gerakan keruhanian yang bersahaja sesudah awal abad ke-8 Masehi (abad ke-2 Hijriah). Saat itu tasawuf lebih sebagai kehidupan asketisme (zuhud), dan tingkat keruhanian (maqam) yang tertinggi ialah tawakkul (ketergantungan dan kepercayaan penuh kepada Tuhan) dan takwa. Mahabbah menjadi tingkat keruhanian penting setelah digali berdasarkan pengalaman mistik dari ahli tasawuf Ja’far al-Shidiq (699-756 M), yang dianggap sebagai pencetusnya, ia juga seorang ahli hadis
dan tafsir. Mahabbah juga dikembangkan oleh Syaqiq al-Balkhi, Harits al-Muhasibi, dan terutama sekali dipopularkan oleh Rabi’ah al-Adawiyah. Pada saat dikembangkan oleh para sufi tersebut tingkat keruhanian terpenting yang tersusun meliputi taubat, sabar, harap (rajaa’), takut (khawf), fakir, zuhud, tauhid (selaras dengan kehendak Tuhan), tawakkul, dan cinta (mahabbah) yang termasuk di dalamnya rindu (syawq), kekariban (uns), dan rela (ridlaa) yaitu puas terhadap kehendak-Nya.1
Sebagian sufi lebih menggunakan istilah ‘isyq daripada mahabbah. Al-Nuri (wafat 907 M), seorang sufi yang pertama kali memperkenalkan istilah ‘isyq untuk melengkapi istilah mahabbah. Di dalam al-Qur’an sendiri tidak ada istilah ‘isyq, melainkan digunakan istilah mahabbah, yang dimaksudkan sebagai cinta kepada Allah secara maksimal atau secara mutlak: “Dia mencintai mereka, dan mereka mencintai-Nya”.2
Seorang sufi penyair, Jalaluddin Rumi tidak menilai bahwa dua istilah tersebut sebagai hal yang berlawanan, “ ‘isyq adalah mahabbah yang tak terbilang banyaknya,” ungkapnya di dalam Matsnawi.3 Imam al-Ghozali juga tidak membedakan antara ‘isyq dan mahabbah, substansi keduanya saling berkait-erat. Karenanya, al-Ghozali menggunakan istilah ‘isyq sebagai cinta yang amat mendalam dan mengungguli segala sesuatu,4 cinta yang benar-benar kokoh dan tak terhalang oleh apapun, seperti cinta Zulaykha kepada Nabi Yusuf AS, cinta Qais (Majnun) kepada Layla, atau cinta al-Hallaj kepada Tuhannya sehingga memunculkan kalimatnya “anaa al-haaq” (“aku adalah kebenaran kreatif”, atau, “aku satu dengan Dia yang kucinta”).
Atas pendapat para sufi tersebut, penulis menggunakan istilah ‘isyq dan mahabbah ini memungkinkan keduanya dipakai; manakala melaku-kan identifikasi terhadap keadaan jiwa (hal atau ahwal) yang di dalamnya cinta tak terbilang banyaknya akan digunakan istilah ‘isyq; dan manakala melakukan identifikasi terhadap kecenderungan hati kepada cinta Ilahi, baik itu merupakan keadaan jiwa maupun tingkatan ruhani (maqamat), maka akan dipakai istilah mahabbah.
Menurut Rumi, hanya cinta yang dapat membawa seorang pelaku sufi (saalik) berhasil dalam perjalanan mereka mencapai Diri Yang Tinggi sebab cinta merupakan cara unggul mencapai pengetahuan tentang hakekat segala sesuatu.5 Hal ini berarti bahwa hanya cinta yang dapat membawa manusia meyakini realitas terdalam dan tertinggi dari segala sesuatu.
Di dalam sistem estetika sufi, cinta (‘isyq ataupun mahabbah) mempunyai makna luas, cinta bukan dimaknakan secara umum, melainkan lebih pada keadaan dan tingkatan ruhani yang membawa seseorang mencapai pengetahuan ketuhanan. Sebagaimana diungkap dengan indah oleh Abu Nu’aym al-Isfahani di dalam Hilyat al-Awliyaa’ bahwa cinta merupakan gabungan dari berbagai unsur keadaan jiwa, “Hati orang arif adalah sarang cinta (‘isyq), dan hati pencinta birahi (‘ashiq) adalah sarang rindu (sawq), dan hati orang rindu (sawqi) adalah sarang kedekatan
dan tafsir. Mahabbah juga dikembangkan oleh Syaqiq al-Balkhi, Harits al-Muhasibi, dan terutama sekali dipopularkan oleh Rabi’ah al-Adawiyah. Pada saat dikembangkan oleh para sufi tersebut tingkat keruhanian terpenting yang tersusun meliputi taubat, sabar, harap (rajaa’), takut (khawf), fakir, zuhud, tauhid (selaras dengan kehendak Tuhan), tawakkul, dan cinta (mahabbah) yang termasuk di dalamnya rindu (syawq), kekariban (uns), dan rela (ridlaa) yaitu puas terhadap kehendak-Nya.1
Sebagian sufi lebih menggunakan istilah ‘isyq daripada mahabbah. Al-Nuri (wafat 907 M), seorang sufi yang pertama kali memperkenalkan istilah ‘isyq untuk melengkapi istilah mahabbah. Di dalam al-Qur’an sendiri tidak ada istilah ‘isyq, melainkan digunakan istilah mahabbah, yang dimaksudkan sebagai cinta kepada Allah secara maksimal atau secara mutlak: “Dia mencintai mereka, dan mereka mencintai-Nya”.2
Seorang sufi penyair, Jalaluddin Rumi tidak menilai bahwa dua istilah tersebut sebagai hal yang berlawanan, “ ‘isyq adalah mahabbah yang tak terbilang banyaknya,” ungkapnya di dalam Matsnawi.3 Imam al-Ghozali juga tidak membedakan antara ‘isyq dan mahabbah, substansi keduanya saling berkait-erat. Karenanya, al-Ghozali menggunakan istilah ‘isyq sebagai cinta yang amat mendalam dan mengungguli segala sesuatu,4 cinta yang benar-benar kokoh dan tak terhalang oleh apapun, seperti cinta Zulaykha kepada Nabi Yusuf AS, cinta Qais (Majnun) kepada Layla, atau cinta al-Hallaj kepada Tuhannya sehingga memunculkan kalimatnya “anaa al-haaq” (“aku adalah kebenaran kreatif”, atau, “aku satu dengan Dia yang kucinta”).
Atas pendapat para sufi tersebut, penulis menggunakan istilah ‘isyq dan mahabbah ini memungkinkan keduanya dipakai; manakala melaku-kan identifikasi terhadap keadaan jiwa (hal atau ahwal) yang di dalamnya cinta tak terbilang banyaknya akan digunakan istilah ‘isyq; dan manakala melakukan identifikasi terhadap kecenderungan hati kepada cinta Ilahi, baik itu merupakan keadaan jiwa maupun tingkatan ruhani (maqamat), maka akan dipakai istilah mahabbah.
Menurut Rumi, hanya cinta yang dapat membawa seorang pelaku sufi (saalik) berhasil dalam perjalanan mereka mencapai Diri Yang Tinggi sebab cinta merupakan cara unggul mencapai pengetahuan tentang hakekat segala sesuatu.5 Hal ini berarti bahwa hanya cinta yang dapat membawa manusia meyakini realitas terdalam dan tertinggi dari segala sesuatu.
Di dalam sistem estetika sufi, cinta (‘isyq ataupun mahabbah) mempunyai makna luas, cinta bukan dimaknakan secara umum, melainkan lebih pada keadaan dan tingkatan ruhani yang membawa seseorang mencapai pengetahuan ketuhanan. Sebagaimana diungkap dengan indah oleh Abu Nu’aym al-Isfahani di dalam Hilyat al-Awliyaa’ bahwa cinta merupakan gabungan dari berbagai unsur keadaan jiwa, “Hati orang arif adalah sarang cinta (‘isyq), dan hati pencinta birahi (‘ashiq) adalah sarang rindu (sawq), dan hati orang rindu (sawqi) adalah sarang kedekatan (uns).”6
“Perhentian terakhir di jalan mistik ialah mahabbah atau cinta, dan ma’rifah. Kadang-kadang keduanya dianggap saling melengkapi, kadang-kadang cinta dianggap lebih utama, dan adakalanya ma’rifah dipandang lebih tinggi,” demikian ungkap Annemarie Schimmel.7
Menurut al-Ghazali bahwa ma’rifah mendahului cinta (mahabbah) sebab “Cinta tanpa ma’rifah tidak mungkin, orang hanya dapat men-cintai sesuatu yang dikenal.” 8 Pernyataan tentang ma’rifah yang paling menyentuh diberikan oleh al-Junayd, “Ma’rifah ialah keraguan hati antara menyatakan bahwa Tuhan terlalu agung untuk dimengerti, dan menyatakan bahwa Ia terlalu dahsyat untuk dilihat. Ma’rifah adalah pengetahuan bahwa apapun yang terbayang dalam hatimu, Tuhan adalah kebalikannya.”9
Namun, bagi Rabi’ah al-Adawiyah, cintalah yang mendahului ma’rifah, cinta yang tulus kepada Tuhan akan dibalas oleh-Nya dengan terbukanya tabir antara manusia dan Tuhan, dan sufi melihat Tuhan dengan mata-hatinya. Karenanya, tatkala ditanya apakah ia melihat Tuhan yang ia sembah, Rabi’ah menjawab, “Jika aku tak melihat-Nya, maka aku tidak akan menyembah-Nya.” Selanjutnya tentang ma’rifah, Rabi’ah al-Adawiyah menyatakan bahwa “Buah ilmu ruhani adalah agar engkau palingkan wajahmu dari makhluk agar engkau dapat memusatkan perhatianmu hanya kepada Allah saja sebab ma’rifah itu adalah mengenal Allah sebaik-baiknya”.Jadi, bagi Rabi’ah al-Adawiyah, mahabbah mendahului ma’rifah sekalipun keduanya berdampingan dan tidak dapat dipisahkan.
Dalam perspektif Dzun Nun al-Mishri,11 ma’rifah terstruktur menjadi tiga tingkatan, pertama, ma’rifah awam yaitu mengetahui Tuhan dengan perantaraan ucapan syahadat; kedua, ma’rifah ulama yaitu mengetahui Tuhan dengan logika akal; ketiga, ma’rifah sufi yaitu mengetahui Tuhan dengan perantaraan hati-sanubari.
Demikian pula, cinta (mahabbah) menurut al-Sarraj,12 ada tiga tingkatan, pertama, mahabbah biasa dengan selalu mengingat Tuhan; kedua, mahabbah orang yang shidiq, cinta yang dapat menghilangkan tabir antara manusia dan Tuhan dengan cara menghilangkan kehendak dan sifat-sifatnya sendiri, lalu hatinya dipenuhi perasaan cinta kepada Tuhan dan selalu rindu kepada-Nya; ketiga, mahabbah orang arif, cinta yang benar-benar mengetahui terhadap Tuhan, yang dirasa bukan lagi cinta, melainkan Diri yang dicintainya.
Dengan mencintai Allah, maka terbukalah rahasia ciptaan Allah, baik yang nyata maupun yang gaib, yang di dunia maupun yang di akhirat (cinta tingkat biasa, I). Dengan terbukanya rahasia itu, seorang sufi dapat melihat cahaya kekuasaan dan keagungan Allah (cinta tingkat orang shidiq, II). Selanjutnya, di saat cinta itu semakin mendalam, maka akan terbuka tabir antara manusia dan Tuhannya, sangat merindukan-Nya sebab telah melihat keindahan-Nya melalui hati-sanubari (ma’rifah sufi). Di dalam hati-sanubari inilah orang arif mempertemukan cintanya dengan cinta Allah, cinta Tuhan bertemu dengan cinta hamba-Nya (cinta tingkat orang arif, III). Pada keadaan jiwa demikian seorang sufi seperti Rabiah al-Adawiyah menyatakan pengalamannya bahwa antara
antara
mahabbah dan ma’rifah saling me-ningkatkan keberadaannya sekalipun selalu dimulai dari kecintaan terhadap Allah (mahabbah).
Menurut Imam al-Ghozali di dalam Ihyaa’ ‘uluum al-Diin bahwa cinta dapat diidentifikasi menjadi lima, yakni:
(1) Cinta diri, berupa keinginan akan kesempurnaan diri, mencakup cinta kepada kesehatan, kekayaan, istri, anak, karib- kerabat, dan lain-lain; (2) Cinta yang terbit disebabkan adanya keuntungan yang diperolah dari objek yang dicintai; (3) Cinta yang disebabkan keindahan dan kebaikan, dan ini termasuk cinta sejati; (4) Cinta yang diilhami oleh keindahan dan kebaikan dalam arti moral seperti cinta seorang muslim kepada Nabi Muhammad Saw; (5) Cinta yang lahir karena munaasabah atau afinitas rahasia, umpamanya cinta yang wujud antara Pencinta dengan Kekasih-nya. Dalam hal ini pencinta tidak memandang kesenangan yang akan diperoleh sebab cinta terbit karena adanya pertautan istimewa antara keduanya.13
Pada kategori keempat dan kelima dari perspektif al-Ghozali tersebut, tasawuf cinta (mahabbah) dikembangkan oleh para sufi.
Konsep maupun praktik sufisme berkenaan dengan cinta Ilahi ini amatlah beragam sejumlah sufi yang mengungkapkan pengalaman mistiknya. Bagaimana ungkapan para sufi tentang cinta Ilahi ini?
Doa yang diucapkan oleh Rasulullah merupakan pijakan yang baik bagi para sufi untuk mempersepsi dan memposisikan cinta tersebut: “Ya Tuhan, berilah aku cinta-Mu, dan cinta mereka yang mencintai-Mu, dan cinta yang membuatku mendekati cinta-Mu, dan buatlah cinta-Mu lebih kucintai daripada air sejuk”.14 Para sufi berkeyakinan bahwa cinta merupakan dasar penting untuk memasuki kehidupan keagamaan, dan memperoleh rujukannya dari al-Qur’an bahwa: “Mereka yang beriman hanyut di dalam cinta mereka kepada Allah Swt”,15 “Jika kau mencintai Allah ikutlah aku; Tuhan akan mencintaimu”,16 “Kepada mereka yang beriman dan berbuat kebajikan, ke atas mereka Tuhan Yang Mahapengasih akan mengaruniakan cinta”.17 Tentu saja, masih banyak ayat yang dapat dijadikan dasar bagi pentingnya cinta dalam kehidupan keagamaan Islam.
Sekali lagi bahwa mahabbah menjadi tingkat keruhanian penting setelah digali berdasarkan pengalaman mistik dari ahli tasawuf Ja’far al-Shidiq yang dianggap sebagai pencetusnya, lalu dikembangkan oleh Syaqiq al-Balkhi, dan Harits al-Muhasibi. Namun, di antara tokoh sufi tersebut yang mendalam dan luas pengaruh konsep mahabbah-nya ialah Rabi’ah al-Adawiyah, yang berprinsip bahwa cinta merupakan landasan ketaatan dan ketakwaan kepada Tuhan. Pandangannya tersebut terlihat dari doanya yang terkenal:18
Kucintai Kau dengan dua cinta
Cinta untuk diriku, dan cinta sebab Kau patut dicinta
Cinta untuk diriku ialah karena aku kara
Di dalam ingatan kepada-Mu semata, membuang yang lain
Cinta sebab Kau patut dicinta, karena Kau singkap
Kau dengan dua cinta
Cinta untuk diriku, dan cinta sebab Kau patut dicinta
Cinta untuk diriku ialah karena aku kara
Di dalam ingatan kepada-Mu semata, membuang yang lain
Cinta sebab Kau patut dicinta, karena Kau singkap
Penghalang sehingga aku dapat memandang-Mu
Segala pujian tidak perlu lagi bagiku
Sebab semua pujian untuk-Mu semata
Menurut Imam al-Ghozali, yang dimaksudkan Rabi’ah dengan “cinta untuk diriku” ialah cinta kepada Allah disebabkan oleh kebaikan dan karunia-Nya, sedangkan “cinta sebab Kau patut dicinta” ialah cinta disebabkan oleh keindahan dan keagungan-Nya (al-jamaal dan al-jalaal) yang menyingkap rahasia diri-Nya. Kedua cinta tersebut merupakan cinta paling luhur dan dalam, dan merupakan kelezatan dalam menyaksikan keindahan Tuhan.19
Cinta model pertama itu perspektifnya ialah cinta rindu (syawq), sedangkan cinta model kedua itu perspektifnya ialah cinta peleburan (fanaa) “...karena Kau singkap/Penghalang sehingga aku dapat memandang-Mu”. Di sini kemudian gagasan Rabi’ah tentang cinta memunculkan pentingnya peran dzikir untuk meningkatkan pengalaman keagamaan dan mempertebal perasaan ketuhanan di dalam kalbu.
Al-Junayd mendeskripsikan perubahan yang diakibatkan oleh cinta Ilahi itu sebagai berikut, “Cinta adalah leburnya pencinta ke dalam sifat-Nya, dan menetapnya Yang dicintai di dalam Dzatnya”. Dengan kata lain, diungkapkan oleh al-Junayd bahwa “Cinta berarti sifat-sifat yang Dicinta masuk ke dalam sifat-sifat pencinta.” 20
Al-Ghazali juga memetaforakan cinta yang mensucikan ini sebagai “Pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya menjulang ke langit” seperti yang dicitrakan oleh al-Qur’an,21 buahnya menampakkan dirinya di dalam hati, di lidah, dan seluruh anggota badan. Buah tersebut adalah ketaatan kepada seluruh perintah Allah, dan mengingat-Nya secara terus-menerus dalam keadaan apapun. Oleh karena itu, seorang pencinta menanggalkan seluruh kediriannya dan menggantikannya dengan apa saja yang menjadi perintah dari Yang Mahakekasih (Allah) sehingga ia hidup dengan keyakinan seperti ini, “Tak ada kebaikan dalam cinta tanpa kematian”, yang dimaksud-kan ialah “mati sebelum mati”. Pada tingkat yang paling ekstrem, penerimaan terhadap penderitaan itu dilakukan oleh al-Hallaj, yang menurutnya, “Penderitaan adalah Dia Pribadi”. Semakin Tuhan mencintai seseorang, maka semakin berat Tuhan mengujinya. Para Rasul adalah orang yang paling dekat hubungannya dengan Tuhan, oleh sebab itu, para Rasul yang paling banyak mendapatkan penderitaan sebagaimana diungkap di dalam al-Qur’an. Hal ini juga diungkap melalui hadis bahwa “Orang yang paling menderita adalah para Rasul, lalu para wali, dan seterusnya.” Itulah sebabnya al-Hallaj dengan ikhlas, menari riang menjemput maut sebab baginya seorang martir cinta diberi hak surga. Keyakinan semacam itu berangkat dari firman Tuhan bahwa “Jangan sebut mati mereka yang terbunuh karena Tuhan. Tidak. Mereka hidup”. asing sufi juga tidak pernah sepaham tentang urutan tingkatannya maupun jumlah tingkatan berjenjang yang harus dilalui seorang pelaku sufi. Tentang klasifikasi tingkatan cinta ini juga tidak dapat dipisahkan dengan tema yang lebih besar berkenaan dengan keadaan mental dari sufi (ahwal) dan tingkatan-tingkatan spiritualitas sufi (maqam).
Ja’far al-Shidiq, imam keenam dari kaum Syi’ah (w.148 H /765 M) mengatakan bahwa Tuhan tidak terbatas, karenanya gnosis (ma’rifah) juga tidak terbatas. Ja’far al-Shidiq sebagai perintis gagasan cinta Ilahi menandai duabelas tanda hati yang mengandung cinta Ilahi, dan tanda itu sekaligus sebagai tingkatan yang menganalisis perjalanan spiritual menuju penglihatan wajah Tuhan, antara lain sebagai berikut: (1) tanda iman; (2) tanda gnosis (ma’rifah); (3) tanda akal (‘aql); (4) tanda keyakinan (yaqin); (5) tanda kepasrahan (islam); (6) tanda kemurahan hati (ihsan); (7) tanda kepercayaan kepada Tuhan (tawakkul); (8) tanda rasa takut kepada Tuhan (khawf); (9) tanda harapan (raja’); (10) tanda cinta (mahabbah); (11) tanda rindu (syawq); dan, (12) tanda gairah (walah).24
Abu al-Qasim al-Qusyayri25 (w.465 H/1072 H) melalui buku saku terkenalnya tentang sufisme menempatkan cinta (mahabbah) dan kerinduan (syawq) begitu pentingnya sebagai tingkatan ke-49 dan ke-50 dari seluruh limapuluh maqam yang ia ungkapkan. Dalam pandangan al-Qusyayri, kerinduan adalah kompleks sebab tidak sekadar keterpisahan atau keberhadiran sang Kekasih, melainkan begitu kuat sehingga hanya berlanjut pada pertemuan dengan Tuhan. Al-Qusyayri juga menempatkan cinta sebagai prinsip menyeluruh kemajuan spiritual. Ia membagi cinta menjadi tiga derajat, kejujuran (rasti), kemabukan (masti), dan kehampaan (nisti).
Akan tetapi, Ruzbihan Baqli (w.606 H/1209 M), tergolong sufi Parsia awal yang menyusun risalah tentang tingkatan cinta dalam bahasa Parsia Abhar al-Asyqin (Melati Para Pencinta) secara kompleks dan memukau. Di dalam kitabnya itu Ruzbihan menggambarkan pendakian mistik ke cinta yang sempurna, yang terdiri dari duabelas maqam, yakni: (1) ‘ubudiyyah atau kehambaan; (2) wilayah atau kewalian; (3) muraqabah atau meditasi; (4) khawfi atau rasa takut; (5) raja’ atau harapan; (6) wajd atau penemuan; (7) yaqin atau keyakinan; (8) qurbah atau kedekatan; (9) mukasyafah atau penyingkapan; (10) musyahadah atau penyaksian; (11) mahabbah atau cinta; dan, (12) syawq atau kerinduan. Keduabelas maqam tersebut diikuti oleh derajat tertinggi yaitu cinta universal (‘isyq-i kulli) yang merupakan tujuan ruh.26
Tentang tingkatan cinta yang digagas oleh Ruzbihan Baqli tersebut, Carl W. Ernst menjelaskannya secara ringkas dan menarik sebagai berikut.
ringkas dan menarik sebagai berikut.
Kehambaan terdiri dari praktik-praktik disiplin spiritual seperti dzikir, shalat, diam, puasa, dalam rangka mensucikan sifat seseorang. Kewalian mencakup sifat-sifat seperti taubat (tawbah), kesalehan (wara’) dan asketisme (zuhud). Meditasi didasarkan pada pengendalian atas pemikiran yang serampangan dan melihat hakikat sejati diri. Rasa takut adalah sejenis mensucikan api yang membangkitkan perilaku para nabi, meskipun tidak benar bahwa ia mengasingkan seseorang dari sang Kekasih. Kemudian harapan adalah obat yang menuntun kepada musim semi jiwa. Penemu-an adalah memperoleh kedekatan sang Kekasih..... Keyakinan sang elit (sufi) adalah sesuatu yang berada di luar keimanan yang bisa digoyahkan yang berupa keyakinan manusia awam; ia adalah merasakan langsung sifat-sifat Ilahi dalam transendensi intensif yang semakin besar, yang digambarkan Ruzbihan dalam imaji karakteristik sebagai terbakarnya sayap-sayap burung dalam api (cahaya). Penyingkapan, terjadi pada tingkatan akal, hati dan ruh untuk menyingkapkan bentuk-bentuk cinta yang berbeda; ia menggabungkan cinta dan keindahan dalam jiwa dan menyingkapkan kekuasaan Ilahi sebagai anggur cinta. Penyaksian adalah kategori yang dibagi Ruzbihan ke dalam dua bagian seperti ketenangan hati dan kemabukan (pembagian yang dapat dibuat dalam setiap maqam); bagian tenang penyaksian adalah pemakaian jubah Ilahi (iltibas), ciri Ibrahim, sementara bagian mabuk darinya adalah penghapusan (mahw), sifat Musa, namun Muhammad menggabungkan dua pengalaman ini dalam penyaksiannya. 27
Menurut Ruzbihan,28 cinta pada intinya dapat dibagi menjadi dua, cinta pada manusia awam, dan cinta pada para ahli. Cinta pada manusia awam ini didasarkan pada manifestasi keindahan dalam ciptaan, derajatnya ialah keimanan daripada penyaksian langsung. Cinta pada para ahli didasarkan pada tiga hal, pertama tatkala ruh yang belum berwujud mengadakan perjanjian dengan Tuhannya yang mengakui Allah sebagai Tuhannya29; kedua, di saat ruh tidak lagi terselubung oleh sifat manusia, melainkan manusia dan Tuhannya sudah tidak ada lagi penghalang; ketiga, penyaksian yang menyem-purnakan yang kedua tadi, sang hamba sebagai cermin dari sifat-sifat ketuhanan sehingga siapa pun yang menatap pencinta akan menjadi pencinta Tuhan.
Pada tingkat kerinduan (syawq) oleh Ruzbihan digambarkan bahwa kerinduan adalah api yang membakar semua pikiran, hasrat, dan selubung dari hati, karenanya jika cinta dan kerinduan mencapai kesatuan, maka diri manusia akan “lenyap” (fana). Akhir batas cinta menurut Ruzbihan didefinisikan oleh dua tingkatan yaitu gnosis (ma’rifah) dan keesaan (tawhid), di atasnya sudah tidak ada lagi.30 Pada titik inilah pantas untuk mengatakan dalam ungkapan-ungkapan eskatis (syathiyyah) seperti pernyataan Abu Yazid, “Mahaterpujilah Aku”; atau, ungkapan al-Hallaj, “Akulah Kebenaran”. Pengalaman pencinta dalam keadaan eskatis itu atas kemanunggalan dengan Tuhan melampaui semua bentuk ungkapan lain.
Penutup
Pada pengalaman pencinta dalam keadaan eskatis itu pula, cinta dipersepsi dan diposisikan sebagai bentuk akhir hubungan manusia dan Tuhan. Faktor prinsip yang menjujung cinta di atas keduniaan, yang berada di luar hasrat ego diakui semenjak Rabi’ah al-Adawiyah. Para sufi menyingkap pemahaman cinta melalui karakteristik pengalaman batin melalui keadaan (ahwal) dan tingkatan (maqam) spiritual, dan kekayaan kejiwaan merekalah yang membedakan masing-masing pemahaman terhadap cinta. Jumlah maqam yang berbeda-beda itu hanya menunjukkan prioritas masing-masing pelakunya untuk memberi penekanan tertentu pada tingkat tertentu menuju cinta Ilahi. Maqam-maqam itu tiada lain bertujuan sama, yakni hanya demi menandai tingkat kemajuan pelaku sufi sebagai kekasih menuju penyatuan dengan Yang Mahakekasih (Allah).
Dikutip.Abdul Wachid B.S.*)
Home »
Falasafah Cinta
» Tasawuf Cinta dalam Sastra Sufi
Tasawuf Cinta dalam Sastra Sufi
Written By Al Az Ari on Selasa, 01 Oktober 2013 | 20.46
Label:
Falasafah Cinta
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !