MAKALAH
DESAIN
DAN TATARUANG PERTANIAN
DAMPAK NEGATIF PENGGUNAAN PESTISIDA
AL AZ ARI
PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2013
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan
ke hadirat Allah Swt. Atas segala nikmat yang telah dilimpahkan-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan Makalah ini sebagaimana mestinya.
Penyelesaian Makalah ini menjadi salah satu tugas dalam mata kuliah Desain dan
Tataruang Pertanian. Oleh karena itu, penyusun laporan hasil penelitian Makalah
ini bertujuan untuk menambah wawasan dan
pengetahuan para pembaca tentang beberapa hal yang dibahas dalam Makalah ini.
Penulis
menyadari bahwa makalah ini belum terbilang dalam kata sempurna karena,
keterbatasan pengetahuan dan kemampuan penulis. Oleh karena itu penulis sangat
mengharapkan kritik dan saran dari berbagai pihak untuk perbaikan pada
pembuatan makalah yang selanjutnya.
Akhirnya penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
para pembaca terutama bagi penulis.
Makassar , 10 Mei 2013
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pestisida secara umum diartikan sebagai bahan
kimia beracun yang digunakan untuk mengendalikan jasad penganggu yang
merugikan kepentingan manusia. Dalam sejarah peradaban manusia, pestisida telah
cukup lama digunakan terutama dalam bidang kesehatan dan bidang pertanian. Di
bidang kesehatan, pestisida merupakan sarana yang penting. Terutama digunakan
dalam melindungi manusia dari gangguan secara langsung oleh jasad tertentu
maupun tidak langsung oleh berbagai vektor penyakit menular. Berbagai serangga
vektor yang menularkan penyakit berbahaya bagi manusia, telah berhasil
dikendalikan dengan bantuan pestisida. Dan berkat pestisida, manusia telah
dapat dibebaskan dari ancaman berbagai penyakit berbahaya seperti penyakit
malaria, demam berdarah, penyakit kaki gajah, tiphus dan lain-lain.
Di bidang pertanian, penggunaan pestisida juga
telah dirasakan manfaatnya untuk meningkatkan produksi. Dewasa ini pestisida
merupakan sarana yang sangat diperlukan. Terutama digunakan untuk melindungi
tanaman dan hasil tanaman, ternak maupun ikan dari kerugian yang
ditimbulkan oleh berbagai jasad pengganggu. Bahkan oleh sebahagian besar
petani, beranggapan bahwa pestisida adalah sebagai “dewa penyelamat” yang
sangat vital. Sebab dengan bantuan pestisida, petani meyakini dapat terhindar
dari kerugian akibat serangan jasad pengganggu tanaman yang terdiri dari
kelompok hama, penyakit maupun gulma. Keyakinan tersebut, cenderung memicu
pengunaan pestisida dari waktu ke waktu meningkat dengan pesat.
Di Indonesia, disamping perusahaan
perkebunan, petani yang paling banyak menggunakan berbagai jenis pestisida
ialah petani sayuran, petani tanaman pangan dan petani tanaman
hortikultura buah-buahan. Khusus petani sayuran, kelihatannya sulit melepaskan
diri dari ketergantungan penggunaan pestisida. Bertanam sayuran tanpa pestisida
dianggap tidak aman, dan sering kali pestisida dijadikan sebagai garansi
keberhasilan berproduksi.
Berdasarkan dari hal tersebut maka dibuatlah
makalah ini sebagai bahan informasi tentang penggunaan pestisida dan dampaknya
terhadap lingkungan khususnya pertanian dan dampaknya terhadapa manusia.
1.2.
Rumusan
Masalah
Ø Bagaimana
mengetahui dampak negative dari penggunaan pestisida
Ø Bagaimana
mengetahui dampak penggunaan pestisida terhadap pemetaan penggunaan lahan
Ø Bagaimana
mengetahui dampak negative penggunaan pestisida terhadap lingkungan dan
kesehatan manusia
1.3.
Tujuan
dan Manfaat
Ø Mengetahui
dampak negative penggunaan pestisida
Ø Mengetahui
dampak penggunaan pestisida terhadap pemetaan penggunaan lahan
Ø Mengetahui
dampak negative penggunaan pestisida terhadap lingkungan dan kesehatan manusia
BAB II
ISI
2.1.
Pestisida
Hampir
semua diantara kita pernah mendengar kata Pestisida, sejenis : Fungisida, Insektisida, Herbisida, Bakterisida, Akarisida, Moluskisida, Perekat-Pembasah, Pupuk Daun, Calsium Super, atau nama lainnya. Hampir dalam semua sisi
kehidupan kita tidak bisa lepas dari pestisida dalam berbaga ibentuknya. Dari
gunung sampai pantai, dari desa sampai kota. Petani di pegununganpun tidak
lepas dari penggunaan pestisida. Petani sayuran di Dieng, Kopeng, atau petani
tembakau dilereng gunung Sindoro dan Sumbing.
Pembasmi hama atau Pestisida
adalah bahan yang digunakan untuk mengendalikan, menolak, memikat, atau
membasmi organisme pengganggu. Nama ini berasal dari pest ("hama")
yang diberi akhiran cide ("pembasmi"). Sasarannya
bermacam-macam, seperti serangga, tikus, gulma, burung, mamalia, ikan, atau
mikrobia yang dianggap mengganggu. Pestisida biasanya, tapi tak selalu,
beracun. Dalam bahasa sehari-hari, pestisida seringkali disebut sebagai
"racun" tergantung dari sasarannya.
Penggunaan
pestisida dalam pembangunan di berbagai sektor seperti pertanian, kesehatan
masyarakat, perdagangan dan industri semakin meningkat. Pestisida terbukti
mempunyaiperanan yang penting dalam peningkatan kesejahteraan rakyat. Pada
bidang pertanian termasuk pertanian rakyat maupun perkebunan yang dikelola
secara profesional dalam skala besar menggunakan pestisida yang sebagian besar
adalah golongan organofosfat.
Pestisida
secara umum diartikan sebagai bahan kimia beracun yang digunakan untuk
mengendalikan jasad penganggu yang merugikan kepentingan manusia. Dalam sejarah
peradaban manusia, pestisida telah cukup lama digunakan terutama dalam bidang
kesehatan dan bidang pertanian.
Pestisida
adalah salah satu hasil teknologi modern yang mempunyai peranan penting dalam
peningkatan kesejahteraan rakyat. Beberapa abad terakhir, penggunaan pestisida
telah meningkatkan produksi pertanian secara signifikan. Penggunaan dengan cara
yang tepat dan aman adalah hal mutlak yang harus dilakukan mengingat walau
bagaimanapun, pestisida adalah bahan yang beracun. Penggunaan pestisida
bertujuan untuk menekan populasi Organisme Pengganggu Tanaman ( OPT ) secara
cepat dibandingkan dengan pengendalian lainnya.
Kita
mengetahui bahwa pestisida sangat berguna dalam membantu petani merawat
pertaniannya. Pestisida dapat mencegah tanaman cabai dari serangan OPT. Hal ini
berarti jika para petani menggunakan pestisida, hasil panen tanaman cabai akan
meningkat dan akan membuat hidup para petani cabai menjadi semakin sejahtera.
Dengan adanya pemahaman tersebut, pestisida sudah digunakan di hampir setiap
lahan pertanian.Tetapi. Di lain pihak dengan penggunaan pestisida , maka
kehilangan hasil akibat OPT dapat ditekan, tetapi menimbulkan dampak terhadap
lingkungan.
Dengan
adanya dampak buruk dari pestisida, para petani lebih dianjurkan menggunakan
sistem pertanian organik yang tidak menggunakan bahan kimia sama sekali. Tetapi
pertanian dengan metode ini juga memiliki resiko yaitu rentan untuk terserang
hama. Tetapi hasil dari pertanian ini sangat sehat dan tidak akan mengganggu
kesehatan. Oleh karena itu, para petani diharapkan tidak terlalu banyak
menggunakan pestisida dan melakukan pertanian organik. Pertanian organik ini
sangat bermanfaat dan tidak memiliki efek samping yang membahayakan bagi
lingkungan maupun tubuh.
2.2. Dampak Penggunaan Pestisida
Kita mengetahui bahwa pestisida sangat berguna dalam membantu petani
merawat pertaniannya. Pestisida dapat mencegah tanaman cabai dari serangan OPT.
Hal ini berarti jika para petani menggunakan pestisida, hasil panen tanaman
cabai akan meningkat dan akan membuat hidup para petani cabai menjadi semakin
sejahtera. Dengan adanya pemahaman tersebut, pestisida sudah digunakan di
hampir setiap lahan pertanian.Tetapi. Di lain pihak dengan penggunaan pestisida
, maka kehilangan hasil akibat OPT dapat ditekan, tetapi menimbulkan dampak
terhadap lingkungan.
Memang dapat diakui ,
pestisida banyak memberi manfaat dan keuntungan. Diantaranya, cepat menurunkan
populasi jasad penganggu tanaman dengan periode pengendalian yang lebih
panjang, mudah dan praktis cara penggunaannya, mudah diproduksi secara
besar-besaran serta mudah diangkut dan disimpan. Manfaat yang lain,
secara ekonomi penggunaan pestisida relatif menguntungkan. Namun, bukan
berarti penggunaan pestisida tidak menimbulkan dampak buruk.
Akhir-akhir ini disadari bahwa
pemakaian pestisida, khususnya pestisida sintetis ibarat pisau bermata dua.
Dibalik manfaatnya yang besar bagi peningkatan produksi pertanian, terselubung
bahaya yang mengerikan. Tak bisa dipungkiri, bahaya pestisida semakin
nyata dirasakan masyarakat, terlebih akibat penggunaan pestisida yang tidak
bijaksana. Kerugian berupa timbulnya dampak buruk penggunaan pestisida, dapat
dikelompokkan atas 3 bagian : (1). Pestisida berpengaruh negatif terhadap
kesehatan manusia, (2). Pestisida berpengaruh buruk terhadap kualitas
lingkungan, dan (3). Pestisida meningkatkan perkembangan populasi jasad
penganggu tanaman.
1.)
Pengaruh Negatif Pestisida
Terhadap Kesehatan Manusia
Pestisida secara harfiah
berarti pembunuh hama, berasal dari kata pest dan sida. Pest
meliputi hama penyakit secara luas, sedangkan sida berasal dari
kata “caedo” yang berarti membunuh. Pada umumnya pestisida, terutama
pestisida sintesis adalah biosida yang tidak saja bersifat racun terhadap jasad
pengganggu sasaran. Tetapi juga dapat bersifat racun terhadap manusia dan jasad
bukan target termasuk tanaman, ternak dan organisma berguna
lainnya.
Apabila penggunaan pestisida
tanpa diimbangi dengan perlindungan dan perawatan kesehatan, orang yang sering
berhubungan dengan pestisida, secara lambat laun akan mempengaruhi
kesehatannya. Pestisida meracuni manusia tidak hanya pada saat pestisida itu
digunakan, tetapi juga saat mempersiapkan, atau sesudah melakukan penyemprotan.
Kecelakaan akibat
pestisida pada manusia sering terjadi, terutama dialami oleh orang yang
langsung melaksanakan penyemprotan. Mereka dapat mengalami pusing-pusing
ketika sedang menyemprot maupun sesudahnya, atau muntah-muntah, mulas, mata
berair, kulit terasa gatal-gatal dan menjadi luka, kejang-kejang,
pingsan, dan tidak sedikit kasus berakhir dengan kematian. Kejadian tersebut
umumnya disebabkan kurangnya perhatian atas keselamatan kerja dan
kurangnya kesadaran bahwa pestisida adalah racun.
Kadang-kadang para petani atau
pekerja perkebunan, kurang menyadari daya racun pestisida, sehingga dalam
melakukan penyimpanan dan penggunaannya tidak memperhatikan segi-segi
keselamatan. Pestisida sering ditempatkan sembarangan, dan saat menyemprot
sering tidak menggunakan pelindung, misalnya tanpa kaos tangan dari plastik,
tanpa baju lengan panjang, dan tidak mengenakan masker penutup mulut dan
hidung. Juga cara penyemprotannya sering tidak memperhatikan arah angin,
sehingga cairan semprot mengenai tubuhnya. Bahkan kadang-kadang wadah tempat
pestisida digunakan sebagai tempat minum, atau dibuang di sembarang tempat.
Kecerobohan yang lain, penggunaan dosis aplikasi sering tidak
sesuai anjuran. Dosis dan konsentrasi yang dipakai kadang-kadang ditingkatkan
hingga melampaui batas yang disarankan, dengan alasan dosis yang rendah tidak
mampu lagi mengendalikan hama dan penyakit tanaman.
Secara tidak sengaja,
pestisida dapat meracuni manusia atau hewan ternak melalui mulut, kulit, dan
pernafasan. Sering tanpa disadari bahan kimia beracun tersebut masuk ke dalam
tubuh seseorang tanpa menimbulkan rasa sakit yang mendadak dan mengakibatkan
keracunan kronis. Seseorang yang menderita keracunan kronis, ketahuan setelah
selang waktu yang lama, setelah berbulan atau bertahun. Keracunan kronis
akibat pestisida saat ini paling ditakuti, karena efek racun dapat bersifat karsiogenic
(pembentukan jaringan kanker pada tubuh), mutagenic (kerusakan
genetik untuk generasi yang akan datang), dan teratogenic (kelahiran
anak cacad dari ibu yang keracunan).
Pestisida dalam bentuk gas
merupakan pestisida yang paling berbahaya bagi pernafasan, sedangkan yang
berbentuk cairan sangat berbahaya bagi kulit, karena dapat masuk ke
dalam jaringan tubuh melalui ruang pori kulit. Menurut World Health
Organization (WHO), paling tidak 20.000 orang per tahun, mati akibat keracunan
pestisida. Diperkirakan 5.000 – 10.000 orang per tahun mengalami dampak yang
sangat fatal, seperti mengalami penyakit kanker, cacat tubuh, kemandulan dan
penyakit liver. Tragedi Bhopal di India pada bulan Desember 1984 merupakan
peringatan keras untuk produksi pestisida sintesis. Saat itu, bahan kimia metil
isosianat telah bocor dari pabrik Union Carbide yang memproduksi pestisida
sintesis (Sevin). Tragedi itu menewaskan lebih dari 2.000 orang dan
mengakibatkan lebih dari 50.000 orang dirawat akibat keracunan. Kejadian ini
merupakan musibah terburuk dalam sejarah produksi pestisida sintesis.
Selain keracunan
langsung, dampak negatif pestisida bisa mempengaruhi kesehatan orang awam
yang bukan petani, atau orang yang sama sekali tidak berhubungan dengan
pestisida. Kemungkinan ini bisa terjadi akibat sisa racun (residu) pestisida
yang ada didalam tanaman atau bagian tanaman yang dikonsumsi manusia sebagai
bahan makanan. Konsumen yang mengkonsumsi produk tersebut, tanpa sadar telah
kemasukan racun pestisida melalui hidangan makanan yang dikonsumsi setiap hari.
Apabila jenis pestisida mempunyai residu terlalu tinggi pada tanaman,
maka akan membahayakan manusia atau ternak yang mengkonsumsi tanaman tersebut.
Makin tinggi residu, makin berbahaya bagi konsumen.
Dewasa ini, residu pestisida
di dalam makanan dan lingkungan semakin menakutkan manusia. Masalah
residu ini, terutama terdapat pada tanaman sayur-sayuran seperti kubis, tomat,
petsai, bawang, cabai, anggur dan lain-lainnya. Sebab jenis-jenis tersebut
umumnya disemprot secara rutin dengan frekuensi penyemprotan yang tinggi, bisa
sepuluh sampai lima belas kali dalam semusim. Bahkan beberapa hari menjelang
panenpun, masih dilakukan aplikasi pestisida. Publikasi ilmiah pernah
melaporkan dalam jaringan tubuh bayi yang dilahirkan seorang Ibu
yang secara rutin mengkonsumsi sayuran yang disemprot pestisida, terdapat
kelainan genetik yang berpotensi menyebabkan bayi tersebut cacat tubuh
sekaligus cacat mental.
Belakangan ini, masalah residu
pestisida pada produk pertanian dijadikan pertimbangan untuk diterima atau
ditolak negara importir. Negara maju umumnya tidak mentolerir adanya residu
pestisida pada bahan makanan yang masuk ke negaranya. Belakangan ini produk
pertanian Indonesia sering ditolak di luar negeri karena residu pestisida yang
berlebihan. Media massa pernah memberitakan, ekspor cabai Indonesia ke
Singapura tidak dapat diterima dan akhirnya dimusnahkan karena residu pestisida
yang melebihi ambang batas. Demikian juga pruduksi sayur mayur dari Sumatera
Utara, pada tahun 80-an masih diterima pasar luar negeri. Tetapi
kurun waktu belakangan ini, seiring dengan perkembangan kesadaran peningkatan
kesehatan, sayur mayur dari Sumatera Utara ditolak konsumen luar negeri,
dengan alasan kandungan residu pestisida yang tidak dapat
ditoleransi karena melampaui ambang batas..
Pada tahun 1996, pemerintah Indonesia melalui Surat Keputusan
Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Pertanian sebenarnya telah membuat
keputusan tentang penetapan ambang batas maksimum residu pestisida pada hasil
pertanian. Namun pada kenyatannya, belum banyak pengusaha pertanian
atau petani yang perduli. Dan baru menyadari setelah ekspor produk pertanian
kita ditolak oleh negara importir, akibat residu pestisida yang tinggi.
Diramalkan, jika masih mengandalkan pestisida sintesis sebagai alat pengendali
hama, pemberlakuan ekolabelling dan ISO 14000 dalam era perdagangan bebas,
membuat produk pertanian Indonesia tidak mampu bersaing dan tersisih serta
terpuruk di pasar global.
2.)
Pestisida Berpengaruh Buruk
Terhadap Kualitas Lingkungan
Masalah yang banyak
diprihatinkan dalam pelaksanaan program pembangunan yang berwawasan lingkungan
adalah masalah pencemaran yang diakibatkan penggunaan pestisida di bidang
pertanian, kehutanan, pemukiman, maupun di sektor kesehatan. Pencemaran
pestisida terjadi karena adanya residu yang tertinggal di lingkungan fisik dan
biotis disekitar kita. Sehingga akan menyebabkan kualitas lingkungan hidup
manusia semakin menurun.
Pestisida sebagai bahan
beracun, termasuk bahan pencemar yang berbahaya bagi lingkungan dan kesehatan
manusia. Pencemaran dapat terjadi karena pestisida menyebar melalui angin,
melalui aliran air dan terbawa melalui tubuh organisme yang dikenainya. Residu
pestisida sintesis sangat sulit terurai secara alami. Bahkan untuk beberapa
jenis pestisida, residunya dapat bertahan hingga puluhan tahun. Dari beberapa
hasil monitoring residu yang dilaksanakan, diketahui bahwa saat ini
residu pestisida hampir ditemukan di setiap tempat lingkungan sekitar kita.
Kondisi ini secara tidak langsung dapat menyebabkan pengaruh negatif terhadap
organisma bukan sasaran. Oleh karena sifatnya yang beracun serta relatif
persisten di lingkungan, maka residu yang ditinggalkan pada lingkungan menjadi
masalah.
Residu pestisida telah
diketemukan di dalam tanah, ada di air minum, air sungai, air sumur, maupun di
udara. Dan yang paling berbahaya racun pestisida kemungkinan terdapat di dalam
makanan yang kita konsumsi sehari-hari, seperti sayuran dan buah-buahan.
Aplikasi pestisida dari udara
jauh memperbesar resiko pencemaran, dengan adanya hembusan angin. Pencemaran
pestisida di udara tidak terhindarkan pada setiap aplikasi pestisida. Sebab
hamparan yang disemprot sangat luas. Sudah pasti, sebagian besar pestisida yang
disemprotkan akan terbawa oleh hembusan angin ke tempat lain yang bukan target
aplikasi, dan mencemari tanah, air dan biota bukan sasaran.
Pencemaran pestisida yang
diaplikasikan di sawah beririgasi sebahagian besar menyebar di dalam air
pengairan, dan terus ke sungai dan akhirnya ke laut. Memang di dalam air
terjadi pengenceran, sebahagian ada yang terurai dan sebahagian lagi
tetap persisten. Meskipun konsentrasi residu mengecil, tetapi masih tetap
mengandung resiko mencemarkan lingkungan. Sebagian besar pestisida yang jatuh
ke tanah yang dituju akan terbawa oleh aliran air irigasi.
Di dalam air, partikel
pestisida tersebut akan diserap oleh mikroplankton-mikroplankton. Oleh
karena pestisida itu persisten, maka konsentrasinya di dalam tubuh mikroplankton
akan meningkat sampai puluhan kali dibanding dengan pestisida yang mengambang
di dalam air. Mikroplankton-mikroplankton tersebut kelak akan dimakan zooplankton.
Dengan demikian pestisida tadi ikut termakan. Karena sifat persistensi yang
dimiliki pestisida, menyebabkan konsentrasi di dalam tubuh zooplankton
meningkat lagi hingga puluhan mungkin ratusan kali dibanding dengan yang ada di
dalam air. Bila zooplankton zooplankton tersebut dimakan oleh ikan-ikan
kecil, konsentarsi pestisida di dalam tubuh ikan-ikan tersebut lebih meningkat
lagi. Demikian pula konsentrasi pestisida di dalam tubuh ikan besar yang
memakan ikan kecil tersebut. Rantai konsumen yang terakhir yaitu manusia yang
mengkonsumsi ikan besar, akan menerima konsentrasi tertinggi dari
pestisida tersebut.
Model pencemaran seperti yang
dikemukakan, terjadi melalaui rantai makanan, yang bergerak dari aras tropi
yang terendah menuju aras tropi yang tinggi. Mekanisme seperti yang
dikemukakan, diduga terjadi pada kasus pencemaran Teluk Buyat di Sulawesi, yang
menghebohkan sejak tahun lalu. Diduga logam-logam berat limbah sebuah industri
PMA telah terakumulasi di perairan Teluk Buyat. Sekaligus mempengaruhi secara
negatif biota perairan, termasuk ikan-ikan yang dikonsumsi masyarakat setempat.
Kasus pencemaran lingkungan
akibat penggunaan pestisida dampaknya tidak segera dapat dilihat. Sehingga
sering kali diabaikan dan terkadang dianggap sebagai akibat sampingan yang tak
dapat dihindari. Akibat pencemaran lingkungan terhadap organisma biosfer, dapat
mengakibatkan kematian dan menciptakan hilangnya spesies tertentu yang bukan
jasad sasaran. Sedangkan kehilangan satu spesies dari muka bumi dapat
menimbulkan akibat negatif jangka panjang yang tidak dapat diperbaharui.
Seringkali yang langsung terbunuh oleh penggunaan pestisida adalah spesies
serangga yang menguntungkan seperti lebah, musuh alami hama, invertebrata, dan
bangsa burung.
Di daerah Simalungun,
diketahui paling tidak dua jenis spesies burung yang dikenal sebagai pengendali
alami hama serangga, saat ini sulit diketemukan dan mungkin saja sedang menuju
kepunahan. Penyebabnya, salah satu adalah akibat pengaruh buruk pestisida
terhadap lingkungan, yang tercemar melalui rantai makanan.
Spesies burung Anduhur
Bolon, disamping pemakan biji-bijian, juga dikenal sebagai predator
serangga, khususnya hama Belalang (famili Locustidae) dan hama serangga
Anjing Tanah (famili Gryllotalpidae). Untuk mencegah gangguan serangga Gryllotalpidae
yang menyerang kecambah padi yang baru tumbuh, pada saat bertanam petani
biasanya mencampur benih padi dengan pestisida organoklor seperti Endrin
dan Diendrin yang terkenal sangat ampuh mematikan hama serangga.
Jenis pestisida ini hingga tahun 60-an masih diperjual-belikan secara bebas,
dan belum dilarang penggunaaanya untuk kepentingan pertanian.
Akibat efek racun pestisida,
biasanya 2 – 3 hari setelah bertanam serangga-serangga Gryllotalpidae yang
bermaksud memakan kecambah dari dalam tanah, mengalami mati massal
dan menggeletak diatas permukaan tanah. Bangkai serangga ini tentu
saja menjadi makanan yang empuk bagi burung-burung Anduhur Bolon,
tetapi sekaligus mematikan spesies burung pengendali alami tersebut.
Satu lagi, spesies burung Tullik.
Burung berukuran tubuh kecil ini diketahui sebagai predator ulat penggerek
batang padi (Tryporiza sp). Bangsa burung Tullik sangat aktif
mencari ulat-ulat yang menggerek batang padi, sehingga dalam kondisi normal
perkembangan serangga hama penggerek batang padi dapat terkontrol secara
alamiah berkat jasa burung tersebut. Tetapi seiring dengan pesatnya pemakaian
pestisida, terutama penggunaan pestisida sistemik, populasi burung tersebut
menurun drastis. Bahkan belakangan ini, spesies tersebut sulit diketemukan.
Hilangnya spesies burung ini, akibat efek racun yang terkontaminasi dalam
tubuh ulat padi, yang dijadikan burung Tullik sebagai makanan utamanya.
Belakangan ini, penggunaan
pestisida memang sudah diatur dan dikendalikan. Bahkan pemerintah melarang
peredaran jenis pestisida tertentu yang berpotensi menimbulkan dampak buruk.
Tetapi sebahagian sudah terlanjur. Telah banyak terjadi degradasi lingkungan
berupa kerusakan ekosistem, akibat penggunaan pestisida yang tidak bijaksana.
Salah satu contohnya adalah hilangnya populasi spesies predator hama, seperti
yang dikemukakan diatas.
3.)
Pestisida Meningkatkan
Perkembangan Populasi Jasad Penganggu Tanaman
Tujuan penggunaan pestisida
adalah untuk mengurangi populasi hama. Akan tetapi dalam kenyataannya,
sebaliknya malahan sering meningkatkan populasi jasad pengganggu tanaman,
sehingga tujuan penyelamatan kerusakan tidak tercapai. Hal ini sering terjadi,
karena kurang pengetahuan dan perhitungan tentang dampak penggunaan pestisida.
Ada beberapa penjelasan ilmiah yang dapat dikemukakan mengapa pestisida menjadi
tidak efektif, dan malahan sebaliknya bisa meningkatkan perkembangan populasi
jasad pengganggu tanaman.
Berikut ini diuraikan tiga
dampak buruk penggunaan pestisida, khususnya yang mempengaruhi peningkatan
perkembangan populasi hama.
a.) Munculnya
Ketahanan (Resistensi) Hama Terhadap Pestisida
Timbulnya ketahanan hama
terhadap pemberian pestisida yang terus menerus, merupakan fenomena dan
konsekuensi ekologis yang umum dan logis.
Munculnya resistensi adalah
sebagai reaksi evolusi menghadapi suatu tekanan (strees). Karena hama terus
menerus mendapat tekanan oleh pestisida, maka melalui proses seleksi alami,
spesies hama mampu membentuk strain baru yang lebih tahan terhadap
pestisida tertentu yang digunakan petani. Pada tahun 1947, dua tahun setelah
penggunaan pestisida DDT, diketahui muncul strain serangga yang
resisten terhadap DDT. Saat ini, telah didata lebih dari 500 spesies
serangga hama telah resisten terhadap berbagai jenis kelompok insektisida.
Mekanisme timbulnya resistensi
hama dapat dijelaskan sebagai berikut. Apabila suatu populasi hama yang terdiri
dari banyak individu, dikenakan pada suatu tekanan lingkungan, misalnya
penyemprotan bahan kimia beracun, maka sebagian besar individu populasi
tersebut akan mati terbunuh. Tetapi dari sekian banyak individu, ada satu atau
beberapa individu yang mampu bertahan hidup. Tidak terbunuhnya individu
yang bertahan tersebut, mungkin disebabkan terhindar dari efek
racun pestisida, atau sebahagian karena sifat genetik yang dimilikinya.
Ketahanan secara genetik ini, mungkin disebabkan kemampuan memproduksi enzim detoksifikasi
yang mampu menetralkan daya racun pestisida. Keturunan individu tahan ini,
akan menghasilkan populasi yang juga tahan secara genetis. Oleh karena
itu, pada generasi berikutnya anggota populasi akan terdiri dari lebih banyak
individu yang tahan terhadap pestisida. Sehingga muncul populasi hama yang
benar-benar resisten.
Dari penelaahan sifat-sifat
hama, hampir setiap individu memiliki potensi untuk menjadi tahan terhadap
pestisida. Hanya saja, waktu dan besarnya ketahanan tersebut bervariasi,
dipengaruhi oleh jenis hama, jenis pestisida yang diberikan, intensitas
pemberian pestisida dan faktor-faktor lingkungan lainnya. Oleh karena sifat
resistensi dikendalikan oleh faktor genetis, maka fenomena resistensi adalah
permanent, dan tidak dapat kembali lagi. Bila sesuatu jenis serangga telah
menunjukkan sifat ketahanan dalam waktu yang cukup lama, serangga tersebut
tidak akan pernah berubah kembali lagi menjadi serangga yang peka terhadap
pestisida.
Di Indonesia, beberapa
jenis-jenis hama yang diketahui resisten terhadap pestisida antara lain hama
Kubis Plutella xylostella, hama Kubis Crocidolomia pavonana, hama
penggerek umbi Kentang Phthorimaea operculella, dan Ulat Grayak Spodoptera
litura. Demikian juga hama hama-hama tanaman padi seperti wereng coklat
(Nilaparvata lugens), hama walang sangit (Nephotettix inticeps) dan
ulat penggerek batang (Chilo suppressalis). dilaporkan mengalami
peningkatan ketahanan terhadap pestisida. Dengan semakin tahannya hama terhadap
pestisida, petani terdorong untuk semakin sering melakukan penyemprotan dan
sekaligus melipat gandakan tinggkat dosis. Penggunaan pestisida yang berlebihan
ini dapat menstimulasi peningkatan populasi hama.
Ketahanan terhadap pestisida
tidak hanya berkembang pada serangga atau binatang arthropoda lainnya, tetapi
juga saat ini telah banyak kasus timbulnya ketahanan pada pathogen/penyakit
tanaman terhadap fungisida, ketahanan gulma terhadap herbisida dan ketahanan
nematode terhadap nematisida.
b.)
Resurgensi Hama
Peristiwa resurgensi hama
terjadi apabila setelah diperlakukan aplikasi pestisida, populasi hama
menurun dengan cepat dan secara tiba-tiba justru meningkat lebih tinggi
dari jenjang polulasi sebelumnya. Resurgensi sangat mengurangi efektivitas dan efesiensi
pengendalian dengan pestisida.
Resurjensi hama terjadi karena
pestisida, sebagai racun yang berspektrum luas, juga membunuh musuh alami.
Musuh alami yang terhindar dan bertahan terhadap penyemprotan pestisida,
sering kali mati kelaparan karena populasi mangsa untuk sementara waktu
terlalu sedikit, sehingga tidak tersedia makanan dalam jumlah cukup. Kondisi
demikian terkadang menyebabkan musuh alami beremigrasi untuk mempertahankan
hidup. Disisi lain, serangga hama akan berada pada kondisi yang lebih baik dari
sebelumnya. Sumber makanan tersedia dalam jumlah cukup dan pengendali alami
sebagai pembatas pertumbuhan populasi menjadi tidak berfungsi. Akibatnya
populasi hama meningkat tajam segera setelah penyemprotan.
Resurgensi hama, selain
disebabkan karena terbunuhnya musuh alami, ternyata dari penelitian
lima tahun terakhir dibuktikan bahwa ada jenis-jenis pestisida tertentu
yang memacu peningkatan telur serangga hama . Hasil ini telah dibuktikan
International Rice Research Institute terhadap hama Wereng Coklat (Nilaparvata
lugens).
c.) Ledakan
Populasi Hama Sekunder
Dalam ekosistem pertanian,
diketahui terdapat beberapa hama utama dan banyak hama-hama kedua atau
hama sekunder. Umumnya tujuan penggunaan pestisida adalah untuk mengendalikan
hama utama yang paling merusak. Peristiwa ledakan hama sekunder terjadi,
apabila setelah perlakuan pestisida menghasilkan penurunan populasi hama utama,
tetapi kemudian terjadi peningkatan populasi pada spesies yang sebelumnya
bukan hama utama, sampai tingkat yang merusak. Ledakan ini seringkali
disebabkan oleh terbunuhnya musuh alami, akibat penggunaan pestisida yang
berspektrum luas. Pestisida tersebut tidak hanya membunuh hama utama yang
menjadi sasaran, tetapi juga membunuh serangga berguna, yang dalam keadaan
normal secara alamiah efektif mengendalikan populasi hama sekunder.
Peristiwa terjadinya ledakan populasi hama sekunder di
Indonesia, dilaporkan pernah terjadi ledakan hama ganjur di hamparan
persawahan Jalur Pantura Jawa Barat, setelah daerah tersebut disemprot intensif
pestisida Dimecron dari udara untuk memberantas hama utama penggerek
padi kuning Scirpophaga incertulas. Penelitian dirumah kaca membuktikan,
dengan menyemprotkan Dimecron pada tanaman padi muda, hama ganjur dapat
berkembang dengan baik, karena parasitoidnya terbunuh. Munculnya hama wereng
coklat Nilaparvata lugens setelah tahun 1973 mengganti kedudukan hama
penggerek batang padi sebagai hama utama di Indonesia, mungkin disebabkan
penggunaan pestisida golongan khlor secara intensif untuk mengendalikan hama sundep
dan weluk.
BAB
III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Ø Pembasmi
hama atau Pestisida adalah bahan yang digunakan untuk mengendalikan, menolak,
memikat, atau membasmi organisme pengganggu.
Ø Tak
bisa dipungkiri, bahaya pestisida semakin nyata dirasakan masyarakat,
terlebih akibat penggunaan pestisida yang tidak bijaksana. Kerugian berupa
timbulnya dampak buruk penggunaan pestisida, dapat dikelompokkan atas 3 bagian
: (1). Pestisida berpengaruh negatif terhadap kesehatan manusia, (2). Pestisida
berpengaruh buruk terhadap kualitas lingkungan, dan (3). Pestisida meningkatkan
perkembangan populasi jasad penganggu tanaman.
Ø Kecelakaan
akibat pestisida pada manusia sering terjadi, terutama dialami oleh orang yang
langsung melaksanakan penyemprotan. Mereka dapat mengalami pusing-pusing
ketika sedang menyemprot maupun sesudahnya, atau muntah-muntah, mulas, mata
berair, kulit terasa gatal-gatal dan menjadi luka, kejang-kejang,
pingsan, dan tidak sedikit kasus berakhir dengan kematian.
Ø Pencemaran
dapat terjadi karena pestisida menyebar melalui angin, melalui aliran air dan
terbawa melalui tubuh organisme yang dikenainya. Residu pestisida sintesis
sangat sulit terurai secara alami.
Ø Tujuan
penggunaan pestisida adalah untuk mengurangi populasi hama. Akan tetapi
dalam kenyataannya, sebaliknya malahan sering meningkatkan populasi jasad
pengganggu tanaman, sehingga tujuan penyelamatan kerusakan tidak tercapai.
3.2.
Saran
Saran
yang kami usulkan pada mengenai dari isi makalah ini adalah kiranya penggunaan
pestisida sebaiknya perlahan-lahan dikurangi untuk kepentingan bersama baik
untuk manusia maupun untuk lingkungan dan terkhusus pada sector pertanian.
DAFTAR
PUSTAKA
Anonim a, 2013. http://usitani.wordpress.com/2009/02/26/dampak-negatif-penggunaan
- pestisida/. Diakses pada tanggal 10 mei 2013 pukul 16:45.
Anonim b, 2013. http://www.tanindo.com/index.php?option=com
_content & view = section & layout = blog & id=9&Itemid=15.
Diakses pada tanggal 10 mei 2013 pukul 16:45.
Hidayat Natawigena
dan G. Satari. 1981. Kecenderungan Penggunaan Pupuk dan
Pestisida dalam Intensifikasi Pertanian dan Dampak Potensialnya Terhadap
Lingkungan. Seminar terbatas 19 Maret 1981 Lembaga Ekologi
Unpad Bandung.
Mulyani, S. dan M.
Sumatera. 1982. Masalah Residu Pestisida pada Produk
Hortikultura. Simposium Entomologi, Bandung 25 – 27 September 1982.
Oka, Ida Nyoman.
1995. Pengendalian Hama Terpadu dan Implementasinya di
Indonesia. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Untung, K. 1993. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Gajah Mada University
Press. Yogyakarta.
waw sangat bermanfaat trimkasih sudah berbagi info pertanian online,
BalasHapuskunjungi balik cara ternak Kambing dan domba