Kebiasaan Masyarakat Kajang
Masyarakat adat Ammatoa menganggap pakaian berwarna hitam
dengan paduan celana pendek putih merupakan kewajiban dalam kawasan adat. Belum
lagi jika masyarakat yang bersangkutan telah mengikuti acara Pa’nganro
besar dalam hutan adat (Borong) maka yang bersangkutan sudah wajib
menangalkan celana panjang dan menggantinya dengan Tope (sarung hitam),
menggunakan Passapu (penutup kepala dari kain hitam yang menjulang ke
atas), tanpa alas kaki dan menanggalkan segala perangkat modernitas dari jasad.
Akan tetapi, dalam pengamatan peneliti, banyak di antara masyarakat dalam
kawasan adat mulai meningalkannya. Bahkan sebagian kecil di antaranya kadang
memakai pakaian berwarna terang semacam merah dan kuning dalam kawasan adat.
Masyarakat adat Ammatoa mempercayai bahwa Hitam
berarti :
1.
Penyesuaian diri dengan lingkungan
karena alam sekitar meliputi hutan, daerah yang lembab.
2.
Merupakan kepercayaan bahwa kita
terlahir dari tempat yang tinggi, dari kegelapan dan penuh rahasia.
3.
Menggambarkan sikap rasa persamaan,
senasib dan sepenanggungan.
4.
Melambangkan sikap kegotong -
royongan.
5.
Melambangkan asli penduduk.
Perangkat-perangkat modernitas dalam bertuk perabot dan
corak rumah tampak jelas pada beberapa dusun tersebut. Rumah batu sudah
digunakan dalam beberapa dusun, utamanya di perbatasan yang menjadi pusat desa.
Walaupun demikian, masih dapat ditemui rumah-rumah panggung khas adat Ammatoa,
akan tetapi perangkat berupa listrik dan pengunaan perabotan modern lainnya
menjadi alat penunjang kebutuhan sehari-hari.
Meskipun beberapa dusun masih merasa bertanggung jawab pada
aturan adat dan ingin tetap menjalankan amanah Pasang, fakta lapangan
yang ditemukan peneliti menunjukkan bahwa tuntutan modernitas yang menawarkan
kemudahan-kemudahan instan tidak dapat dibendung oleh komitmen normative adat. Dusun
Bongkina, Pangi dan Tombolo yang dikenal sangat kental akan aturan adat mulai
bersentuhan dengan kemudahan yang ditawarkan modernitas tersebut. Bahkan di
Dusun Bongkina masyarakat sudah menggunakan kendaraan bermotor untuk memudahkan
akses terhadap berbagai kebutuhannya.
Persentuhan antara kawasan adat dan modernitas menjadi
sangat intensif karena akses jalan yang awalnya hanya berupa jalan pengerasan
yang dibuat secara manual telah berubah menjadi jalan aspal. Hal ini terlihat
di Dusun Balagana dan Janaya serta perbatasan Desa Tana Toa dengan beberapa
desa di Kecamatan Kajang. Akses jalan tersebut menjadi kebutuhan lumrah bagi
masyarakat sekitar dalam melakukan aktivitas kesehariannya. Selain mempercepat
akses, kerusakan jalan pada musim penghujan bukan menjadi persoalan lagi di
beberapa dusun tersebut.
Adapun dapur dan WC-nya yang terletak di depan pintu masuk
rumah dimana semua perangkat dapur tadi juga diletakkan. Hal ini menggambarkan
transparansi kehidupan masyarakat adat Kajang Ammatoa dalam kehidupan
kesehariannya. WC yang kami maksud di sini adalah tempat untuk mencuci piring
dan perlengkapan lain dan juga hanya untuk buang air kecil saja. Demikian juga
tempat mandi yang hanya disekat oleh perangkat kayu dan bambu, yang dilengkapi
dengan Gumbang (gentong/tempat air yang terbuat dari tanah liat). Airnya
pun di angkat dari sumur yang terletak cukup jauh dari rumah mereka dengan cara
Massohong (mengangkat air dengan menjujung Gumbang atau ember)
dengan lihai.
Masyarakat Kajang tidak menggunakan sabun untuk mandi maupun
untuk mencuci pakaian, hal itu karena mereka tidak ingin mencemari lingkungan
sekitar dengan penggunaan sabun tadi. Mereka tidak ingin keadaan lingkungan
yang asri jangan sampai terjamah oleh polusi.
Masyarakat adat Ammatoa yang paham kosmologinya
menganjurkan untuk hidup berdampingan dan memanfaatkan bahan - bahan dari alam
mulai bergeser untuk menggunakan perangkat modern. Hal yang paling menonjol
adalah alat-alat rumah tangga, baik alat memasak, makan dan minum, hingga alat
untuk mengolah tanah pertanian sudah mulai berubah. Perabot rumah tangga yang
awalnya mengandalkan tempurung kelapa untuk alat makan dan minum, dapo’
(alat masak tradisional) dan bahan dari tanah liat lainnya sudah mulai
ditinggalkan oleh mayoritas masyarakat dalam komunitas adat. Dapo’ ini
detempatkan di luar dekat pintu masuk.
Pada awalnya mereka membuat sendiri alat - alat rumah tangga
dalam lingkungan keluarga, namun sekarang perangkat dari plastik dan aluminium
sudah akrab digunakan bahkan di rumah Ammatoa (Puto Palasa)
sendiri. Kecuali dapo’ (dapur tradisional), perabot rumah tangga semacam
cerek, panci, alat menggoreng, hingga piring, gelas, dan sendok sudah menjadi
barang keperluan sehari-hari. Adapun perangkat - perangkat yang terbuat dari
alam sebagaimana disebutkan sebelumnya hanya wajib digunakan saat acara adat
saja, utamanya pada acara Pa’nganro (*Ramlah/ Anak dari Ammatoa Puto
Palasa).
Sebagai akibat langsung dari keberadaan jalan beraspal
tersebut, kawasan adat mulai disusutkan hingga perbatasan dusun Sobbu yang
ditandai dengan pintu gerbang masuk ke kawasan Ammatoa. Di dalam kawasan,
beberapa dusun masih tetap eksis dengan tetap menggunakan jalan tanah dan
berbatu - batu. Sehingga, untuk menjangkau beberapa tempat atau dusun yang
menjadi kawasan adat, wajib ditempuh dengan berjalan kaki. Dan mereka meyakini
bahwa batu yang dijalani mengandung unsur kesehatan (*Dinas Pariwisata dan
Kebudayaan Kabupaten Bulukumba).
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !