakuan Anrongta ri Pangi, orang yang berhak
melantik Ammatoa. Dalam pengakuannya, ia mengatakan:
Oh anakku ia ngngase irate nasaba maimmi kulanti’ Ammatoa
siurang atorang riolo mariolo, iamintu i Puto Bekkong. Kuerai nupalekkoki
nanutimbahoi, nasaba malla inakke allese riatorang riolo mariolo. Inakke
tanggung jawa’ ri lino, sambenna ri allo ri boko saba tojeng nasiurang
kalambusang, kupaingakko anak.Lambusukko nu karaeng. Pissonaku nu
guru.
Gattangko nu ada. Sabbarakko nusanro. Salama’ kointu ri lino sambenna ri allo ri book Ako jamai’i punna tania jamannu.
Gattangko nu ada. Sabbarakko nusanro. Salama’ kointu ri lino sambenna ri allo ri book Ako jamai’i punna tania jamannu.
Artinya:
Hai anakku, berdasarkan aturan yang berlaku turun temurun, dengan ini sudah saya lantik yaitu Puto Bekkong sebagai Ammatoa. Saya tidak menyeleweng dari aturan nenek moyang kita. Saya bertanggung jawab di dunia dan akhirat atas apa yang sudah saya lakukan. Saya ingatkan kamu anakku: Lurus dalam memerintah. Pasrah seperti ulama. Tegas pada aturan adat. Sabar seperti orang yang berilmu tinggi. Niscaya kamu akan selamat di dunia dan akhirat kelak. Jangan mengerjakan hal yang bukan pekerjaanmu.
Hai anakku, berdasarkan aturan yang berlaku turun temurun, dengan ini sudah saya lantik yaitu Puto Bekkong sebagai Ammatoa. Saya tidak menyeleweng dari aturan nenek moyang kita. Saya bertanggung jawab di dunia dan akhirat atas apa yang sudah saya lakukan. Saya ingatkan kamu anakku: Lurus dalam memerintah. Pasrah seperti ulama. Tegas pada aturan adat. Sabar seperti orang yang berilmu tinggi. Niscaya kamu akan selamat di dunia dan akhirat kelak. Jangan mengerjakan hal yang bukan pekerjaanmu.
***
3.
Keadaan Penduduk dan Mata Pencaharian
Sebagian besar masyarakat adat Kajang Ammatoa berprofesi
sebagai petani. Pada waktu - waktu tertentu, banyak masyarakat yang merantau ke
luar kawasan adat.
Beberapa masyarakat bekerja sebagai sebagai petani dan kuli
bangunan di kota Makassar dan beberapa daerah lain di Sulawesi Selatan.
Aktiitas tersebut dilakukan untuk mengumpulkan uang menafkahi hidup
keluarganya.
Dan sebagian lainnya tetap tinggal di dalam kawasan adat
untuk mengelola sumber daya alam yang dimilikinya. Berikut penggolongan mata
pencaharian masyarakat adat Ammatoa.
1. Bercocok tanam/bertani : antara lain makanan pokok
misalnya padi, jagung dan buah – buahan.
2. Beternak : adapun hewan yang diternakkan seperti ayam,
kuda, sapi, kerbau dll.
3. Menenun : hasil tenunan berupa hasil industri rumah
tangga berupa kain hitam untuk dijadikan baju le’leng (baju hitam), Tope
(sarung hitam), Passapu (kain hitam yang dililit di kepala menjadi
topi/songkok yang dikenakan oleh kaum laki - laki).
4. Berdagang : jenis - jenis barang yang
diperdagangkan antara lain dari hasil pertanian, hewan ternak dan hasil
industri rumah tangga berupa hasil tenunan. Mereka berdagang di luar kawasan
adat karena tidak terdapat pasar di dalam kawasan adat.
4. Keadaan Pendidikan
Mayoritas masyarakat komunitas Ammatoa tidak memiliki pengalaman formal. Namun
pada persoalan ajaran norma dan nilai - nilai, masyarakat adat Ammatoa mampu
mengajarkan kearifan dan kesederhanaan yang disampaikan secara turun temurun
dari generasi ke generasi. Variabel tersebut dapat dijadikan sebagai optik
untuk memandang adat Ammatoa dalam menentukan pilihan sikap terhadap
keleluhuran ajaran adat Kajang.
Hanya saja keleluhuran aspek adat mulai terkikis dengan berbagai mistifikasi
modern. Kronik paradigma modern yang membawa kesadaran baru dan menanggapi
realitas kontekstual yang dihadapi komunitas Ammatoa.
Hanya sebagian kecil masyarakat di sana yang berkeinginan untuk menempuh
pendidikan formal dan mereka menempuh pendidikan di luar kawasan adat karena
tidak terdapat sekolah di dalam kawasan adat. Umumnya hanya mengenyam
pendidikan hingga SD hingga SMP. Dan sebagian lagi hingga SMA.
Sekolah SD dan SMP yang dibangun di dekat masjid di perbatasan kawsan Adat
Kajang Dalam dengan Adat Kajang Luar sebelum pintu gerbang pada
awalnya memicu konflik karena pemilik lahan tempat membangun sekolah tidak
mendapat ganti rugi oleh pemerintah. Karena konflik itulah, maka sekolah
tersebut disegel. Akan tetapi setelah dilakukan pendekatan yang baik, maka
segel sekolah kembali dibuka oleh warga. Anak - anak dilarang bersekolah karena
orang tua mereka menganggap apabila anak - anaknya sudah pintar, maka anak -
anak mereka akan dibawa oleh bangsa Belanda. Dan setelah dilakukan pendekatan –
pendekatan dan pengarahan akan pentingnya pendidikan, maka sebagian masyarakat
adat Kajang Ammatoa mulai menyekolahkan anak - anak mereka di tingkat
SD, SMP hingga SMA.
Dan hanya sebagian kecil yang mengenyam pendidikan di tingkat Universitas.
Sebut saja Ramlah (anak dari Ammatoa Puto Palasa) yang berkuliah
di Universitas Muhammadiyah Makassar dan mengambil jurusan Bahasa Inggris, dan
tentu saja berpengaruh pada modernisasi dan teknologi khususnya
penggunaan telepon genggang (Handphone). Bahkan sudah ada warga yang menjadi
seorang Insinyur Pertanian, akan tetapi mereka mengaplikasikan ilmu mereka di
luar kawasan adat.
Begitu pula dengan dibangunnya kelas jauh UVRI (Universitas Veteran Republik
Indonesia) di kecamatan Kajang, maka sebagian warga adat Ammatoa
berkuliah di sana. Intinya, mereka masih perlu himbauan untuk mengenal
pendidikan. (*Muh. Sain/Staff Kecamatan Kajang).
Persoalan yang sangat fatal yaitu transformasi ilmu yang kurang maksimal.
Kearifan orang Kajang merupakan bentuk kekayaan kebudayaan yang sangat mulia
karena mengedepankan keseimbangan terhadap alam. Bahkan pemerintah setempat
yang turut bercermin kepada kearifan mereka di dalam melestarikan hutan. Kamase
- mase sebagai prinsip hidup menjadi penanda identitas manusia kajang yang
sederhana, harmonis, dan menegdepankan pemahaman trasendensi pada Turie’a
A’ra’na dalam menentukan sikap adalah ajaran luhur. Masyarakat Kajang
mengajarkan untuk memnafaatkan bahan alam secara berimbang dan sesuai
kebutuhan. Demikian halnya dalam membuat perangkat keseharian, kesemuanya
diaktualisasikan dengan sangat bijaksana dan sederhana.
Ajaran Kamase - masea yang ada di komunitas adat Kajang merupakan
warisan ilmu yang ditransformasikan secara turun - temurun. Persoalan
transformasi ilmu nampak pada pemahaman akan prinsip ideal Kamase - masea
yang dipahami secara serampangan terutama oleh kaum muda masyarakat Ammatoa.
Berdasarkan temuan di lapangan, mayoritas kaum muda hanya sekedar memaknai Kamase
- masea pada aspek permukaan semata. Artinya, Kamase - Masea sekedar
ditafsirkan sebagai situasi miskin atau sederhana semata.
makasih yuah teman udah berkunjung,,, semoga artikel ini dapat memberi pengetahuan baru.. Ok silahkan berkomentar..
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !