FILSAFAT CINTA
Dalam perjalanan menuju manifestasi, jiwa melewati empat keadaan, 'Ilm, 'Ishq, Wujud, Shuhud.
'Ilm adalah keadaan awal dari kesadaran, kecerdasan murni. 'Ishq adalah cinta, tahap kecerdasan
berikutnya menuju manifestasi; karena itu kecerdasan dan cinta sama unsurnya. Benda-benda
seperti batu dan tumbuh-tumbuhan, tak memiliki kecerdasan, sehingga tak memiliki cinta, kecuali
suatu persepsi kecil tentang cinta yang ada di dalam kehidupan tumbuh-tumbuhan. Tetapi di
antara hewan dan burung-burung, kecerdasan berkembang, sehingga cinta di dalam diri mereka
dapat menunjukkan diri. Wujud adalah dunia obyektif, yang diciptakan untuk dicintai, karena cinta
tak dapat diwujudkan bila tak ada sesuatu yang dicintai. Shuhud adalah realisasi pengalaman cinta
dalam aspek apapun.
Kata cinta, dalam bahasa Inggris 'love', dalam bahasa Sanskrit 'Lobh', berarti keinginan, hasrat.
Cinta adalah hasrat untuk menyadari sesuatu yang dicintai. Karena itu, Shuhud, realisasi cinta,
merupakan satu-satunya tujuan setiap jiwa. Cinta, dalam berbagai aspeknya, dikenal pula dengan
sebutan: kehendak, keinginan, hasrat, kebaikan, suka, dan lain-lain.
Di dalam cinta terdapat segala pengetahuan. Cinta manusia dan ketertarikannya kepada sesuatu,
pada saatnya akan membuat sesuatu itu mengungkapkan rahasianya, sehingga manusia dapat
mengetahui bagaimana cara mengembangkan, mengendalikan, dan memanfaatkannya. Tak
seorang pun dapat mengetahui seseorang, sebesar apapun keinginannya untuk tahu, kecuali
dengan cinta, karena tanpa cinta, mata ruhani buta; hanya mata luar yang terbuka, dan mata luar
hanyalah semacam kaca mata bagi mata ruhani. Bila pandangan tidak tajam, apa manfaat kaca
mata? Karena itulah kita mengagumi semua yang kita cintai, dan kita buta terhadap kebaikan
orang yang tidak kita cintai. Bukan karena mereka berhak kita abaikan, tetapi tanpa cinta, mata
kita tak dapat melihat kebaikan mereka. Seseorang atau sesuatu yang kita cintai mungkin
mempunyai keburukan pula, tetapi karena cinta melihat keindahan, kita hanya melihat kebaikan
itu. Kecerdasan sendiri dalam langkah selanjutnya menuju manifestasi adalah cinta. Ketika cahaya
cinta telah dinyalakan, hati menjadi transparan, hingga kecerdasan jiwa dapat melihat melaluinya.
Namun sebelum hati dinyalakan dengan api cinta, kecerdasan, yang senantiasa berupaya untuk
mengalami hidup di permukaan, meraba-raba dalam kegelapan.
Seluruh alam semesta diciptakan untuk cinta. Manusia adalah yang paling mampu melakukannya.
Bila kita memiliki batu di dalam rumah dan kita sangat menyukainya, batu itu tidak akan menyadari
cinta kita sejauh yang disadari oleh tumbuh-tumbuhan. Bila kita memiliki sebuah tanaman dan kita
memeliharanya dengan rasa sayang, ia akan bereaksi dan akan tumbuh. Hewan dapat merasakan
kasih sayang. Bila kita memelihara hewan di rumah, mereka akan lebih banyak merasakan cinta
dan perhatian! Hewan piaraan pada waktunya akan menjadi pengasih seperti anggota keluarga.
Anjing Nabi Yusuf telah memberi makan kepada tuannya ketika beliau berada di dalam sumur
sampai beliau ditemukan oleh orang yang berjalan melalui tempat itu. Dikisahkan, kuda seorang
Arab yang tewas di medan perang tetap menungguinya selama tiga hari, menjaga mayatnya dari
burung pemakan bangkai, sampai ia ditemukan kawannya. Tetapi manusia, yang memiliki
kecerdasan terbanyak, memiliki cinta terbanyak secara alamiah.
Semua ini menunjukkan bahwa ciptaan telah berevolusi dari mineral ke tumbuh-tumbuhan, dari
tumbuh-tumbuhan menjadi kehidupan hewan, dan dari hewan ke manusia, berupa perkembangan
cinta secara bertahap.
Para Sufi berkata bahwa alasan penciptaan adalah karena Yang Mahasempurna ingin mengetahui
diri-Nya, dan melakukannya dengan membangkitkan cinta dari sifat-Nya dan membuatnya menjadi
obyek cinta, yang merupakan keindahan. Dengan makna ini, para darwis saling menghormati satu
L O V E
sama lain dengan berkata, "Ishq Allah, Ma'bud Allah" -- 'Allah adalah cinta dan Allah adalah
[kekasih] yang dicintai.' Seorang penyair Hindustan berkata, "Hasrat untuk melihat kekasih
membawaku ke dunia, dan hasrat yang sama untuk melihat kekasih membawaku ke surga."
Karena cinta merupakan sumber ciptaan dan pemelihara nyata dari semua keberadaan, maka, bila
manusia tahu bagaimana cara memberikannya kepada dunia di sekelilingnya sebagai simpati,
sebagai kebaikan, pelayanan, ia memberi kepada semuanya makanan kepada setiap jiwa yang
lapar. Jika orang mengetahui rahasia hidup ini ia akan menguasai dunia dengan pasti.
Cinta selalu dapat dikenal di dalam gagasan, ucapan, dan perbuatan orang yang mencintai,
karena setiap ekspresinya terdapat kehangatan yang muncul sebagai keindahan, kelembutan, dan
kehalusan. Hati yang terbakar oleh api cinta cenderung untuk melelehkan setiap hati yang
dijumpainya.
Cinta menghasilkan pesona pada pecinta sehingga sementara ia mencintai seseorang, semua
mencintai pecinta itu. Magnetisme cinta dijelaskan oleh seorang penyair Hindustan: "Mengapa
tidak semua hati dilelehkan menjadi tetesan-tetesan oleh api yang dipelihara hatiku sepanjang
hidupku? Karena sepanjang hidup aku meneteskan air mata derita karena cinta, pecinta
berkunjung ke kuburku penuh dengan air mata." Untuk mengajarkan cinta, Nabi Isa berkata, "Aku
akan membuatmu menjadi pemancing manusia." Jalaluddin Rumi berkata: "Setiap orang tertarik
kepadaku, untuk menjadi sahabatku, tapi tak seorang pun tahu apa di dalam hatiku yang
menariknya."
Cinta itu alami dalam setiap jiwa. Semua pekerjaan dalam hidup, penting atau tak penting, dalam
suatu cara cenderung ke arah cinta; karena itu tak seorang pun di dunia yang dapat disebut
sepenuhnya tanpa cinta. Cinta adalah sesuatu yang dibawa setiap jiwa ke dunia, tetapi setelah tiba
di dunia, orang berperan dalam semua kualitas tanpa cinta. Andai tidak, kita pasti sudah pahit,
cemburu, marah, dan penuh kebencian ketika kita lahir. Bayi tak punya kebencian. Anak kecil yang
kita sakiti, dalam beberapa menit akan datang dan memeluk kita.
Mencintai, memuja seseorang yang berhubungan dengan kita baik dalam hal kelahiran, ras,
kepercayaan atau hubungan duniawi lain, datang dari cinta jiwa. Kadang-kadang jatuh cinta pada
pandangan pertama, kadang-kadang kehadiran seseorang menarik kita seperti magnet, kadangkadang
kita melihat seseorang dan merasa, "Mungkin aku telah mengenalnya." Kadang-kadang
kita berbicara dengan orang lain dan merasakan mudah memahami seolah-olah kedua jiwa saling
mengenal. Semua ini berkaitan dengan 'pasangan jiwa'.
Hati yang tercerahkan dan cinta lebih berharga daripada semua permata di dunia. Ada berbagai
macam hati sebagaimana adanya berbagai macam unsur di dunia. Pertama, hati dari metal perlu
lebih banyak waktu dan lebih banyak api cinta untuk memanaskannya, setelah panas ia akan
meleleh dan dapat dibentuk menurut kehendak ketika itu, namun kemudian menjadi dingin
kembali. Kedua, hati yang terbuat dari lilin, yang segera meleleh ketika bersentuhan dengan api,
dan bila mempunyai sumbu ideal, ia akan mempertahankan api itu hingga lilin habis terbakar.
Ketiga, hati dari kertas yang dapat menyala dengan cepat ketika bersentuhan dengan api dan
berubah menjadi abu dalam sekejap.
Cinta itu seperti api. Nyalanya adalah pengorbanan, apinya adalah kearifan, asapnya adalah
keterikatan, dan abunya adalah keterlepasan. Api muncul dari nyala, demikian pula kearifan yang
muncul dari pengorbanan. Bila api cinta menghasilkan nyala, ia menerangi jalan, dan semua
kegelapan lenyap.
Bila daya-hidup bekerja di dalam jiwa, itu adalah cinta; bila bekerja di dalam hati, itu adalah emosi,
dan bila bekerja di dalam tubuh, itu adalah nafsu. Karena itu orang yang paling mencinta adalah
L O V E
yang paling emosional, dan yang paling emosional adalah yang paling bernafsu, sesuai dengan
dataran yang paling disadarinya. Bila ia bangkit di dalam jiwa, ia mencintai; bila bangkit di dalam
hati, ia emosional; bila sadar akan tubuh, ia bernafsu. Ketiganya dapat digambarkan dengan api,
nyala api, dan asap. Cinta adalah api di dalam jiwa, ia adalah nyala api bila hati dinyalakan, dan ia
adalah asap bila ia menjelma melalui tubuh.
Cinta pertama adalah bagi diri sendiri. Bila dicerahkan, orang melihat manfaatnya yang sejati dan
ia menjadi orang suci. Tanpa cahaya pencerahan, manusia menjadi egois hingga ia menjadi setan.
Cinta kedua diperuntukkan bagi lawan jenis kelamin. Bila demi cinta, ia bersifat surgawi; dan bila
demi nafsu, ia bersifat duniawi. Bila cukup murni, cinta ini tentu dapat menghilangkan gagasan
tentang diri sendiri, tetapi manfaatnya tipis dan bahayanya besar. Cinta ketiga diperuntukkan bagi
anak-anak, dan ini merupakan pelayanan pertama bagi makhluk Allah. Memberikan cinta kepada
anak-anak, adalah memanfaatkan dengan sebaik-baiknya apa yang dipercayakan oleh Pencipta,
tetapi bila cinta ini meluas hingga mencakup seluruh ciptaan Allah, hal ini mengangkat manusia
menjadi orang-orang pilihan Allah.
Cinta orang tua kepada anak-anaknya jauh lebih besar daripada cinta akan-anak itu kepada orang
tuanya, karena semua pemikiran penggunaan tua terpusat pada anak, tetapi cinta anak mula-mula
terpusat pada diri sendiri. Muhammad s.a.w. ditanya seseorang, "Cinta siapa yang lebih besar,
cinta anak-anak kepada orang tua mereka, atau cinta orang tua kepada anak-anaknya?" Beliau
menjawab, "Cinta orang tua lebih besar, karena sementara melakukan semua hal, mereka berpikir
bagaimana agar anaknya tumbuh dan bahagia, seolah-olah ia mengharap untuk hidup di dalam
kehidupan anak-anaknya setelah ia mati; sementara anak-anak yang saleh berpikir bahwa suatu
hari orang tuanya akan mati, dan dengan demikian mereka hanya sebentar dapat melayani orang
tua mereka." Orang itu bertanya, "Cinta ayah atau ibu-kah yang lebih besar?" Nabi menjawab,
"Ibu. Ia berhak memperoleh penghormatan dan pelayanan, karena surga terletak di bawah
kakinya." Cinta orang tua adalah cinta yang paling diberkahi, karena cinta mereka sebening kristal.
Alkisah, Shirvan Bhagat adalah anak yang sangat berbakti kepada orang tuanya yang sangat tua,
hingga tak berdaya dan sepenuhnya bergantung kepada pelayanan anak lelaki satu-satunya.
Shirvan begitu berbakti kepada mereka hingga ia mengorbankan kebebasan dan kesenangan
hidup agar dapat melayani mereka. Dengan lembut ia memenuhi setiap panggilan mereka, dan
dengan sabar menghadapi semua kesulitan yang berkaitan dengan ketuaan mereka.
Suatu hari, orang tua itu berkata bahwa mereka sangat ingin berziarah ke Kashi. Anak yang saleh
itu seketika menyetujui kehendak mereka, dan karena pada saat itu belum ada kendaraan, mereka
pergi berjalan kaki. Ia membuat keranjang, memasukkan orang tuanya ke dalamnya,
mengangkutnya dengan punggungnya, dan menempuh perjalanan ribuan mil melalui hutan,
pegunungan, dan sungai-sungai.
Ia menempuh perjalanan itu berbulan-bulan, tetapi sebelum sampai, nasib malang menimpa. Atas
perintah orang tuanya, Shirvan meletakkan keranjangnya di tanah dan pergi untuk mengambil air.
Ketika berada di dekat sungai, ia terkena panah Raja Destaratha, yang sebenarnya diarahkan
kepada seekor kijang. Mendengar teriakan manusia, Raja itu datang kepadanya, dan menangis
sejadi-jadinya. Ia berkata, "Adakah sesuatu yang dapat kulakukan untukmu?" Shirvan berkata,
"Aku sedang sekarat. Aku hanya punya satu keinginan, yaitu memberi air kepada orang tuaku;
mereka haus karena terik matahari." "Hanya itu? Aku akan melakukannya dengan senang hati
sebagai tugas pertamaku." Shirvan berkata, "Bila tuan ingin melakukan yang lain, maka rawatlah
mereka dan pastikan bahwa mereka dibawa ke Kashi, meskipun aku ragu apakah mereka akan
hidup lebih lama setelah aku pergi."
Raja itu pergi, membawa air di tangannya dan memberikannya kepada orang tua itu tanpa
mengucapkan sepatah kata, khawatir mereka tidak akan mau minum bila mendengar suara orang
L O V E
asing. Orang tua itu berkata, "Hai anakku, sepanjang hidup, kami tak pernah melihatmu sedih. Ini
adalah pertama kali engkau memberi kami air tanpa mengucapkan kata cinta yang selalu memberi
kami hidup baru." Raja Destaratha menangis, dan menceritakan kematian Shirvan. Mendengar itu,
mereka tak dapat lagi hidup untuk menikmati air itu. Mereka hanya hidup karena anak mereka,
mereka menarik napas dalam, berkata "Oh, anakku Shirvan", dan meninggal.
Kisah di atas menjadi tradisi di India, dan ada pengikut dari tradisi itu yang membawa keranjang di
pundaknya ke mana-mana, mengajarkan kebaktian dan pelayanan kepada orang tua.
Bila cinta dipusatkan pada satu obyek, ia adalah cinta. Bila diarahkan ke beberapa obyek, ia
disebut kasih. Bila seperti kabut, ia disebut nafsu. Bila cenderung kepada moral, ia adalah
kebaktian. Bila diperuntukkan bagi Allah, Yang Mahaberada dan Mahaperkasa, yang merupakan
Keberadaan Total, ia disebut cinta ilahi, pecinta itu disebut suci.
Tiada daya yang lebih besar daripada cinta. Semua kekuatan muncul ketika cinta bangkit di dalam
hati. Orang berkata, "Ia berhati lembut, ia lemah," tetapi banyak orang yang tidak tahu kekuatan
apa yang muncul dari hati yang menjadi lembut dalam cinta. Seorang serdadu bertempur di medan
perang demi cinta kepada rakyatnya. Setiap pekerjaan yang dilakukan dalam cinta, dilakukan
dengan seluruh daya dan kekuatan. Khawatir dan alasan, yang membatasi daya, tak mampu
melawan cinta. Seekor induk ayam, meskipun sangat takut, dapat melawan seekor singa untuk
melindungi anak-anaknya. Tiada sesuatu yang terlalu kuat bagi hati yang mencintai.
Daya cinta menyelesaikan semua urusan dalam hidup sebagaimana daya dinamit yang
mengalahkan dunia. Dinamit membakar segala sesuatu, demikian pula cinta: bila terlalu kuat ia
menjadi roda pemusnah, dan segalanya menjadi salah dalam hidup pecinta. Itulah misteri yang
menjadi penyebab penderitaan hidup seorang pecinta. Namun, pecinta itu mengambil manfaat
dalam kedua kasus. Bila ia menguasai keadaan, ia seorang penguasa (master). Bila ia kehilangan
semuanya, ia orang suci.
Cinta mengatasi [berada di atas] hukum, dan hukum berada di bawah cinta. Keduanya tak dapat
dibandingkan. Yang satu dari langit, yang satu dari bumi. Bila cinta mati, hukum mulai hidup.
Maka, hukum tak pernah menemukan tempat bagi cinta, demikian pula cinta tak dapat membatasi
diri dengan hukum; hukum itu terbatas, dan cinta itu tak berbatas. Seseorang tak dapat memberi
alasan mengapa ia mencintai orang tertentu, karena tiada alasan bagi segalanya kecuali cinta.
Waktu dan ruang berada di dalam genggaman cinta. Perjalanan ribuan kilometer terasa hanya
beberapa meter dalam kehadiran orang yang dicintai, dan beberapa meter terasa ribuan kilometer
tanpa kehadirannya. Satu hari berpisah dalam cinta sama dengan seribu tahun, dan seribu tahun
bersama kekasih terasa hanya sehari.
Bila ada pengaruh yang melindungi di dunia ini, itu tak lain dari cinta. Dalam segala aspek
kehidupan, ke mana pun kita mencari perlindungan, motifnya selalu cinta. Tak seorang pun dapat
mempercayai suatu perlindungan, betapa pun besarnya, kecuali perlindungan yang diberikan oleh
cinta. Kalau seorang raksasa menakuti seorang anak kecil, anak itu akan berkata, "Aku akan
katakan kepada ibuku." Daya kekuatan manusia terlalu kecil bila dibandingkan dengan
perlindungan cinta yang diberikan ibu kepada anaknya.
Cinta dapat menyembuhkan lebih dari apa pun di dunia. Tak ada sesuatu seperti sentuhan
seorang ibu ketika anaknya menderita sakit. Tak ada penyembuh yang lebih baik daripada
kehadiran orang yang dikasihi bila seorang pecinta sakit. Bahkan anjing dan kucing pun
disembuhkan dengan sedikit sentuhan cinta.
L O V E
Untuk membaca pikiran, untuk mengirimkan dan menerima pesan telepati, orang mencoba prosesproses
fisik dengan sia-sia. Andai mereka tahu bahwa rahasia semua itu berada di dalam cinta!
Seorang pecinta mengetahui semuanya: kesenangan, kesedihan, pikiran dan imajinasi orang yang
dicintainya. Tiada ruang atau waktu yang menghalanginya, karena arus telepati secara alami
terjadi antara pecinta dan kekasihnya. Imajinasi, pikiran, mimpi dan visi seorang pecinta,
semuanya mengungkapkan segala sesuatu tentang obyek yang dicintainya.
Konsentrasi, yang merupakan rahasia setiap pencapaian dalam hidup, dan faktor terpenting dalam
semua aspek hidup, terutama dalam jalur agama dan mistisisme, merupakan bal yang alami dalam
cinta. Orang tanpa cinta akan menghabiskan waktu bertahun-tahun dalam jalur ini, dan akan selalu
gagal untuk memusatkan pikiran mereka pada satu obyek. Tetapi cinta memaksa pecinta,
menahan visi tentang kekasihnya di depan pandangannya. Maka pecinta tak perlu berkonsentrasi
dalam pikirannya. Cintanya sendiri adalah konsentrasi yang memberinya penguasaan atas semua
hal di dunia. Pecinta itu mencapai cintanya dan daya konsentrasi sekaligus. Bila ia tak mencapai
obyeknya, maka ia terangkat ke atasnya. Dalam kedua kasus, pecinta itu memperoleh upahnya.
L O V E
BAB 2
SHIRIN DAN FARHAD
Cinta tak pernah tergoda oleh harta dan derajat. Shirin, puteri seorang
miskin tetapi kaya akan idealisme, diculik dan dibawa kepada Raja Faras,
yang seketika tergila-gila kepadanya, dan memberi hadiah besar kepada
orang yang membawanya. Namun raja itu sangat kecewa karena Shirin tidak
menanggapi cintanya; idealisme gadis itu terlalu tinggi untuk dapat
dibujuk dengan kekayaan dan kebesaran Raja. Raja melakukan semua hal
untuk menyenangkannya dan agar mau menikah dengannya, tetapi setiap
upaya berakibat sebaliknya.
Ketika Shirin melihat bahwa tak ada harapan untuk lepas dari istana yang baginya hanyalah
sebuah sangkar, dan kenekadan raja dan pembantu-pembantunya telah sangat menipiskan
kesabarannya, ia terpaksa menerima tawaran mereka, tetapi dengan satu syarat, yaitu sebuah
kanal harus dibuat sebagai monumen memorial atas peristiwa itu. Tentu saja ini merupakan siasat
untuk membatalkan pernikahan, karena pembuatan kanal itu memerlukan waktu bertahun-tahun.
Raja begitu tergila-gila oleh kecantikannya hingga ia lalai dalam menangkap isyarat halus itu, dan
seketika memberi perintah kepada para arsitek dan insinyur untuk mulai bekerja secepatnya, dan
menyelesaikannya sesegera mungkin, tidak peduli berapa biaya dan tenaga yang diperlukan.
Ribuan pekerja segera terlibat dalam proyek itu, dan pekerjaan berlangsung siang-malam tanpa
henti, di bawah pengawasan langsung raja itu sendiri dan pelayan-pelayannya.
Makin dekat ke penyelesaian pekerjaan, makin besar harapan sang raja, dan dengan gembira ia
minta kepada Shirin untuk pergi melihat kanal itu. Dengan hati sedih, Shirin pergi ke kanal,
khawatir kalau-kalau pekerjaan itu segera selesai dan ia harus menyerah kepada kehendak Raja,
suatu hal yang dinilainya lebih buruk daripada kematian. Ketika berjalan melihat proses pekerjaan
di mana ribuan orang bekerja siang dan malam, ia sangat terkejut melihat seorang pekerja datang
kepadanya; karena terpesona oleh kecantikannya, tanpa takut ia berseru, "Hai Shirin, aku cinta
padamu." "Cinta mengabaikan perbedaan derajat antara pecinta dan kekasihnya, dan
mengabaikan ketinggian yang harus didaki seorang pecinta."
Suara cinta dan perkataan kebaktian seperti itulah yang dicari-cari oleh Shirin, dan belum
dijumpainya sebelumnya. Shirin menjawab, "Kalau engkau mencintaiku, pecahlah gunung ini dan
buatlah terowongan menembus gunung ini. Emas perlu diuji sebelum diterima." Farhad langsung
berkata, "Dengan senang hati akan kulakukan, Shirin, apapun yang engkau kehendaki. Tak ada
sesuatu yang terlalu berat bagi seorang pecinta untuk melakukan sesuatu demi kekasihnya."
Farhad berjalan dengan sepenuh hati, tanpa bertanya mengapa ia harus membuat terowongan,
tidak berpikir seberapa banyakpekerjaan yang harus dilakukan. Ia tidak berpikir berapa lama akan
selesai, tidak pula berpikir bahwa pekerjaannya akan sia-sia. Ia pergi ke gunung dan mulai
memecah batu dengan kampaknya. Ia menyebut-nyebut nama Shirin setiap kali ia mengayunkan
kampaknya. Setiap ayunan tangan Farhad mengukir sebuah mukjizat. Setiap ayunan, hasilnya
seperti hasil kerja seratus ayunan kampak. "Daya manusia adalah kekuatan tubuhnya, tetapi daya
cinta adalah keperkasaan Allah.": Tak perlu waktu lama bagi Farhad untuk menyelesaikan
L O V E
pekerjaannya, pekerjaan yang normalnya memerlukan waktu bertahun-tahun dan ribuan pekerja,
diselesaikannya dalam beberapa hari seorang diri.
Shirin menolak Raja sejak ia melihat Farhad, dan berkata, "Ada pecinta lain yang sedang
menjalani ujian, dan sebelum aku tahu hasil ujian itu, sebaiknya kita tidak menikah dulu."
Mata-mata Raja mengawasi Farhad dari kejauhan, dan mereka segera mengirim berita bahwa
Farhad telah menyelesaikan pekerjaannya sebelum kanal selesai dibuat. Raja begitu gusar,
berpikir bahwa Farhad mungkin akan mendapatkan cinta Shirin, dan dengan demikian Shirin
bukan menjadi miliknya lagi. Setelah berunding, seorang penasihatnya berkata, "Yang Mulia, anda
adalah raja, dan Farhad hanya seorang pekerja. Mana bisa langit dibandingkan dengan bumi? Aku
akan pergi ke sana, dan bila Yang Mulia menghendaki, aku akan mengakhiri Fathad dalam
sekejap." "Oh, jangan. Shirin akan melihat noda darah padaku, dan ini akan membuatnya
menjauhiku selamanya." Seorang pembantu raja berkata, "Itu tidak sulit bagiku, Yang Mulia,
mengakhiri hidup Farhad tak perlu dengan meneteskan darah." "Baiklah, kalau begitu," kata Raja.
Pelayan raja itu pergi kepada Farhad, yang hampir menyelesaikan pekerjaannya dengan
bayangan Shirin yang memberi harapan. "Kebahagiaan seorang pecinta terletak di dalam
kebahagiaan kekasihnya." Pelayan raja berkata, "Hai Farhad, sayang, semuanya sia-sia! Hai
pesaing bulan, kekasihmu Shirin telah meninggal secara tiba-tiba." Farhad berkata dalam
kepanikan, "Apa? Shirinku meninggal?" "Ya," kata pelayan itu, "Hai Farhad, sayang sekali Shirin
telah tiada." Farhad mengeluh dalam, dan jatuh ke tanah. "Shirin..." itulah perkataannya yang
terakhir, dan ia berlalu dari kehidupan ini.
Shirin mendengar dari orang-orang yang bersimpati kepadanya bahwa Farhad telah melakukan
keajaiban dengan membuat terowongan dalam gunung sambil menyebut 'Shirin' dalam setiap
ayunan kampaknya, dan telah menyelesaikan pekerjaan yang normalnya perlu waktu yang sangat
lama, dalam waktu singkat. Shirin, yang hatinya telah tertambat pada Farhad, dan yang melalui
jiwanya cinta Farhad terkoyak, tak memiliki lagi sisa kesabaran barang sedetik, maka ia berangkat
ke gunung pada kesempatan pertama. "Dua daya yang lebih tinggi memisahkan dua hati yang
bersatu." Shirin, yang bernasib baik dapat memiliki pecinta seperti Farhad, tak bernasib cukup baik
untuk dapat melihatnya kembali.
Ketika Shirin menemukan jasad Farhad tergeletak di dekat karya mengagumkan yang baru saja
diselesaikan baginya, ia merasa sangat tertekan dan kecewa. Mata-mata Raja datang mendekat
untuk meyakinkan Shirin bahwa Farhad telah mati, berharap bahwa karena kini Farhad telah tiada,
Shirin akan berketetapan hati pada Raja. Mereka berkata, "Farhad yang malang. Sayang, ia telah
mati." Shirin mendengar dari tiupan angin, dari aliran air, dari batu-batu, dari pohon-pohon, suara
Farhad memanggil, "Shirin, Shirin." Seluruh suasana di tempat itu menarik jiwa Shirin dengan
magnetisme cinta yang diciptakan Farhad di sekelilingnya. Ia jatuh ke tanah, terpukul dan merasa
sangat kehilangan hingga hatinya tak tahan lagi, berseru, "Farhad, aku datang untuk bisa
bersamamu." Takdir seorang pecinta adalah kekecewaan besar di mata dunia, tetapi ia merupakan
kepuasan tertinggi di mata orang-orang bijak.
Orang-orang yang bersifat menyerasikan, mencintai satu sama lain. Mungkin sifat-sifat tubuh-lah
yang menyerasikan kualitas mental, kualitas jiwa. Daya tarik fisik hanya berumur pendek, daya
tarik emosional berumur agak lama, dan daya tarik spiritual bertahan selamanya.
Cinta yang hanya sedikit diucapkan dapat menyalakan hati lain, cinta yang lebih banyak diucapkan
akan menghantuinya, tetapi bila terlalu banyak diucapkan akan menjauhkan obyek cinta.
Hubungan menghasilkan teman, meskipun tak ada hubungan atau persahabatan duniawi yang
abadi. Dengan berkumpul, duduk bersama, makan bersama, menghirup udara yang sama, hati
L O V E
akan mendekat. Dua batubara yang menyala, bila didekatkan akan membuat satu api. Api itu
menyatukan keduanya. Bila dua tangan bergandengan, suatu arus listrik mengalir dari satu tangan
ke tangan yang lain. Inilah alasan orang berjabat tangan, agar api kedua orang bertemu. Karena
itu orang berkecenderungan untuk bertepuk tangan, melipat tangan dan menyilangkan kaki ketika
duduk atau berbaring, karena memberi mereka kenyamanan. Inilah yang menyebabkan adanya
kemiripan yang ada pada orang-orang dalam satu bangsa atau suatu ras.
Cinta cenderung menghasilkan kualitas, bahkan kemiripan, antara pecinta dan yang dicintai.
Seringkali kita melihat sahabat, suami-isteri, sepasang kekasih, mursyid dan murid, pada saatnya
menjadi mirip. Potret berbagai Syekh pada aliran Chistiyah semuanya seolah-olah mereka itu
dibuat dalam cetakan yang sama. Seseorang yang pergi jauh dari negerinya dan hidup lama di
negeri lain, menjadi akrab dengan negara itu, menyukainya, dan kadang-kadang tak ingin pulang
ke negerinya sendiri, disebabkan oleh cinta yang terbentuk oleh pergaulan.
Pertemuan itu menyulut cinta, dan perpisahan membuyarkan cinta. Makin jauh obyek cinta dari
jangkauan pecintanya, makin lebar bentangan yang ada bagi perluasan cinta. Karena itu cinta
terhadap obyek yang tak dapat diperoleh memiliki kemungkinan untuk berkembang, sedangkan
bila obyek cinta berada dalam jangkauan hal ini sering membatasi cinta. Bila perpisahan
berlangsung pendek, cinta akan bertambah, tetapi bila terlalu lama, cinta itu mati. Bila pertemuan
hanya sebentar, cinta akan tersulut, tetapi sulit untuk mempertahankan apinya. Bila pertemuan
berlangsung lama, cinta tak banyak terpengaruh, tetapi berakar hingga tumbuh, berkembang dan
berlangsung lama. Dalam ketidakhadiran kekasih, harapan merupakan minyak yang membuat api
cinta menyala. Pertemuan dan perpisahan pada gilirannya akan membuat api cinta menggelora.
Terlalu lama bertemu akan mengecilkan api cinta, dan terlalu lama berpisah akan mematikan api
karena kehabisan minyak.
Kita mungkin tinggal setahun di sebuah kota, dan mungkin kita mengenal dan menyukai orangorang
di sana, dan mereka pun sangat menyukai kita, hingga cinta bertambah dan kita berpikir,
"Andai kita dapat terus tinggal di sana!" Ketika kita pergi, selalu terasa berat untuk berpisah dari
mereka. Kemudian kita pergi, kawan-kawan kita menulis surat dan kita menjawabnya, mula-mula
tiap hari, kemudian tiap minggu, kemudian tiap bulan, dan frekuensinya terus berkurang hingga
hanya tiap Hari Raya saja, karena kita tumbuh terpisah dan hanya sedikit urusan dengan mereka
dan lebih banyak berurusan dengan orang-orang yang kini berada di sekeliling kita. Bila kita
kembali ke tempat yang sama setelah lima atau enam tahun, mula-mula kita merasakan bahwa
iklimnya asing bagi kita, jalan-jalan dan rumah-rumah tampak asing, dan tak ada lagi kehangatan
yang dulu ada. Bila kita bodoh, kita akan menyalahkan kawan-kawan. Bila kita tahu, kita pun akan
menyalahkan diri sendiri. Kebersamaan-lah yang meningkatkan cinta dan perpisahan-lah yang
mengikis cinta, demikian pula dengan keterikatan kita pada tempat-tempat.
BAB 3
YUSUF DAN ZULAIHA
Dari kisah Yusuf dan Zulaiha kita belajar bagian keindahan mana yang berperan dalam dunia
cinta. Yusuf adalah putera bungsu Yakub, seorang nabi yang dikaruniai kemampuan melihat masa
mendatang sebagaimana beberapa pendahulunya. Ia dimasukkan ke dalam sumur oleh kakaknya
yang iri atas ketampanan dan pengaruhnya terhadap ayah dan setiap orang yang dijumpainya.
"Bukan hanya cinta itu sendiri, tetapi keindahan juga menuntut pengorbanan."
Beberapa pedagang yang lewat di situ melihat Yusuf di dalam sumur ketika mereka menimba air,
menaikkannya dan menjualnya sebagai budak kepada gubernur Mesir, yang karena tertarik oleh
ketampanannya, menjadikannya pembantu pribadi.
Zulaiha, isteri gubernur itu, makin lama makin tertarik oleh ketampanan pemuda itu. Ia berbicara
kepadanya, bermain dengannya, mengaguminya, dan di matanya ia mengangkatnya dari budak
menjadi seorang raja. Orang yang dikaruniai keindahan selalu menjadi raja, meskipun mereka
berpakaian compang-camping atau dijual sebagai budak. "Raja sejati selalu menjadi raja, dengan
atau tanpa singgasana."
Teman-teman dan kenalan Zulaiha mulai menyebarkan desas-desus bahwa ia jatuh cinta pada
Yusuf, dan karena manusia secara alami tertarik oleh kesalahan orang lain, hal ini pada akhirnya
menempatkan Zulaiha pada posisi yang sulit.
Suatu ketika Zulaiha mengundang teman-teman dan kenalannya, menaruh sebutir jeruk dan
sebilah pisau di tangan tiap tamunya, dan meminta mereka untuk mengiris jeruk ketika ia memberi
isyarat. Kemudian ia memanggil Yusuf. Ketika Yusuf datang ia meminta mereka untuk mengiris
jeruk, tetapi mata mereka begitu tertarik oleh penampilan Yusuf, hingga mereka bukan memotong
jeruk, melainkan mengiris jari-jari mereka sendiri, dan dengan demikian menerakan cinta Yusuf ke
atas tangan mereka. "Keindahan merampas kesadaran akan diri dari pecintanya."
Zulaiha, yang sepenuhnya terpikat oleh Yusuf, melupakan apakah cintanya kepada Yusuf salah
atau benar. "Nalar jatuh ketika cinta bangkit." Mereka menjadi semakin akrab setiap hari hingga
sebuah kutukan nafsu datang dan memisahkan mereka. Ketika bayangan nafsu jatuh pada jiwa
Yusuf, Zulaiha kebetulan berpikir menutupi wajah pujaannya yang berada di kamarnya. Hal ini
mengejutkan Yusuf sehingga ia bertanya, "Apa yang anda lakukan?" Dijawab, "Aku menutupi
wajah tuhanku yang memandang kita dengan mata penuh murka." Ini menyadarkan Yusuf. Ia
melihat visi ayahnya menunjukkan jari ke arah langit. Yusuf berkata, "Hai Zulaiha, apa yang
engkau masukkan ke dalam pikiranku! Mata tuhanmu dapat ditutupi dengan selembar kain, tetapi
mata Tuhanku tak dapat ditutupi. Ia melihatku di mana pun aku berada." "I adalah orang yang
mengingat Allah dalam kemarahan, dan takut kepada Allah dalam nafsu," kata Zafar.
Zulaiha, yang dibutakan oleh kegelapan yang pekat dari nafsunya, tidak tahan, dan ketika Yusuf
masih menolak, nafsunya berubah menjadi murka. Ia membenci Yusuf, mengutuknya dan
mengingatkannya bahwa kedudukannya adalah sebagai seorang budak yang rendah. Karena itu
Yusuf pergi meninggalkan kamar, tetapi Zulaiha menarik pakaian di bagian belakang leher Yusuf
hingga robek. Kebetulan, Gubernur memasuki kamar pada saat itu. Ia terkejut melihat
pemandangan di depannya, di mana baik Zulaiha maupun Yusuf tak dapat bersembunyi. Sebelum
Gubernur bertanya kepadanya, untuk menyembunyikan kesalahannya, Zulaiha berkata bahwa
Yusuf telah berusaha menyentuhnya. Tentu saja hal ini membuat Gubernur marah, dan seketika ia
memberi perintah agar Yusuf dipenjara seumur hidup. "Orang yang benar mendapat cobaan lebih
banyak dalam hidup daripada orang yang tidak benar."
Penjara lebih menyenangkan bagi Yusuf yang memegang kebenaran, yang menjaga agar
lenteranya tetap menyala dalam kegelapan nafsu ketika menjalani jalur cinta.
Tak lama sebelum kutukan atas Zulaiha pudar, datanglah kesedihan yang dalam. Baginya tiada
akhir bagi kesedihan dan penyesalannya. "Cinta mati dalam nafsu, dan lahir kembali dari nafsu."
Tahun demi tahun berlalu, dan kepedihan dalam hati Zulaiha telah menguras daging dan
darahnya. Pada satu sisi karena cinta kepada Yusuf, pada sisi lain karena rasa bersalah yang
tanpa akhir, dan pendapat bahwa kekasihnya telah dipenjara akibat ulahnya, hampir mengambil
hidupnya.
Waktu mengubah segalanya, termakuk kehidupan Yusuf. Meskipun dipenjara, ia tak menyalahkan
Zulaiha, dengan alasan cintanya. Setiap hari ia menjadi semakin dalam tenggelam dalam
memikirkan Zulaiha , tetapi tetap berpegang pada pendiriannya, yang merupakan tanda orang
suci. Ia dicintai dan disukai orang-orang dalam penjara, dan ia menafsirkan mimpi-mimpi mereka
bila diminta. Kehadiran Yusuf membuat penjara menjadi surga bagi para narapidana. Tetapi
setelah kematian suaminya, Zulaiha jatuh ke dalam kesedihan yang lebih dalam.
Setelah beberapa tahun, Raja (Fir'aun) bermimpi sesuatu yang sangat merisaukannya. Tak ada
orang yang mampu menafsirkannya di antara para cerdik pandai. Kemudian ia diberi tahu
pelayannya tentang Yusuf dan kemampuannya dalam menafsirkan mimpi. Maka Yusuf dipanggil,
dan ia dapat menafsirkannya dengan arif. Dari nasihatnya yang arif, ia sangat banyak
membebaskan beban pikiran sang Raja, dan Raja mengangkatnya menjadi kepala
perbendaharaan kerajaan, serta memberinya kehormatan dan kekuasaan yang mengangkatnya di
mata dunia. "Sesungguhnya kebenaran pada akhirnya akan menang."
Kemudian kakak-kakaknya datang kepada Yusuf, dan disusul oleh ayahnya, Yakub, yang terbebas
dari derita bertahun-tahun yang dialaminya akibat cintanya kepada Yusuf. "Upah dari cinta tak
pernah gagal datang kepada pecinta."
Suatu ketika, Yusuf berkuda bersama pengawalnya, kebetulan melewati tempat di mana Zulaiha
menghabiskan hidupnya dalam kesedihan. Ketika mendengar derap kaki kuda, banyak orang yang
berlari untuk melihat rombongan yang lewat, dan semua berteriak, "Itu Yusuf, Yusuf!" mendengar
teriakan itu, Zulaiha ingin melihat Yusuf sekali lagi. Ketika Yusuf melihatnya, ia tak mengenalinya
lagi, tetapi ia berhenti karena beberapa wanita ingin berbicara dengannya. Ia terharu ketika melihat
seorang wanita yang begitu sedih, dan bertanya kepadanya, "Apa yang anda inginkan dariku?"
Wanita itu menjawab, "Zulaiha masih memiliki hasrat yang sama, hai Yusuf, dan itu akan berlanjut
di sini dan di akhirat. Aku menginginkan engkau, dan hanya engkau seorang yang kuinginkan."
Yusuf menjadi sangat yakin akan keteguhan cinta wanita itu, dan terharu oleh penderitannya,
menciumnya di keningnya, menarik tangannya dan berdoa kepada Allah. Doa nabi itu dan daya
cinta yang tiada henti, telah menarik berkah dari Allah, dan Zulaiha memperoleh kembali
kemudaan dan kecantikannya. Yusuf berkata kepada Zulaiha, "Mulai hari ini engkau menjadi
kekasihku." Mereka menikah dan hidup bahagia. "Sesungguhnya Allah mendengarkan dengan
penuh perhatian tangisan setiap hati yang merintih."
BAB 4
MORAL CINTA
Ada satu moral, yaitu cinta memancar dari penyangkalan diri dan berkembang dalam perbuatan
baik. Orang yang kolot berkata, "Ini baik, itu buruk. Ini benar, itu salah," tetapi bagi seorang Sufi
sumber semua perbuatan baik adalah cinta. Orang mungkin berkata bahwa cinta pun merupakan
sumber perbuatan buruk, tetapi tidak demikian; sumbernya adalah tiadanya cinta.
Amal baik kita terbuat dari cinta, dan dosa-dosa kita disebabkan oleh tiadanya cinta. Cinta
mengubah dosa menjadi kebaikan. Tanpa cinta, perbuatan baik tak bermakna. Ketika seorang
wanita yang dituduh telah melakukan dosa dibawa kepadanya, nabi Isa berkata, "Dosa-dosanya
telah diampuni, karena ia sangat mencintai." Surga menjadi indah karena cinta, dan hidup menjadi
neraka tanpa cinta. Cinta dalam kenyataannya menghasilkan keserasian dalam hidup seseorang
di dunia dan kedamaian di akhirat.
Seorang gadis penari, ketika menyaksikan dua pemakaman dari balik jendela, berkata kepada
pemuda kekasihnya, "Yang pertama dari keduanya adalah jiwa yang telah pergi ke surga, yang
kedua adalah jiwa yang telah pergi ke neraka, aku yakin." Pemuda itu berkata, "Bagaimana
engkau, seorang gadis penari, pura-pura tahu sesuatu yang hanya diketahui orang suci?" Gadis itu
menjawab, "Aku tahu dari kenyataan sederhana bahwa orang yang mengikuti pemakaman
pertama semua bermuka sedih, bahkan banyak yang meneteskan air mata; sedangkan orangorang
pada pemakaman kedua semuanya gembira. Yang pertama membuktikan bahwa ia
mencintai dan memperoleh kasih sayang dari banyak orang sehingga tentu ia berhak masuk
surga; sedangkan yang kedua tentu tak menyukai seorang pun karena tak ada yang mengangisi
kepergiannya."
Oleh karena itu, sebagaimana dunia ini merupakan neraka bagi orang tanpa cinta, neraka yang
sama akan menjadi nyata di dunia berikutnya. Bila jiwa dan hati tak mampu mencintai, maka
meskipun ia seorang kerabat atau teman terdekat, ia adalah orang asing. Ia tak mempedulikan
mereka, dan tidak menyukai kebersamaan dengan mereka.
Mudah sekali untuk mulai mencintai, dan inilah yang dilakukan semua orang. Tetapi sangat sulit
untuk memelihara cinta, karena cinta membuka mata pecinta untuk melihat melalui kekasihnya,
meskipun ia menutup mata pecinta terhadap semua yang lain. Mula-mula, semakin pecinta
mengetahui kekasihnya, semakin banyak ia melihat cacat maupun kebaikannya, yang secara
alami pada awal cinta menjatuhkan kekasih dari ketinggian di mana pecinta menempatkan
kekasihnya.
Hal lain adalah bahwa di samping atribut-atribut yang memikat pecinta satu sama lain, terdapat
kecenderungan pada masing-masing untuk menghancurkan. Ego selalu memainkan siasat dalam
membawa dua hati bersatu dan kemudian memisahkannya kembali. Karena itu di dunia ini hampir
semua orang berkata, "Aku cinta," atau "Aku telah mencintai," tetapi sangat jarang cinta yang
senantiasa meningkat sejak dimulai. Bagi pecinta sejati, sungguh aneh mendengar orang berkata,
"Aku telah mencintinya, tetapi kini aku tak mencintainya lagi."
Cinta harus secara mutlak bebas dari pementingan diri sendiri, karena bila tidak, ia tak akan
menghasilkan cahaya yang benar. Bila api tak menyala, ia tak memberi cahaya, hanya asap yang
keluar darinya, asap yang menyebalkan. Demikianlah cinta yang mementingkan diri sendiri; baik
cinta kepada manusia maupun kepada Allah, ia tak berbuah karena meskipun tampak seperti cinta
kepada orang lain maupun kepada Allah, ia sesungguhnya adalah cinta kepada diri sendiri.
Gagasan yang masuk ke dalam pikiran seorang pecinta seperti, "Jika engkau mau mencintaiku,
aku akan mencintaimu, tetapi bila engkau tak mencintaiku, aku pun tak akan mencintaimu," atau
"Aku mencintaimu sebesar cintamu kepadaku," dan semua pernyataan serupa, adalah pernyataan
cinta yang palsu.
Peran yang dijalankan seorang pecinta dalam hidup lebih sulit daripada peran kekasih. Tirani dari
pihak kekasih dipandang dengan toleran dan sabar oleh pecinta sebagai sesuatu yang alami
dalam jalur cinta. Hafiz berkata tentang menyerah kepada kehendak kekasih: "Aku telah
memecahkan gelas kehendakku ketika berbenturan dengan kehendak kekasihku. Apa yang dapat
dilakukan bila hatiku takluk oleh kekasih yang keras hati, yang mengikuti kehendaknya sendiri dan
mengabaikan kehendak pecintanya?" Itulah hasil studi mengenai sifat pecinta dan kekasihnya,
bahwa sang kekasih melakukan apa yang diinginkan, sedangkan pecinta hidup dalam cinta.
Penyimpangan dari keadaan itu hanya terjadi pada kematian pecinta. Satu-satunya cara ialah
penyerahan diri, baik dalam hal kekasih duniawi maupun Kekasih ilahi.
Pecinta tak pernah mengeluh mengenai ketidak-adilan terhadap dirinya, dan ia menyembunyikan
setiap kesalahan kekasihnya. Pecinta selalu berusaha agar tidak menyakiti perasaan kekasihnya
dalam setiap perbuatannya.
Meskipun cinta adalah cahaya, ia menjadi kegelapan bila hukumnya tidak dipahami. Seperti air
yang dapat membersihkan semua benda, air itu menjadi lumpur bila bercampur tanah. Demikian
pula cinta, bila tidak dipahami dengan benar dan bila salah arah, ia menjadi kutukan, bukan
berkah.
Ada lima dosa utama terhadap cinta, yang mengubah madu menjadi racun. Pertama, bila demi
cintanya pecinta merampas kebebasan dan kebahagiaan kekasihnya. Kedua, bila pecinta
membiarkan kecemburuan atau kepahitan dalam cinta. Ketiga, bila pecinta ragu, tak percaya, dan
curiga kepada orang yang dicintainya. Keempat, bila cinta menyusut akibat membiarkan
kesedihan, masalah, kesulitan, dan penderitaan yang datang dalam jalur cinta. Kelima, bila pecinta
memaksakan kehendaknya sendiri, bukan menyerah kepada kehendak kekasih. Itu semua adalah
penyebab alami dari petaka dalam hati yang mencinta, seperti penyakit bagi tubuh fisik.
Lenyapnya kesehatan membuat hidup menyedihkan, demikian pula lenyapnya cinta membuat hati
tertekan. Hanya pecinta yang menghindari kesalahan di atas akan memperoleh manfaat dari cinta,
dan tiba dengan selamat di tempat tujuannya.
Cinta terletak di dalam pelayanan. Hanya sekedar melakukan, bukan demi ketenaran atau nama,
bukan mengharap penghargaan atau terima kasih, adalah pelayanan cinta.
Pecinta menunjukkan kebaikan dan kemurahan kepada kekasihnya. Ia melakukan apapun yang
dapat dilakukannya bagi kekasihnya dalam bentuk membantu, melayani, berkorban,
menenangkan, atau menyelamatkan, tetapi menyembunyikan semuanya dari dunia, bahkan dari
kekasihnya. Bila sang kekasih melakukan sesuatu baginya ia melebih-lebihkannya,
mengidealkannya, membuat pasir menjadi bukit. Ia mengambil racun dari tangan kekasih sebagai
gula, dan derita cinta dalam luka hatinya sebagai kegembiraan. Dengan memperbesar dan
mengidealkan apapun yang dilakukan kekasih terhadapnya dan dengan melupakan spa yang
dilakukannya bagi kekasihnya, ia mengembangkan penghargaan diri sendiri, yang menghasilkan
semua kebaikan dalam hidupnya.
Kesabaran, pengorbanan, penyerahan, kekuatan, dan pengabdian dibutuhkan dalam cinta, dan
tiada sesuatu kecuali harapan, hingga ia bersatu dengan kekasihnya. Pengorbanan dibutuhkan
dalam cinta untuk memberi semuanya: kekayaan, harta milik, tubuh, hati, dan jiwa. Tiada lagi "Aku"
yang tersisa, yang ada hanya "engkau", sampai "engkau" itu berubah menjadi "aku". Di mana ada
cinta di situ ada kesabaran, di mana tiada kesabaran di situ tak ada cinta. Pecinta mengambil
harapan sebagai sari dari agama cinta, karena harapan adalah satu-satunya hal yang membuat
api hidup tetap menyala. Bagi pecinta, harapan adalah tali keselamatan di laut. "Brahma
mengumpulkan madu dari semua hal di dunia, dan madu itu adalah harapan."
Menurut hukum alam, perpisahan diperlukan meskipun ini paling menyakitkan. Bila dua hati
bersatu dalam cinta, perpisahan menunggu mereka. Perpisahan harus diterima. Seorang penyair
Persia berkata, "Andai aku tahu kepedihan akibat perpisahan dalam cinta, aku tak akan pernah
membiarkan cahaya cinta menyala di dalam hatiku." Seperti yang dikatakan orang Jepang, Tuhan
itu cemburu terhadap semua selain diri-Nya. Siapa pun yang engkau cintai, ruh Allah secara alami
akan memisahkannya, cepat atau lambat.
Gagasan ini diungkapkan secara simbolik dalam cerita India, Indra Sabha.
Sabzpari, seorang peri yang pernah menari di depan Indra, Raja Langit, tertarik oleh Pangeran
Gulfam, seorang manusia bumi, ketika peri itu terbang di atas istana. Pelayannya, Dewa hitam,
membawa Gulfam atas perintahnya, dari bumi ke langit. Gulfam mula-mula tidak suka dengan
tempat asing itu, tetapi kemudian cinta Sabzpari menariknya begitu kuat hingga Gulfam hidup di
dalam cintanya. Sabzpari harus berada di balairung istana setiap malam untuk menari dan
menghibur Raja Indra, tetapi karena cintanya terhadap Gulfam, ia beberapa kali tidak hadir, dan
setiap orang bertanya-tanya mengapa ia tidak datang. Namun kepergiannya setiap malam ke
istana Indra membuat Gulfam curiga jangan-jangan ada orang lain yang terpesona oleh Sabzpari.
Hal ini berkali-kali ditanyakannya kepada Sabzpari, dan setiap kali tidak dijawab, hingga akhirnya
ia menjadi marah dan Sabzpari berpikir untuk tidak lagi menyembunyikannya. Mendengar
penjelasan itu, Gulfam minta Sabzpari agar membawanya ke balairung istana Indra. Sabzpari
berkata, "Tak pernah ada laki-laki yang ke sana, dan bila Indra melihatmu maka hari-hari indahmu
dalam cinta dan kebahagiaan akan berakhir. Kita pasti harus berpisah, dan aku tak tahu apa yang
akan dilakukannya terhadapmu."
Gulfam berkata, "Tidak. Itu hanya kata perempuan. Engkau mungkin bercinta dengan beberapa
Dewa, dan ingin menyembunyikannya dengan berkata demikian." Sabzpari sangat sedih karena
melihat dirinya dalam keadaan tak berdaya. Karena pengaruh perkataan yang begitu tajam seperti
anak panah itu, tanpa berpikir lagi, dibawanya Gulfam ke istana Indra, sambil berkata, "Apa pun
yang akan terjadi, biarlah terjadi."
Sabzpari membawanya ke balairung istana, menyembunyikannya di balik lipatan pakaian dan
sayapnya. Dewa Merah mencium kehadiran manusia di balairung, dan setelah melihat sekeliling,
ia menemukan Sabzpari menari dengan sangat baik di hadapan Indra, sambil menyembunyikan
Gulfam di belakangnya. Dengan kerendahan, ia membawanya menghadap Indra, Dewa segala
Langit, yang duduk di singgasana dengan segelas anggur di tangannya, matanya merah dengan
anggur, dan menampakkan kebesaran. Ketika Indra melihat bahwa seorang manusia dibawa ke
puncak langit, ia bangkit dengan murka besar dan berkata kepada Sabzpari, "Hai, peri yang tak
tahu malu, alangkah beraninya engkau membawa manusia ke puncak langit, sedangkan tak satu
pun makhluk bumi yang diijinkan datang?" Dewa Merah berkata, "Yang Mulia, cintanya kepada
makhluk bumi telah membuat ia tak berbakti kepada tahta langit dan membuatnya gagal dalam
tugasnya kepada Yang Mulia."
Sabzpari berkata kepada Gulfam, "Engkau melihat sendiri, kekasihku tercinta, apa akibat terhadap
kita dari kekerasan hatimu?" Indra berkata, "Pisahkan mereka seketika, agar mereka tak dapat
berkata-kata satu sama lain. Lemparkan manusia itu ke kedalaman bumi, dan robek sayap-sayap
peri itu dan penjarakan ia sampai cintanya kepada Gulfam terhapus dari hatinya. Kemudian
sucikan dia dari kelima unsur. Baru kemudian ia boleh datang lagi, bila ia diijinkan oleh kehendak
dan ampunan dan kasihku."Simbolisme itu menceritakan Tuhan yang pencemburu. Indra berasal dari kata Andar atau Antar,
yang berarti bagian dalam, ruh terdalam, yang diidealkan manusia sebagai Tuhan Yang
Mahaperkasa. Peri adalah jiwa yang diciptakan-Nya dari keberadaan-Nya. Tarian peri yang
merupakan pemujaan terhadap-Nya, sepengetahuan-Nya, dalam kehadiran-Nya, adalah satusatunya
hal yang diinginkan-Nya dari mereka. Dewa hitam adalah simbol kegelapan [Tamas dalam
bahasa Sanskrit]. Di bawahnya, jiwa telah membangun bagi dirinya sebagai rumah dari unsur
bumi, yaitu tubuh fisik. Allah telah menciptakan dunia dari kegelapan.
Sabz berarti hijau, simbol air, unsur pertama yang membentuk substansi atau materi. Sabzpari
berarti jiwa yang ditarik ke dalam tubuh material. Bila jiwa itu melibatkan diri di dalam tubuh fisik,
yang disimbolkan dengan Gulfam, maka jiwa yang terlibat dalam tubuh itu menjadi tenggelam
dalam pengalaman-pengalaman dunia, dalam cinta dunia, kegembiraan dunia, dan kenikmatan
dunia. Karena tugas jiwa dilupakan olehnya dengan memburu dunia, Dewa Merah [daya destruksi]
yang senantiasa menyebabkan perubahan dengan daya destruksinya, pada akhirnya
menyebabkan perpisahan, dan kematian merupakan perpisahan antara tubuh dan jiwa. Jiwa,
penghuni langit, menjadi tak bersayap akibat kutukan Ruh tertinggi, dan berjalan menuju dunia
sampai ia disucikan dari lima elemen yang merupakan alam bawah. "Sebelum seorang manusia
dilahirkan kembali dari air dan dari ruh, ia tak layak memasuki kerajaan Allah," demikian tertulis di
dalam Injil. Baru setelah itu, jiwa terangkat ke atas semua pengaruh duniawi dan menari
selamanya di hadapan Indra, Dewa para dewa.
Akibat cinta adalah derita. Cinta tanpa derita, bukanlah cinta. Pecinta yang tak mengalami
penderitaan cinta bukanlah pecinta. "Cinta macam apa itu yang tak mengakibatkan penderitaan?
Bahkan bila seseorang mabuk cinta, itu bukan apa-apa." Derita cinta adalah kenikmatan pecinta,
hidupnya. Tanpa derita, itu adalah kematiannya. Amir, seorang penyair Hindustan, berkata,
"Engkau akan mengingatku setelah aku mati, hai derita cintaku, karena aku telah memberimu
tempat di dalam hatiku sepanjang hidupku, dan aku telah memberimu makan dengan daging dan
darahku." Setiap orang dapat berbicara cinta dan mengaku mencintai, tetapi menahan ujian cinta
dan menanggung derita cinta merupakan pencapaian pahlawan yang langka. Melihat derita cinta
akan membuat orang pengecut lari terbirit-birit. Tiada jiwa yang bersedia menelan racun ini
sebelum ia merasakan madu.
Orang yang mencintai karena tak berdaya adalah budak cinta, tetapi orang yang mencintai karena
hal ini merupakan kegembiraannya, adalah raja cinta. Orang yang demi cinta mencintai seseorang
gagal dalam menguasai cinta; orang yang dapat menutup hatinya dalam keadaan penuh dengan
cinta meskipun tertarik oleh kekasihnya, adalah penakluk cinta.
Orang-orang yang menghindari cinta dalam hidup karena takut akan deritanya, mengalami
kerugian yang lebih besar dari pecinta, yang dengan kehilangan diri memperoleh semuanya.
Orang tanpa cinta mula-mula kehilangan semua, hingga akhirnya diri mereka direnggut pula dari
tangan mereka. Kehangatan suasana seorang pecinta, pesona suara dan perkataannya, semua
datang dari kepedihan hatinya. Hatinya tidak hidup sebelum mengalami kepedihan. Manusia tidak
hidup bila ia hidup dengan tubuh dan pikiran, tanpa hati. Jiwa merupakan segala cahaya, tetapi
semua kegelapan disebabkan oleh kematian hati. Kepedihan membuatnya hidup. Hati yang telah
penuh dengan kepedihan, bila dimurnikan dengan cinta, menjadi sumber segala kebaikan. Semua
perbuatan baik berasal darinya.
Rumi menyebutkan enam ciri pecinta: tarikan napas (keluhan) yang dalam, ekspresi sedang, mata
berair, sedikit makan, sedikit bicara, sedikit tidur - semua menunjukkan isyarat derita dalam cinta.
Hafiz berkata, "Semua kegembiraan dalam hidupku mereka akibat dari air mata yang tiada henti
dan tarikan napas panjang sepanjang malam."
Kesedihan pecinta itu tiada henti, dalam kehadiran dan dalam kepergian kekasihnya: dalam
kehadiran karena khawatir berpisah, dan dalam kepergian ke merindukan kehadirannya. Menurut
sudut pandang mistik, derita cinta adalah dinamit yang memecahkan hati, meskipun hati itu
sekeras batu. Bila selubung keras yang menutupi cahaya dari dalam itu dipecah, aliran semua
kegembiraan datang seperti mata air dari gunung.
Derita cinta pada saatnya akan menjadi kehidupan dari pecinta. Sakit dari luka hatinya
memberinya kegembiraan yang tak dapat diberikan oleh apapun juga. Hati yang terbakar menjadi
lampu penerang di jalan yang ditempuh pecinta, meringankan jalannya sampai ke tujuan.
Kenikmatan hidup itu membutakan, hanya cinta saja yang membersihkan karat dari hati, cermin
dari jiwa.
Suatu ketika seorang gadis budak yang sedang merapikan tempat tidur seorang Raja, ingin
mengalami bagaimana rasanya tidur di ranjang Raja. Kehangatan sinar matahari, angin yang
bertiup lembut melalui jendela di kamar itu, bunga-bunga dan parfum ditaburkan di lantai, bau
wangi dupa yang dibakar - membuatnya begitu nyaman hingga ia tertidur segera setelah
meletakkan kepalanya di atas bantal. Ia tidur terlelap seperti mati. Ketika raja dan permaisuri
datang, mereka terkejut atas keberanian dan kekurangajaran budak itu. Raja membangunkannya
dengan sebuah cambukan, ditambah dengan dua cambukan lagi agar permaisuri tidak curiga.
Budak itu terbangun dalam ketakutan dan berteriak keras, tetapi akhirnya ia tersenyum.
Senyumnya lebih menimbulkan keheranan pada raja dan permaisuri daripada kesalahan yang
dilakukannya. Mereka bertanya mengapa ia tersenyum, dan ia menjawab, "Aku tersenyum karena
berpikir bahwa kenikmatan dan kegembiraan atas tempat tidur ini telah memberiku kecenderungan
untuk menikmatinya beberapa saat, dan hukumannya adalah cambukan. Kemudian aku bertanyatanya,
karena anda mengalami kenikmatan tempat tidur ini seumur hidup, hukuman apa yang
harus anda bayar untuk itu kepada Allah, Raja dari segala Raja."
Dalam kehidupan ini, setiap kenikmatan kecil harus dibayar dengan penderitaan yang jauh lebih
besar. Karena itu seorang pecinta telah mengumpulkan semua derita sebagai tabungan, dan jalan
yang ditempuhnya akan lebih nyaman sepanjang perjalanan dari bumi ke langit. Di sana ia akan
menjadi kaya ketika banyak orang lain yang miskin.
Gambaran para penyair Sufi melukiskan sifat cinta, pecinta, dan kekasih dengan kehalusan
metafora, kerumitan, dan aturan dalam ekspresinya hingga puisi mereka menjadi gambaran nyata
dari sifat manusia.
Pecinta selalu membayangkan sebagai korban kekejaman kekasih, yang tanpa kompromi
menyingkirkan pesaing-pesaingnya, tidak memperhatikan penderitan pecintanya, tidak
mendengarkan himbaunnya, dan bila ia menuruti, itu hanyalah sedikit sekali hingga tidak
menyembuhkan tetapi malah membuat penderitaan makin parah. Pecinta membiarkan hatinya
yang liar untuk dikasihani di depan kekasih, menempatkannya di telapak tangannya. Ia meletakkan
hatinya di kaki sang kekasih yang memperlakukannya dengan dingin, sementara ia berseru, "Lebih
lembut, kekasihku, yang lembut! Itu adalah hatiku, itu adalah hatiku." Hati si pecinta mengeluarkan
air mata darah. Pecinta menekan hatinya, mencegahnya agar tidak berlari kepada kekasihnya.
Pecinta itu mengeluh bahwa hatinya tak setia karena meninggalkannya dan pergi ke kekasihnya.
Cinta mengemis agar kekasih mengembalikan hatinya bila hati itu sudah tak digunakannya lagi.
Tempat tinggal hati adalah di dalam pelukan kekasihnya.
Pecinta itu tidak tenang, gelisah, dan tak bahagia dalam derita perpisahan. Malam dan siang
berlalu, semuanya berubah kecuali kepedihan pecinta. Kepedihan cinta merupakan satu-satunya
temannya di setiap malam dalam perpisahan. Pecinta bertanya kepada malam perpisahan yang
lelah, "Di mana engkau akan berada ketika aku mati?" Pecinta mengharapkan datangnya kematian
sebelum kedatangan kekasih. Ia memohon agar kekasihnya menunjukkan diri kepadanya sesaat
sebelum ia mati. Ia berdoa agar kekasihnya mengunjungi kuburannya, sekalipun bukan demi cinta,
sekurang-kurangnya demi kehadiran.
Pecinta hanya mengharap agar sang kekasih memahaminya, agar mengetahui seberapa besar
cintanya dan penderitaan apa yang dialaminya. Pecinta senantiasa berharap agar kekasihnya
datang kepadanya, atau ia sendiri dipanggil kepada kekasihnya. Bahkan, melihat seorang utusan
cinta membuat kekasihnya marah. Kebaikan dan keburukan dunia tak berarti apa-apa bagi
pecinta. Pecinta hanya mengeluh bila ketenangan, kesabaran, dan kedamaiannya dirampas, dan
bila ia kehilangan agama, moral, dan Tuhannya. Pecinta terlihat tanpa topi dan sepatu, dan
dianggap gila oleh kawan-kawannya. Ia merobek pakaiannya dalam penderitaan. Ia terikat dengan
rantai oleh kegilaannya. Ia telah kehilangan kehormatan di mata semua orang.
Luka dalam hati adalah mawar bagi pecinta, rasa sakit adalah keindahannya. Ia menangis agar
dapat meneteskan air asin kepadanya untuk membuatnya cerdas, agar ia dapat sepenuhnya
menikmati derita yang manis. Pecinta cemburu kepada perhatian yang dicurahkan pesaing
terhadap kekasihnya. Bila pecinta menceritakan kisah cintanya kepada kawan-kawannya, mereka
akan menangis bersamanya. Pecinta mencium tanah yang diinjak kekasihnya ketika berjalan. Ia iri
kepada kesempatan yang dimiliki sepatu kekasihnya. Pecinta menggelar permadani di pintu bagi
sang kekasih. Alis sang kekasih adalah Mihrab, pintu lengkung pada masjid. Tahi lalat di pipi
kekasih adalah noda ajaib yang mengungkapkan rahasia langit dan bumi kepadanya. Debu di
bawah kaki kekasih baginya merupakan tanah sakral dari Ka'bah. Wajah kekasih adalah Al Qur'an
yang terbuka, dan ia mambaca Alif, huruf dan huruf simbolik dari nama Allah, dalam sifat sang
kekasih. Pecinta minum anggur Kauthar, yang keluar dari mata kekasih. Pandangan kekasih
membuatnya mabuk. Suara gelang kekasih membuatnya hidup. Pecinta puas dengan melihat
kekasih meskipun dalam mimpi, bukan dalam keadaan terjaga.
Bila pecinta berkata hampir mati, kekasih tak mempercayainya. Pecinta begitu 'habis' hingga
malaikat Mankir dan Nakir tak dapat melacaknya di dalam kubur. Kekhawatiran akan pendekatan
pecinta membuat sang kekasih mengumpulkan pakaiannya dan mengangkatnya ketika melintasi
kuburan pecinta itu agar tangannya dapat meraihnya.
Dengan tarikan napas yang dalam dari pecinta, langit dan bumi berguncang. Air matanya berubah
menjadi bunga ketika menyentuh tanah. Derita adalah sahabatnya dalam hati malam, dan
kematian adalah sahabatnya di sepanjang perjalanan hidup. Ia merencanakan dan
membayangkan seribu hal untuk dikatakan kepada kekasih, mengenai kerinduannya, deritanya,
kekagumannya, dan cintanya. Namun ketika melihat sang kekasih ia tersihir, lidahnya tak bergerak
bibirnya terkatup, matanya terpaku sepenuhnya pada kekasihnya.
Kegembiraan dalam arti yang nyata hanya diketahui oleh seorang pecinta. Orang tanpa cinta
hanya mengetahui namanya, ia tidak mengetahui kenyataannya. Perbedaannya seperti manusia
dan batu. Dengan semua perjuangan dan kesulitan hidup, manusia lebih suka menjadi manusia
daripada menjadi batu yang tak tersentuh oleh perjuangan atau kesulitan, karena dengan
perjuangan dan kesulitan, kegembiraan hidup menjadi sangat besar. Dengan semua derita dan
kesedihan yang harus ditemui pecinta di dalam cinta, kegembiraannya dalam cinta tak dapat
dibayangkan, karena cinta adalah hidup, dan tanpa cinta berarti mati. "Para malaikat akan
meninggalkan kebebasan mereka di surga, andai mereka tahu kegembiraan ketika cinta bersemi
pada orang muda."
Ada dua obyek yang pantas dicintai: di dataran rendah, manusia, dan di dataran tinggi, Allah.
Setiap orang di dunia mula-mula belajar mencintai di dataran rendah. Segera setelah seorang bayi
membuka matanya, ia mencintai apa pun yang dilihatnya, semuanya tampak indah. Kemudian
muncul cinta kepada sesuatu yang permanen, yang tak berubah, yang menuju ke kesempurnaan
Allah. Namun kemudian manusia telah terpaku pada posisi yang sulit dalam hidup di mana
terdapat pertentangan satu sama lain. Idola menarik dari satu sisi, dan gagasan kesempurnaan
menarik dari sisi lain, dan jarang sekali orang yang terangkat dari kesulitan ini.
Hal ini dijelaskan dalam kehidupan Surdas, seorang pemusik dan penyair India. Dengan sangat
mendalam ia mencintai seorang penyanyi dan senang melihatnya. Kecintaannya meningkat hingga
ia tak dapat hidup tanpa dia dalam sehari saja. Suatu ketika terjadi hujan lebat yang berlangsung
berminggu-minggu dan seluruh negeri banjir. Tak ada cara untuk bepergian, jalan-jalan tak dapat
dilalui, tetapi tak ada sesuatu pun yang dapat menghalangi Surdas untuk menemui kekasihnya
seperti yang dijanjikan. Ia berangkat dalam hujan lebat, tetapi di tengah jalan ia terhalang sungai
yang banjir dan tak dapat diseberangi. Tak ada perahu yang tampak; maka Surdas meloncat ke
dalam sungai dan mencoba berenang. Ombak sungai yang kasar mempermainkannya,
mengangkatnya dan menceburkannya seolah-olah ia jatuh dari gunung ke dalam jurang. Untung,
ia menjatuhi sebuah mayat, yang diperlakukannya seperti sebatang kayu, ia meraihnya dan
berpegang kepadanya. Pada akhirnya, setelah perjuangan yang keras, ia sampai ke rumah
kekasihnya.
Ia menemukan pintu rumah itu terkunci. Waktu itu telah larut malam dan setiap suara akan
mengganggu tetangga. Maka ia mencoba memanjat rumah dan masuk melalui jendela atas. Ia
berpegang pada ular kobra yang tampak seperti tali yang tergantung, berpikir bahwa 'tali' itu segaja
dipasang di sana untuknya oleh kekasihnya.
Kekasihnya terkejut ketika melihatnya. Ia tak dapat mengerti mengapa pecintanya berhasil datang,
dan kesan cintanya tampak semakin besar dari sebelumnya. Gadis itu seolah-olah diberi inspirasi
oleh cinta lelaki itu. Di matanya, lelaki itu bukan lagi manusia, tetapi telah meningkat menjadi
malaikat, terutama setelah ia tahu bahwa pecintanya telah menganggap mayat sebagai kayu dan
ular kobra sebagai tali. Ia melihat bagaimana kematian dikalahkan oleh lelaki pecintanya. Ia
berkata kepadanya, "Hai pemuda, cintamu lebih besar dari cinta rata-rata manusia, dan andai
cintamu diperuntukkan bagi Allah, betapa besarnya kegembiraan yang akan engkau peroleh!
Karena itu, bangkitlah, angkatlah cintamu terhadap bentuk dan materi, dan arahkan cintamu
kepada ruh Allah." Lelaki itu mematuhi saran itu seperti anak kecil, meninggalkan gadis itu dengan
berat hati dan sejak itu ia berkelana di dalam hutan-hutan di India.
Bertahun-tahun ia berkelana di hutan-hutan, menyebut-nyebut nama Kekasih ilahinya dan mencari
perlindungan di dalam tangan-Nya. Ia mengunjungi tempat-tempat sakral, tempat-tempat ziarah,
dan secara kebetulan ia tiba di tepi sebuah sungai sakral, di tempat itu wanita-wanita dari kota
datang setiap pagi ketika matahari terbit untuk mengisi tempayan mereka dengan air suci. Surdas,
yang duduk di sana sambil memikirkan Allah, terpesona oleh keindahan salah satu wanita yang
datang. Karena hatinya adalah lentera, ia tak perlu lama untuk menyala. Ia mengikuti wanita itu.
Ketika memasuki rumahnya, wanita itu berkata kepada suaminya,"Seorang suci melihatku di
sungai dan mengikutiku sampai ke rumah, dan ia masih berdiri di luar." Si suami segera keluar dan
melihat lelaki itu. Ia berkata, "Hai Maharaja, apa yang membuatmu berdiri di situ? Adakah sesuatu
yang dapat kulakukan untukmu?" Surdas berkata, "Siapakah wanita yang tadi memasuki rumah
ini?" Ia menjawab, "Dia isteriku; aku dan dia siap melayani orang suci seperti anda." Surdas
berkata, "Suruhlah dia datang, hai orang yang diberkahi, agar aku dapat melihatnya sekali lagi."
Ketika wanita itu keluar, Surdas melihatnya sekali dan berkata, "Hai Ibu, bawakan aku dua buah
[paku] pines." Dan ketika benda yang diminta itu diberikan kepadanya, ia membungkuk kepada
pesona dan kecantikan wanita itu sekali lagi, kemudian menusukkan pines itu ke kedua matanya
sambil berkata, "Hai mataku, engkau tak akan lagi melihat dan tergoda oleh keindahan duniawi
dan membawaku turun dari surga ke bumi."
Maka ia menjadi buta sejak itu; lagu-lagunya mengenai kesempurnaan ilahi masih terus hidup dan
dinyanyikan oleh orang-orang India yang mencintai Allah; dan bila seorang Hindu buta, orang
memanggilnya Surdas sebagai penghormatan.
"Meskipun aku hanya mencintai satu, tetapi ia abadi," kata Mohi. Cinta hanya dapat ada bila hanya
ada satu obyek di depan kita, bukan banyak obyek. Bila obyeknya banyak, tidak akan ada
kesetiaan. "Bila di tempat bagi satu terdapat dua, keistimewaan yang satu itu hilang. Karena
alasan itu, aku tak ingin potret kekasihku dibuat." Yang satu itu ialah Allah, yang tak berbentuk dan
tak bernama, yang abadi, yang bersama kita selamanya.
Cinta bagi satu orang, betapa pun dalamnya, tentu berbatas. Kesempurnaan cinta terletak pada
ukuran besarnya. "Kecenderungan cinta adalah untuk mengembang, dari satu atom hingga ke
seluruh alam semesta, dari satu kekasih duniawi hingga Allah."
Cinta kepada manusia adalah primitif dan tidak lengkap, tetapi diperlukan untuk memulai. Orang
tak akan dapat berkata, "Aku mencintai Allah," bila ia tak memiliki cinta kepada sesama manusia.
Namun ketika cinta mencapai kulminasi pada Allah, ia telah mencapai kesempurnaannya.
Cinta menciptakan cinta di dalam manusia dan lebih banyak lagi dengan Allah. Itu merupakan sifat
cinta. Bila anda mencintai Allah, Allah mengirimkan cinta-Nya lebih banyak kepada anda. Bila anda
mencarinya di malam hari, Dia akan mengikuti anda pada siang harinya. Di mana pun anda, dalam
kegiatan anda, dalam transaksi bisnis, pertolongan, perlindungan dan kehadiran ilahi akan
mengikuti anda.
Ungkapan cinta terletak di dalam kekaguman tanpa kata, kontemplasi, pelayanan, perhatian untuk
menyenangkan kekasih, dan kehati-hatian untuk menghindari ketidaksukaan kekasih. Ungkapan
cinta demikian oleh seorang pecinta akan menyenangkan kekasih, yang kebanggaannya tak dapat
dipuaskan dengan cara lain. Keridhaan kekasih merupakan satu-satunya tujuan pecinta, tak ada
harga yang terlalu mahal untuk memperolehnya.
Sifat keindahan adalah tak sadar akan nilai keberadaannya. Idealisasi pecinta-lah yang membuat
keindahan itu bernilai, perhatian pecinta-lah yang menghasilkan kepastian keindahan, suatu
kesadaran akan adanya kelebihan, dan gagasan, "Aku bahkan lebih hebat dari yang kupikir." Bila
kebanggaan dari suatu keindahan duniawi dapat dipuaskan dengan kekaguman, maka
kebanggaan akan keindahan langit dipuaskan dengan mengagungkan-Nya, keindahan sejati satusatunya
yang berhak atas segala pujian. Tiadanya kesadaran dari pihak manusia yang
membuatnya melupakan keindahan-Nya dalam segala hal dan mengakui tiap keindahan secara
terpisah, menyukai yang satu dan tak menyukai yang lain. Dalam pandangan orang yang tahu,
mulai dari bagian keindahan terkecil hingga keindahan mutlak alam semesta, semua menjadi satu
keberadaan tunggal Kekasih ilahi.
Diceritakan bahwa Allah berfirman kepada Nabi, "Hai Muhammad, andai Kami tidak menciptakan
kamu semua, Kami tidak akan menciptakan seluruh alam semesta." Apa artinya? Artinya,
keindahan surgawi, keindahan seluruh Keberadaan, dicintai, dikenal dan diagungkan oleh pecinta
ilahi, dipindahkan ke kepuasan yang sempurna, berkata dari dalam, "Bagus, engkau telah
mencintai-Ku dengan sepenuhnya. Andai bukan bagi kamu, hai pengagum keberadaan-Ku, aku
tak akan menciptakan alam semesta ini, di mana makhluk-Ku mencintai dan mengagumi satu
bagian keberadaan-Ku di permukaan, dan keindahan-Ku yang penuh terhijab dari pandangan
mereka." Dengan kata lain, Kekasih ilahi berfirman, "Aku tak punya pengagum, meskipun aku
berdiri dihiasi. Sebagian mengagumi gelang-Ku, sebagian mengagumi anting-anting-Ku, sebagian
mengagumi kalung-Ku, sebagian mengagumi cincin-Ku; tetapi Aku akan mnemberikan tangan-Ku
kepadanya dan menganggap ia mengagumi diri-Ku sendiri. Pada sesiapa yang memahami-Ku dan
mengagungkan keberadaan-Ku secara penuh, padanya terletak kepuasan-Ku."
BAB 5
LAILA DAN MAJNUN
Kisah Laila dan Majnun diceritakan di Timur selama ribuan tahun dan selalu membawa
kekaguman besar, karena ini bukan sekedar sebuah kisah cinta, melainkan juga sebuah pelajaran
cinta. Bukan cinta sebagaimanaumumnya dipahami orang, tetapi cinta yang berada di atas bumi
dan langit.
Seorang pemuda bernama Majnun sejak kecil telah menunjukkan cinta dalam sifatnya,
mengungkapkan tragedi hidup kepada mata orang yang jeli. Ketika Majnun bersekolah, ia
menyukai Laila. Percikan api itu akhirnya menjadi api, dan Majnun merasa tidak tenang bila Laila
sedikit terlambat datang ke sekolah. Dengan buku di tangannya, Majnun mengarahkan matanya ke
pintu masuk, dan hal ini diketahui banyak orang. Api itu kemudian menjadi api besar dan kemudian
hati Laila menyala oleh cinta Majnun. Mereka saling berpandangan. Laila tak melihat seorang pun
di dalam kelas kecuali Majnun, demikian pula sebaliknya, Majnun hanya melihat Laila. Apabila
membaca buku mata Majnun hanya melihat nama Laila; dalam menulis ketika didikte guru, Laila
hanya menuliskan semua baris dengan nama Majnun. "Semua yang lain menghilang ketika
gagasan mengenai kekasih menguasai pikiran pecinta."
Semua murid yang lain di kelas saling berbisik sambil menunjuk kepada mereka berdua. Para guru
khawatir dan menulis kepada orang tua mereka bahwa anak-anak mereka mabuk cinta dan saling
menyukai, dan bahwa tampaknya tak ada cara untuk mengalihkan perhatian mereka dari urusan
cinta yang telah menghentikan setiap kemungkinan perkembangan dalam
belajar.
Orang tua Laila langsung melarang gadis itu pergi ke sekolah, dan mengawasinya secara ketat.
Dengan cara ini mereka menjauhkan Laila dari Majnun, tetapi siapa yang mampu menjauhkan
Majnun dari hati Laila? Ia tidak memikirkan apapun selain Majnun. Tanpa Laila, Majnun tidak
tenang dan menangis di dalam hatinya, semua orang di sekolah menjadi kacau, sampai orang
tuanya membawanya pulang dari sekolah, karena rupanya tak ada sesuatu yang tersisa baginya di
sekolah. Orang tua Majnun memanggil dokter, tabib, peramal, pesulap, dan mencurahkan uang di
kaki mereka sambil memohon agar Majnun dibebaskan dari memikirkan Laila. Tetapi apa yang
dapat mereka lakukan? "Lukman [tabib besar pada masa silam] sekalipun, tidak memiliki obat
untuk menyembuhkan sakit karena cinta."
Tak seorang pun mampu menyembuhkan pasien cinta. Teman-teman datang, para kerabat
datang, pemberi semangat datang, penasihat ahli datang; semua mencoba sebaik mungkin untuk
melenyapkan Laila dari pikiran Majnun, tetapi sia-sia. Seseorang datang dan berkata kepadanya,
"Hai Majnun, mengapa engkau sedih atas perpisahan dari Laila? Ia tidak cantik. Aku dapat
menunjukkan kepadamu seribu gadis yang lebih cantik dan lebih menarik, dan engkau dapat
memilih salah satu di antara mereka." Majnun menjawab "Untuk melihat kecantikan Laila,
diperlukan mata Majnun."
Ketika semua upaya tak tersisa untuk dilakukan, orang tua Majnun bermaksud mencari
perlindungan Ka'bah sebagai upaya terakhir. Mereka membawa Majnun berziarah ke Ka'bat-ullah.
Ketika mereka sampai ke dekat Ka'bah terjadi kerumunan besar untuk melihat mereka. Orang tua
itu mendekat ke Ka'bah dan berdoa, "Ya Allah, Engkau Mahapengasih dan Mahapenyayang, maka
ridhailah anak kami satu-satunya, agar hati Majnun terbebas dari derita cintanya kepada Laila."
Semua orang mendengarkan doa itu dengan penuh perhatian, dan ingin tahu apa yang akan
dikatakan Majnun. Kemudian orang tua itu berkata kepada Majnun, "Anakku, berdoalah agar
cintamu kepada Laila dilenyapkan dari hatimu." Majnun menjawab, "Apakah aku akan bertemu
dengan Laila bila aku berdoa?" Dengan sangat kecewa mereka menjawab, "Berdoalah, anakku,
apapun yang engkau kehendaki." Maka Majnun mendekat ke Ka'bah dan berkata, "Aku
menginginkan Laila," dan semua orang yang hadir berkata, "Amiin." "Dunia mengumandangkan
keinginan pecinta."
Setelah mencari segala cara untuk menyembuhkan Majnun dari kegilaannya terhadap Laila,
akhirnya mereka berpikir bahwa cara terbaik adalah mendekati kedua orang tua Laila, karena ini
merupakan harapan terakhir untuk menyelamatkan hidup Majnun. Mereka mengirim pesan kepada
orang tua Laila yang berlainan agama, "Kami telah melakukan semua yang kami bisa untuk
melepaskan Laila dari pikiran Majnun, tetapi sejauh ini tak berhasil, dan tak ada harapan untuk
berhasil kecuali satu hal, yaitu menikahkan Majnun dengan Laila." Mereka membalas dengan
berkata, "Meskipun hal ini akan membuat kami dibenci oleh orang-orang kami, tetapi rupanya Laila
tak dapat melupakan Majnun barang sesaat, dan sejak kami mengeluarkannya dari sekolah, ia
terus bersedih setiap hari. Karena itu kami tidak keberatan untuk menikahkan Laila dengan
Majnun, dengan satu syarat yaitu Majnun harus bertindak waras."
Mendengar itu, orang tua Majnun sangat bergembira dan minta kepada Majnun agar bersikap
wajar agar orang tua Laila tidak menyangka bahwa ia gila. Majnun setuju untuk melakukan apapun
yang dikehendaki orang tuanya asal diperbolehkan menemui Laila. Sesuai dengan adat Timur,
prosesi pernikahan dilakukan di rumah pengantin wanita, dan di sana tempat duduk khusus
disediakan bagi pengantin laki-laki yang ditutup dengan rangkaian bunga. Namun, seperti kata
orang Timur, Allah tidak suka kepada pesaing cinta, maka takdir tidak memberi kedua orang itu
kebahagiaan atas kebersamaan. Anjing yang biasanya mengikuti Laila ke sekolah, kebetulan
memasuki ruang tempat pasangan itu duduk. Ketika Majnun melihat anjing itu, emosinya meledak;
ia tidak dapat duduk di kursi tinggi sambil melihat anjing. Ia berlari kepada anjing itu, mencium
kakinya dan mengalungkan rangkaian bunga ke leher anjing itu. Terlihat jelas bahwa Majnun
memuja anjing itu. "Debu di tempat tinggal kekasih adalah tanahKa'bah bagi pecinta." Kelakuan itu
sepintas membuktikan bahwa ia gila.
Karena bahasa cinta itu sampah bagi orang tanpa cinta, maka perbuatan Majnun dipandang oleh
mereka yang hadir sebagai ketololan. Mereka semua sangat kecewa, orang tua Laila menolak
untuk menikahkan anaknya, dan Majnun dibawa kembali pulang.
Pernyataan kecewa itu membuat orang tua Majnun kehilangan harapan, dan mereka tidak lagi
mengawasinya karena melihat bahwa hidup atau mati, keduanya sama saja. Hal ini memberi
kebebasan kepada Majnun untuk berkelana ke kota mencari Laila, bertanya kepada setiap orang
untuk menunjukkan tempat Laila. Kebetulan ia bertemu dengan pengantar surat yang membawa
surat-surat di punggung unta. Ketika Majnun menyanyakan alamat Laila, orang itu menjawab,
"Orang tuanya telah meninggalkan negeri ini dan sekarang tinggal seratus mil dari sini." Majnun
memohon kepadanya untuk menyampaikan pesan kepada, dan dijawab, "Dengan senang hati."
Namun ketika Majnun mengucapkan pesan itu, ia perlu waktu yang amat sangat lama. "Pesan
cinta tidak mengenal akhir."
Pengantar surat itu separo menertawakan dan separo bersimpati kepada ketulusan cintanya.
Meskipun Majnun yang berjalan bersama untanya, merupakan teman baginya dalam perjalanan
panjang, tetapi karena kasihan, ia berkata, "Engkau telah berjalan sepuluh mil dengan
menyampaikan pesanmu itu kepadaku; berapa jauh yang harus kutempuh untuk
menyampaikannya kepada Laila? Kini pergilah, aku akan menyampaikannya." Kemudian Majnun
berjalan kembali, tetapi sebelum berjalan seratus meter, ia berputar balik dan berseru, "Hai
kawanku yang baik, aku lupa mengatakan beberapa hal yang engkau dapat menyampaikannya
kepada Laila." Ketika pesan itu disampaikan, ia telah menempuh sepuluh mil lagi. Pengantar surat
itu berkata, "Aku kasihan kepadamu, kembalilah, engkau telah berjalan sangat jauh. Bagaimana
aku dapat mengingat semua pesan yang engkau sampaikan? Bagaimana pun, aku akan berusaha
sebaik-baiknya. Kini kembalilah, engkau sudah sangat jauh dari rumahmu." Majnun berjalan balik
beberapa meter, dan lagi-lagi ia kembali ingat sesuatu untuk disampaikan kepada pembawa
pesan, lalu mengejarnya. Begitu seterusnya hingga ia sendiri tiba di tempat yang dituju.
Pengantar surat itu kagum kepada cinta yang tulus, dan berkata, "Engkau telah tiba di tanah
tempat Laila tinggal. Kini tinggallah di masjid runtuh ini. Ini masih luar kota. Bila engkau pergi
bersamaku ke kota mereka akan menyiksamu sebelum engkau bertemu Laila. Sebaiknya engkau
beristirahat di sini sekarang, karena engkau telah berjalan jauh, dan aku akan menyampaikan
pesanmu kepada Laila ketika bertemu dengannya." "Orang yang mabuk cinta tak mengenal waktu
atau ruang."
Majnun patuh, dan ingin beristirahat, tetapi gagasan bahwa ia berada di kota tempat tinggal Laila
membuatnya bertanya-tanya ke arah mana ia meregangkan kakinya: utara, selatan, timur, barat,
dan berpikir, "Andai Laila berada di sisi ini, aku akan tidak sopan bila meregangkan kakiku ke arah
sana. Maka sebaiknya aku menggantung kaki dengan tali dari atas, karena pasti ia tidak di sana."
"Ka'bah seorang pecinta adalah tempat tinggal kekasihnya." Ia merasa haus, dan tak dapat
memperoleh air kecuali air hujan yang terkumpul di dalam bak yang tak digunakan.
Ketika pengantar surat memasuki rumah Laila, ia melihat dan berkata kepada Laila, "Aku harus
bersusah payah untuk dapat berbicara kepadamu. Pecintamu, Majnun, seorang pecinta yang tiada
bandingannya di dunia, mengirimkan pesan untukmu, dan ia terus berbicara di sepanjang
perjalanan dan ia berjalan kaki sejauh kota ini." Laila berkata, "Demi langit, kasihan Majnun! Apa
jadinya dia." Ia bertanya kepada perawat tuanya, "Bagaimana seorang yang berjalan seratus mil
tanpa berhenti?" Perawat itu berkata, "Orang itu pasti mati." Laila berkata, "Apakah ada obatnya?"
Dijawab, "Ia harus minum air hujan yang terkumpul selama setahun dan sudah diminum ular.
Kemudian kakinya harus diikat dan digantung di udara dengan kepala di bawah dalam waktu yang
lama. Ini mungkin menyelamatkan nyawanya." Laila berkata, "Oh, tetapi betapa sulit
mendapatkannya!" Allah, yang Dia sendiri adalah cinta, adalah pembimbing Majnun, dan karena
itu semua yang datang kepada Majnun adalah yang terbaik baginya. "Sesungguhnya cinta adalah
penyembuh dari lukanya sendiri."
Pagi harinya Laila menyisihkan makanannya, dan mengirimkannya secara sembunyi-sembunyi
melalui pelayan yang dipercaya, bersama dengan pesan untuk Majnun bahwa Laila rindu untuk
bertemu dengannya sebesar Majnun merindukannya, yang berbeda hanya rantai yang mengikat.
Segera setelah ia memperoleh kesempatan, ia akan datang seketika.
Pelayan itu pergi ke masjid runtuh dan melihat dua orang duduk di sana, yang satu tak peduli
dengan sekelilingnya, yang lain orang gendut dan besar. Ia berpikir, Laila tidak mungkin mencintai
seorang pemimpi karena ia sendiri tak tertarik. Namun untuk meyakinkan, ia bertanya, siapa yang
bernama Majnun. Majnun tenggelam dalam pikirannya sendiri dan jauh dari perkataan itu, tetapi
lelaki yang lain, yang kelelahan bekerja, sangat senang melihat keranjang makanan di tangan
pelayan itu, dan berkata, "Siapa yang kau cari?" Dijawab, "Aku disuruh memberikan makanan ini
kepada Majnun. Apakah anda Majnun?" Ia menjulurkan tangannya untuk menerima keranjang itu
dan berkata, "Akulah yang engkau cari," dan bercanda dengan pelayan itu, dan pelayan itu
senang.
Ketika pelayan itu kembali, Laila bertanya, "Apakah engkau berikan makanan itu kepadanya?"
Dijawab, "Ya, aku memberikannya." Kemudian setiap hari Laila mengirim porsi yang lebih besar
dari makanannya kepada Majnun, yang diterima dengan sukacita oleh lelaki gendut itu ketika
istirahat dari kerja. Suatu hari Laila bertanya kepada pelayannya, "Engkau tak pernah bercerita
apa yang dikatakannya dan bagaimana ia makan." Dijawab, "Ia berkata bahwa ia sangat berterima
kasih dan sangat menghargai pemberian itu. Bicaranya sangat menyenangkan. Anda tak perlu
khawatir, ia menjadi semakin gendut setiap hari." Laila berkata, "Tetapi Majnun-ku tak pernah
gendut, ia tak bisa gemuk, dan ia berpikir terlalu dalam untuk bisa berkata yang manis kepada
orang lain. Ia terlalu sedih untuk berkata." Seketika Laila curiga bahwa makanannya telah
diberikan kepada orang lain. ia berkata, "Adakah orang lain di sana?" Pelayan menjawab, "Ya, ada
satu orang lain yang duduk di sana, tetapi ia tampaknya berada di dalam dirinya sendiri. Ia tak
pernah memperhatikan siapa yang datang dan pergi, dan ia tidak mendengarkan orang lain. Tidak
mungkin ia adalah orang yang anda cintai." Laila berkata, "Kupikir dialah orangnya. Sayang,
selama ini engkau memberikan makanan itu kepada orang lain! Baiklah, untuk meyakinkan, hari ini
aku akan meletakkan pisau di atas piring, bukan makanan, dan katakan kepada orang yang kau
beri makanan, 'Laila memerlukan beberapa tetes darahmu untuk menyembuhkan penyakitnya.'"
Seperti biasa, ketika pelayan itu datang, lelaki gendut itu menyambut dengan gembira untuk
mengambil makanannya, tetapi ia terkejut ketika melihat pisau, bukan makanan. Pelayan berkata
bahwa beberapa tetes darah Majnun diperlukan untuk menyembuhkan penyakit Laila. Lelaki itu
berkata, "Bukan, aku bukan Majnun. Dialah Majnun. Mintalah kepadanya." Dengan lugu pelayan
itu datang kepadanya dan berkata keras, "Laila membutuhkan beberapa tetes darahmu untuk
mengobatinya." Majnun segera mengambil pisau itu dan berkata, "Betapa beruntungnya aku
bahwa darahku bermanfaat bagi Laila. Ini tak berarti apa-apa, bahkan hidupku pun akan
kukorbankan untuk menyembuhkannya, aku akan merasa beruntung dalam memberikannya."
"Apapun yang dilakukan pecinta bagi kekasihnya, itu tak pernah terlalu besar." Ia menusuk
tangannya di beberapa tempat, tetapi, kelaparan berbulan-bulan telah menghabiskan darahnya,
yang tersisa hanya kulit dan tulang. Ketika banyak tempat sudah ditusuk, dengan susah payah
setetes darah dapat keluar. Ia berkata, "Itulah yang tersisa. Ambillah." "Cinta berarti penderitaan,
tetapi pecinta sendiri berada di atas semua penderitaan."
Kedatangan Majnun lama-lama diketahui banyak orang, dan ketika orang tua Laila tahu, mereka
berpikir, "Tentu Laila akan kehilangan pikiran bila ia mencari Majnun." Maka mereka memutuskan
untuk pindah ke luar kota untuk beberapa lama, mengira bahwa Majnun akan pulang ketika tidak
menjumpai Laila tak ada di tempatnya. Sebelum berangkat, Laila mengirim pesan kepada Majnun,
"Kami ke luar kota untuk sementara waktu, dan aku sangat sedih tak dapat menjumpaimu. Satusatunya
kesempatan bertemu adalah bila kita bertemu di tengah perjalanan, bila engkau berangkat
terlebih dulu dan menungguku di [gurun] Sahara."
Majnun dengan senang hati berangkat ke Sahara, dengan harapan besar untuk bertemu dengan
Laila sekali lagi. Ketika rombongan tiba di gurun dan berhenti sejenak di sana, pikiran orang tua
Laila sedikit lega, dan mereka melihat bahwa Laila juga lebih bahagia atas perubahan itu,
sebagaimana mereka kira, tanpa mengetahui alasan sebenarnya.
Laila pergi berjalan-jalan di Sahara dengan wanita pelayannya, dan tiba-tiba datanglah Majnun,
yang matanya telah lama mengawasi kedatangannya. Laila datang dan berkata, "Majnun, aku di
sini." Tiada daya di dalam lidah Majnun untuk mengungkapkan kegembiraannya. Ia memegang
tangan Laila dan merapatkannya ke dadanya, sambil berkata, "Laila, engkau tak akan
meninggalkan aku lagi?" Dijawab, "Majnun, aku hanya dapat datang sebentar. Jika aku di sini lebih
lama, orang-orangku akan mencariku dan hidupmu tidak aman." Majnun berkata, "Aku tak peduli
dengan hidupku. Engkaulah hidupku, tinggallah, jangan tinggalkan aku lagi." Laila berkata,
"Majnun, percayalah, aku pasti akan kembali." Majnun melepaskan tangan Laila dan berkata,
"Tentu, aku percaya padamu." Maka Laila meninggalkan Majnun dengan berat hati, dan Majnun
yang telah begitu lama hidup di atas daging dan darahnya sendiri, tak dapat lagi berdiri tegak; ia
jatuh ke belakang menimpa sebatang pohon yang kemudian menopangnya, dan ia tetap di sana,
hidup hanya di atas harapan.
Tahun-tahun berlalu tubuh Majnun yang telah setengah mati terkena pengaruh panas, dingin,
hujan, salju dan badai. Tangan yang memegangi cabang pohon menjadi cabang itu sendiri,
tubuhnya menjadi bagian dari pohon. Laila tak merasa senang dalam perjalanan, dan orang
tuanya kehilangan harapan akan hidupnya. Laila hanya hidup atas satu harapan, agar ia dapat
memenuhi janjinya kepada Majnun ketika berpisah dan berkata, "Aku akan kembali." Ia bertanyatanya
apakah Majnun hidup atau mati, at untuk pergi, atau apakah telah dibawa pergi hewan
Sahara.
Ketika mereka kembali, mereka berhenti di tempat yang sama. Hati Laila penuh dengan
kegembiraan dan kesedihan, harapan dan kekhawatiran. Ketika ia mencari tempat yang dulu, ia
bertemu seorang penebang kayu yang berkata kepadanya, "Hai, jangan pergi ke sana. Ada hantu
di sana." Laila berkata, "Seperti apa?" Dijawab, "Sebuah pohon, tetapi juga seorang manusia, dan
ketika aku menebang sebuah cabang pohon itu dengan kapakku, aku mendengar ia berkata
dengan rintihan yang dalam, 'O Laila.'"
Mendengar ini membuat Laila terharu tak terperikan. Ia berkata bahwa ia akan ke sana, dan ketika
telah dekat ia melihat Majnun telah hampir berubah menjadi pohon. Daging dan darahnya telah
sirna, hanya kulit dan tulang yang tersisa. Cara kontaknya dengan pohon membuat ia mirip
dengan cabang pohon. Laila memanggilnya keras-keras, "Majnun!" Dijawab, "Laila!" Ia berkata,
"Aku datang seperti yang kujanjikan, hai Majnun." Majnun menjawab, "Aku Laila." Laila berkata,
"Majnun, pakailah akalmu. Aku-lah Laila. Lihatlah aku." Majnun berkata, "Apakah engkau Laila?
Kalau begitu, aku bukan," dan ia meninggal. Melihat kesempurnaan cinta ini, Laila tak dapat hidup
lagi barang sesaat. Ia meneriakkan nama Majnun kemudian jatuh dan mati.
"Sang kekasih adalah semua dalam semua, pecinta hanya menutupinya. Kekasih adalah semua
yang hidup, dan pecinta adalah benda mati."
BAB 6
CINTA ILAHI
Cinta diarahkan oleh kecerdasan. Karena itu tiap orang memilih obyek cintanya sesuai dengan
tingkat evolusinya. Obyek itu tampak baginya paling berhak atas cinta menurut tingkatan
evolusinya. Di Timur ada pepatah, "Sebagaimana jiwa, demikianlah malaikatnya." Keledai lebih
menyukai rumput berduri daripada mawar.
Kesadaran yang bangkit di alam materi memiliki obyek cinta hanya pada keindahan duniawi.
Kesadaran yang bekerja melalui pikiran menemukan obyeknya dalam gagasan dan di antara
orang-orang yang berpikir. Kesadaran yang bangkit melalui hati menyukai cinta dan orang-orang
yang mencintai. Kesadaran yang bangkit di dalam jiwa mencintai ruh dan spiritual.
Cinta tanpa kata, yang merupakan inti ilahi di dalam manusia, menjadi aktif dan hidup ketika
melihat keindahan. Keindahan dapat dijelaskan sebagai kesempurnaan, kesempurnaan dalam
setiap aspek keindahan. Cinta itu sendiri bukanlah Allah atau esensi Allah, tetapi juga keindahan,
bahkan dalam aspek yang terbatas, membeberkan diri sebagai perwujudan Keberadaan yang
sempurna. Kerajaan mineral berkembang menjadi emas, perak, berlian, dan permata,
menunjukkan keindahannya. Buah dan bunga, manis dan harumnya menunjukkan kesempurnaan
kerajaan tumbuh-tumbuhan. Bentuk, corak, dan kemudaan menunjukkan kesempurnaan kerajaan
hewan. Keindahan kepribadian merupakan kesempurnaan yang nyata di dalam manusia.
Beberapa orang di dunia ini hidupnya tenggelam dalam pencarian emas, perak, dan batu permata.
Mereka rela mengorbankan apapun dan siapapun untuk memperoleh obyek cinta mereka.
Beberapa orang lain hidupnya terserap dalam keindahan buah-buahan, bunga, dan taman.
Mungkin mereka tak tertarik obyek lain. Beberapa orang terserap dalam mengagumi keindahan
dan kemudaan lawan jenis kelaminnya, dan hal-hal lain tampak tak bernilai. Orang lain terpaku
pada keindahan kepribadian seseorang, dan telah sepenuhnya membaktikan diri kepada orang
yang mereka cintai baik di sini maupun di hari kelak. Semua orang mempunyai obyek cinta
menurut standar keindahannya sendiri, dan setiap orang mencintai kesempurnaan Keberadaan
ilahi dalam aspek tertentu. Ketika orang melihat ini, tak seorang pun, bijak atau bodoh, pendosa
atau orang baik, tak dapat disalahkan dalam pandangannya. Ia melihat dalam setiap hati jarum
kompas yang mengarah ke Keberadaan yang sama. "Allah itu indah dan Dia menyukai
keindahan," seperti disebutkan di dalam Hadits.
Manusia tak pernah mampu mencintai Allah di surga bila simpatinya belum bangkit terhadap
keindahan di bumi.
Seorang perawan desa sedang pergi untuk menemui kekasihnya. Ia melewati seorang Mullah
yang sedang melakukan shalat. Karena tidak tahu, ia berjalan di depan Mullah itu, suatu hal yang
dilarang oleh agama. Mullah itu sangat marah, hingga ketika gadis itu kembali lewat di dekatnya, ia
memarahinya. Ia berkata. "Alangkah berdosanya, hai gadis muda, berjalan di depanku ketika aku
sedang shalat." Gadis itu berkata, "Apa artinya shalat?" Dijawab, "Aku sedang memikirkan Allah,
Tuhan langit dan bumi." Gadis itu berkata, "Maafkan aku, aku belum tahu Allah dan shalat bagi-
Nya, tetapi tadi aku sedang berjalan menuju kekasihku dan memikirkan kekasihku, hingga aku tak
melihatmu sedang shalat. Aku heran bagaimana anda yang sedang memikirkan Allah dapat
melihatku?" Perkataan gadis itu sangat berkesan pada Mullah hingga ia berkata, "Sejak saat ini,
hai gadis, engkau adalah guruku. Akulah yang harus belajar darimu."
Suatu ketika seseorang datang kepada Jami dan minta agar dijadikan muridnya. Jami berkata,
"Pernahkah engkau mencintai seseorang dalam hidupmu?" Ia menjawab, "Tidak." Jami berkata,
"Kalau begitu, pergilah dan cintailah seseorang, dan kemudian datanglah kepadaku."
Dengan alasan itulah para guru besar sering mengalami kesulitan dalam membangkitkan cinta
kepada Allah di dalam rata-rata manusia. Orang tua memberi boneka kepada anak perempuannya
agar anak itu tahu bagaimana memberi pakaian kepadanya, bagaimana menyayanginya,
bagaimana menjaganya, bagaimana mencintai dan mengaguminya; hal ini melatih anak agar kelak
menjadi ibu yang mencintai. Tanpa latihan ini, yang kemudian akan menjadi sulit. Cinta ilahi
merupakan hal yang asing bahwa rata-rata orang karena sentuhan keibuan terhadap anak
gadisnya tidak dapat dimainkan secara penuh terhadap boneka.
Seorang murid telah lama melayani pembimbing spiritual, tetapi ia tak membuat kemajuan dan
tidak menerima inspirasi. Ia menghadap gurunya dan berkata, "Aku telah melihat banyak sekali
murid yang menerima inspirasi, tetapi aku ini begitu malang hingga tak memperoleh kemajuan
sama sekali, maka kini aku harus menyerah dan meninggalkanmu." Guru itu memintanya agar
menghabiskan hari-hari terakhir di dalam sebuah rumah tertentu, dan setiap hari ia mengirimkan
makanan yang lezat dan berkata agar ia menghentikan latihan spiritual, agar memperoleh
kehidupan yang nyaman dan santai. Pada hari terakhir ia mengirimi murid itu sekeranjang buah
melalui seorang gadis cantik. Gadis itu menata buah-buahan dan segera pergi meskipun murid itu
berusaha untuk menahannya. Kecantikan dan pesonanya sangat besar, hingga murid itu sangat
mengagumi dan terpikat olehnya, dan ia tak memikirkan hal-hal lain. Setiap jam dan setiap menit
murid itu hanya rindu untuk bertemu lagi dengannya. Kerinduannya bertambah setiap saat. Ia lupa
untuk makan, ia dipenuhi air mata dan napas panjang, karena hatinya kini menjadi hangat dan
lumer oleh api cinta. Setelah beberapa lama, ketika guru mengunjungi murid itu, dengan satu
pandangan ia memberi inspirasi kepadanya. "Baja pun dapat dibentuk bila dipanasi di dalam api,"
demikian pula dengan hati yang dilumerkan dengan api cinta.
Ada anggur cinta yang disebut Sherab-i Kauthar, anggur yang terdapat di dalam surga. Ketika
mabuk cinta meningkat di dalam manusia, ia disebut cinta buta atau gila dalam cinta, karena orang
yang melihat ilusi di permukaan menganggap diri sendiri-lah yang sadar dan terjaga. Tetapi
keterjagaan mereka adalah terhadap tipuan, bukan terhadap realita. Meskipun pecinta disebut gila,
kegilaannya terhadap satu obyek dunia ilusi akan membuatnya secara bertahap terbebas dari
semua tipuan di sekelilingnya. Bila ia berhasil, ia akan menikmati penyatuan dengan kekasihnya di
dalam visi bahagianya. Maka dengan seketika tersingkaplah selubung [hijab] yang menutupi
pandangannya terhadap obyek yang dicintainya. Al Qur'an menyebutkan, "Kami akan mengangkat
hijab dari matamu dan pandanganmu akan menjadi tajam."
Secara alami, seorang pecinta terobsesi oleh seseorang yang dikaguminya, yang ia ingin bersatu
dengannya. Tetapi tak ada satu obyek pun di dunia ini yang sempurna hingga dapat memuaskan
keinginan hati yang mencintai. Ini merupakan batu penghalang yang menyebabkan setiap pemula
gagal dalam mencintai. Pejalan yang berhasil di jalur cinta adalah orang-orang yang cintanya
begitu indah hingga memberi keindahan yang tidak didapat di dalam idaman mereka. Dengan
melakukan ini, pada saatnya pecinta akan terangkat ke atas keindahan kekasih yang berubahubah
dan terbatas, tetapi mulai melihat ke dalam keberadaan terdalam kekasihnya. Dengan kata
lain, bagian luar kekasih hanyalah sarana untuk menarik cinta dari hati pecinta, tetapi cinta itu
mengantarkannya dari luar ke lapisan terdalam dari kesempurnaan cintanya. Bila di dalam idaman
itu pecinta telah merasakan keberadaan yang tak terbatas dan sempurna, apakah ia mencintai
manusia atau Allah, sesungguhnya ia adalah pecinta yang sempurna.
Di sini perjalanan melalui jalur idealisme berakhir, dan perjalanan melalui kesempurnaan ilahi
dimulai, karena kesempurnaan Allah diperlukan bagi pencapaian kesempurnaan hidup. Kemudian
manusia mencari obyek cinta yang sempurna, mengidealkan Allah, Keberadaan tunggal, Yang Tak
Terhingga, yang berada di atas semua cahaya dan kegelapan dunia, di atas baik dan buruk, yang
bebas dari semua keterbatasan, bebas dari kelahiran dan kematian, tak berubah, tak terpisahkan
dari kita, Maha meliputi (berada), selalu hadir di depan mata pecinta-Nya.
Bila cinta itu sejati, ia melenyapkan pementingan diri sendiri, karena ini merupakan satu-satunya
solusi untuk menghapus ego. Ungkapan "jatuh cinta" [fall in love] membawa gagasan sifat cinta
yang sesungguhnya. Benar-benar jatuh dari ketinggian ego ke tanah ketiadaan, tetapi sekaligus
kejatuhan ini akan membuatnya naik, karena seberapa dalamnya pecinta jatuh, sedemikian pula
tingginya ia akan meningkat pada akhirnya. Pecinta yang jatuh dalam cinta adalah seperti benih
yang jatuh ke tanah. Keduanya tampak rusak, tetapi keduannya pada saatnya akan tumbuh
bersemi dan menghasilkan buah bagi dunia yang senantiasa lapar.
Musuh terbesar manusia adalah ego-nya, gagasan mengenai diri sendiri. Ini merupakan kuman
yang menghasilkan semua keburukan dalam manusia. Perbuatan baik seorang egois berubah
menjadi dosa, dan dosa kecilnya berubah menjadi kejahatan besar. Semua agama dan filsafat
mengajar manusia untuk menindasnya, dan tak ada alat yang dapat melumatkannya dengan lebih
baik daripada cinta. Tumbuhnya cinta adalah kematian ego. Cinta yang sempurna sepenuhnya
membebaskan pecinta dari pementingan diri sendiri, karena cinta dapat disebut juga dengan
peniadaan [annihilation]. "Sesiapa yang memasuki sekolah cinta, pelajaran pertama yang diterima
adalah menjadi bukan apa-apa."
Bersatu tidak mungkin tanpa cinta, karena hanya cinta yang dapat mempersatukan. Setiap
ungkapan cinta menandakan pencapaian penyatuan dengan obyeknya, dan dua obyek tak dapat
bersatu kecuali salah satunya menjadi bukan apa-apa. Tak seorang pun mengetahui rahasia hidup
ini kecuali pecinta. Iraqi berkata, "Ketika aku tanpa cinta pergi ke Ka'bah dan mengetuk pintu
gerbang, sebuah suara datang: 'Apa yang engkau lakukan di rumahmu hingga engkau datang ke
sini?' Dan ketika aku pergi, karena aku lenyap dalam cinta, dan mengetuk pintu gerbang Ka'bah,
datanglah suara: 'Datanglah, datanglah hai Iraqi, engkau adalah bagian dari kami.'"
Bila ada sesuatu yang melawan kebanggaan ego, ia adalah cinta. Sifat cinta adalah berserah diri.
Dunia keragaman yang membagi kehidupan menjadi bagian-bagian yang terbatas, menyebabkan
setiap yang lebih kecil berserah diri kepada yang lebih besar. Setiap yang lebih besar, baginya
masih ada sesuatu yang lebih besar darinya; dan bagi setiap yang lebih kecil masih ada yang lebih
kecil darinya. Sebagaimana setiap jiwa secara alami cenderung untuk berserah kepada
kesempurnaan dalam semua tingkatan, satu-satunya masalah adalah apakah ia mau atau tidak
mau berserah diri. Yang pertama datang dari cinta, yang kedua datang dari ketakberdayaan yang
membuat hidup susah. Para Sufi tersentuh ketika membaca di dalam Al Qur'an bahwa
Keberadaan sempurna bertanya kepada jiwa-jiwa yang tak sempurna, anak-anak Adam,
"Siapakah Tuhanmu?" Menyadari ketidaksempurnaannya, mereka menjawab dengan merendah,
"Engkaulah tuhanku." Maka berserah diri adalah kutukan, bila orang dipaksa untuk menyerah
dengan dingin. Tetapi hal yang sama menjadi kegembiraan yang terbesar bila dilakukan dengan
cinta dan dengan sukarela.
Cinta merupakan praktek moral Suluk, jalan kebaikan. Kegembiraan pecinta berada di dalam ridha
kekasihnya. Pecinta puas bila kekasih terpuaskan. "Siapa yang dalam hidup memberkahi orang
yang mengutuknya? Siapa yang dalam hidup mengagumi orang yang membencinya? Siapa yang
dalam hidup setia kepada orang yang tak setia? Tak lain dari seorang pecinta." Dan pada akhirnya
diri pecinta lenyap dari pandangannya, hanya wajah kekasih, wajah yang dirindukan, yang ada di
depannya selamanya.
Cinta adalah inti semua agama, mistisisme, dan filsafat, dan orang yang telah belajar cinta ini telah
memenuhi tujuan agama, etika dan filsafat, dan pecinta itu terangkat ke atas semua ragam agama
dan kepercayaan.
Suatu saat Musa memohon kepada Tuhan bani Israel di gunung Sinai, "Hai Tuhan, Engkau telah
begitu besar memberi kehormatan kepadaku dengan menjadikan aku utusan-Mu. Bila masih ada
kehormatan yang lebih besar, aku mohon Engkau datang ke rumahku dan membelah roti di
L O V E
mejaku." Maka datang jawaban, "Musa, dengan senang hati Kami akan datang ke rumahmu."
Musa menyiapkan makanan yang lezat dan menunggu dengan penuh harap kedatanggan Allah.
Kebetulan, di depan pintu rumahnya lewat seorang pengemis yang berkata, "Musa, aku sakit dan
lelah, aku tidak makan selama tiga hari dan aku hampir mati. Berilah aku sepotong roti dan
selamatkan nyawaku."
Karena sangat berharap atas kedatangan Allah, Musa berkata kepada pengemis itu, "Tunggu,
engkau akan kuberi lebih dari sepotong, dan makanan lain yang enak. Aku menunggu kedatangan
tamu yang akan datang petang ini. Bila ia telah pergi, maka semua yang tersisa akan kuberikan
kepadamu agar engkau dapat membawanya pulang." Orang itu pergi dan waktu berlalu, tetapi
Allah tidak datang, maka Musa kecewa. Keesokan harinya Musa pergi ke Sinai dan menangis,
"Tuhanku, aku tahu Engkau tidak mengingkari janji, tetapi dosa apa yang aku lakukan hingga
Engkau tidak datang seperti Engkau janjikan?" Allah berkata kepada Musa, "Kami datang, hai
Musa, tetapi sayang, engkau tak mengenali Kami. Siapa pengemis di depan pintumu? Apakah ia
bukan Kami? Kami-lah yang berada di dalam semua bentuk yang hidup dan bergerak di dunia,
namun kami jauh di dalam langit abadi Kami."
Keragaman dapat terjadi dalam agama-agama, tetapi motif dari semuanya adalah satu:
menyuburkan dan menyiapkan hati manusia bagi cinta ilahi. Kadang-kadang ruh pembimbing
menarik perhatian manusia agar melihat dan mengagumi keindahan Allah di langit, kadang-kadang
di dalam pohon dan batu, membuatnya menjadi pohon sakral, gunung suci, dan sungai yang
menyucikan. Kadang-kadang ia menuntun perhatian manusia agar melihat keberadaan Allah di
antara hewan dan burung-burung, dengan menyebut mereka hewan suci, burung sakral. Ketika
manusia menyadari bahwa tak ada ciptaan yang lebih tinggi dari dirinya, ia berhenti menyembah
ciptaan yang lebih rendah, karena mengenali cahaya ilahi yang menjelma di dalam manusia.
Maka, dalam tahapan evolusi manusia, dunia melihat Allah di dalam manusia, terutama di dalam
orang suci yang berkesadaran Allah.
Manusia dengan diri yang terbatas tak dapat melihat Allah, keberadaan yang sempurna, dan bila ia
mampu menggambarkan-Nya, gambaran yang terbaik adalah manusia. Bagaimana ia dapat
membayangkan sesuatu yang belum pernah diketahuinya? "Kami menciptakan manusia menurut
gambar Kami sendiri." Krishna bagi orang Hindu, Buddha bagi para Buddhis, adalah Allah bagi
manusia. Para malaikat tak pernah digambarkan dengan bentuk selain manusia. Bahkan
penyembah Allah yang tak berbentuk telah mengidealkan Allah dengan kesempurnaan atribut
manusia, meskipun ini hanya merupakan tangga untuk mencapai cinta dari Allah yang sempurna,
yang diperoleh secara bertahap.
Hal ini dijelaskan dalam kisah masa lalu. Suatu ketika Musa berjalan melalui sebuah padang
ternak dan melihat seorang anak gembala berbicara kepada diri sendiri "Ya Tuhan, Engkau begitu
baik hingga aku merasa bila Engkau berada di sini, aku akan menjagamu dengan lebih baik dari
pada semua kambingku, lebih dari semua ayamku. Bila hujan aku akan menempatkan-Mu di
bawah atap ilalang, bila dingin aku akan menutup diri-Mu dengan selimutku, dan bila panas
matahari menyengat aku akan membawamu mandi di sungai. Aku akan membawamu tidur dengan
kepala-Mu di pangkuanku, aku akan mengipasimu dengan topiku, dan akan selalu mengawasimu
dan menjagamu dari serigala. Aku akan memberimu roti untuk makan dan susu untuk minum, dan
untuk menghiburmu aku akan menyanyi dan menari dan memainkan serulingku. Ya Tuhanku, bila
Engkau mendengarkan ini, datanglah dan lihat bagaimana aku akan memanjakan-Mu."
Musa terkejut mendengar semua itu, dan, sebagai pengantar pesan ilahi, ia berkata, "Alangkah
kurangajarnya engkau, hai anak gembala, dengan membatasi Dia yang tak berbatas, Allah, Tuhan
alam semesta, yang tak berbentuk, tak berwarna dan tak dapat ditangkap dengan pemahaman
manusia." Anak gembala itu sedih dan takut atas apa yang telah dilakukannya. Namun kemudian
datang wahyu kepada Musa: "Kami ridha dengan perbuatannya, hai Musa, karena Kami telah
L O V E
mengutusmu untuk mempersatukan keberadaan Kami yang terpisah-pisah dengan Kami, bukan
untuk mencerai-beraikan. Berkatalah kepada setiap orang menurut tingkatan evolusinya."
Hidup di dunia penuh dengan kebutuhan, tetapi di antara berbagai kebutuhan, kebutuhan akan
sahabat adalah yang terpenting. Tiada kesedihan yang lebih besar dari kesedihan orang yang tak
berteman. Bumi ini akan berubah menjadi surga bila seseorang menginginkan teman dalam hidup.
Namun surga, dengan semua kesenangan yang diberikannya, akan menjadi neraka bila tak ada
teman yang dicintai.
Jiwa yang berpikir selalu mencari persahabatan yang berlangsung lama. Orang bijak lebih
menyukai seorang teman yang mau berjalan bersamanya dalam sebagian besar perjalanan
hidupnya. Miniatur dari perjalanan hidup kita dapat dilihat pada perjalanan biasa. Bila ketika kita
pergi ke Swiss, kita berteman dengan seseorang yang membeli tiket ke Bombay, maka
kebersamaan dengannya akan berlangsung beberapa lama, dan sesudah itu, di sepanjang sisa
perjalanan kita akan pergi sendirian. Setiap persahabatan di dunia hanya akan berlangsung
sebentar dan akan berhenti. Karena perjalanan kita akan melampaui kematian, bila ada
persahabatan yang kekal, maka persahabatan itu hanyalah dengan Allah, yang tak berubah dan
tak berakhir. Tetapi bila kita tak dapat melihat dan tak dapat menangkap keberadaan-Nya, tak
mungkin kita berteman dengan seseorang yang tak kita sadari. Dengan Allah sebagai satusatunya
sahabat, persahabatan dengan-Nya adalah satu-satunya persahabatan di dunia yang
dapat menuntun kita kepada Kekasih ilahi. Banyak di antara para Sufi yang mencapai
kesempurnaan Allah melalui Rasul, manusia ideal. Dan orang mencapai pintu Rasul melalui
Syekh, mursyid atau pembimbing spiritual, yang jiwanya terfokus kepada ruh Rasul sehingga
terkesan oleh kualitasnya. Jalan ini menjadi jelas bagi para pejalan di jalur pencapaian Kekasih
ilahi.
Persahabatan dengan Syekh tak punya motif selain bimbingan dalam mencari Allah. Persahabatan
itu akan berlangsung selama anda ada, selama anda mencari Allah, selama bimbingan diperlukan.
Persahabatan dengan Syekh disebut Fana-fi-Syekh, dan ini kemudian berubah menjadi
persahabatan dengan Rasul. Bila murid menyadari keberadaan kualitas spiritual mursyid yang
lebih dari manusia biasa, itulah saatnya ia siap untuk Fana-fi-Rasul.
Persahabatan dengan Syekh adalah persahabatan dengan bentuk, dan bentuk itu dapat lenyap.
Orang mungkin berkata, "Aku punya seorang ayah, tetapi sekarang sudah tiada." Sesungguhnya,
kesan tentang ayahnya masih ada di dalam pikirannya. Kebaktiannya kepada Rasul adalah seperti
itu. Nama dan kualitasnya masih ada meskipun bentuk fisiknya telah lenyap dari bumi. Rasul
adalah personifikasi dari cahaya bimbingan yang diidealkan murid menurut tingkatan evolusinya.
Kapan pun murid itu mengingatnya, di darat, di udara air, di dasar laut, ia hadir bersamanya.
Kebaktian kepada Rasul merupakan tahapan yang tak dapat diabaikan dalam pencapaian cinta
ilahi. Tahapan ini disebut Fana-fi-Rasul.
Setelah itu datanglah Fana-fi-Allah, ketika cinta kepada Rasul tenggelam ke dalam cinta kepada
Allah. Rasul adalah Guru yang diidealkan karena atributnya yang dicintai, kebaikannya,
kesuciannya, kasihnya. Keutamaannya dapat dipahami. Bentuknya tak diketahui, hanya namanya
yang menunjukkan kualitasnya. Tetapi Allah adalah nama yang diberikan kepada kesempurnaan
ideal di mana semua keterbatasan lenyap, dan dalam Allah ideal itu berakhir.
Seseorang tak kehilangan persahabatan dengan mursyid atau dengan Rasul, tetapi ia melihat
mursyid di dalam Rasul dan melihat Rasul di dalam Allah. Kemudian untuk memperoleh
bimbingan, untuk memperoleh nasihat, ia hanya mencarinya dari Allah saja.
Ada kisah mengenai Rabiah, seorang Sufi besar, bahwa ia pernah melihat Muhammad dalam
visinya dan ia ditanya oleh Nabi, "Hai Rabiah, siapa yang kau cintai?" Ia menjawab, "Allah." Nabiberkatka, "Bukan Rasul-Nya?" ia menjawab, "Hai Guru yang diberkahi, siapa di dunia ini yang
mengetahuimu tetapi tak mencintaimu? Tetapi kini hatiku begitu tenggelam dalam Allah hingga aku
tak dapat melihat sesuatu kecuali Dia."
Bagi mereka yang melihat Allah, Rasul dan Mursyid lenyap dari pandangan. Mereka hanya melihat
Allah di dalam Mursyid dan Rasul. Mereka melihat segala sesuatu sebagai Allah dan tak melihat
yang lain.
Dengan kebaktian kepada mursyid, murid belajar mencintai, berdiri dengan kerendahan anak kecil,
pada wajah setiap makhluk di bumi ia melihat bayangan wajah mursyidnya. Bila Rasul yang
diidealkan, ia melihat semua yang indah terefleksi di dalam kesempurnaan Rasul yang tidak
tampak.Kemudian ia menjadi independen bahkan dari keutamaan, yang juga memiliki kutub yang
berseberangan, dan pada kenyataannya tidak ada, karena itu hanya perbandingan yang membuat
sesuatu lebih baik daripada yang lain. Ia hanya mencintai Allah, kesempurnaan yang ideal, yang
tak dapat dibandingkan. Kemudian ia sendiri berubah menjadi cinta, dan karya cinta telah
diselesaikan. Kemudian pecinta sendiri berubah menjadi sumber cinta, asal cinta, dan ia hidup
dalam kehidupan Allah, yang disebut Baqa bi-Allah. Kepribadiannya menjadi kepribadian ilahi.
Kemudian pikirannya menjadi pikiran Allah, perkataannya menjadi perkataan Allah, perbuatannya
menjadi perbuatan Allah, dan ia sendiri menjadi cinta, pecinta, dan kekasih sekaligus.
Dikutip:Hasrat Inayat Khan
Poskan Komen
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !