Masyarakat Kajang Dalam Melestarikan
Hutan
Kelestarian hutan di Kajang Kabupaten Bulukumba, Sulawesi
Selatan tak lepas dari payung hukum adat yang selama ini dihormati dan
dijunjung tinggi masyarakat adat Kajang yakni, “Pasang”. Bagaimana
masyarakat adat kajang mengimplementasi ajaran Pasang kaitanya dengan
pelestarian lingkungan hidup? Hal yang membuktikan bahwa setiap orang yang
melakukan pelanggaran terhadap Pasang langsung mendapatkan sanksi yang berlaku
selama masih hidup di dunia dan juga akan didapatkan di akhirat nantinya.
Kearifan masyarakat adat Kajang dalam mengelola sumber daya
alamnya memang diartikulasikan melalui media - media tradisional seperti mitos,
ritual, dan pesan - pesan leluhur, tetapi sesungguhnya mengandung pengetahuan
ekologis, yaitu sistem pengetahuan mengenai fungsi hutan sebagai penyeimbang
ekosistem. Bahkan uraian di atas memperlihatkan empat elemen kearifan
lingkungan, yaitu sistem nilai (value system), pengetahuan (knowledge),
teknologi (technology), dan lembaga adat (institution).
Masyarakat Kajang dalam mengelola sumber daya hutan tidak
terlepas dari kepercayaannya terhadap ajaran pasang. Masyarakat Kajang memahami
bahwa dunia yang diciptakan oleh Turie’ A’ra’na beserta isinya haruslah dijaga
keseimbangannya, terutama hutan. Karenanya hutan harus dipelihara dengan baik
dan mendapat perlakuan khusus bagi penghuninya serta tidak boleh merusaknya.
Salah satu pasal dari pesan tersebut berbunyi: “Anjo
boronga anre nakkulle nipanraki. Punna nipanraki boronga, nupanraki kalennu”
artinya (Hutan tidak boleh dirusak. Jika engkau merusaknya, maka sama halnya
engkau merusak dirimu sendiri). Selain itu, kita juga bisa melihat pasal lain
yang berbunyi: “Anjo natahang ri boronga karana pasang. Rettopi tanayya
rettoi ada” artinya (Hutan bisa lestari karena dijaga oleh adat. Bila bumi
hancur, maka hancur pula adat). Ammatoa selaku pemimpin adat membagi hutan
menjadi 3 bagian, yaitu:
1.
Borong Karamaka (Hutan Keramat), yaitu kawasan
hutan yang terlarang untuk semua jenis kegiatan, terkecuali kegiatan atau
acara - acara ritual. Tidak boleh ada penebangan, pengukuran luas, penanaman
pohon, ataupun kunjungan selain pengecualian di atas, termasuk larangan
mengganggu flora dan fauna yang terdapat di dalamnya. Adanya keyakinan bahwa
hutan ini adalah tempat kediaman leluhur (Pammantanganna singkamma Tau
Riolonta), menjadikan hutan ini begitu dilindungi oleh masyarakatnya. Hal
ini diungkapkan secara jelas dalam sebuah Pasang, yaitu:
Talakullei
nisambei kajua,
Iyato’ Minjo Kaju Timboa.
Talakullei Nitambai Nanikurangi
Borong Karamaka.
Kasipalli Tauwa A’lamung - Lamung Ri Boronga,
Nasaba’ Se’re Wattu La Rie’ Tau Angngakui Bate Lamunna
Kasipalli Tauwa A’lamung - Lamung Ri Boronga,
Nasaba’ Se’re Wattu La Rie’ Tau Angngakui Bate Lamunna
Artinya
:
Tidak Bisa Diganti Kayunya,
Kayu Itu Saja Yang Tumbuh
Hutan Keramat Itu Tidak bisa ditambah atau dikurangi.
Orang dilarang menanam di dalam hutan
Sebab Suatu Waktu Akan Ada Orang Yang Mengakui Bekas Tanamannya.
Kayu Itu Saja Yang Tumbuh
Hutan Keramat Itu Tidak bisa ditambah atau dikurangi.
Orang dilarang menanam di dalam hutan
Sebab Suatu Waktu Akan Ada Orang Yang Mengakui Bekas Tanamannya.
Hutan keramat ini adalah hutan primer yang tidak pernah
diganggu oleh komunitas Amma Toa. Jenis pelanggaran berat dalam hutan keramat
itu, antara lain: Ta’bang Kaju (menebang kayu), Rao Doang
(mengambil udang), Tatta’ Uhe (mengambil rotan), dan Tunu Bani (membakar
lebah). Ada dua jenis hutan adat (Borong Karama’) yang terdapat di dalam
kawasan ini antara lain Borong Ilau’ dan Borong Iraja. Dan hanya orang -
orang tertentu saja yang boleh memasuki kawasan hutan adat tersebut. Konon
katanya, hutan tersebut dikelilingi mantra sakti. Oleh karena itu, barang siapa
yang memasuki hutan tersebut dengan niat buruk maka dia akan mendapatkan
ganjaran yang setimpal. Bahkan apabila pelakunya adalah warga adat Kajang
Ammatoa sendiri, maka akan disidang dan diberi sanksi sesuai pelanggarannya.
Bisa saja orang tersebut tidak diperbolehkan lagi untuk tinggal di kawasan adat
Kajang Ammatoa.
Dan apabila terjadi pelanggaran di dalam hutan keramat,
pelanggaran terhadap ketentuan adat ini akan dijatuhi sanksi adat, dalam bentuk
pangkal cambuk atau denda uang dalam jumlah tertentu, sesuai dengan Ada’
Tanayya, sebuah sistem peradilan adat Kajang. Mereka juga memiliki lembaga
adat yang disebut dengan Tau Limayya (organisasi yang beranggotakan lima
orang), dipimpin oleh seseorang yang bergelar ammatowa, yang tugas utamanya
mengatur penebangan pohon, pengambilan rotan, dan pemanenan lebah madu di hutan
adat, serta penangkapan udang.
Pelaku akan dikenakan sanksi yang disebut Poko’ Ba’bala’.
Poko’ Ba’bala’ atau sanksi atas pelanggaran berat merupakan sanksi yang
tertinggi nilai dendanya, yaitu sampulonnua real (12 real) atau 24 ohang. Denda
ini jika dirupiahkan setara dengan Rp. 1.200.000 ditambah dengan sehelai kain
putih dan kayu yang diambil dari hutan keramat harus dikembalikan.
2.
Borong Batasayya (Hutan Perbatasan) merupakan hutan
yang diperbolehkan diambil kayunya sepanjang persediaan kayu masih ada dan
dengan seizin dari Amma Toa selaku pemimpin adat. Jadi keputusan akhir bisa
tidaknya masyarakat mengambil kayu di hutan ini tergantung dari Amma Toa. Kayu
pun yang ada dalam hutan ini hanya diperbolehkan untuk membangun sarana umum,
dan bagi komunitas Amma Toa yang tidak mampu membangun rumah. Selain dari
tujuan itu, tidak akan diizinkan.
Hanya beberapa jenis kayu yang boleh ditebang, yaitu kayu
Asa, Nyatoh dan Pangi. Jumlahnya yang diminta harus sesuai dengan kebutuhannya.
Sehingga tidak jarang, kayu yang diminta akan dikurangi oleh Amma Toa. Kemudian
ukuran kayunya pun ditentukan oleh Amma Toa sendiri.
Syarat yang paling utama adalah ketika ingin menebang pohon,
maka pertama - tama orang yang bersangkutan wajib menanam pohon sebagai
penggantinya. Kalau pohon itu sudah tumbuh dengan baik, maka penebangan pohon
baru bisa dilakukan. Penebangan 1 jenis pohon, maka seseorang harus menanam 2
pohon yang sejenis di lokasi yang telah ditentukan oleh Amma Toa. Penebangan
pohon itu memakai alat tradisional berupa kampak atau parang. Dan kayu yang
habis ditebang harus dikeluarkan dari hutan dengan cara digotong atau dipanggul
dan tidak boleh ditarik karena akan merusak tumbuhan lain yang berada di
sekitarnya.
Pelanggaran di dalam kawasan hutan perbatasan ini, seperti
menebang tanpa seizin Ammatoa atau menebang kayu lebih dari yang diperkenankan,
akan dikenai sanksi. Sanksinya dikenal dengan istilah Tangnga Ba’bala’.
Sanksi ini mendenda pelakunya sebesar Sangantuju real (8 real) atau 12 ohang,
yang setara dengan Rp. 800.000,- ditambah dengan satu gulung kain putih. Selain
itu, dikenal juga sanksi ringan (Cappa’ Ba’bala’), yang dikenakan atas
pelanggaran ringan, seperti kelalaian yang menyebabkan kayu dalam kawasan hutan
mengalami kerusakan/tumbang. Untuk pelanggaran ini dikenakan sanksi berupa
denda sebesar Appa’ real (4 real) atau 8 ohang, setara dengan Rp. 400.000,-
ditambah satu gulung kain putih.
Sanksi terakhir ini dapat juga dijatuhkan kepada orang yang
menebang pohon dari kebun warga masyarakat Amma Toa, yang selanjutnya mengenai
hal ini akan dijelaskan pada bagian di bawah ini.
3.
Borong Luara’ (Hutan Rakyat)
merupakan hutan yang bisa dikelola oleh masyarakat. Meskipun kebanyakan hutan
jenis ini dikuasai oleh rakyat, aturan - aturan adat mengenai pengelolaan hutan
di kawasan ini masih berlaku. Tidak diperbolehkan adanya kesewenang - wenangan
memanfaatkan hutan rakyat ini.
Selain sanksi berupa denda, seperti yang telah dijelaskan di
atas, juga terdapat sanksi berupa hukuman adat. Hukuman adat sangat
mempengaruhi kelestarian hutan karena ia berupa sanksi sosial yang dianggap
oleh komunitas Amma Toa lebih berat dari sanksi denda yang diterima. Sanksi
sosial itu berupa pengucilan. Dan lebih menakutkan lagi karena pengucilan ini
akan berlaku juga bagi seluruh keluarga sampai generasi ke tujuh (tujuh
turunan). Namun sanksi ini merupakan bagian dari Poko’ Ba’bala’.
Selain kepercayaanya, faktor yang berpengaruh untuk menjaga
keseimbangan sumberdaya hutan adalah utuhnya pandangan mereka terhadap asal
mula leluhurnya bahwa manusia berkembang dimulai dari Amma Toa pertama sebagai
Tomanurung dan dunia meluas dimulai dari hutan Tombolo (Tana Toa), dimana
manusia pertama itu (Amma Toa) “turun” di hutan Tombolo. Itulah keyakinan
mereka terhadap leluhurnya yang hingga saat ini masih melekat dipikiran dan
hati sanubari warga masyarakat Kajang.
Pemahaman masyarakat Ammatoa terhadap sumberdaya hutan
sendiri dilandasi oleh prinsip hidup tallasa kamase - masea (kesederhanaan) dan
ajaran pasang sebagai suatu nilai yang dipegang erat. Masyrakat Ammatoa
meyakini, merawat hutan merupakan bagian dari ajaran pasang, karena hutan
memiliki kekuatan gaib yang dapat mensejahterakan, sekaligus mendatangkan
bencana manakala tidak dijaga kelestariannya. Untuk itu mereka senantiasa memelihara
hutan agar terhindar dari mara bahaya yang dapat mengancam kehidupan mereka.
Mereka yakin dan percaya bahwa di sekitarnya terhadap
sesuatu kekuatan “supernatural” yang bagi manusia tidak mampu menghadapinya.
Untuk itu mereka senantiasa mengadakan upacara-upacara di hutan agar terhindar
dari mara bahaya yang dapat mengancam kehidupannya. Dengan modal Pasang
tersebut, masyarakat adat kajang menjadi bukti betapa kuatnya kearifan lokal
masyarakat adat Kajang dalam pengelolaan hutan. ”Dengan Pasang inilah semua
bentuk pemanfaatan dan pengelolaan hutan diatur dengan jelas termasuk menjadi
alat pengawasan serta kontrol atas semua aktivitas yang berhubungan dengan
kehutanan.
Persepsi masyarakat Kajang terhadap alam, bahwa di alam ini
ada kekuatan-kekuatan dan kekuatan - kekuatan itu ada pada benda - benda, pohon
besar dan lain-lain. Kekuatan - kekuatan alam itu ada pada gejala atau
peristiwa alam yang digerakkan oleh dewa-dewa seperti kekuatan - kekuatan yang
ada di hutan.
Selain ajaran Pasang, masyarakat yang kesehariannya serba
berpakian hitam ini, juga memiliki aturan adat yang disebut Patuntung.
Patuntung adalah sebuah aturan adat yang berhubungan dengan upaya - upaya untuk
mempertahankan pengelolaan hutan yang lestari. Hal tersebut tidak terlepas dari
keyakinan masyarakat adat Kajang bahwa hutan adalah merupakan bagian yang tidak
bisa dipisahkan dalam melangsungkan kehidupan mereka. Terbukanya akses dengan
masyarakat luar, Patuntung menjadi sangat penting dalam menjaga kelestarian
ekosistem dan mempertahankan fungsi - fungsi hutan adat Kajang karena disamping
pengaturannya yang terkait dengan pengelolaan hutan, Patuntung juga memiliki
nilai ritual. “Oleh karena itu, perlakuan masyarakat adat Kajang terhadap hutan
tidak semata - mata hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari - hari, tapi untuk
kepentingan menjaga keseimbangan ekosistem dan kepentingan ritualnya.
Pengaruh kehidupan modern, bagi masyarakat adat Kajang juga
memiliki pengetahuan bahwa kayu atau hutan adalah memiliki nilai ekonomi yang
sangat tinggi. Namun mereka masih sangat menghormati dan menjunjung tinggi
peranan hutan sebagai hal yang sangat sakral. Karena itu prilaku keseharian
masyarakat adat Kajang masih diwarnai oleh tindakan yang mementingkan
keseimbangan antara spritual dan ekonomi.
Dalam hutan adat, warga adat dilarang menanam dan memotong
kayu di kawasan hutan adat. Karena diragukan pada suatu saat nanti mereka
menebang pohon karena pohon itu adalah pohon yang ditanamnya di masa lalu.
Masyarakat Ammatoa dalam menjaga hubungannya dengan sumber
daya alam terletak pada pandangannya yang tidak dibenarkan untuk
mengeksploitasi sumber daya alam secara berlebihan, seperti mengelolah tanah
lebih dari satu kali dalam setahun, untuk memperoleh hasil yang lebih banyak.
Etos kerja bagi masyarakat Ammatoa tidak lebih hanya bermotif
"menjaga" yakni mengumpulkan bahan makanan sebanyak mungkin agar
dapat dimanfaatkan pada saat tertentu seperti kegiatan - kegiatan upacara
dengan tidak menguras sumber daya alam.
Butir - butir pasang yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya hutan yang dipegang teguh masyarakat adat Ammatoa : Pasang satu : "Jagai Linoa Lolong Bonena. Kammayya Tompa Langika. Siagang Rupa Taua. Siagang Boronga". Dalam bahasa Indonesia berarti (jagalah dunia beserta isinya, begitu juga langit, manusia dan hutan).
Butir - butir pasang yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya hutan yang dipegang teguh masyarakat adat Ammatoa : Pasang satu : "Jagai Linoa Lolong Bonena. Kammayya Tompa Langika. Siagang Rupa Taua. Siagang Boronga". Dalam bahasa Indonesia berarti (jagalah dunia beserta isinya, begitu juga langit, manusia dan hutan).
Oleh mereka ungkapan ini dipercaya sebagai pesan pertama
dari Turie' A'ra'na (Tuhan YME) kepada Ammatoa (Tau Marioloa),
yang menyatakan bahwa ekositem dunia (Lino) adalah sumber kehidupan yang
menjadi jaminan keberadaan umat manusia di muka bumi. Selanjutnya ada pasang
lain yang mengingatkan akan ketergantungan terhadap sumber daya hutan sebagai
sumber hujan yang demikian besar, sehingga upaya pelestarian adalah amanah yang
harus dijalankan oleh seluruh warga masyarakat Ammatoa.
Pasang ini mengingatkan bahwa kalau terjadi penebangan kayu
di hutan secara terus menerus tanpa ada upaya pemulihan, maka akan mengurangi
hujan dan menghilangkan sumber mata air. Oleh karena itu, menurut pasang adalah
tidak dibenarkan dan apabila terjadi penebangan maka diidentifikasi sebagai
melanggar pasang. Pasang ini secara administratif dijalankan oleh Galla Puto
(lembaga yang khusus menangani hutan.
Sedangkan bagi masyarakat yang membutuhkan kayu di hutan,
pertama harus disampaikan kepada Galla Puto. Kemudian, Galla Puto akan
menyampaikan kepada Ammatoa. Setelah Ammatoa menganalisis kebutuhan masyarakat,
maka selanjutnya diserahkan kepada Galla Lombo'. Galla Lombo' bersama Galla
Puto memeriksa ketersediaan kayu di hutan batasannya (Boronga Batasayya).
Pemanfaatan kayu hanya sebatas membangun rumah, bukan untuk diperdagangkan.
Sebelum menebang satu pohon diwajibkan menanam pohon minimal dua pohon.
Pesan - pesan Suci Dari suci yang dipercaya masyarakat adat
Tanah Toa Kajang, dan diyakini berasal dari Tau Rie’a A’ra’na (Pencipta
Segala Sesuatu, Yang Maha Kekal dan Maha Mengetahui), yang diturunkan kepada
manusia pertama yang disebut Ammatoa
Naparanakkang Juku
Napaloliko Raung Kuju
Nahambangiko Allo
Nabatuiko Ere Bosi
Napalolo Rang Ere Tua
Nakajariangko Tinanang
Napaloliko Raung Kuju
Nahambangiko Allo
Nabatuiko Ere Bosi
Napalolo Rang Ere Tua
Nakajariangko Tinanang
Pesan-pesan itu memiliki arti :
Ikan bersibak
Pohon - pohon bersemi
Matahari bersinar
Hujan turun
Air tuak menetes
Segala tanaman menjadi tumbuh
Pohon - pohon bersemi
Matahari bersinar
Hujan turun
Air tuak menetes
Segala tanaman menjadi tumbuh
Masyarakat yang memiliki pesan-pesan suci untuk berbaur
dengan alam dan menghargai alam. Masyarakat adat yang di banyak bagian negara
ini sering terjepit dan menjadi anak tiri pertiwi. Inilah potret masyarakat
kita, yang tentunya harus dihargai, bukan untuk dirusak.
Kearifan lokal masyarakat Kajang Ammatoa dalam mengelola
hutan sangatlah baik. Tetap terpatri di dalam jiwa mereka untuk selalu menjaga
dan melestarikan hutan karena hutan merupakan kekayaan alam yang dimilikinya
dan merupakan pusat kebudayaan dimana adat Kajang Ammatoa berada. Tidak ada
hasil hutan yang boleh diganggu karena di dalam hutan terdapat kekayaan yang
merupakan penjaga berupa :
1.
Rotan
2.
Kayu
3.
Udang
4.
Lebah
(*Galla
Pantama)
Untuk menjaga kelestarian hutan, maka Ammatoalah yang
berperan dalam menghimbau kepada warganya untuk tidak melakukan penebangan dan perambahan
hasil hutan. Mereka juga menyadari bahwa perambahan hutan merupakan cikal bakal
kerusakan hutan dan pemanasan global.
Ok.. smpai disini dulu yuah zobat… Kalau Zobat mau
berkunjung Langsun Ke TKP silahkan berkomentar di paling bawah tepatnya di
kolom FB..
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !