GAGASAN PERDAGANGAN KARBON: Sanggupkah memberikan manfaat bagi
hutan tropis?
Diantara sebagian besar
manfaatnya saat ini muncul paradigma baru tentang peran hutan sebagai penyimpan
karbon. Disebutkan bahwa biomas pohon dan vegetasi di hutan berisi cadangan
karbon yang sangat besar yang dapat memberikan keseimbangan siklus karbon bagi
keperluan seluruh mahluk hidup di muka bumi.
Emisi (buangan) industri merupakan sumber kerusakan utama
terbentuhya karbon di atmosfir yang menyebabkan terjadinya pemanasan bumi
("global warming") dan perubahan iklim. "Kyoto Protokol
1997" dengan United Nation Framework Convention on Climate Change-nya
membuat suatu mckanisme baru dimana negara-negara industri dan negara penghasil
polutan terbesar diberi kesempatan untuk melakukan kompensasi dengan cara
membayar negara-negara berkembang untuk mencadangkan hutan tropis yang mereka
miliki sehingga tedadi "sequestration" atau penyimpanan sejumlah
besar karbon.
Proyek seperti ini mempunyai
peluang yang cukup menarik bagi sejumlah masyarakat yang percaya bahwa upaya
konservasi hutan tropis akan sulit dilakukan jika, seperti haInya layanan
masyarakat, manfaat terhadap lingkungan tersebut fidak dinilai secara layak
dengan uang atau melalui sistem pembayaran.
Kebanyakan penelitian tentang isu
ini difokuskan pada aspek teknis kelayakan perdagangan karbon, seperti metodologi
pengukuran karbon dan proyek penghitungan biaya penurunan emisi. Sebaliknya,
pada tahun 1998,CIFOR menjajaki berbagai isu sosial dan lingkungan yang
berkaitan dengan perdagangan karbon - bidang yang sampai sejauh ini mendapat
sedikit perhatian.
Pada tahun 1998, CIFOR mengadakan
kerjasama dengan Universitas Maryland untuk menyusun suatu kerangka dasar bahan
dialog international yang akan mempertimbangkan proyek carbon sequestration dan
merancang suatu pedoman yang menjamin bahwa proyek tersebut akan memberikan
dampak positif dari segi sosial dan lingkungan. Tidak seperti kebanyakan
gagasan kebijakan lainnya di bidang ini, dialog juga akan melibatkan pandangan
beberapa perwakilan berbagai kelompok yang berurusan langsung dengan
pemanfaatan hutan tropis.
Hasil konferensi akan memberikan
informasi penting tentang latar belakang upaya yang akan dilakukan pada tahun
2000 untuk menentukan mekanisme penerapan "carbon sequestration"
sesuai Kyoto Protocol. Temuan ini juga diharapkan menarik banyak perhatian lembaga-lembaga
pengembangan kehutanan, lingkungan dan ekonomi yang terlibat dalam isu
kebijakan penting ini.
Dengan bantuan dana dari Agency
for International Development atau Badan Pembangunan Internasional, USA, pada
tahun 1998 CIFOR melakukan dua buah kajian yang diharapkan dapat memberikan
gambaran lebih jauh yang bermanfaat bagi para penanam modal serta tuan rumah
untuk merencanakan dan mempromosikan penggunaan gagasan "carbon
sequestration" ini. Di kedua proyek ini, para, ilmuwan CIFOR bekerjasama
dengan para peneliti dari Tropical Agronomy Teaching and Research Centre
(CATIE) dan Centre for Social and Economic Research on the Environmental
(CSERGE) pada University College London.
Studi pertama menyelidiki tentang
dampak program nasional inovatif di Costa Rica yang memberikan pembayaran
periodik kepada para pemilik lahan swasta untuk menyerahkan haknya kepada
pemerintah dalam rangka "menjual" jasa lingkungan dari lahan hutan
yang mereka miliki (termasuk penyimpanan karbon). Peneliti melakukan wawancara
dengan para pemilik lahan hutan dan lainnya di Kawasan Konservasi Pusat
Cordillera Volcanica yang tercakup dalam program tersebut. Sejumlah kriteria
dan indikator ekologi, sosial dan ekonomi direncanakan dengan tujuan untuk
menganalisa persepsi tentang manfaat kegiatan permudaan dan perlindungan hutan
serta pembangunan hutan tanaman di dalam kawasan yang tercakup dalam program
kompensasi ini dibandingkan. dengan alternatif pemanfaatan lahan yang
ditawarkan pada umumnya yaitu peternakan secara. ekstensif
Para peneliti menemukan bahwa
program di Costa Rica ini menawarkan suatu model yang memudahkan negara tuan
rumah untuk mengambil keuntungan dari kesempatan tersedianya dana yang dapat
diperoleh melalui perdagangan karbon tanpa harus merusak rencana tata guna lahan
secara nasional. Bagaimanapun juga mereka mengingatkan bahwa model tersebut
mungkin tidak sesuai bagi negara yang sangat miskin (tidak seperti Costa Rica)
dimana mereka tidak mampu untuk memungut pajak dari masyarakat untuk membiayai
program tersebut, atau bagi negara yang upaya konservasi hutannya tidak
mendapatkan prioritas nasional yang tinggi.
Studi yang kedua dirancang untuk
menentukan motivasi dan. kepedulian yang mempengaruhi suatu. keputusan untuk
ikut berperan serta dalarn proyek penyimpanan karbon. Mereka yang diwawancara
adalah 27 investor pionir terkemuka di bidang perdagangan pelayanan penyimpanan
karbon, termasuk investor, perantara (broker), pengembang proyek, pengelola
dana dan lembaga pernerintah di United States, United Kingdom dan Eropa.
Meskipun hasil survey
mengindikasikan bahwa hubungan masyarakat merupakan alasan utama untuk ikut
serta dalam program perdagangan karbon ini, namun efektifitas biaya tetap
menjadi pertimbangan utama yang penting. Hasil ternuan. menyatakan bahwa
pendekatan yang di dorong oleh pasar secara. murni tanpa adanya aturan.
cenderung mengutamakan efisiensi penggunaan karbon dan mengabaikan
pertimbangan. sosial dan lingkungan. Meskipun demikian tampak pertanda yang
cukup menggembirakan bahwa para investor pionir memperhatikan kepentingan.
manfaat sosial dan lingkungannya.
Berdasarkan studi yang dilakukan,
para peneliti menyimpulkan bahwa penilaian tahap awal perdagangan karbon yang
dianggap merupakan pernecahan "win-win" (menguntungkan kedua belah
pihak) bagi seluruh stakeholder mungkin dianggap terlalu optimis. Hasil analisa
yang dilakukan menunjukkan beberapa kondisi dimana proyek penyimpanan karbon di
bidang kehutanan ini mungkin sesuai untuk diterapkan. Disamping itu mereka juga
menyoroti beberapa aspek pengamanan yang mungkin diperlukan.
KELAYAKAN KOMPENSASI PERDAGANGAN KARBON
Munculnya isu perdagangan karbon
internasional dilatar belakangi adanya “Global Warming” (Pemanasan Global),
sebagai efek rumah kaca, sebagaimana yang disepakati pada Protokol Kyoto, 1997.
Emisi (hasil buangan) industry merupakan sumber kerusakan utama bagi
terbentuknya karbon di atmosfir yang menyebabkan pemanasan global. Indonesia
sebagai salah satu negara yang meratifikasi “Protokol Kyoto”
yang artinya kita juga ikut
didalam kegiatan penurunan emisi dan mekanisme pembangunan bersih (MPB),
termasuk negara yang memiliki besar didalam perdangan karbon internasional.
Menurut Menteri Negara Lingkungan
Hidup Rachmat Witoelar sektor energi memiliki potensi penjualan karbon hingga
60 juta ton, sedangkan sektor kehutanan memiliki potensi hingga 28 juta ton,
dan diperkirakan setiap tahunnya Indonesia dapat menjual 20.000 ton karbon.
Jika saat ini harga pasaran karbon di dunia internasional mencapai USD 5-6
per-ton, maka Indonesia dapat meraup keuntungan hingga USD 528 juta.
Perdagangan Karbon
Perdagangan karbon adalah
mekanisme berbasis pasar untuk membantu membatasi peningkatan CO2 di atmosfer.
Pasar perdagangan karbon sedang mengalami perkembangan yang membuat pembeli dan
penjual kredit karbon sejajar dalam peraturan perdangangan yang sudah
distandardisasi. Pemilik industri yang menghasilkan CO2 ke atmosfer memiliki
ketertarikan atau diwajibkan oleh hukum untuk menyeimbangkan emisi yang mereka
keluarkan melalui mekanisme sekuestrasi karbon (penyimpanan karbon).
Ada lima proyek yang dikembangkan
berkaitan dengan pengurangan CO2 ini yang diperkirakan akan berpotensi
menurunkan CO2 sebesar 763.000 ton yang senilai dengan 3 – 4 juta USD, dengan
asumsi 4 – 6
USD untuk setiap ton karbon.
Peran Hutan dalam Perdagangan
Karbon
Hutan kita yang dikenal sebagai
“paru-paru dunia” karena masuk dalam hutan tropis, dimana secara fisika dalam
proses fotosintesis hutan menghasilkan O2 dan menyerap CO2, merupakan siklus
penting bagi kelangsungan seluruh makhluk hidup di dunia. Fungsi hutan disini
sebagai penyerap buangan atau emisi yang dikeluarkan dari aktivitas makhluk
hidup secara keseluruhan yakni CO2, sehingga keseimbangan dapat terjaga.
Berkaitan dengan fungsi hutan tersebut, muncullah paradigma baru akan manfaat
hutan yang berperan didalam penyimpanan karbon. Disebutkan bahwa biomas pohon
dan vegetasi hutan berisi cadangan karbon yang sangat besar yang dapat
memberikan keseimbangan siklus karbon bagi keperluan seluruh makhluk hidup di
muka bumi ini.
Mekanisme baru yang muncul dalam perdagangan
karbon berkaitan dengan hutan adalah negara-negara industri dan negara-negara
penghasil polutan terbesar diberi kesempatan untuk melakukan kompensasi dengan
cara membayar negara-negara berkembang untuk mencadangkan hutan tropis yang
mereka miliki sehingga terjadi “sequestration” (penyimpanan sejumlah besar
karbon).
Lalu muncul pertanyaan hutan yang
seperti apa yang layak untuk dilakukan kompensasi. Mendasari Protokol Kyoto
dengan mewujudkan Mekanisme Pembangunan Bersih, Pemerintah telah memberikan
batasan kriteria hutan sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Menteri
Kehutanan No. P 14 Tahun 2004, tentang Tata Cara Aforestasi Dan Reforestasi
Dalam Kerangka Mekanisme Pembangunan Bersih menyebutkan bahwa hutan dalam
rangka mewujudkan Mekanisme Pembangunan Bersih adalah ;
1. Luas hutan minimal 0,25 Ha
2. Posentase penutupan tajuk 30 %
3. Tinggi pohon minimal 5 meter
Indonesia dengan luas hutan yang
cukup besar, dengan adanya kompensasi perdagangan karbon, tentunya merupakan
peluang besar untuk menambah pemasukan, guna kegiatan pembangunan, yang
tentunya tidak terlepas dari persyaratan-persyaratan yang ditetapkan oleh
negara-negara yang membeli sertifikat perdagangan karbon dari Indonesia.
Pertanyaan berikutnya adalah kelayakan nilai yang ditawarkan dari kompensasi
perdagangan karbon tersebut dengan nilai pemanfaatan yang diperoleh Indonesia
atas kompensasi tersebut.
Kelayakan Kompensasi Perdagangan
Karbon
WALHI (Wahana Lingkungan Hidup),
beberapa waktu yang lalu menggelar unjuk rasa di Denpasar Bali dalam rangka
menentang perdagangan karbon yang bakal dibicarakan pada Konvensi Perubahan
Iklim di Nusa Duas Bali. Bahkan sebuah spanduk menuliskan “Hutan Kami bukan
untuk negara-negara maju”.
Menurut Koordinator WALHI Bali
Sri Widihiyanti, langkah yang harus dilakukan adalah mengurangi emisi dari
negara-negara maju. Kenyataan yang ada bahwa Amerika dan Australia menentang
cara-cara penurunan emisi dan menawarkan solusi dalam bentuk perdagangan karbon
ini. Tanpa penurunan emisi, perdagangan karbon tidak akan mampu menurunkan
iklim global yang kini telah mencapai 0,6 derajat celsius, karena 85 % dari
total emisi dunia berasal dari negara-negara maju.
WALHI sangat menyesalkan bila
pemerintah Indonesia melanjutkan rencana untuk menjual hutan tropis Indonesia
seluas 91 juta hektar untuk penyerapan karbon dengan harga 5 – 20 dollar, yang
tidak sebanding
dengan bencana ekologis yang
telah dan akan kita alami, meski negara maju memberikan kompensasi atas semua
bencana itu. Merujuk kepada fenomena yang terjadi di atas, maka perlu dikaji
lebih lanjutan tentang kesiapan Indonesia sendiri didalam menghadapi kebijakan
tentang perdagangan karbon ini. Jika dilihat secara umum, bahwa negara-negara
berkembang sangat banyak sekali dihadapkan oleh permasalahan dalam negeri mereka,
walaupun selama ini negara maju telah konsen akan kemajuan negara berkembang.
Di Indonesia sendiri banyak hal
yang perlu dipersiapkan antara lain pembenahan aturan-aturan yang baku terhadap
perdagangan karbon ini. Wacana perdagangan karbon ini lebih dapat dilakukan
pada kondisi ekonomi yang stabil, dimana kondisi masyarakat secara umum telah
sejahtera. Sebagaimana penelitian tentang kompensasi karbon yang dilakukan di
Costa Rika, bahwa pemilik lahan yang hutan mendapat kompensasi, atas hutan yang
mereka miliki dan berkewajiban melindunginya. Namun dari penelitian ini
menyebutkan, bahwa model ini cocok di terapkan di negara dengan penduduk yang
tingkat kesejahteraan yang tinggi, dimana mereka mempunyai modal yang cukup
tinggi untuk merawat hutan.
Sementara itu untuk di negara
miskin atau negara yang berkembang, model ini kurang efektif untuk diterapkan,
dimana modal yang mereka gunakan lebih banyak kepada pembangunan ekonomi, dan
cenderung hanya sedikit untuk pembangunan hutan. Bahkan kecenderungan yang ada
yaitu pemanfaatan hutan untuk modal dalam pembangunan. Gambaran itu terlihat
dari bentuk-bentuk proyek kehutanan yang ada, belum mencapai sasaran karena
beberapa kendala, termasuk didalamnya adalah modal. Perlu digaris bawahi bahwa
didalam kegiatan kehutanan bukan hanya penanaman, tetapi juga pemeliharaan,
pengamanan dan lain-lain yang membutuhkan dana tidak sedikit. Padahal
bentuk-bentuk kegiatan juga telah dibantu oleh pihak-pihak luar yang konsen
terhadap pelestarian hutan di Indonesia.
Beberapa hal yang menyebabkan
kurang evektifnya sistem perdagangan karbon ini diterapkan di Indonesia
terlepas dari nominal harga yang ditawarkan antara lain adalah ;
Kesiapan kelembagaan untuk
mengkoordinir alokasi dana yang dikompensasikan. Harapan dari kompensasi ini
adalah dana tersebut dapat dinikmati langsung oleh masyarakat, sehingga dapat
meningkatkan taraf hidup mereka, sehingga mengurangi akses mereka terhadap
hutan.
Kesiapan regulasi yang mengatur
secara detail mulai dari tata ruang wilayah, sampai kepada sistim pembagian
kompensasi yang diperoleh.
Status kawasan hutan yang masih
tumpang tindih juga merupakan permasalahan perlu dibenahi terlebih dahulu.
Moralitas seluruh elemen yang
terkait dengan penggunaan dana kompensasi, dimana misi yang akan dicapai adalah
bagaimana masyarakat dapat hidup sejahtera dengan jalan peningkatan ekonomi
masyarakat tersebut, sehingga mengurangi dampak kegiatan mereka terhadap hutan,
yang selama ini termasuk salah satu kendala terjadinya degradasi hutan.
Namun jika kondisi Indonesia
sudah lebih stabil, dalam artian baik ekonomi maupun SDM yang ada telah siap,
maka kompensasi yang ada sah-sah saja dengan pertimbangan ;
Tanpa kompensasi tersebut, sudah
merupakan kewajiban kita untuk menjaga lingkungan dalam hal ini kelestarian
hutan dengan melihat secara ekofeminimisme, bukan anthroposentris.
Kompensasi tersebut merupakan
tambahan modal bagi Indonesia didalam pembangunan ekologi, sementara modal yang
tadinya dialokasikan untuk pembangunan lingkungan dapat dialihkan untuk tujuan
memperkuat sektor ekonomi, tanpa harus mengorbankan sumberdaya alam yang ada.
Secara global dapat dikatakan,
mampukah dengan dana kompensasi itu
negara-negara berkembang dapat meningkatkan kesejahteraan mereka dengan tetap
eksis didalam mempertahankan hutan mereka. Sehingga jangan sampai kata-kata
yang ditulis oleh WALHI dalam unjuk rasa bahwa “Negara-negara Berkembang adalah
toilet bagi negara-negara maju”. Jika ini terjadi, maka kesenjangan akan
semakin terasa, dan tingkat ketergantungan terhadap negara-negara maju semakin
tinggi.
Sebagai wacana bahwa aktivitas
perdagangan karbon telah dilakukan di Wana Riset Semboja (kalimantan),
kerjasama Gibon Indonesia dan BOS (Balikpapan Orang Utan Surfife Foundation),
dimana terdapat areal hutan seluas 100 ha, yang telah disertifikasi dan di jual
ke Jerman dengan harga USD 5 /ton. Jumlah karbon per hektar adalah 25 ton.
Kompensasi yang dihasilkan pertahun adalah kurang lebih Rp. 125.000.000,-/tahun.
Jika dikaji secara ekonomis, maka ini cukup besar, apalagi dengan luas hutan
Indonesia yang 91 juta hektar, bisa dibayangkan berapa pendapatan yang
dihasilkan dari penjualan karbon ini.
Namun secara lebih mendalam
sebagai renungan dapat dikatakan bahwa perdagangan karbon adalah bentuk
penindasan dan pengekangan negara-negara maju, dimana negara-negara berkembang
tidak bisa membangun industri-industri yang mengeluarkan emisi, karena karbon
yang mereka punya telah dijual untuk negara-negara maju dan itu membuat
ketergantungan industri terhadap negara maju. Padahal nilai kompensasi itu
tidak berarti apa-apa bagi mereka dengan keuntungan yang dihasilkan dan dijual
kembali kepada negara-negara berkembang. Inilah yang mungkin disebut kebohongan
negara-negara maju terhadap negara-negara miskin dan berkembang.
Mekanisme perdagangan karbon
Pendahuluan
Hutan Indonesia seluas 120,35
juta hektar atau seluas 63% luas daratan, merupakan hutan tropis urutan ketiga
terbesar di dunia setelah Brazil dan Zaire. Hutan merupakan sumberdaya alam
yang mempunyai berbagai fungsi, baik ekologi, ekonomi, dan sosial budaya yang
diperlukan untuk menunjang kehidupan manusia dan makhluk lainnya. Dengan
demikian, selain berperan sebagai penggerak utama (primer mover) pembangunan
nasional dan daerah, sumberdaya hutan juga berfungsi sebagai penyangga sistem
kehidupan, yang berdampak lokal, nasional, dan regional.
Manfaat keberadaan hutan
diperlukan oleh semua lapisan masyarakat di dalam suatu negara bahkan
masyarakat di negara lain. Hutan bukan saja memberikan hasil hutan yang berupa
barang, namun juga berupa berupa jasa seperti tata air, suplai oksigen, dan
penyerapan karbon.
Hutan sebagai common property
resources memberikan konsekuensi bahwa pemanfaatan hutan yang dilakukan oleh
suatu negara tidak lepas dari pengamatan dan perhatian masyarakat
internasional. Setelah KTT Bumi Rio de Jenairo pada tahun 1992, terjadi
kecenderungan demand dunia terhadap hutan tropis yang mulai bergesar – dari
produk kayu – ke manfaat lingkungan, seperti pengaruhnya terhadap iklim global.
Oleh karena itu, pembangunan kehutanan dituntut untuk lebih memperhatikan
keseimbangan aspek ekonomi, ekologi, dan sosial.
Fungsi hutan dari sisi non-kayu
ternyata memiliki nilai yang jika dikuantitatifkan justru lebih besar
manfaatnya daripada fungsi sebagai produsen kayu. Diketahui bahwa nilai nisbi
ekonomi kayu tropis hanya senilai kurang dari 5% dari total nilai ekonomi
sumberdaya hutan. Sebaliknya, nilai jasa lingkungan (yang memberikan manfaat
intangible) beserta hasil non-kayunya bernilai tidak kurang dari 95% dari total
nilai intrinsik sumberdaya hutan. Hal itu menunjukkan bahwa manfaat hutan dari
hasil hutan non-kayu sangat tinggi melebihi manfaat hasil hutan kayu.
Hutan berperan penting dalam
menjaga kestabilan iklim global. Secara kimiawi, vegetasi hutan akan menyerap
gas karbon (CO2) melalui proses fotosintesis. Jika hutan terganggu maka siklus CO2 dan O2 di atmosfer akan
terganggu. Umumnya karbon tersimpan dalam biomasa vegetasi, nekromasa (baik
diatas permukaan dan dalam tanah) dan bahan organik tanah di dalam ekosistem
hutan. Tidak terkendalinya jumlah gas CO2 di atmosfer, bersama-sama dengan uap
air, gas CFCs, metana dan gas-gas rumah kaca lainnya, berpotensi meningkatkan
suhu atmosfir bumi (baca ; pemanasan global) yang dapat menimbulkan pemanasan
bumi dan perubahan iklim. Gas-gas itulah yang dinamakan Gas Rumah Kaca (GRK).
Semakin meningkatnya konsentrasi
GRK, maka semakin meningkat pula suhu atmosfer bumi. Kenaikan sebesar 0,5°C
mungkin tidak begitu kita rasakan bila terjadi pada skala yang kecil (misal :
dalam ruangan). Namun apabila hal ini
terjadi pada lingkungan dunia secara global, maka akan terjadi berbagai
fenomena ekstrim seperti :
1. gejala pemekaran air laut akibat dari
mencairnya es di kutub sehingga
permukaan air laut naik dengan kemampuan menenggelamkan pulau-pulau;
2. rusaknya infrastruktur di tepi pantai
(dimana sebagian besar kota-kota penting dunia terletak di pesisir pantai);
3. peningkatan suhu menyebabkan mengeringnya
air-air permukaan yang dapat berdampak buruk pada pola pertanian berbasis air
di negara-negara agraris (seperti Indonesia);
4. pola musim hujan dan musim kemarau yang
tidak menentu;
5. terjadi krisis air bersih akibat intrusi
air laut; dan lain-lain.
Menilik laporan Food and
Agriculuture Organization (FAO) tahun 2007 tentang kondisi hutan di dunia
terlihat dengan jelas bahwa luas hutan di dunia saat ini mencapai angka dibawah
4 milyar hektar, dimana 30 persen menutupi lahan daratan di dunia. Pada luasan
itu telah terjadi rata – rata deforestasi 13 juta/ha/tahun pada waktu yang sama
pembangunan hutan tanaman dan ekspansi terhadap hutan alam mempunyai
signifiknsi kuat terhadap penurunan luasan hutan. Pada sekitar tahun 1990
sampai dengan 2005, dunia telah kehilangan 3 persen dari total luas areal hutan
yang ada dengan rata – rata penurunan 0,2 persen per tahun. Dari tahun
2000–2005 menunjukan bahwa rata-rata bersih pengurangan berkorelasi dengan
aktivitas pembangunan. Pada periode yang sama, 57 negara dilaporkan mengalami
peningkatan luasan hutannya dan 83 negara dilaporkan penurunan luasan hutan
(termasuk 36 negara dengan laju terbesarnya lebih dari 1 persen per tahun).
Masih pada laporan yang sama
secara global, diperkirakan sekitar 6 juta hektar dari hutan alam primer telah
berkurang dan dipakai untuk penggunaan lain setiap tahun. Sembilan dari sepuluh
negara yang memiliki hutan primer lebih dari 80 persen di dunia telah mengalami
penurunan lebih dari satu persen dari kurun waktu 2000 – 2005 diantaranya
Indonesia (13 %), Mexico (6 %), Papua New Guinea (5 %) dan Brazil (4 %).
Kerusakan hutan turut
berkontribusi terhadap cadangan karbon. Cadangan karbon didalam biomassa hutan
pada tingkat global berkurang mencapai angka 5,5 persen pada kurun waktu 1990 –
2005. Secara umum trend cadangan karbon mengikuti kecenderungan luasan areal
hutan dan ketersediaan sumberdaya hutan. Cadangan karbon di dunia meningkat di
daerah Eropa dan Amerika Utara dan menurun di wilayah tropika (FAO, 2007). Hutan tropika menyumbang
emisi CO2 sebesar 1,6 milyar ton per tahun. Seperti dilansir oleh Stem Review
(Koran Tempo, 24 Oktober 2007), bahwa deforestasi di negara-negara berkembang
(umumnya wilayah tropika) menyumbang emisi CO2 sekitar 20 persen dari emisi
global. Dari total emisi gas rumah kaca, 18 persen berasal dari sektor
kehutanan, yang 75 persennya berasal dari negara berkembang termasuk Indonesia.
Kota Jakarta menduduki kualitas udara terburuk ketiga di dunia, kedua di Asia
dan nomor satu di Indonesia.
Pemanasan global yang diikuti
dengan perubahan iklim dirasakan oleh semua negara di dunia, namun
negara-negara miskin dan berkembang akan menerima dampak terbesar meskipun
kontribusinya terhadap emisi gas rumah kaca rendah. Dampak yang ditimbulkan
dari pemanasan global dapat secara langsung maupun tidak langsung. Secara
global perubahan iklim dapat berdampak negatif terhadap munculnya penyakit
baru, kepunahan jenis dan perubahan ekosistem. Dari beberapa skenario perubahan
iklim diprediksi 15-37 % spesies didaratan akan punah dan diproyeksikan pada
tahun 2050 suhu bumi telah meningkat sebesar 0,8-1,7oC ini akan mencairkan es
di daerah kutub yang menyebabkan permukaan air laut meningkat, hal ini menjadi
ancaman bagi daerah pesisir.
Protokol Kyoto
Perubahan iklim dunia yang dulu
hanya digulirkan beberapa orang ahli kemudian menjadi ramai diperbincangkan orang.
Apalagi setelah diselenggarakannya pertemuan WMO (World Meteorology
Organization) pada dekade 1980-an, isu perubahan iklim semakin mendunia.
Berbagai penelitian dan data yang ada menggambarkan kaitan yang erat antara
peningkatan konsentrasi CO2 dengan peningkatan temperatur rata-rata permukaan
bumi. Demikian pula dengan perkiraan dampak yang akan ditimbulkannya.
Perkembangan inilah yang akhirnya
mendorong World Meteorological Organization (WMO) dan United Nations
Environment Programme (UNEP) untuk membentuk Intergovernmental Panel on Climate
Change (IPCC) pada tahun 1988. IPCC sendiri merupakan kelompok para ilmuwan
dari seluruh dunia yang bertugas untuk meneliti fenomena perubahan iklim serta
solusi yang diperlukan. Laporan pertama IPCC diterbitkan pada tahun 1990 dan
dikenal sebagai First Assessment Report yang menyimpulkan suhu meningkat
sekitar 0,3-0,6° C dalam satu abad terakhir. Laporan itu juga menyebutkan emisi
yang dihasilkan manusia telah menambah gas rumah kaca alami dan penambahan itu
akan menyebabkan kenaikan suhu. Karenanya, IPCC menyerukan pentingnya sebuah
kesepakatan global untuk menanggulanginya. Pada Desember 1990, Majelis Umum PBB
akhirnya menanggapi seruan IPCC untuk mengatasi masalah perubahan iklim secara
global dengan meluncurkan negosiasi mengenai kerangka konvensi perubahan iklim
dan dengan membentukIntergovernmental Negotiating Committee (INC) untuk
pelaksanaan negosiasi tersebut. Akhirnya, pada bulan Mei 1992, INC menyepakati
Kerangka Konvensi PBB mengenai Perubahan Iklim (United Nations Framework
Convention on Climate Change – UNFCCC).
PBB menyelenggarakan United
Nations Conference on Environment and Development(UNCED) atau Konferensi Khusus
tentang Masalah Lingkungan dan Pembangunan atau yang lebih dikenal dengan KTT Bumi (Earth Summit) pada 1992 di Rio de Janeiro, Brazil. KTT Bumi menekankan pentingnya semangat
kebersamaan (multilaterisme) untuk mengatasi berbagai masalah yang ditimbulkan
oleh benturan antara upaya-upaya melaksanakan pembangunan (oleh
developmentalist) dan upaya-upaya melestarikan lingkungan (oleh
environmentalist). Setelah diratifikasi oleh sekitar 175 negara, pada tanggal
21 Maret 1994, Konvensi Perubahan Iklim akhirnya dinyatakan berkekuatan hukum
dan bersifat mengikat para pihak yang telah meratifikasi.
Indonesia meratifikasi
konvensi/UNFCCC tahun 1994, melalui Undang-Undang No. 6 tahun 1994.
Konsekuensinya, Indonesia berkewajiban mengkomunikasikan berbagai upaya yang
dilakukan dalam rangka mengurangi dampak pemanasan global akibat terjadinya
perubahan iklim global. Termasuk menginventarisasi emisi GRK yang berasal dari
sumber-sumbernya dan penyerapannya oleh rosotnya (sink) seperti penyerapan CO2
oleh hutan. Dari hasil inventarisasi gas-gas rumah kaca di Indonesia dengan
menggunakan metoda IPCC 1996, diketahui bahwa pada tahun 1994 emisi total CO2
adalah 748,607 Gg (Giga gram), CH4sebanyak 6,409 Gg, N2O sekitar 61 Gg, NOX
sebanyak 928 Gg dan CO sebanyak 11,966 Gg. Adapun penyerapan CO2 oleh hutan
kurang lebih sebanyak 364,726 Gg, dengan demikian untuk tahun 1994 tingkat
emisi CO2 di Indonesia sudah lebih tinggi dari tingkat penyerapannya. Indonesia
sudah menjadi net emitter, sekitar 383,881 Gg pada tahun 1994. Hasil
perhitungan sebelumnya, pada tahun 1990, Indonesia masih sebagai net sinkatau
tingkat penyerapan lebih tinggi dari tingkat emisi. Berapapun kecilnya
Indonesia ikut memberikan kontribusi bagi meningkatnya konsentrasi gas-gas
rumah kaca secara global di atmosfer.
Setelah KTT Bumi,
diselenggarakanlah beberapa COP (Conference of the Parties). Yang paling
penting di antaranya adalah COP III di Kyoto, Jepang bulan Desember 1997 yang
menghasilkan Protokol Kyoto yang terkenal itu. Protokol Kyoto disusun untuk
mengatur target kuantitatif penurunan emisi dan target waktu penurunan emisi
bagi negara maju anggota Annex I untuk secara bersama-sama menurunkan emisi gas
rumah kaca rata-rata sebesar 5,2% (Quantified Emission Limitation and Rediction
Objectives/QELROs) dari tingkat emisi tahun 1990 pada periode tahun 2008–2012.
Emisi gas rumah kaca menurut protokol ini meliputi CO2, CH4, N2O, HFC, PFC, dan
SF6.
Ada tiga mekanisme fleksibel yang
diwadahi Protokol Kyoto :
1. Implementasi Bersama (Joint
Implementation).
Adalah mekanisme penurunan emisi
yang dapat dilaksanakan antarnegara industri yang diuraikan dalam Pasal 6.
Implementasi Bersama ini mengutamakan cara-cara yang paling murah atau paling
menguntungkan. Kegiatan ini akan menghasilkan unit penurunan emisi atau
Emission Rediction Unit (ERU).
2. Perdagangan Emisi (Emission Trading).
Adalah mekanisme perdagangan
emisi yang hanya dapat dilakukan antarnegara industri untuk menghasilkan
Assigned Amounts Unit (AAU). Negara industri yang GRK-nya di bawah batas yang
diijinkan dapat memperdagangkan kelebihan jatah emisinya dengan negara industri
lain yang tidak dapat memenuhi kewajibannya. Namun, jumlah emisi GRK yang
diperdagangkan dibatasi agar negara pembeli tetap memenuhi kewajibannya.
3. Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean
Development Management/CDM).
Pada dasarnya adalah gabungan
dari JI dan IET yang berlangsung antara negara Annex I dengan negara non-Annex
I dengan persyaratan mendukung pembangunan berkelanjutan di negara non-Annex I.
Negara industri melakukan investasi di negara berkembang untuk mencapai target
penurunan emisinya. Sementara itu, negara berkembang berkepentingan dalam
mencapai tujuan utama konvensi dan tujuan pembangunan berkelanjutan. Komoditas
yang digunakan bukanlah ERU melainkan CER (Certified Emission Reduction) yaitu
jumlah penurunan emisi yang telah disertifikasi.
Kewajiban bersama antarnegara
industri yang termasuk pada Annex 1 dengan negara berkembang disesuaikan dengan
prinsip tanggung jawab bersama yang dibedakan. Berarti, semua negara mempunyai
semangat yang sama untuk menjaga dan melindungi kehidupan manusia dan integritas
ekosistem bumi tetapi dengan kontribusi yang berbeda disesuaikan dengan
kemampuannya.
CDM/Mekanisme Pembangunan Bersih
CDM adalah mekanisme dimana
negara-negara yang ada pada Annex 1 yang punya kewajiban menurunkan emisinya
sebagaimana tercantum pada Protokol Kyoto, membantu negara-negara non-Annex 1
untuk melaksananakan proyek-proyek yang mampu menurunkan atau menyerap emisi
setidaknya satu dari enam jenis gas rumah kaca (CO2, CH4, N2O, HFC, PFC dan
SF6). Negara maju menanamkan modalnya di negara berkembang dalam proyek-proyek
yang dapat menghasilkan pengurangan emisi GRK, dengan imbalan CER (Certified
Emission Reductions). CER ini diperhitungkan sebagai upaya negara Annex I dalam
memitigasi emisi GRK dan nilai CER ini setara dengan nilai penurunan emisi yang
dilakukan secara domestik dan karenanya dapat diperhitungkan dalam pemenuhan
target penurunan emisi GRK negara Annex I seperti yang disepakati dalam Annex B
Protokol Kyoto. Mekanisme ini adalah satu-satunya mekanisme fleksibel yang
melibatkan negara berkembang.
Tujuan CDM sebagaimana yang
tercantum dalam Protokol Kyoto adalah :
1. Membantu negara-negara Annex I dalam
memenuhi target penurunan emisi negaranya
2. Membantu negara Non Annex I dalam
mencapai pembangunan yang berkelanjutan dan untuk berkontribusi pada tujuan
utama Konvensi Perubahan Iklim, yaitu menstabilkankonsentrasi gas rumah kaca di
atmosfer.
CDM (Mekanisme Pembangunan
Bersih) mencakup tiga kategori implementasi yaitu “Clean Production” (Produksi
Bersih), “Saving Energy” (Penghematan Energi) dan “Fuel Switching” (Pengalihan
Bahan Bakar). Realisasi program CDM adalah melakukan reduksi emisi gas rumah
kaca serta sekuestrasi (penyerapan karbon) melalui penanaman pohon di lahan
produksi yang mengalami eksploitasi berlebihan. Kegiatan dalam CDM meliputi
kegiatan reduksi emisi GRK dan penyerapan karbon,
Siklus umum proyek CDM dijelaskan
sebagai berikut :
1. Identifikasi Proyek.
Langkah pertama yang harus
dilakukan adalah melakukan identifikasi apakah rencana kegiatan tersebut
memiliki potensi untuk menurunkan emisi GRK atau menyerap GRK dari atmosfer.
Dalam hal ini, pengusul proyek perlu melakukan penghitungan potensi penurunan
ataupun penyerapan GRK.
2. Desain Proyek.
Langkah berikutnya adalah
pengumpulan informasi yang diperlukan dalam menyiapkan dokumen rancangan proyek
(Project Design Document, PDD). Informasi yang diperlukan antara lain adalah
mengenai deskripsi proyek, batasan proyek, penentuanbaseline (keadaan tanpa
adanya proyek tersebut) dan informasi mengenai sumber pendanaan.
3. Dokumen Rancangan Proyek/Project Design
Document (PDD).
Selanjutnya, pemilik proyek
menyiapkan dokumen proyek yang berisi informasi lengkap mengenai proyek serta
sisi ke-CDM-annya. Beberapa hal yang harus tercantum dalam dokumen tersebut
antara lain[1] :
a. Deskripsi umum proyek, termasuk penjelasan
mengenai teknologi yang digunakan.
b. Metodologi baseline, termasuk pemenuhan
additionality.
a. Durasi proyek/crediting period.
c. Rencana pemantauan, prosedur pemantauan dan
verifikasi.
d. Perhitungan emisi GRK dan pengurangan emisi
yang dihasilkan proyek.
e. Dampak lingkungan.
f. Komentar para pemangku kepentingan.
Jika pengembang proyek
menggunakan metodologi baseline dan pemantauan yang baru, maka harus diusulkan
oleh institusi yang berwenang, biasa disebut badan validator
independen/Designated Operational Entity (DOE), kepada Badan Eksekutif (CDM
Executive Board) untuk mendapatkan persetujuannya.
DOE (Designated Operational
Entity) adalah suatu lembaga berbadan hukum domestik atau international yang
telah diakreditasi dan ditunjuk oleh Badan Eksekutif untuk melakukan fungsi
sebagai berikut:
a. Melakukan validasi dan kemudian
meregistrasi suatu usulan proyek MPB.
b. Melakukan verifikasi reduksi emisi dari
proyek MPB, kemudian melakukan sertifikasi dan memohon agar Badan Pelaksana
untuk menerbitkan CERs.
Badan Eksekutif merupakan badan
internasional di bawah COP/MOP, yaitu pertemuan tahunan para negara yang sudah
meratifikasi Konvensi Perubahan Iklim dan Protokol Kyoto.
Tugas utama Badan Pelaksanaan
proyek-proyek CDM di negara berkembang dan bertanggung jawab pada COP/MOP.
4. Validasi.
Pada tahap ini, seluruh informasi
yang terdapat di dalam PDD, terutama penghitunganbaseline divalidasi oleh badan
validator independen yang telah diakreditasi oleh Badan CDM Internasional
(CDM-Executive Board). Badan independen ini akan mengevaluasi apakah proyek
tersebut telah memenuhi persyaratan CDM dan apakah proyek perhitungan CER yang
dilakukan dapat diterima.
Pada tahap ini DOE mengkaji PDD
dan dokumen-dokumen pendukungnya untuk mengkonfirmasikan bahwa :
a. Negara-negara yang terlibat telah
meratifikasi Protokol Kyoto.
b. PDD dapat diakses oleh publik, dan para pemangku
kepentingan lokal telah diberi kesempatan selama 30 hari untuk memberikan
komentar. Ringkasan komentar dan laporan bagaimana komentar tersebut telah
ditindaklanjuti dicantumkan dalam PDD.
c. Pengembang proyek telah menyerahkan
analisis dampak lingkungan kepada DOE.
d. Kegiatan proyek akan menghasilkan reduksi
GRK yang additional.
5. Persetujuan oleh Otoritas CDM
Nasional/Designated National Authority (DNA).
Setelah PDD selesai dibuat dan
dilampiri semua informasi yang dibutuhkan, kemudian PDD diserahkan ke Otoritas
CDM Nasional/DNAuntuk disetujui. Sebuah proyek CDM harus meminta persetujuan
dari negara tuan rumah CDM. Negara tuan rumahlah yang akan memberikan penilaian
apakah proyek tersebut mendukung pembangunan berkelanjutan di negaranya atau
tidak. Setelah dinilai dan dievaluasi berdasarkan semua informasi yang tertera
di dalamnya, terutama sumbangannya untuk pembangunan berkelanjutan,
transparansi, dan partisipasi masyarakat, DNA akan memberikan persetujuannya.
Di Indonesia, DNA ini diperankan
oleh Komisi Nasional Mekanisme Pembangunan Bersih (KN-MPB).
6. Registrasi
Proyek CDM didaftarkan oleh DOE
ke CDM Executive Board (EB). Tahap ini dinamakan registrasi, dimana EB menerima
secara formal pengajuan PDD dari kandidat proyek CDM. EB merupakan badan
internasional di bawah COP/MOP, atau pertemuan tahunan para negara yang telah
meratifikasi Protokol Kyoto, yang tugasnya adalah mengatur dan mengawasi
pelaksanaan CDM di seluruh dunia. Sebuah proyek yang didaftarkan ke EB akan
melalui sebuah proses komentar publik selama 30 hari, dimana PDD akan ditaruh
di website EB untuk mendapatkan komentar terbuka dari semua pihak. Jika ada
keberatan dari EB atau dari pihak yang terlibat dalam kegiatan proyek mengenai
dokumen yang diserahkan, maka EB akan melakukan kajian yang lebih mendalam
mengenai proyek yang diajukan. Jika tidak ada keberatan dari EB, maka proses
registrasi akan selesai dalam waktu 8 minggu.
7. Implementasi.
Tahapan dimana proyek CDM
dijalankan biasanya dinamakan implementasi yang pada dasarnya dapat dilakukan
sebelum registrasi maupun sesudahnya. Jika dilakukan sebelum registrasi, batas
waktu paling awal adalah tahun 2000, artinya hanya proyek yang berjalan sejak
tahun 2000 saja yang dapat diajukan sebagai proyek CDM.
8. Pengawasan/monitoring.
Setelah proyek ini didaftarkan
dan diimplementasikan, maka pemilik proyek bertanggung jawab atas pengawasan
atau monitoring atas penurunan emisi GRK maupun penyerapan GRK akibat adanya
proyek yang bersangkutan. Pelaksanaannya sendiri harus sesuai dengan rencana
pengawasan yang tertera pada PDD dan dilakukan oleh monitor independen.
Kegiatan pengawasan meliputi kegiatan pengumpulan dan penyimpanan data-data
yang digunakan untuk menghitung emisibaseline dan emisi proyek.
9. Verifikasi.
Pada tahap ini hasil pengawasan
akan dikaji ulang, termasuk metodologi yang digunakan dalam melakukan
pengawasan, dan kemudian dilaporkan secara tertulis. Jumlah emisi GRK yang
berhasil diturunkan harus tertera di dalamnya sehingga dapat dilihat apakah
penurunan ataupun penyerapan GRK yang diperkirakan telah terpenuhi. Laporan
pengawasan yang dilakukan oleh badan independen ini harus dipublikasikan
sebagai proses keterlibatan publik.
10. Sertifikasi penurunan emisi.
Sertifikasi adalah jaminan
tertulis oleh badan independen yang menyatakan bahwa proyek yang bersangkutan,
dalam perioda tertentu, telah berhasil menurunkan emisi gas rumah kaca
sebagaimana yang telah diverifikasi.
11. Penerbitan penurunan emisi
tersertifikasi/Certified Emission Reduction (CER).
CDM Executive Board mempunyai
waktu maksimal 15 hari setelah permohonan penerbitan CER diberikan untuk
mengkaji ulang surat sertifikasi proyek yang bersangkutan. Setelah itu Executive
Board harus segera mengumumkan hasilnya dan mempublikasikan keputusannya
sehubungan dengan disetujui atau tidaknya CER yang diusulkan beserta alasannya.
Satu unit CER menurut Protokol
Kyoto, setara dengan 1 metrik ton CO2.
Setelah CER diperoleh, maka pelaku
proyek CDM menjualnya kepada pembeli internasional secara langsung atau melalui
perantaraan broker (financial intermediary). Contohnya, Pemkot Bekasi (dengan
project proponent PT Gikoko Kogyo Indonesia) yang telah berhasil meneken
kontrak penjualan CER kepada Bank Dunia sebagai ‘trustee’ dari Netherlands CDM
Facility (NCDMF) sebanyak 600.000 ton CER hingga tahun 2019. Estimasi proposal
Pemkot Bekasi tahun 2006, harga CER 4,5-5,5 USD/ton CO2 eq.
Sebenarnya, tidak ada harga yang
pasti/tetap untuk CER ini, karena ia mengikuti harga pasar. Carbonpositive
dalam laporannya tanggal 22 Oktober 2010 menyebutkan bahwa Bank Dunia membayar
1 unit CER untuk proyek CDM Kehutanan di Afrika seharga 4 USD.
Adapun proses pengesahan proyek
oleh KN-MPB sebagai berikut :
1. Pengusul Proyek (dapat dibantu oleh
konsultan) menyiapkan dokumen-dokumen aplikasi yang terdiri dari : (i) Formulir
Aplikasi yang diantaranya berisi penjelasan bahwa usulan proyek memenuhi
seluruh kriteria pembangunan berkelanjutan; (ii) Project Design Document; (iii)
laporan AMDAL, bila usulan proyek wajib AMDAL; (iv) catatan proses konsultasi
publik; (v) surat rekomendasi dari Departemen Kehutanan, khusus untuk usulan
proyek MPB kehutanan, serta; (vi) dokumen-dokumen lain yang dirasa perlu untuk
medukung justifikasi proyek.
2. Dokumen aplikasi lengkap kemudian
diserahkan oleh Pengusul Proyek kepada Sekretariat Komnas MPB untuk diproses.
Pengusul proyek harus menyiapkan 25 (dua puluh lima) copy dari dokumen aplikasi
tersebut dan 1 (satu) dokumen elektronik (soft copy). Sekretariat harus
memeriksa kelengkapan dokumen-dokumen aplikasi. Sekretaris Eksekutif
menempatkan (posting) Usulan Proyek yang masuk di Sekretariat di situs
elektronik (website) Komnas MPB untuk mengundang tanggapan dari masyarakat dan
Pemangku Kepentingan lainnya. Setiap tanggapan masyarakat yang diterima
Sekretariat akan langsung ditempatkan (posting) di situs elektronik (website)
Komnas MPB.
3. Sekretaris Eksekutif menyerahkan dan
menyajikan dokumen Usulan Proyek yang diterima sampai tenggat waktu penyerahan
Usulan Proyek kepada Komnas MPB dalam Rapat Koordinasi Internal. Batas waktu
Rapat Koordinasi Internal adalah 1 hari.
3a. Bila dianggap perlu oleh Komnas MPB,
Sekretariat akan meminta Para Pakar untuk melakukan Evaluasi Tambahan terhadap
Usulan Proyek sebagai bahan pembanding. Batas waktu evaluasi Para Pakar adalah
5 hari.
4. Komnas MPB menugaskan anggota-anggota Tim
Teknis yang diperlukan untuk mengevaluasi Usulan Proyek tersebut berdasarkan
Kriteria dan Indikator Pembangunan Berkelanjutan.
4a. Bila dianggap perlu, anggota Tim Teknis dari
sektor yang sama dengan sektor dimana Usulan Proyek berada dapat membawa Usulan
Proyek ke dalam rapat evaluasi Tim Teknis Sektoral yang telah terbentuk di
dalam departemen teknis yang bersangkutan.
4b. Bila dianggap perlu, Tim Teknis meminta Para
Pakar untuk membantu proses evaluasi, melalui Sekretariat dengan persetujuan
Komisi Nasional. Batas waktu keseluruhan proses (4), (4a) and (4b) adalah 21
hari. Jika Tim Teknis atau Para Pakar menilai data yang diberikan kurang
lengkap, maka mereka akan menulis catatan mengenai hal tersebut dan
melampirkannya pada Laporan Evaluasi yang akan diserahkan kepada Komnas MPB.
5. Tim Teknis menyerahkan Laporan Evaluasi
Usulan Proyek, dan Para Pakar menyerahkan Laporan Evaluasi Tambahan kepada
Sekretariat untuk kemudian diserahkan kepada Komnas MPB. Kedua Laporan Evaluasi
tersebut akan ditempatkan di situs elektronik Komnas MPB oleh Sekretariat.
6. Komnas MPB menerima laporan dari
Sekretariat mengenai hasil evaluasi Usulan Proyek dan masukan dari Pemangku
Kepentingan yang disampaikan melalui website Komnas MPB atau dikirim langsung
ke Sekretariat. Sesudah mempertimbangkan semua masukan dalam Rapat Pengambilan
Keputusan, Komnas MPB mengambil keputusan mengenai pemberian (atau tidak
diberikannya) Surat Persetujuan kepada Usulan Proyek tersebut. Batas waktu
Rapat Pengambilan Keputusan adalah 1 hari.
6a. Bila terjadi perbedaan pendapat yang tajam di
antara Pemangku Kepentingan yang mendukung Usulan Proyek dan yang berkeberatan
atas Usulan tersebut, melalui Rapat Komnas MPB yang dibuat khusus untuk itu,
Komnas MPB dapat mengundang Pertemuan Khusus FPK. Pada Pertemuan Khusus FPK,
Komnas MPB menyampaikan Usulan Proyek yang kontroversial tersebut dan kemudian menampung
aspirasi, dukungan dan kritik dari peserta Pertemuan Khusus FPK. Batas waktu
Pertemuan Khusus FPK adalah 1 hari.
7. Bila Komnas MPB tidak dapat memberikan
Surat Persetujuan karena ketidak-lengkapan data Usulan Proyek, berdasarkan
catatan dari Tim Teknis atau Para Pakar, maka Pengusul Proyek diberikan waktu
sampai 3 (tiga) bulan untuk melengkapi kekurangan tersebut dan menyerahkan
kembali dokumen Usulan Proyek yang sudah diperbaiki ke Sekretariat. Sekretariat
akan memproses dokumen Usulan Proyek yang sudah diperbaiki dengan proses yang
sama seperti Usulan Proyek yang baru. Namun, Tim Teknis atau Para Pakar akan
mengevaluasi hanya bagian proposal yang mendapatkan tambahan data baru. Proses
pengembalian Usulan Proyek oleh Tim Teknis atau Para Pakar untuk diperbaiki
Pengusul Proyek hanya boleh dilakukan satu kali untuk setiap Usulan.
8. Sekretariat menyerahkan Surat Persetujuan
Komisi Nasional kepada Pengusul Proyek.
9. Usulan Proyek yang tidak memenuhi kriteria
harus mengalami perbaikan yang mencakup pengubahan desain proyek sebelum dapat
diajukan kembali untuk mendapatkan persetujuan nasional.
Gambar 2. Proses pengusulan
proyek kepada KN-MPB hingga pengesahannya.
Menurut data KN-MKB, sampai
dengan bulan Juli 2009, telah ada 104 proyek CDM yang telah disetujui oleh
KN-MPB dan 24 proyek yang telah teregistrasi oleh Badan Eksekutif CDM. Dari 104
proyek tadi, belum ada satu pun proyek kehutanan yang masuk dan mendapat persetujuan.
CDM sektor kehutanan merupakan
mekanisme yang berbeda dengan CDM sektor lainnya, karena penurunan emisi
dilakukan dengan cara penyerapan karbon di atmosfer oleh pohon (carbon
sequestration), sedangkan sektor lainnya adalah penurunan emisi pada sumber
emisinya. Kegiatan penyerapan karbon yang dapat diwadahi oleh proyek CDM
berdasarkan ketentuan Protokol Kyoto adalah afforestasi dan reforestasi. Ada
banyak kendala tentang CDM sektor kehutanan, di antaranya yang pokok adalah
permasalahan definisi afforestasi,reforestasi, dan hutan dalam skema CDM
(sebagaimana dijelaskan dalam Marrakech Accord) berbeda dengan definisi formal
yang berlaku di Indonesia :
1. Hutan didefinisikan sebagai area dengan
luas minimun 0,5-1,0 hektar, dengan lebih dari 10 – 30 persennya ditumbuhi
tumbuhan dewasa, yang tinggi minimumnya mencapai 2 - 5 meter.
2. Aforestasi adalah aktivitas langsung yang
dilakukan oleh manusia dalam mengubah area yang minimal selama 50 tahun bukan
merupakan wilayah hutan menjadi hutan.
3. Reforestasi adalah aktivitas langsung yang
dilakukan oleh manusia dalam mengubah area bukan hutan menjadi area hutan
melalui penanaman, pembibitan, dan/atau aktivitas lainnya yang mempromosikan
sumber-sumber pembibitan alam, di area yang pada awalnya merupakan wilayah
hutan namun mengalami perubahan menjadi wilayah bukan hutan. Dalam periode
komitmen pertama, aktivitas reforestasi dibatasi pada area tidak berhutan pada
31 Desember 1989.
Selain itu, juga karena belum
mantapnya sistem pengelolaan hutan, sehingga kebocoran ekologi (leakage) hutan
Indonesia cukup besar, padahal kebocoran ini tidak diperbolehkan dalam CDM.
Kebocoran tersebut antara lain berasal dari kebakaran hutan, illegal logging,
dan inkosistensi kebijakan penataan ruang.
Oleh karenanya, tidak banyak
proyek kehutanan yang bisa masuk dalam skema CDM ini.
REDD
Protokol Kyoto valid hingga tahun
2012. Itu artinya, segala instrumen atau mekanisme yang mengikutinya pun akan
berakhir pada tahun tersebut. Oleh karenanya, banyak negara yang memikirkan mekanisme
baru setelah tahun tersebut untuk mengatasi perubahan iklim yang yang lebih
menguntungkan bagi negara berkembang, khususnya mereka yang mempunyai
sumberdaya hutan luas.
Pada COP 11 di Montreal tahun
2005, Costa Rica, Papua New Guinea (PNG), dan negara-negara pemilik hutan
tropis yang tergabung dalam CfRN (Coalition for Rainforest Nation) mengusulkan
proposal tentang insentif avoided deforestation. Dalam pertemuan yang sama,
beberapa LSM dan ilmuwan dengan dipimpin oleh Environmental Defensemenegaskan
kembali seruan mereka agar isu hutan dimasukkan dalam instrumen-instrumen
perdagangan Kyoto. Karenanya, COP 11 meminta agar Badan Subsider UNFCCC untuk
Pertimbangan Ilmiah dan Teknologi (SBSTA) mengevaluasi isu pengurangan emisi
dari deforestasi dan melaporkan kembali ke COP 13/MOP 3 UNFCCC pada bulan
Desember 2007. Sementara itu, UNFCCC menyelenggarakan dua pertemuan mengenai
pengurangan emisi dari deforestasi (RED) di negara-negara berkembang (dalam
bulan Juli 2006 dan Maret 2007). Pada bulan Desember 2007, dalam Konferensi
Para Pihak ke-13 UNFCCC yang diadakan di Bali (Indonesia), kemungkinan untuk
memasukkan isu hutan dalam rezim iklim internasional semakin berkembang.
Konferensi Para Pihak ke-13 (COP
13) di Bali tahun 2007 menghasilkan Rencana Aksi Bali (Bali Action Plan),
sebuah rencana atau peta jalan negosiasi strategi iklim global untuk
melanjutkan Protokol Kyoto. Rencana ini mengakui pentingnya hutan dalam
mengatasi perubahan iklim dan besarnya potensi yang terkandung dalam REDD.
Upaya mitigasi harus mengutamakan pengurangan emisi dari penggunaan bahan bakar
fosil di negara-negara industri. Meskipun pengaruhnya relatif kecil, kegiatan
penanaman pohon untuk menyerap karbon juga berperan dalam mitigasi perubahan
iklim. Namun demikian, untuk mengurangi 20 persen dari emisi yang berkaitan
dengan hutan, kita memerlukan pendekatan konservasi yang baru dan lebih
efektif. Salah satu pendekatan yang dimaksud adalah REDD, kependekan dari
reducing emissions from deforestation and forest degradation(pengurangan emisi
dari deforestasi dan degradasi hutan). Ide ini berbeda dengan kegiatan
konservasi hutan sebelumnya karena dikaitkan langsung dengan insentif finansial
untuk konservasi yang bertujuan menyimpan karbon di hutan.
REDD dilaksanakan atas dasar
sukarela (voluntary basis) dengan prinsip menghormati kedaulatan negara
(sovereignity).
Satu tahun setelah Rencana Aksi
Bali disetujui, para juru runding mengadakan pertemuan kembali di Poznań,
Polandia. Mereka mencapai konsensus umum bahwa kegiatan REDD sebaiknya diperluas.
REDD-plus menambahkan tiga areal strategis terhadap dua hal yangtelah
ditetapkan sebelumnya di Bali. Kelima hal tersebut bertujuan untuk mengurangi
emisi dari deforestasi dan degradasi hutan di negara-negara berkembang. Dua
ketetapan awal REDD adalah:
a. Mengurangi emisi dari deforestasi dan
b. Mengurangi emisi dari degradasi hutan
Beberapa strategi yang
ditambahkan untuk mengurangi emisi melalui :
c. Peranan konservasi
d. Pengelolaan hutan secara lestari
e. Peningkatan cadangan karbon hutan
Definisi yang lebih luas ini
memudahkan negara-negara lain untuk ikut berpartisipasi. Banyak pihak dengan
kondisi nasional yang berbeda dapat dilibatkan ke dalam kerangka yang akan
datang.
Sejak penyelenggaraan COP 13 di
Bali Pemerintah Indonesia c.q. Departemen Kehutanan sangat giat mengembangkan
perangkat hukum atau peraturan yang terkait langsung dengan pelaksanaan REDD.
Di antara perangkat tersebut terdapat tiga Peraturan Menteri yang telah resmi
diundangkan, yaitu:
1. Permenhut No. P. 68/Menhut-II/2008 tentang
Penyelenggaraan Demonstration Activities Pengurangan Emisi Karbon dari
Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD) (www.dephut.go.id/files/P68_08.pdf).
Peraturan ini pada dasarnya
menguraikan prosedur permohonan dan pengesahan kegiatan demonstrasi REDD,
sehingga metodologi, teknologi dan kelembagaan REDD dapat dicoba dan
dievaluasi. Tantangannya adalah bagaimana kegiatan demonstrasi dapat dialihkan
menjadi proyek REDD yang sesungguhnya di masa yang akan datang.
2. Permenhut No. P. 30/Menhut-II/2009 tentang
Tata Cara Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD)
(www.dephut.go.id/files/P30_09_r.pdf).
Peraturan ini mengatur tata cara
pelaksanaan REDD, termasuk persyaratan yang harus dipenuhi pengembang,
verifikasi dan sertifikasi, serta hak dan kewajiban pelaku REDD. Hingga saat
ini ketentuan mengenai penetapan tingkat emisi acuan sebagai pembanding belum
ditetapkan.
3. Permenhut No. P. 36/Menhut-II/2009 tentang
Tata Cara Perizinan Usaha Pemanfaatan Penyerapan dan/atau Penyimpanan Karbon
pada Hutan Produksi dan Hutan Lindung (www.dephut.go.id/files/P36_09.pdf).
Peraturan ini mengatur izin usaha
REDD melalui penyerapan dan penyimpanan karbon. Di dalamnya juga diatur
perimbangan keuangan, tata cara pengenaan, pemungutan, penyetoran dan
penggunaan penerimaan negara dari REDD. Peraturan ini membedakan antara
kegiatan penyerapan dan penyimpanan karbon di berbagai jenis hutan dan jenis
usaha.
Dengan adanya peraturan-peraturan
tersebut pada dasarnya REDD sudah dapat dilaksanakan. Petunjuk Teknis untuk
hal-hal tertentu akan diperlukan untuk menunjang pelaksanaan REDD. Seperti
kebanyakan peraturan, ketiga Permenhut tersebut juga mengacu pada berbagai
peraturan/perundangan yang terkait.
Mekanisme REDD/REDD-plus secara
internasional belum diatur secara tegas, kecuali ada yang mengacu skema CDM.
Adapun mekanisme yang diatur dalam Permenhut No. P. 30/Menhut-II/2009 sebagai
berikut :
1. Pelaku REDD mengajukan permohonan kepada
Menteri dengan melampirkan beberapa persyaratan berupa :
a. SK tentang wilayah hutan yang dikelola dari
Menteri Kehutanan.
b. Rekomendasi dari Pemda setempat khusus bagi
pengelola HA, HT, HTR, HKM, dan RE.
c. Memenuhi kriteria lokasi untuk pelaksanaan
REDD.
d. Memiliki rencana pelaksanaan REDD.
2. Menteri menugaskan Komisi REDD untuk
melakukan penilaian atas permohonan REDD.
Komisi REDD adalah komisi yang
dibentuk oleh Menteri dan bertugas dalam pengurusan pelaksanaan REDD.
3. Paling lambat 14 (empat belas) hari kerja
setelah menerima hasil penilaian Komisi REDD sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), Menteri dapat menyetujui atau menolak usulan permohonan REDD dalam bentuk
surat persetujuan pelaksanaan REDD.
4. Paling lambat 90 (sembilan puluh) hari
kerja setelah mendapat persetujuan dari Menteri, pemohon dapat segera
melaksanakan kegiatan REDD.
Apabila setelah 90 (sembilan
puluh) hari kerja, pemohon tidak memulai kegiatan REDD, maka persetujuan
Menteri dibatalkan.
Jangka waktu pelaksanaan REDD
paling lama 30 tahun dan dapat diperpanjang sesuai dengan peraturan yang
berlaku.
5. Melakukan pemantauan secara periodik
paling lama setiap 5 (lima) tahun sekali kecuali untuk periode sampai dengan
2012 dilakukan setiap tahun, untuk mengetahui perubahan stok karbon dari
Referensi Emisi (REL) dan manfaat lainnya. Pemantauan dilakukan oleh pelaku,
Pemda, dan Dephut.
6. Paling lambat 14 hari kerja setelah
laporan hasil pemantauan dari pelaku REDD diterima Komisi REDD, Komisi REDD
menugaskan Lembaga Penilai Independen untuk melakukan verifikasi.
Sebelum ada keputusan COP tentang
Tata Cara REDD, maka verifikasi kegiatan REDD antara lain mengacu petunjuk pada
Lampiran Keputusan COP 13 No.2 tahun 2007. Begitu juga sebelum ada keputusan
negara pihak Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Perubahan Iklim
mengenai mekanisme pelaksanaan REDD di tingkat internasional, Komisi REDD
meminta Komite Akreditasi Nasional (KAN) untuk melakukan akreditasi Lembaga
Penilai Independen.
7. Lembaga Penilai Independen melaporkan
hasil verifikasi kepada Komisi REDD dan kepada pelaku REDD. Biaya verifikasi
dibebankan kepada pelaku REDD.
8. Dalam hal semua persyaratan terpenuhi,
paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja setelah menerima laporan hasil
verifikasi dari Lembaga Penilai Independen, Komisi REDD menerbitkan Sertifikat
Pengurangan Emisi Karbon.
Sertifikat Pengurangan Emisi
Karbon tersebut dapat diperjualbelikan.
Komisi REDD secara berkala
menyampaikan laporan pelaksanaan REDD kepada Menteri (Kehutanan) dan Focal
Point Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Perubahan Iklim untuk
selanjutnya dilaporkan kepada Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang
Perubahan Iklim. Sampai saat ini – untuk sementara – harga CER CDM relatif
masih lebih mahal dibandingkan harga Sertifikat Pengurangan Emisi Karbon REDD.
Selain masih dalam taraf pembahasan dan negosiasi, belum ada entitas
internasional yang memberikan sertifikasi terhadap produk REDD sebagaimana CDM.
Kesimpulan
Indonesia sebagai negara tropis
dengan kawasan hutan yang luas, mempunyai potensi besar untuk turut andil dalam
mekanisme perdagangan karbon dengan memasukkan hutan sebagai agen penyerap
(sink) GRK. CDM adalah suatu mekanisme
pengurangan GRK, khususnya bagi negara-negara berkembang, seperti dalam
Protokol Kyoto selain mekanisme Joint Implementation dan Emission Trading. Sama halnya dengan REDD, negara-negara yang
mempunyai hutan akan mendapatkan insentif dari adanya transaksi reduksi emisi
untuk pembangunan sektor kehutanannya.
Namun,….yang harus lebih diwaspadai adalah jangan sampai CDM dan REDD yang
memasukkan hutan dan lahan sebagai sink, akan menjadi bisnis komersial belaka
bagi negara-negara maju tanpa mereka mau menekan jumlah polutan GRK yang
dihasilkan dari industri-industri mereka.
Bahan bacaan
Anonim. 2010. REDD, Apakah Itu ?
Pedoman CIFOR tentang Hutan, Perubahan Iklim, dan REDD. CIFOR.
Atkinson, B. The CDM, Kyoto
Protocol and The Sugar, Ethanol and Bio-Fuels Industry.
Awang, S.A. 2007. Membangun
Agenda dan Implementasi UNFCCC di Tingkat Nasional dan Lokal. Makalah yang
disampaikan pada parallel event COP 13 Bali.
Edwards, R. 2010. Advance Market
Commitments/Emission Reduction Underwriting Mechanism for Climate Change
Finance. Climate Change Capital.
Griffith, T. 2009. REDD ? Awas !
: Hutan, Mitigasi Perubahan Iklim, dan Hak-Hak Masyarakat Adat. Forest for
Peoples Programme.
Masripatin, N. 2008. Apa Itu REDD
?. Warta Tenure.
Panjiwibowo, C., Soejahmoen,
M.H., Tanujaya, O., dan Rusmantoro, W. 2003. Mencari Pohon Uang : CDM Kehutanan
di Indonesia. Yayasan Pelangi.
Terimakasih Sobat,, sudah berkunjung, jangan lupa di like yah atau tinggalkan pesan anda di kolom facebook paling bawah.
Jika Anda memiliki masalah keuangan, sekarang saatnya Anda tersenyum. Anda hanya perlu menghubungi Bpk. Benjamin dengan jumlah yang ingin Anda pinjam dan periode pembayaran yang sesuai untuk Anda dan Anda akan memiliki pinjaman dalam waktu kurang dari 48 jam. Saya hanya mendapat manfaat untuk keenam kalinya pinjaman 700 ribu dolar untuk jangka waktu 180 bulan dengan kemungkinan membayar sebelum tanggal kedaluwarsa. Lakukan kontak dengannya dan Anda akan melihat bahwa dia adalah orang yang sangat jujur dengan hati yang baik. Surelnya adalah lfdsloans@lemeridianfds.com dan nomor telepon WhatApp-nya adalah + 1-989-394-3740
BalasHapus