Keadaan agama dan Bahasa
a.
Agama
Agama yang dianut adalah “Sallang dalam dialek Konjo”
yang artinya Islam. Dan Tuhan yang mereka yakini adalah Turie’a A’ra’na
(Allah SWT).
Menurut Ammatoa, ada 4 rahasia Turie’a A’ra’na,
yaitu :
1.
Leteanng Dalle’ : Titian rejeki.
2.
Bala Tannisanna - sanna : Bencana yang tak disangka-sangka.
3.
Sura’ Nikka : Surat nikah.
4.
Cappa’ Umuru : Ujung usia.
Mereka juga menjalankan shalat 5 waktu seperti dalam Pasang
“ Je’ne Talluka, Sambayang Talatappu”, artinya “Jangan merusak Shalat dan
melunturkan Wudhu”. Masjidnya berada di luar kawasan adat Ammatoa yang
bertempat di dekat pintu gerbang kawasan adat tersebut. Masjid ditempatkan di
luar kawasan adat karena mereka tidak ingin peradaban yang mereka miliki
berbaur dengan peradaban yang lain eperti halnya manusia yang hidup di jaman
modern pada umumnya. Demikian bentuk toleransi yang diberikan masyarakat adat
Kajang dalam kawasan terhadap masyarakat luar kawasan, mesjid yang letaknya
berada dekat pintu gergang kawasan Ammatoa lebih memudahkan masyarakat
Kajang yang berada di dalam kawasan untuk beribadah. Adapun imam dalam kawasan
adat yang disebut Kali yang juga sebagai perangkat tambahan dalam membantu
tugas Ammatoa khusus dalam bidang keagamaan.
Bahkan sudah ada seorang warga kawasan adat Kajang Ammatoa
yang telah menunaikan ibadah haji pada tahun 1990 pada saat A. Lolotonang
menjadi Dirjen Haji di Jakarta yang diberikan secara gratis kepada Puto
Jumali yang merupakan keluarga dari Ammatoa pada saat itu (*Galla
Pantama).
-
Pernikahan
Masyarakat adat Kajang Ammatoa boleh menikah dengan
sesama warga dalam kawasan adat maupun warga yang berada di luar kawasan adat
tersebut dengan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan.
Prosedur pernikahan masyarakat adat Kajang Ammatoa
dimulai dengan acara lamaran oleh wali pihak laki - laki kepada pihak
perempuan, hal itu dikarenakan dalam silsilah keluarga garis keturunan menganut
sistem Patrilinear yang mengikuti darah ayahnya. Dalam acara
lamaran tersebut, wali perempuan menanyakan silsilah keturunan calon mempelai
laki-laki kepada walinya.
Adapun mahar yang berikan berdasarkan sissilah keturunan
yang mempunyai adat tersendiri yaitu : Sunrang Tallu (3 ekor kerbau), Sunrang
Kati (4 ekor kerbau), Sunrang Lima (5 ekor kerbau) dan Sunrang
Tuju (7 ekor kerbau). Dimana Sunrang tadi berarti mahar. Apabila
mahar yang berupa Sunrang beberapa ekor kerbau, maka banyaknya uang
telah terpahamkan oleh pihak laki-laki. Sedangkan mas kawin berupa Lima Tai’
(untuk keluarga keturunan pemangku adat) dan Empat Tai’ (untuk
masyarakat biasa).
Setelah itu, maka ditentukanlah hari resepsi pernikahan.
Rangkaian resepsi pernikahan selama 2 hari 2 malam dengan konsep yang
berlandaskan adat istiadat dan budaya Kajang Ammatoa secara turun-temurun.
Adapun baju adat yang digunakan pada saat pernikahan yaitu Baju Pokki’
(baju pendek). Setelah resepsi pernikahan dan akan nikah berlangsung, maka
kedua mempelai sudah sah menjadi pasngan suami isteri. Hal yang paling penting
untuk mereka jaga adalah “Harus mempertahankan Hak dan Keturunan”.
Mengenai kawin lari, kedua pihak diterima apabila telah
memenuhi persyaratan yang telah disetujui oleh kedua belah pihak dengan tetap
menjadikan adat istiadat sebagai pedoman. Prosesi pernikahan pun sama dengan pernikahan
seperti yang diterangkan di atas yaitu dari lamaran hingga resepsi pernikahan
dan akhirnya sah menjadi pasangan suami isteri.
Adapun simbol bahwa di suatu rumah telah diadakan acara
pernikahan yaitu diikatkannya tanduk kerbau pada tiang dalam rumah mereka.
Berapa pun jumlah tanduk yang diikat, sekian kali pula pada rumah tersebut
telah diadakan pernikahan. (*Galla Pantama).
-
Kematian
Apabila ada keluarga yang meninggal, maka salah seorang
keluarga yang ditinggalkan melaporkan kepada Ammatoa atau kepada Ombo
(isteri Ammatoa) apabila Ammatoa sedang tidak berada di rumah.
Khusus kepada keluarga yang ditinggalkan tidak boleh menangisi kepergiannya.
Adapun kuburannya bersifat tradisional dan menggunakan nisan yang terbuat dari
kayu dengan cara dipahat. Setelah sepeninggalnya , keluarga yang ditinggalkan
mengadakan acara :
1.
Mappilo (meratap apabila ada keluarga yang
meninggal). Akan tetapi jenazah baru boleh ditangisi pada saat setelah
dikuburkan.
2.
Pa’nganro (upacara keselamatan) dilaksanakan
setelah tiga bulan meninggalnya.
3.
Asse’re-se’re/ A’dunga’ (berkumpul-kumpul) dilaksanakan
selama 100 hari meninggalnya.
4.
A’dangang selama 2 hari 2 malam, dilaksanakan
setelah mengadakan Asse’re-se’re/ A’dunga’.
5.
Andingingi yaitu tolak bala dengan meminta
pertolongan kepada Turie’a’ra’na (dilaksanakan setelah A’dangang).
Andingingi juga kerap kali dilakukan pada acara-acara syukuran setelah
musim panen, apabila ada musibah atau wabah penyakit (*Galla Pantama.
Adapun teori Pasang adalah sebagai berikut :
1.
A’bulo Sibatang
2.
A’lemo Sibatu
3.
Tallang Sipahua
4.
Manyu Siparampe
5.
Mate Siroko
6.
Bunting Sipabasa
7.
Amminahang ri Ajang
Dimana
kesemuanya itu bermakna sama yaitu gotong royong dan saling tolong menolong.
Ajaran tallasa kamase-masea juga merupakan sebuah Pasang.
Pasang untuk tidak mengunakan alas kaki. Pasang dalam artian ‘Sederhana’
dalam hal ini tidak menggunakan alas kaki, tidak menggunakan alat
telekomunikasi, tinggal di kawasan adat yang tidak memiliki akses jalan dan
listrik yang memadai, serta hidup dari alam. Sementara anatomi subtil dari
pemahaman kamase-masea tidak dipahami secara maksimal. Pasang
menjadi landasan atau pedoman masyarakat Desa Tana Toa sehingga tercipta
perilaku yang baik adalah “Kitta’ (Kitab) dan Pasang (Pesan)”
Kajang Ammatoa yang memegang prinsip Tallasa Kamase-masea
berbasis Pasang yang menekankan tentang :
1.
Mengekang hawa nafsu
2.
Menaati aturan
3.
Jujur
4.
Tegas
5.
Sabar
6.
Merendahkan diri
7.
Tidak cinta materi
8.
Pasrah kepada Ilahi
Pasang yang paling dijaga oleh masyarakat
adat Kajang Ammatoa yaitu :
Parakai
Lino A’rurung Bonena
Kammaya
Tompa Langika
Siagang
Rupa Taua
Siagang
Boronga
Artinya
:
Peliharalah
bumi beserta isinya
Demikian
pula langit
Demikian
pula manusia
Demikian
pula hutan
b.
Bahasa
Umumnya bahasa yang digunakan adalah bahasa daerah berdialek
Konjo. Karena sebagian besar dari kami tidak mengerti bahasa tersebut,
maka kami agak sedikit susah di dalam menggali informasi, namun itu tidak
menyusutkan semangat kami dalam hal pencarian informasi akan tetapi menjadi
motifasi dalam pengkajian dan pencarian informasi selama di sana. Ada pun Galla
Pantama dan anak dari Ammatoa (Ramlah) yang tahu
berbahasa Indonesia, jadi merekalah yang menerjemahkan apa yang disampaikan
oleh Ammatoa.
tabe berkomentarki di bawah...
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !