BAB I
PENDAHULUAN
1.1.1 LATAR BELAKANG
Budi daya tanaman adalah manajemen dalam memadukan teknologi dan kemampuan (skill) petani dalam memanfaatkan sumber daya, termasuk unsur hara yang diperlukan tanaman untuk tumbuh dan menghasilkan produk dengan efisien dan menguntungkan (Sanchez 1976). Dalam dua dasawarsa terakhir, aplikasi teknologi penggunaan pupuk kimia dan pestisida berkembang pesat dalam budi daya sayuran dataran tinggi. Penggunaan input agrokimia secara tidak terkendali menjadi penyebab turunnya produktivitas, kualitas sumber daya, dan pencemaran lingkungan.
Isu pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture) muncul setelah adanya kekeliruan pada era Revolusi Hijau (Sachs 1987), di mana penggunaan bahan agrokimia cenderung berlebihan yang mencemari lingkungan dan menurunkan kualitas produk pertanian. Budi daya tanaman berkelanjutan mengaplikasikan teknologi yang bersifat efisien dan ramah lingkungan (Suwandi dan Asandhi 1995; Reijntjes et al. 1999). Input yang digunakan lebih mengutamakan bahan organik atau bahan alami sebagai sumber pupuk atau pestisida (Van Keulen 1995). Sistem pertanian berkelanjutan ini menjadi dasar kebijakan dalam pembangunan pertanian di setiap Negara.
Berdasarkan hal tersebut, pengembangan inovasi budi daya tanaman ke depan perlu memperhatikan penggunaan input sesuai kebutuhan tanaman atau “feed what the crop needs” tanpa menimbulkan dampak negatif bagi sumber daya dan lingkungan baik dari segi dampak defisiensi hara dan toksisitas hara yang terkandung dalam tanah yang dituangkan dalam praktikum Nutrisi Tanaman.
1.1.2 TUJUAN DAN KEGUNAAN
Tujuan dilakukannya praktikum ini adalah untuk mengetahui pengaruh defisiensi dan toksisitas hara dalam tanah.
Kegunaan praktikum ini yaitu sebagai tambahan ilmu pengetahuan mengenai pengaruh pemberian pupuk dalam tanah kepada mahasiswa sebagai bagian dari disiplin ilmu pertanian.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFISIENSI
Defisiensi adalah suatu keadaan dimana tanaman kekurangan nutrisi tertentu, yang dapat dilihat dari gejala fisik tanaman terutama pada bagian daun dan batang. Seorang pekebun yang handal harus bisa mengetahui kondisi tanaman dikebunnya apakah dalam keadaan kekurangan nutrisi atau tidak. Dengan mengetahui status nutrisi tanaman dapat dibuat suatu rencana kedepan sebagai antisipasinya. Gejala defisiensi dapat dianlisa dengan cara berikut. Gejala defisiensi B, Ca, Cu, Fe, Mn, S, Zn, Ni dimulai dari pelepah paling muda. Gejala defisiensi N, P, K Cl, Mg dan Mo dimulai dari pelepah paling tua (Anonim A, 2012).
Gejala kekurangan nitrogen ditandai dengan warna daun berubah menjadi hijau muda kemudian menjadi kuning sempurna, jaringan daun mati dan mengering berwarna merah kecoklatan. Pembentukan buah tidak sempurna, kecil-kecil, kekuningan, dan masak sebelum waktunya. Cara penanganan kekurangan unsur nitrogen adalah dengan menambahkan pupuk kimia berupa urea (N=46%), ZA (N=21%), KNO3, NPK serta pupuk daun kandungan N tinggi (Anonim A, 2012).
Gejala kekurangan fosfor ditandai dengan warna bagian bawah daun terutama tulang daun merah keunguan, daun melengkung, dan terpelintir (distorsi). Tepi daun, cabang dan batang juga berwarna ungu. Kekurangan unsur ini menyebabkan terhambatnya sistem perakaran dan pembuahan. Cara penanganan kekurangan unsur fosfor adalah dengan menambahkan pupuk kimia SP36 (P=36%), NPK, MKP serta pupuk daun kandungan P tinggi (Anonim A, 2012).
Gejala kekurangan kalium ditandai dengan mengerutnya daun terutama daun tua meski tidak merata, tepi dan ujung daun menguning yang kemudian menjadi bercak coklat. Bercak daun ini akhirnya gugur, sehingga daun tampak bergerigi dan akhirnya mati. Buah yang terbentuk tidak sempurna, kecil, kualitas jelek dan tidak tahan simpan. Cara penanganan kekurangan unsur kalium adalah dengan menambahkan pupuk kimia KCl (K=52%), NPK, MKP, serta pupuk daun kandungan K tinggi (Anonim A, 2012).
Gejala kekurangan sulfur ditandai dengan warna daun muda memudar (klorosis), berubah menjadi hijau muda, kadang-kadang tampak tidak merata, menguning atau keputih-putihan. Pertumbuhan tanaman terhambat, kerdil, berbatang pendek, dan kurus. Cara penanganan kekurangan unsur sulfur adalah dengan menambahkan pupuk kimia ZA (S=20%), Phonska (S=10%), serta pupuk daun yang mengandung unsur S (Anonim A, 2012).
Gejala kekurangan kalsium ditandai dengan pertumbuhan kuncup yang terhenti dan mati, pertumbuhan tanaman lemah dan merana, tepi daun muda mengalami klorosis, buah muda banyak yang rontok dan masak sebelum waktunya, warna buah kurang sempurna. Cara penanganan kekurangan unsur kalsium adalah dengan menambahkan kapur dolomite (Ca=38%), kalsium karbonat (Ca=90%), serta pupuk kalsium kandungan Ca 80-99% (Anonim A, 2012).
Gejala kekurangan magnesium ditandai dengan daun tua yang semula hijau segar berubah menjadi kekuningan dan tampak pucat. Diantara tulang-tulang daun terjadi klorosis, warna berubah menguning dan terdapat bercak-bercak berwarna kecoklatan, sedangkan tulang daun tetap berwarna hijau. Cara penanganan kekurangan unsur magnesium adalah dengan menambahkan pupuk kimia kieserite, kapur dolomite (Mg=18%), serta pupuk daun yang mengandung unsur Mg (Anonim A, 2012).
2.2 TOKSISITAS
Toksisitas adalah suatu keadaan yang menandakan adanya efek toksik/racun yang terdapat pada bahan sebagai sediaan single dose atau campuran. Toksisitas akut ini diteliti pada hewan percobaan yang menunjukkan evaluasi keamanan dari kandungan kimia untuk penggunaan produk rumah tangga, bahan tambahan makanan, kosmetik, obat-obatan, dan sediaan biologi (Deisy dkk, 2010).
Uji toksisitas dilakukan untuk mendapatkan informasi atau data tentang toksisitas suatu bahan (kimia) pada hewan uji. Secara umum uji toksisitas dapat dikelompokkan menjadi uji toksisitas jangka pendek/akut, dan uji toksisitas jangka panjang. Uji toksisitas akut dimaksudkan untuk mendapatkan informasi tentang gejala keracunan, penyebab kematian, urutan proses kematian dan rentang dosis yang mematikan hewan uji (Lethal dose atau disingkat LD50) suatu bahan. Uji toksisitas akut merupakan efek yang merugikan yang timbul segera sesudah pemberian suatu bahan sebagai dosis tunggal, atau berulang yang diberikan dalam 24 jam (Deisy dkk, 2010).
Uji toksisitas akut dirancang untuk menentukan atau menunjukkan secara kasar median lethal dose (LD50) dari toksikan. LD50 ditetapkan sebagai tanda statistik pada pemberian suatu bahan sebagai dosis tunggal yang dapat menyebabkan kematian 50% hewan uji (Frank,1996). Jumlah kematian hewan uji dipakai sebagai ukuran untuk efek toksik suatu bahan (kimia) pada sekelompok hewan uji. Jika dalam hal ini hewan uji dipandang sebagai subjek, respon berupa kematian tersebut merupakan suatu respon diskretik. Ini berarti hanya ada dua macam respon yaitu ada atau tidak ada kematian (Deisy dkk, 2010).
;;Berbeda dengan gejala visual defisiensi, gangguan toksisitas hara cara pendekatannya hanya berdasarkan gejala visual pada daun tua dan daun dewasa. Marschner menyatakan bahwa gejala visual defisiensi jauh lebih spesifik sifatnya dari gejala visual toksisitas, karena toksik satu unsur hara mineral tertentu akan menginduksi defisiensi hara mineral yang lain. Diagnosis berdasarkan gejala visual di lapangan sangat komplek dan sulit terutama bila kejadian defisiensi lebih dari satu hara mineral secara simultan atau defisiensi hara tertentu bersamaan dengan toksik hara yang lain. Misalnya pada tanah masam tergenang, toksisitas Mn simultan dengan defisiensi Mg. Diagnosis akan semakin komplek bila kekurangan atau toksik hara disertai dengan adanya hama penyakit (Deisy dkk, 2010).
2.3 GEJALA DEFISIENSI HARA TANAMAN KACANG HIJAU
Tanaman kacang hijau menghendaki tanah yang tidak terlalu berat, artinya tidak terlalu banyak mengandung tanah liat. Tanah dengan kandungan bahan organik tinggi sangat disukai oleh tanaman kacang hijau. Tanah berpasirpun dapat digunakan untuk pertumbuhan kacang hijau asalkan kandungan air tanahnya tetap terjaga dengan baik (Purwono dan Hartono, 2005). Kacang hijau menghendaki tanah dengan kandungan hara (fosfor, kalium, kalsium, magnesium, dan belerang) yang cukup. Dosis anjuran pemupukan tanaman kacang hijau adalah 50 N kg/ha, 75 TSP kg/ha atau 34,5 kg/ha P2O5, 50 kg/ha KCL atau 30 kg/ha K2O (Anonim B, 2012).
Kacang hijau yang mendapatkan larutan nutrisi lengkap mengalami pertumbuhan yang optimal karena seluruh kebutuhan nutrisi untuk pertumbuhan telah terpenuhi. Pada tumbuhan kacang hijau yang diberi nutrisi dengan dikurangi unsur K mua-mula tumbuh normal, tetapi pada minggu kedua kondisi tumbuhan menjadi layu. K berperan sebagai kofaktor lebih dari 40 enzim, kation dalam turgor sel dan pemeliharaan elektronetralitas sel, Tumbuhan yang mengalami defisiensi K kehilangan turgiditas sel sehingga tumbuhan tidak mengalami turgd maksimum akibatnya tumbuhan terlihat layu (Anonim B, 2012).
Pada tumbuhan kacang hijau yang diberi nutrisi dengan dikurangi unsur Ca pada minggu pertama mengalami klorosis pada ujung daun dan layu. Pada pengamatan kedua salah satu daun mengalami klorosis diikuti nekrosis yang bermula dari ujung daun. Daun pada ujung berwarna kunig diikuti dengan warna coklat. Unsur Ca merupakan kostituen lamella tengah dinding sel, sebagai kofaktor enzim hidrolisis ATP dan fosfolipid serta bertingak sebagai duta pengganti pengaturan metabolic (Anonim B, 2012).
Menurut Dahlia 2000 dalam Anonim B, 2012, defisiensi Ca menyebabkan daya imbibisi berkurang. Defisiensi unsur Ca menyebabkan kemampuan sel untuk menyerap air berkurang sehingga turgiditas rendah dan tumbuhan menjadi layu. Selain berperan dalam penyerapan air unsur Ca juga diperlukan untuk pertumbuhan tanaman hijau. Ca berkombinasi dengan protein inti sel dan plastida. Defisiensi Ca menyebabkan daun mengalami nekrosis dan klorosis karena reaksi pembentukan klorofil terganggu.
Pada pengamatan minggu ke-2 kacang hijau yang kekurangan unsur Ca mati. Hal ini dikarenakan tidak ada kofaktor yang membantu hidrolisis ATP oleh enzim. Sehingga hidrolilis ATP berlangsung lambat atau tidak terjadi sehingga tumbuhan kekurangan energy untuk melakukan aktivitas seluler dan metabolism (Anonim B, 2012).
Pada tumbuhan kacang hijau yang disiram larutan nutrisi dengan dikurangi unsur Mg (-Mg) kedua daunya mengalami klorosis pada ujung daun. Mula-mula 1 daun mengalami klorosis, tetapi pada pengamatan kedua, daun yang mengalami klorosis ujung berjumlah 2. Daun dalam kondisi layu M diperlukan oleh banyak enzim yang terlibat dalam transfer P dan penyusun klorfil. Pada literature tersebut dikatakan bahwa defisiensi Mg terdeteksi dengan ciri klorosis diantara tulang daun lebih dulu. Sementara hasil pengamatan klorosis terjadi pada ujung daun (Anonim B, 2012).
Menurut Dahlia, 2000 dalam Anonim B, 2012 Mg merupakan penyusun klorofil. Mg merupakan kofaktor untuk aktivitas enzim posporilasi dalam glikolisis dan daur trikarboksilasi. Mg merupakan aktifator koenzim fotosintesis serta respirasi dan diperlukan untuk sintesis protein. Defisiensi Mg sangat berpengaruh terhadap subtruktur klorofil. Ukuran grana menjadi berkurang. Klorosis dimulai dari tepi daun dan ujung daun yang meluas ke sel-sel parenkim daun. Jadi hasil pengamatan kami sesuai dengan yang dikemukakan Dahlia (2000).
Daun menjadi layu, karena aktivitas pembantukan energy melalui posporilasi terganggu akibat kekurangan kofaktor. Reaksi fotosintesis, respirasi dan sintesis protein berlangsung lambat karena tidak adanya koenzim. Hal ini menyebabkan reaksi pembentukan energy dan bahan organic untuk pertumbuhan terhambat. Akibatnya pertumbuhan tanaman kurang optimal (Anonim B, 2012).
Unsur P merupakan komponen structural dari sejumlah senyawa pentransfer energy (ADP, ATP dan NADPH) serta penyusun senyawa informasi genetic DNA dan RNA. (Dahlia, 2000). Fosfor dalam tanaman berfungsi membentuk asam nukleat (DNA dan RNA), menyimpan serta memindahkan energi ATP dan ADP, merangsang pembelahan sel, dan membantu proses amilasi dan respirasi (Anonim B, 2012).
Dengan terjadinya defeisiensi Fosfor mengakibatkan aktivitas-aktivitas tanaman yang seharusnya terjadi tidak dapat berjalan dengan baik sebagaimana mestinya. Daum mengalami nekrosis di tepi, dan pada minggu kedua perlakuan daun diikuti dengan nekrosis. Klorosis dan nekrosis terjadi karena gangguan pada DNA yang mengkode pembentukan klorofil. Defisiensi P menyebabkan penimbunan gula yang ditunjukkan dengan pigmentasi antosianin pada batang dan urat daun (Anonim B, 2012).
Fosfor menyusun materi genetic (asam nukleat) dan merangsang pembelahan sel. Sebelum membelag pada fase S dalam siklus sel, terjadi replikasi DNA sehingga pembelahan menghasilkan sel dengan kromosom yang sama dengan induknya. Apabila terjadi defisiensi penyusun asam nukleat maka replikasi terganggu dan pembelahan sel terhambat. Akibat pembelahan sel yang terhambat maka pertumbuhan tanaman terhambat dan menjadi kerdil (Anonim B, 2012).
Beberap ahli mengelompokkan Fe dalam makronutrien dan sebagian lain mengelompokkannya dalam mikronutrien. Karena Fe dibutuhkan dalam jumlah kecil tetapi sangat esensial bagi pertumbuhan normal tanaman. Fe berperan dalam transfer electron. Fe merupakan penyusun sitokom dan feredoksin yang aktif pada proses respirasi dalam mitokondria dan transfer elekton dalam fotosintesis (Anonim B, 2012).
Fe bukan merupakan penyusun klorofil tetapi berperan sangat besar terhadap metabolism pembentukan klorofil karena dibutuhkan dalam ultrastruktur kloroplas. Kekurangan Fe menyebakan klorosis karena jumlah dan ukuran kloroplas, grana dan lamella tengah berkurang. (Dahlia, 2000). Tetapi hasil pengamatan kami menunjukkan bahwa pengurangan Fe tidak menyebabkan klorosis, tetapi kondisi tanaman menjadi layu. Hal ini mungkin dikarenakan defisiensi Fe yang dialami tumbuhan masih dapat ditoleransi. Fe merupakan mikronutrien sehingga hanya dibutuhkan dalam jumlah sedikit (Anonim B, 2012).
Fe bersama Mo merupakan unsur penyusun enzim nitrit dan nitrit reduktase dan enzim fiksasi N2nitrogenase. Jadi Fe berperan dalam fiksasi N dari udara maupun dari dalam tanah. Kekurangan Fe menyebabkan tumbuhan tidak memfiksasi N dengan maksimal. Dimana N merupakan bahan yang diperlukan dalam fotosintesis dan sintesis protein. N merupakan penyusun asam amino. Akibatnya pertumbuhan tanaman yang mengalami defisiensi Fe sedikit terganggu (Anonim B, 2012).
2.4 GEJALA TOKSISITAS
Tumbuhan menanggapi kurangnya pasokan unsur esensial dengan menunjukkan gejala kekahatan yang khas. Gejala yang terlihat meliputi terhambatnya pertumbuhan akar, batang atau daun, serta klorosis atau nekrosis pada berbagai organ (Lavon et al., 1995). Gejala khas sering membantu untuk mengetahui fungsi suatu unsur pada tumbuhan dan pengetahuan akan gejala tersebut menolong para petani untuk memastikan bagaimana serta kapan harus memupuk tanamannya (Anonim C, 2010).
Sebagian besar gejala mudah terlihat dan tampak pada sistem tajuk, kecuali bila tanaman ditumbuhkan secara hidroponik. Gejala pada akar tak dapat dilihat tanpa mencabut akar dari tanah, sehingga gejala kekahatan hara pada akar kurang dikenal (Anonim C, 2010).
Gejala kekahatan suatu unsur terutama bergantung pada dua faktor yaitu fungsi unsur tersebut dan mudah tidaknya unsur tersebut berpindah dari daun tua ke daun yang lebih muda atau ke organ-organ lainnya (Epstein, 1972). Contoh yang baik untuk menjelaskan kedua faktor tersebut adalah klorosis yang disebabkan oleh Mg. Karena Mg adalah bagian esensial molekul klorofil, maka klorofil tak terbentuk tanpa Mg atau terbentuk dalam jumlah sedikit bila konsentrasi Mg rendah. Klorosis pada daun tua yang terletak lebih rendah terlihat lebih parah dari pada daun muda. Perbedaan tersebut menggambarkan bahwa bagian yang lebih muda dari tumbuhan mempunyai kemampuan untuk mengambil hara yang mudah bergerak (mobil) dari bagian yang lebih tua (Anonim C, 2010).
Secara umum gangguan hara yang menghambat pertumbuhan dan hasil dalam sekala yang ringan tidak dapat dilihat karakteristik gejala visualnya secara spesifik. Gejala menjadi tampak dapat dilihat dengan tegas apabila defisiensinya atau toksisitasnya berat sehingga laju pertumbuhan dan hasil sangat tertekan. Sebagai contoh, gejala defisiensi Mg pada serealia dapat teramati dengan jelas pada kondisi lapang selama perkembangan batang, tetapi hal itu tidak berpengaruh merusak bila kahat terjadi pada akhir pengisian biji (Anonim C, 2010).
Gejala defisiensi atau kelebihan hara lebih mudah dilihat pada daun, tetapi mungkin juga terjadi pada bagian lain dari tanaman seperti pucuk batang, buah dan akar. Gejala defisiensi atau toksisitas umumnya spesifik untuk hara tertentu. Oleh karena itu adalah memungkinkan menggunakan penampakan visual untuk mendiagnosis tanaman sakit karena kekurangan atau kelebihan hara (Anonim C, 2010).
Agar diagnosis memberikan hasil yang memuaskan, Marschner (1986) menyatakan perlunya pendekatan sistematis dalam melakukan diagnosis berdasarkan gejala visual, seperti disajikan pada Tabel 2. Klorosis dan nekrosis adalah 2 kriteria penting yang digunakan dalam pendekatan sistematis tersebut (Anonim C, 2010).
Pada beberapa penelitian menunjukkan bahwa gejala visual defisiensi hara dapat dilihat pada daun tua dan daun dewasa (“old and mature leaf blades”) atau pada daun muda dan pucuk (“young leaf blades and apex”) tergantung apakah hara yang didiagnosis sifatnya mobil atau immobil dalam phloem. Untuk hara mobil seperti N dan Mg gejala visual pertama tampak pada daun tua dan daun dewasa, sedangkan untuk hara immobil seperti Ca gejala visual pertama tampak pada daun muda dan/atau pucuk (Anonim C, 2010).
Berbeda dengan gejala visual defisiensi, gangguan toksisitas hara cara pendekatannya hanya berdasarkan gejala visual pada daun tua dan daun dewasa. Marschner menyatakan bahwa gejala visual defisiensi jauh lebih spesifik sifatnya dari gejala visual toksisitas, karena toksik satu unsur hara mineral tertentu akan menginduksi defisiensi hara mineral yang lain (Anonim C, 2010).
Diagnosis berdasarkan gejala visual di lapangan sangat komplek dan sulit terutama bila kejadian defisiensi lebih dari satu hara mineral secara simultan atau defisiensi hara tertentu bersamaan dengan toksik hara yang lain. Misalnya pada tanah masam tergenang, toksisitas Mn simultan dengan defisiensi Mg. Diagnosis akan semakin komplek bila kekurangan atau toksik hara disertai dengan adanya hama penyakit (Anonim C, 2010).
2.5 UPAYA PENCEGAHAN DEFISIENSI dan TOKSISITAS TANAMAN KACANG HIJAU
Fokus perhatian dalam diagnosis gangguan hara mineral berdasarkan analisis tanaman adalah menentukan nilai kritis defisiensi (“critical deficiency levels/CDL”) dan nilai kritis keracunan (“critical toxicity levels/CTL”) masing-masing hara mineral pada jaringan tanaman. Penentuan CDL diperlukan dalam kaitannya dengan rekomendasi saat pemupukan dilakukan. Pertumbuhan maksimum terjadi antara CDL dan CTL. Dalam prakteknya nilai CDL bukan merupakan satu titik nilai, melainkan merupakan suatu kisaran/range nilai. Biasanya nilai CDL didefiniskan sebagai suatu taraf dimana perumbuhan atau hasil 5 – 10% dibawah maksimum (Suwandi, 2009).
Nilai CDL dan CTL umumnya ditentukan berdasarkan atas percobaan dengan menumbuhkan tanaman pada kondisi lingkungan terkontrol dengan variasi suplai hara mineral dalam kisaran yang luas. Berdasarkan atas hasil percobaan tersebut kemudian hara mineral dalam jaringan tanaman dalam hubungannya dengan pertumbuhan dan hasil dikelompokkan menurut kisaran defisiensi, rendah, cukup, tinggi atau toksik (Wahid A S, 2003).
Misalnya untuk tanaman kedelai, Marschner (1986) menyebutkan kisaran defisien, rendah, cukup, tinggi dan toksik masing-masing untuk hara P, K dan Mn adalah seperti pada Tabel 4.Ketelitian hasil diagnosis sangat ditentukan oleh akuratnya informasi tambahan meliputi pH tanah, hasil analisis tanah, status air tanah, kondisi cuaca, riwayat pemberian pupuk, fungsida atau pestisida dan lain-lain (Marschner, 1986). Dalam beberapa kasus hasil diagnosis berdasarkan gejala visual dapat secara langsung digunakan sebagai rekomendasi pemupukan. Sebaliknya, sering pula terjadi hasil diagnosis gejala visual belum cukup untuk dapat merekomendasi-kan pemupukan sehingga diperlukan analisis tanaman (Suwandi, 2009).
Langkah-langkah observasi dalam melakukan diagnosis berdasarkan gejala visual menurut Grundon (1987) adalah : a) pengumpulan informasi meliputi kondisi lingkungan tanaman seperti curah hujan dan suhu, waktu tanam, varietas yang ditanam, riwayat tindakan budidaya dan tipe tanah, b) pengamatan gejala, menyangkut bagian tanaman yang menampakkan gejala,Gangguan hara pada tanaman merupakan masalah utama bagi petani di dunia, di samping masalah-masalah penting lainnya. Sistem bertanam secara terus menerus dan meningkatnya intensitas tanam menyebabkan problem gangguan hara bertambah besar. Disatu pihak menyebabkan defisiensi hara tertentu dan dilain pihak menimbulkan toksisitas dimana pada daerah tersebut sebelumnya hara bukan merupakan suatu masalah. Dalam situasi seperti itu, petani-petani modern dan juga ilmuwan pertanian membutuhkan informasi untuk membantu mengambil keputusan apakah tanaman di lapangan mengalami gangguan hara atau tidak. Gejala defisiensi atau toksisitas hara umumnya dapat digunakan untuk maksud tersebut (Suwandi, 2009).
Gejala defisiensi atau toksisitas misalnya pada tanaman kacang hijau secara visual umumnya telah cukup membantu dalam mendiagnosis gangguan hara, terutama bila dilakukan oleh orang atau ahli yang sudah berpengalaman pada tanaman spesifik tertentu dan daerah tertentu dimana dia sudah biasa bekerja disana. Artinya adalah dituntut pengetahuan yang cukup dan ketelitian yang tinggi karena gejala gangguan hara bervariasi sangat besar tergantung atas spesies tanaman, kondisi lingkungan, umur tanaman dan kemiripan gejalanya dengan gangguan lain seperti infeksi penyakit, kerusakan oleh hama atau karena gangguan gulma (Syafruddin, 2004).
Apabila tanaman seperti kacang hijau tidak dapat menerima hara yang cukup seperti yang dibutuhkan, maka pertumbuhannya akan lemah dan perkembangannya tampak abnormal. Pertumbuhan yang abnormal juga akan terjadi bila tanaman menyerap hara melebihi untuk kebutuhannya bermetabolisme. Diagonsis defisiensi dan tosksisitas hara pada tanaman dapat dilakukan dengan 2 pendekatan yaitu pendekatan dengan diagnosis gejala visual dan analisis tanaman (Syafruddin, 2004).
DAFTAR PUSTAKA
Anonim (A) 2012. Defisiensi Unsur Hara. http://petunjukbudidaya.blogspot.com/ 2012/12/defisiensi-unsur-hara.html. diakses pada 01 juni 2013.
Anonim (B) 2012. Nutrisi Pada Tumbuhan. http://septidarliaputri.blogspot.com/ 2012/05/pembahasan-pengaruh-nutrisi-terhadap.html. diakses pada 01 juni 2013.
Anonim (C) 2010. Diagnosis defisiensi dan toksisitas hara mineral. http://jasapembuatanweb.co.id/biologi/diagnosis-defisiensi-dan-toksisitas-hara-mineral. diakses pada 01 juni 2013.
Deisy dkk. 2010. Uji Toksisitas Oli Bekas Terhadap Tanaman Kacang Hijau. Program studi pendidikan biologi Universitas ahmad dahlan. Yogyakarta.
Suwandi. 2009. Menakar Kebutuhan Hara Tanaman Dalam Pengembangan Inovasi Budi Daya Sayuran Berkelanjutan. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Dki Jakarta. Jakarta.
Syafruddin, 2004. Genotipe Jagung Efisien Hara P. Balai Penelitian Tanaman Serealia, Maros.
Wahid A S. 2003. Peningkatan Efisiensi Pupuk Nitrogen Pada Padi Sawah Dengan Metode Bagan Warna Daun. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan. Makassar.
PENDAHULUAN
1.1.1 LATAR BELAKANG
Budi daya tanaman adalah manajemen dalam memadukan teknologi dan kemampuan (skill) petani dalam memanfaatkan sumber daya, termasuk unsur hara yang diperlukan tanaman untuk tumbuh dan menghasilkan produk dengan efisien dan menguntungkan (Sanchez 1976). Dalam dua dasawarsa terakhir, aplikasi teknologi penggunaan pupuk kimia dan pestisida berkembang pesat dalam budi daya sayuran dataran tinggi. Penggunaan input agrokimia secara tidak terkendali menjadi penyebab turunnya produktivitas, kualitas sumber daya, dan pencemaran lingkungan.
Isu pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture) muncul setelah adanya kekeliruan pada era Revolusi Hijau (Sachs 1987), di mana penggunaan bahan agrokimia cenderung berlebihan yang mencemari lingkungan dan menurunkan kualitas produk pertanian. Budi daya tanaman berkelanjutan mengaplikasikan teknologi yang bersifat efisien dan ramah lingkungan (Suwandi dan Asandhi 1995; Reijntjes et al. 1999). Input yang digunakan lebih mengutamakan bahan organik atau bahan alami sebagai sumber pupuk atau pestisida (Van Keulen 1995). Sistem pertanian berkelanjutan ini menjadi dasar kebijakan dalam pembangunan pertanian di setiap Negara.
Berdasarkan hal tersebut, pengembangan inovasi budi daya tanaman ke depan perlu memperhatikan penggunaan input sesuai kebutuhan tanaman atau “feed what the crop needs” tanpa menimbulkan dampak negatif bagi sumber daya dan lingkungan baik dari segi dampak defisiensi hara dan toksisitas hara yang terkandung dalam tanah yang dituangkan dalam praktikum Nutrisi Tanaman.
1.1.2 TUJUAN DAN KEGUNAAN
Tujuan dilakukannya praktikum ini adalah untuk mengetahui pengaruh defisiensi dan toksisitas hara dalam tanah.
Kegunaan praktikum ini yaitu sebagai tambahan ilmu pengetahuan mengenai pengaruh pemberian pupuk dalam tanah kepada mahasiswa sebagai bagian dari disiplin ilmu pertanian.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFISIENSI
Defisiensi adalah suatu keadaan dimana tanaman kekurangan nutrisi tertentu, yang dapat dilihat dari gejala fisik tanaman terutama pada bagian daun dan batang. Seorang pekebun yang handal harus bisa mengetahui kondisi tanaman dikebunnya apakah dalam keadaan kekurangan nutrisi atau tidak. Dengan mengetahui status nutrisi tanaman dapat dibuat suatu rencana kedepan sebagai antisipasinya. Gejala defisiensi dapat dianlisa dengan cara berikut. Gejala defisiensi B, Ca, Cu, Fe, Mn, S, Zn, Ni dimulai dari pelepah paling muda. Gejala defisiensi N, P, K Cl, Mg dan Mo dimulai dari pelepah paling tua (Anonim A, 2012).
Gejala kekurangan nitrogen ditandai dengan warna daun berubah menjadi hijau muda kemudian menjadi kuning sempurna, jaringan daun mati dan mengering berwarna merah kecoklatan. Pembentukan buah tidak sempurna, kecil-kecil, kekuningan, dan masak sebelum waktunya. Cara penanganan kekurangan unsur nitrogen adalah dengan menambahkan pupuk kimia berupa urea (N=46%), ZA (N=21%), KNO3, NPK serta pupuk daun kandungan N tinggi (Anonim A, 2012).
Gejala kekurangan fosfor ditandai dengan warna bagian bawah daun terutama tulang daun merah keunguan, daun melengkung, dan terpelintir (distorsi). Tepi daun, cabang dan batang juga berwarna ungu. Kekurangan unsur ini menyebabkan terhambatnya sistem perakaran dan pembuahan. Cara penanganan kekurangan unsur fosfor adalah dengan menambahkan pupuk kimia SP36 (P=36%), NPK, MKP serta pupuk daun kandungan P tinggi (Anonim A, 2012).
Gejala kekurangan kalium ditandai dengan mengerutnya daun terutama daun tua meski tidak merata, tepi dan ujung daun menguning yang kemudian menjadi bercak coklat. Bercak daun ini akhirnya gugur, sehingga daun tampak bergerigi dan akhirnya mati. Buah yang terbentuk tidak sempurna, kecil, kualitas jelek dan tidak tahan simpan. Cara penanganan kekurangan unsur kalium adalah dengan menambahkan pupuk kimia KCl (K=52%), NPK, MKP, serta pupuk daun kandungan K tinggi (Anonim A, 2012).
Gejala kekurangan sulfur ditandai dengan warna daun muda memudar (klorosis), berubah menjadi hijau muda, kadang-kadang tampak tidak merata, menguning atau keputih-putihan. Pertumbuhan tanaman terhambat, kerdil, berbatang pendek, dan kurus. Cara penanganan kekurangan unsur sulfur adalah dengan menambahkan pupuk kimia ZA (S=20%), Phonska (S=10%), serta pupuk daun yang mengandung unsur S (Anonim A, 2012).
Gejala kekurangan kalsium ditandai dengan pertumbuhan kuncup yang terhenti dan mati, pertumbuhan tanaman lemah dan merana, tepi daun muda mengalami klorosis, buah muda banyak yang rontok dan masak sebelum waktunya, warna buah kurang sempurna. Cara penanganan kekurangan unsur kalsium adalah dengan menambahkan kapur dolomite (Ca=38%), kalsium karbonat (Ca=90%), serta pupuk kalsium kandungan Ca 80-99% (Anonim A, 2012).
Gejala kekurangan magnesium ditandai dengan daun tua yang semula hijau segar berubah menjadi kekuningan dan tampak pucat. Diantara tulang-tulang daun terjadi klorosis, warna berubah menguning dan terdapat bercak-bercak berwarna kecoklatan, sedangkan tulang daun tetap berwarna hijau. Cara penanganan kekurangan unsur magnesium adalah dengan menambahkan pupuk kimia kieserite, kapur dolomite (Mg=18%), serta pupuk daun yang mengandung unsur Mg (Anonim A, 2012).
2.2 TOKSISITAS
Toksisitas adalah suatu keadaan yang menandakan adanya efek toksik/racun yang terdapat pada bahan sebagai sediaan single dose atau campuran. Toksisitas akut ini diteliti pada hewan percobaan yang menunjukkan evaluasi keamanan dari kandungan kimia untuk penggunaan produk rumah tangga, bahan tambahan makanan, kosmetik, obat-obatan, dan sediaan biologi (Deisy dkk, 2010).
Uji toksisitas dilakukan untuk mendapatkan informasi atau data tentang toksisitas suatu bahan (kimia) pada hewan uji. Secara umum uji toksisitas dapat dikelompokkan menjadi uji toksisitas jangka pendek/akut, dan uji toksisitas jangka panjang. Uji toksisitas akut dimaksudkan untuk mendapatkan informasi tentang gejala keracunan, penyebab kematian, urutan proses kematian dan rentang dosis yang mematikan hewan uji (Lethal dose atau disingkat LD50) suatu bahan. Uji toksisitas akut merupakan efek yang merugikan yang timbul segera sesudah pemberian suatu bahan sebagai dosis tunggal, atau berulang yang diberikan dalam 24 jam (Deisy dkk, 2010).
Uji toksisitas akut dirancang untuk menentukan atau menunjukkan secara kasar median lethal dose (LD50) dari toksikan. LD50 ditetapkan sebagai tanda statistik pada pemberian suatu bahan sebagai dosis tunggal yang dapat menyebabkan kematian 50% hewan uji (Frank,1996). Jumlah kematian hewan uji dipakai sebagai ukuran untuk efek toksik suatu bahan (kimia) pada sekelompok hewan uji. Jika dalam hal ini hewan uji dipandang sebagai subjek, respon berupa kematian tersebut merupakan suatu respon diskretik. Ini berarti hanya ada dua macam respon yaitu ada atau tidak ada kematian (Deisy dkk, 2010).
;;Berbeda dengan gejala visual defisiensi, gangguan toksisitas hara cara pendekatannya hanya berdasarkan gejala visual pada daun tua dan daun dewasa. Marschner menyatakan bahwa gejala visual defisiensi jauh lebih spesifik sifatnya dari gejala visual toksisitas, karena toksik satu unsur hara mineral tertentu akan menginduksi defisiensi hara mineral yang lain. Diagnosis berdasarkan gejala visual di lapangan sangat komplek dan sulit terutama bila kejadian defisiensi lebih dari satu hara mineral secara simultan atau defisiensi hara tertentu bersamaan dengan toksik hara yang lain. Misalnya pada tanah masam tergenang, toksisitas Mn simultan dengan defisiensi Mg. Diagnosis akan semakin komplek bila kekurangan atau toksik hara disertai dengan adanya hama penyakit (Deisy dkk, 2010).
2.3 GEJALA DEFISIENSI HARA TANAMAN KACANG HIJAU
Tanaman kacang hijau menghendaki tanah yang tidak terlalu berat, artinya tidak terlalu banyak mengandung tanah liat. Tanah dengan kandungan bahan organik tinggi sangat disukai oleh tanaman kacang hijau. Tanah berpasirpun dapat digunakan untuk pertumbuhan kacang hijau asalkan kandungan air tanahnya tetap terjaga dengan baik (Purwono dan Hartono, 2005). Kacang hijau menghendaki tanah dengan kandungan hara (fosfor, kalium, kalsium, magnesium, dan belerang) yang cukup. Dosis anjuran pemupukan tanaman kacang hijau adalah 50 N kg/ha, 75 TSP kg/ha atau 34,5 kg/ha P2O5, 50 kg/ha KCL atau 30 kg/ha K2O (Anonim B, 2012).
Kacang hijau yang mendapatkan larutan nutrisi lengkap mengalami pertumbuhan yang optimal karena seluruh kebutuhan nutrisi untuk pertumbuhan telah terpenuhi. Pada tumbuhan kacang hijau yang diberi nutrisi dengan dikurangi unsur K mua-mula tumbuh normal, tetapi pada minggu kedua kondisi tumbuhan menjadi layu. K berperan sebagai kofaktor lebih dari 40 enzim, kation dalam turgor sel dan pemeliharaan elektronetralitas sel, Tumbuhan yang mengalami defisiensi K kehilangan turgiditas sel sehingga tumbuhan tidak mengalami turgd maksimum akibatnya tumbuhan terlihat layu (Anonim B, 2012).
Pada tumbuhan kacang hijau yang diberi nutrisi dengan dikurangi unsur Ca pada minggu pertama mengalami klorosis pada ujung daun dan layu. Pada pengamatan kedua salah satu daun mengalami klorosis diikuti nekrosis yang bermula dari ujung daun. Daun pada ujung berwarna kunig diikuti dengan warna coklat. Unsur Ca merupakan kostituen lamella tengah dinding sel, sebagai kofaktor enzim hidrolisis ATP dan fosfolipid serta bertingak sebagai duta pengganti pengaturan metabolic (Anonim B, 2012).
Menurut Dahlia 2000 dalam Anonim B, 2012, defisiensi Ca menyebabkan daya imbibisi berkurang. Defisiensi unsur Ca menyebabkan kemampuan sel untuk menyerap air berkurang sehingga turgiditas rendah dan tumbuhan menjadi layu. Selain berperan dalam penyerapan air unsur Ca juga diperlukan untuk pertumbuhan tanaman hijau. Ca berkombinasi dengan protein inti sel dan plastida. Defisiensi Ca menyebabkan daun mengalami nekrosis dan klorosis karena reaksi pembentukan klorofil terganggu.
Pada pengamatan minggu ke-2 kacang hijau yang kekurangan unsur Ca mati. Hal ini dikarenakan tidak ada kofaktor yang membantu hidrolisis ATP oleh enzim. Sehingga hidrolilis ATP berlangsung lambat atau tidak terjadi sehingga tumbuhan kekurangan energy untuk melakukan aktivitas seluler dan metabolism (Anonim B, 2012).
Pada tumbuhan kacang hijau yang disiram larutan nutrisi dengan dikurangi unsur Mg (-Mg) kedua daunya mengalami klorosis pada ujung daun. Mula-mula 1 daun mengalami klorosis, tetapi pada pengamatan kedua, daun yang mengalami klorosis ujung berjumlah 2. Daun dalam kondisi layu M diperlukan oleh banyak enzim yang terlibat dalam transfer P dan penyusun klorfil. Pada literature tersebut dikatakan bahwa defisiensi Mg terdeteksi dengan ciri klorosis diantara tulang daun lebih dulu. Sementara hasil pengamatan klorosis terjadi pada ujung daun (Anonim B, 2012).
Menurut Dahlia, 2000 dalam Anonim B, 2012 Mg merupakan penyusun klorofil. Mg merupakan kofaktor untuk aktivitas enzim posporilasi dalam glikolisis dan daur trikarboksilasi. Mg merupakan aktifator koenzim fotosintesis serta respirasi dan diperlukan untuk sintesis protein. Defisiensi Mg sangat berpengaruh terhadap subtruktur klorofil. Ukuran grana menjadi berkurang. Klorosis dimulai dari tepi daun dan ujung daun yang meluas ke sel-sel parenkim daun. Jadi hasil pengamatan kami sesuai dengan yang dikemukakan Dahlia (2000).
Daun menjadi layu, karena aktivitas pembantukan energy melalui posporilasi terganggu akibat kekurangan kofaktor. Reaksi fotosintesis, respirasi dan sintesis protein berlangsung lambat karena tidak adanya koenzim. Hal ini menyebabkan reaksi pembentukan energy dan bahan organic untuk pertumbuhan terhambat. Akibatnya pertumbuhan tanaman kurang optimal (Anonim B, 2012).
Unsur P merupakan komponen structural dari sejumlah senyawa pentransfer energy (ADP, ATP dan NADPH) serta penyusun senyawa informasi genetic DNA dan RNA. (Dahlia, 2000). Fosfor dalam tanaman berfungsi membentuk asam nukleat (DNA dan RNA), menyimpan serta memindahkan energi ATP dan ADP, merangsang pembelahan sel, dan membantu proses amilasi dan respirasi (Anonim B, 2012).
Dengan terjadinya defeisiensi Fosfor mengakibatkan aktivitas-aktivitas tanaman yang seharusnya terjadi tidak dapat berjalan dengan baik sebagaimana mestinya. Daum mengalami nekrosis di tepi, dan pada minggu kedua perlakuan daun diikuti dengan nekrosis. Klorosis dan nekrosis terjadi karena gangguan pada DNA yang mengkode pembentukan klorofil. Defisiensi P menyebabkan penimbunan gula yang ditunjukkan dengan pigmentasi antosianin pada batang dan urat daun (Anonim B, 2012).
Fosfor menyusun materi genetic (asam nukleat) dan merangsang pembelahan sel. Sebelum membelag pada fase S dalam siklus sel, terjadi replikasi DNA sehingga pembelahan menghasilkan sel dengan kromosom yang sama dengan induknya. Apabila terjadi defisiensi penyusun asam nukleat maka replikasi terganggu dan pembelahan sel terhambat. Akibat pembelahan sel yang terhambat maka pertumbuhan tanaman terhambat dan menjadi kerdil (Anonim B, 2012).
Beberap ahli mengelompokkan Fe dalam makronutrien dan sebagian lain mengelompokkannya dalam mikronutrien. Karena Fe dibutuhkan dalam jumlah kecil tetapi sangat esensial bagi pertumbuhan normal tanaman. Fe berperan dalam transfer electron. Fe merupakan penyusun sitokom dan feredoksin yang aktif pada proses respirasi dalam mitokondria dan transfer elekton dalam fotosintesis (Anonim B, 2012).
Fe bukan merupakan penyusun klorofil tetapi berperan sangat besar terhadap metabolism pembentukan klorofil karena dibutuhkan dalam ultrastruktur kloroplas. Kekurangan Fe menyebakan klorosis karena jumlah dan ukuran kloroplas, grana dan lamella tengah berkurang. (Dahlia, 2000). Tetapi hasil pengamatan kami menunjukkan bahwa pengurangan Fe tidak menyebabkan klorosis, tetapi kondisi tanaman menjadi layu. Hal ini mungkin dikarenakan defisiensi Fe yang dialami tumbuhan masih dapat ditoleransi. Fe merupakan mikronutrien sehingga hanya dibutuhkan dalam jumlah sedikit (Anonim B, 2012).
Fe bersama Mo merupakan unsur penyusun enzim nitrit dan nitrit reduktase dan enzim fiksasi N2nitrogenase. Jadi Fe berperan dalam fiksasi N dari udara maupun dari dalam tanah. Kekurangan Fe menyebabkan tumbuhan tidak memfiksasi N dengan maksimal. Dimana N merupakan bahan yang diperlukan dalam fotosintesis dan sintesis protein. N merupakan penyusun asam amino. Akibatnya pertumbuhan tanaman yang mengalami defisiensi Fe sedikit terganggu (Anonim B, 2012).
2.4 GEJALA TOKSISITAS
Tumbuhan menanggapi kurangnya pasokan unsur esensial dengan menunjukkan gejala kekahatan yang khas. Gejala yang terlihat meliputi terhambatnya pertumbuhan akar, batang atau daun, serta klorosis atau nekrosis pada berbagai organ (Lavon et al., 1995). Gejala khas sering membantu untuk mengetahui fungsi suatu unsur pada tumbuhan dan pengetahuan akan gejala tersebut menolong para petani untuk memastikan bagaimana serta kapan harus memupuk tanamannya (Anonim C, 2010).
Sebagian besar gejala mudah terlihat dan tampak pada sistem tajuk, kecuali bila tanaman ditumbuhkan secara hidroponik. Gejala pada akar tak dapat dilihat tanpa mencabut akar dari tanah, sehingga gejala kekahatan hara pada akar kurang dikenal (Anonim C, 2010).
Gejala kekahatan suatu unsur terutama bergantung pada dua faktor yaitu fungsi unsur tersebut dan mudah tidaknya unsur tersebut berpindah dari daun tua ke daun yang lebih muda atau ke organ-organ lainnya (Epstein, 1972). Contoh yang baik untuk menjelaskan kedua faktor tersebut adalah klorosis yang disebabkan oleh Mg. Karena Mg adalah bagian esensial molekul klorofil, maka klorofil tak terbentuk tanpa Mg atau terbentuk dalam jumlah sedikit bila konsentrasi Mg rendah. Klorosis pada daun tua yang terletak lebih rendah terlihat lebih parah dari pada daun muda. Perbedaan tersebut menggambarkan bahwa bagian yang lebih muda dari tumbuhan mempunyai kemampuan untuk mengambil hara yang mudah bergerak (mobil) dari bagian yang lebih tua (Anonim C, 2010).
Secara umum gangguan hara yang menghambat pertumbuhan dan hasil dalam sekala yang ringan tidak dapat dilihat karakteristik gejala visualnya secara spesifik. Gejala menjadi tampak dapat dilihat dengan tegas apabila defisiensinya atau toksisitasnya berat sehingga laju pertumbuhan dan hasil sangat tertekan. Sebagai contoh, gejala defisiensi Mg pada serealia dapat teramati dengan jelas pada kondisi lapang selama perkembangan batang, tetapi hal itu tidak berpengaruh merusak bila kahat terjadi pada akhir pengisian biji (Anonim C, 2010).
Gejala defisiensi atau kelebihan hara lebih mudah dilihat pada daun, tetapi mungkin juga terjadi pada bagian lain dari tanaman seperti pucuk batang, buah dan akar. Gejala defisiensi atau toksisitas umumnya spesifik untuk hara tertentu. Oleh karena itu adalah memungkinkan menggunakan penampakan visual untuk mendiagnosis tanaman sakit karena kekurangan atau kelebihan hara (Anonim C, 2010).
Agar diagnosis memberikan hasil yang memuaskan, Marschner (1986) menyatakan perlunya pendekatan sistematis dalam melakukan diagnosis berdasarkan gejala visual, seperti disajikan pada Tabel 2. Klorosis dan nekrosis adalah 2 kriteria penting yang digunakan dalam pendekatan sistematis tersebut (Anonim C, 2010).
Pada beberapa penelitian menunjukkan bahwa gejala visual defisiensi hara dapat dilihat pada daun tua dan daun dewasa (“old and mature leaf blades”) atau pada daun muda dan pucuk (“young leaf blades and apex”) tergantung apakah hara yang didiagnosis sifatnya mobil atau immobil dalam phloem. Untuk hara mobil seperti N dan Mg gejala visual pertama tampak pada daun tua dan daun dewasa, sedangkan untuk hara immobil seperti Ca gejala visual pertama tampak pada daun muda dan/atau pucuk (Anonim C, 2010).
Berbeda dengan gejala visual defisiensi, gangguan toksisitas hara cara pendekatannya hanya berdasarkan gejala visual pada daun tua dan daun dewasa. Marschner menyatakan bahwa gejala visual defisiensi jauh lebih spesifik sifatnya dari gejala visual toksisitas, karena toksik satu unsur hara mineral tertentu akan menginduksi defisiensi hara mineral yang lain (Anonim C, 2010).
Diagnosis berdasarkan gejala visual di lapangan sangat komplek dan sulit terutama bila kejadian defisiensi lebih dari satu hara mineral secara simultan atau defisiensi hara tertentu bersamaan dengan toksik hara yang lain. Misalnya pada tanah masam tergenang, toksisitas Mn simultan dengan defisiensi Mg. Diagnosis akan semakin komplek bila kekurangan atau toksik hara disertai dengan adanya hama penyakit (Anonim C, 2010).
2.5 UPAYA PENCEGAHAN DEFISIENSI dan TOKSISITAS TANAMAN KACANG HIJAU
Fokus perhatian dalam diagnosis gangguan hara mineral berdasarkan analisis tanaman adalah menentukan nilai kritis defisiensi (“critical deficiency levels/CDL”) dan nilai kritis keracunan (“critical toxicity levels/CTL”) masing-masing hara mineral pada jaringan tanaman. Penentuan CDL diperlukan dalam kaitannya dengan rekomendasi saat pemupukan dilakukan. Pertumbuhan maksimum terjadi antara CDL dan CTL. Dalam prakteknya nilai CDL bukan merupakan satu titik nilai, melainkan merupakan suatu kisaran/range nilai. Biasanya nilai CDL didefiniskan sebagai suatu taraf dimana perumbuhan atau hasil 5 – 10% dibawah maksimum (Suwandi, 2009).
Nilai CDL dan CTL umumnya ditentukan berdasarkan atas percobaan dengan menumbuhkan tanaman pada kondisi lingkungan terkontrol dengan variasi suplai hara mineral dalam kisaran yang luas. Berdasarkan atas hasil percobaan tersebut kemudian hara mineral dalam jaringan tanaman dalam hubungannya dengan pertumbuhan dan hasil dikelompokkan menurut kisaran defisiensi, rendah, cukup, tinggi atau toksik (Wahid A S, 2003).
Misalnya untuk tanaman kedelai, Marschner (1986) menyebutkan kisaran defisien, rendah, cukup, tinggi dan toksik masing-masing untuk hara P, K dan Mn adalah seperti pada Tabel 4.Ketelitian hasil diagnosis sangat ditentukan oleh akuratnya informasi tambahan meliputi pH tanah, hasil analisis tanah, status air tanah, kondisi cuaca, riwayat pemberian pupuk, fungsida atau pestisida dan lain-lain (Marschner, 1986). Dalam beberapa kasus hasil diagnosis berdasarkan gejala visual dapat secara langsung digunakan sebagai rekomendasi pemupukan. Sebaliknya, sering pula terjadi hasil diagnosis gejala visual belum cukup untuk dapat merekomendasi-kan pemupukan sehingga diperlukan analisis tanaman (Suwandi, 2009).
Langkah-langkah observasi dalam melakukan diagnosis berdasarkan gejala visual menurut Grundon (1987) adalah : a) pengumpulan informasi meliputi kondisi lingkungan tanaman seperti curah hujan dan suhu, waktu tanam, varietas yang ditanam, riwayat tindakan budidaya dan tipe tanah, b) pengamatan gejala, menyangkut bagian tanaman yang menampakkan gejala,Gangguan hara pada tanaman merupakan masalah utama bagi petani di dunia, di samping masalah-masalah penting lainnya. Sistem bertanam secara terus menerus dan meningkatnya intensitas tanam menyebabkan problem gangguan hara bertambah besar. Disatu pihak menyebabkan defisiensi hara tertentu dan dilain pihak menimbulkan toksisitas dimana pada daerah tersebut sebelumnya hara bukan merupakan suatu masalah. Dalam situasi seperti itu, petani-petani modern dan juga ilmuwan pertanian membutuhkan informasi untuk membantu mengambil keputusan apakah tanaman di lapangan mengalami gangguan hara atau tidak. Gejala defisiensi atau toksisitas hara umumnya dapat digunakan untuk maksud tersebut (Suwandi, 2009).
Gejala defisiensi atau toksisitas misalnya pada tanaman kacang hijau secara visual umumnya telah cukup membantu dalam mendiagnosis gangguan hara, terutama bila dilakukan oleh orang atau ahli yang sudah berpengalaman pada tanaman spesifik tertentu dan daerah tertentu dimana dia sudah biasa bekerja disana. Artinya adalah dituntut pengetahuan yang cukup dan ketelitian yang tinggi karena gejala gangguan hara bervariasi sangat besar tergantung atas spesies tanaman, kondisi lingkungan, umur tanaman dan kemiripan gejalanya dengan gangguan lain seperti infeksi penyakit, kerusakan oleh hama atau karena gangguan gulma (Syafruddin, 2004).
Apabila tanaman seperti kacang hijau tidak dapat menerima hara yang cukup seperti yang dibutuhkan, maka pertumbuhannya akan lemah dan perkembangannya tampak abnormal. Pertumbuhan yang abnormal juga akan terjadi bila tanaman menyerap hara melebihi untuk kebutuhannya bermetabolisme. Diagonsis defisiensi dan tosksisitas hara pada tanaman dapat dilakukan dengan 2 pendekatan yaitu pendekatan dengan diagnosis gejala visual dan analisis tanaman (Syafruddin, 2004).
DAFTAR PUSTAKA
Anonim (A) 2012. Defisiensi Unsur Hara. http://petunjukbudidaya.blogspot.com/ 2012/12/defisiensi-unsur-hara.html. diakses pada 01 juni 2013.
Anonim (B) 2012. Nutrisi Pada Tumbuhan. http://septidarliaputri.blogspot.com/ 2012/05/pembahasan-pengaruh-nutrisi-terhadap.html. diakses pada 01 juni 2013.
Anonim (C) 2010. Diagnosis defisiensi dan toksisitas hara mineral. http://jasapembuatanweb.co.id/biologi/diagnosis-defisiensi-dan-toksisitas-hara-mineral. diakses pada 01 juni 2013.
Deisy dkk. 2010. Uji Toksisitas Oli Bekas Terhadap Tanaman Kacang Hijau. Program studi pendidikan biologi Universitas ahmad dahlan. Yogyakarta.
Suwandi. 2009. Menakar Kebutuhan Hara Tanaman Dalam Pengembangan Inovasi Budi Daya Sayuran Berkelanjutan. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Dki Jakarta. Jakarta.
Syafruddin, 2004. Genotipe Jagung Efisien Hara P. Balai Penelitian Tanaman Serealia, Maros.
Wahid A S. 2003. Peningkatan Efisiensi Pupuk Nitrogen Pada Padi Sawah Dengan Metode Bagan Warna Daun. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan. Makassar.
Terimakasih Sobat,, sudah berkunjung, jangan lupa di like yah atau tinggalkan pesan anda di kolom facebook paling bawah.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !