Biografi Bung Hatta
Drs. Mohammad Hatta (lahir di Bukittinggi, 12 Agustus 1902 - Jakarta, 14 Maret 1980)atau biasa dipanggil Bung Hatta, menjadi Menteri Luar Negeri pada periode 20 Desember 1949 - 6 September 1950.
Beliau menempuh pendidikannya di ELS (Europese Lagere School) Bukit Tinggi, pada tahun 1916. Kemudian melanjutkan sekolahnya di MULO (Meer UItgebreid Lagere Ondewijs) di kota Padang pada tahun 1919. Setelah lulus dari MULO, Bung Hatta bersekolah di Sekolah Menengah Dagang yang bertempat di Batavia, sekarang bernama Jakarta, pada tahun 1921. Lulus dari Sekolah Menengah Dagang, Beliau meneruskan pendidikannya di Sekolah Tinggi Ekonomi (Handels Hoge School) di Rotterdam, Belanda.
Bung Hatta muda aktif dalam organisasi sejak di MULO, mula-mula dalam perkumpulan sepak bola sekolahnya, kemudian dalam Jong Sumatranen Bond (perkumpulan pemuda) di kota Padang. Keaktifannya dalam berorganisasi diteruskan pada waktu kuliahnya di negeri Belanda, salah satunya beliau pernah menjabat sebagai ketua Perhimpunan Indonesia di Belanda.
Pada tanggal 17 Agustus 1945, beliau memproklamasikan Indonesia Merdeka bersama Ir. Soekarno dan menjabat sebagai Wakil Presiden RI pertama. Beliau aktif dalam memperjuangkan pengakuan kedaulatan Indonesia di luar negeri antara lain memimpin delegasi Indonesia ke Konferensi Meja Bundar di Den Haag , pada bulan Agustus - November 1949 sekaligus menerima penyerahan Kedaulatan RI dari pemerintah Belanda yang diwakili, Ratu Juliana pada tanggal 27 Desember 1949.
Selain aktif dalam bidang politik, Bung Hatta juga aktif dalam bidang ekonomi. Keaktifannya memajukan perekonomian rakyat melalui koperasi membuat beliau dijuluki sebagai "Bapak Koperasi Indonesia".
Bung Hatta meninggal dunia di Jakarta pada tanggal 14 Maret 1980 dan dimakamkan di Pemakaman Umum Tanah Kusir, Jakarta Selatan. Bersama Ir. Soekarno, Bung Hatta diberi gelar sebagai Pahlawan Proklamasi.
Drs. Mohammad Hatta (lahir di Bukittinggi, 12 Agustus 1902 - Jakarta, 14 Maret 1980)atau biasa dipanggil Bung Hatta, menjadi Menteri Luar Negeri pada periode 20 Desember 1949 - 6 September 1950.
Beliau menempuh pendidikannya di ELS (Europese Lagere School) Bukit Tinggi, pada tahun 1916. Kemudian melanjutkan sekolahnya di MULO (Meer UItgebreid Lagere Ondewijs) di kota Padang pada tahun 1919. Setelah lulus dari MULO, Bung Hatta bersekolah di Sekolah Menengah Dagang yang bertempat di Batavia, sekarang bernama Jakarta, pada tahun 1921. Lulus dari Sekolah Menengah Dagang, Beliau meneruskan pendidikannya di Sekolah Tinggi Ekonomi (Handels Hoge School) di Rotterdam, Belanda.
Bung Hatta muda aktif dalam organisasi sejak di MULO, mula-mula dalam perkumpulan sepak bola sekolahnya, kemudian dalam Jong Sumatranen Bond (perkumpulan pemuda) di kota Padang. Keaktifannya dalam berorganisasi diteruskan pada waktu kuliahnya di negeri Belanda, salah satunya beliau pernah menjabat sebagai ketua Perhimpunan Indonesia di Belanda.
Pada tanggal 17 Agustus 1945, beliau memproklamasikan Indonesia Merdeka bersama Ir. Soekarno dan menjabat sebagai Wakil Presiden RI pertama. Beliau aktif dalam memperjuangkan pengakuan kedaulatan Indonesia di luar negeri antara lain memimpin delegasi Indonesia ke Konferensi Meja Bundar di Den Haag , pada bulan Agustus - November 1949 sekaligus menerima penyerahan Kedaulatan RI dari pemerintah Belanda yang diwakili, Ratu Juliana pada tanggal 27 Desember 1949.
Selain aktif dalam bidang politik, Bung Hatta juga aktif dalam bidang ekonomi. Keaktifannya memajukan perekonomian rakyat melalui koperasi membuat beliau dijuluki sebagai "Bapak Koperasi Indonesia".
Bung Hatta meninggal dunia di Jakarta pada tanggal 14 Maret 1980 dan dimakamkan di Pemakaman Umum Tanah Kusir, Jakarta Selatan. Bersama Ir. Soekarno, Bung Hatta diberi gelar sebagai Pahlawan Proklamasi.
BUNG HATTA DI MATA DUNIA
Berikut saya sampaikan kesaksian dari Bung Hatta, bapak
bangsa, dan salah-satu dari Dwi-Proklamator Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia. Kita semua tahu bahwa bung Hatta dikenal sebagai tokoh pemikir, yang tidak pernah emosional dan sangat tajam analisanya.
Saya cuplikan dari buku “Bung Hatta Menjawab”, sebagai berikut :
…Yang penting pertama-tama diketahui adalah tujuan PKI untuk merebut kekuasaan. Dan mereka tahu, bahwa kalau tidak meyakinkan Soekarno dulu, mereka tidak akan mendapat kekuatan. Ini prinsip pokok PKI waktu itu berdasar
pengetahuan kita dari sejarah komunis di dunia, sejarah PKI di
Indonesia, dan feeling berdasar kesadaran kita tentang keadaan
masyarakat dan tingkat perkembangannya waktu itu. Kampanye PKI
akan memilih Soekarno jadi Presiden kalau ia menang dalam Pemilihan
Umum tahun 1955, membantu dengan “gigih” gerakan untuk merebut Irian
Barat dengan kekerasan (Trikora) dan gerakan Ganyanhg Malaysia
(Dwikora), semuanya adalah gerakan yang kita sudah tahu ke arah mana geraknya.
Karena itu kita tak heran kalau Aidit sampai mengusulkan dibentuknya
Angkatan ke-5, disamping Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara
dan Kepolisian, yang dipersenjatai dan dianjurkannya agar terdiri dari
para petani dan kaum buruh. Semua itu tentu adalah persiapan ke Lobang Buaya,
tempat penyembelihan dan pembunuhan yang ngeri dan di luar
perikemanusiaan atas pemimpin-pemimpin Angkatan Darat. Jelas sekali hal
ini menurut pola RRC, suatu hal yang sisa-sisa pikiran itu
masih nampak dalam pola-pola Tri Panji dan Perjuta-nya sisa-sisa PKI
latent yang nampak dari pemberontakan-pemberontakan Blitar (Jawa Timur) dan PKS/Paraku di Kalimantan Barat. Untunglah waktu itu belum sampai terbentuk Angkatan ke-5 itu. Tetapi usaha-usaha Aidit ke arah perebutan kekuasaan makin hebat sejak awal tahun 1965. Apa
saja digunakan nya sebaik-baiknya. Saya ingat sekali, waktu PNI
mengadakan kongres tahun 1965, tak lama sesudah itu PKI mengadakan Hari
Ulang Tahun (HUT) pula. Semua pigura dan hiasan untuk Kongres PNI terus
saja dipakai PKI untuk HUT nya. Pohon-pohon kayu, tembok-tembok,
rumah-rumah orang, kantor-kantor, habis dicoreti gambar-gambar
palu-arit. Hal ini mengingatkan kembali kepada cara-cara PKI di Delanggu waktu RI di Yogya dulu. Saya sudah merasa, kalau PKI menang, Soekarno malah akan disingkirkannya, bukannya diangkat. Bagi
tiap orang yang tidak buta hati, pasti akan arif dia, ke mana suasana
sedang berkembang dan apa yang suatu waktu pasti akan meledak dan akan
mengagetkan serta membukakan mata setiap orang…. (Hal 60-61)
… Waktu itu yang saya lihat, bahwa satu-satunya yang sanggup menghadapi PKI hanya tentara, Angkatan Darat yang dipimpin oleh Jendral Yani… (Hal 61)
…
Saya mendengar pertama-tama berita penculikan dan pembunuhan pimpinan
Angkatan Darat dari Simatupang, pagi tanggal 1 Oktober 1965 dan
bahwasanya Nasution lolos dengan lari melompati pagar pekarang belakang
rumahnya dan bersembunyi di balik sebuah pohon di sana, serta berita
bahwa anaknya yang bernama Ade Irma Suryani terbunuh. Waktu Wangsa
Widjaja, Sekretaris saya datang, saya suruh mencek lagi mengenai berita
itu. Kabar selanjutnya mengatakan bahwa Nasution setelah keluar dari
persembunyiannya terus pergi ke Kostrad. Didapainya Soeharto sudah
mengambil tindakan. Mula-mula Untung menguasai RRI, kemudian terdengar
pidatonya dan pengumuman mengeani Dewan Revolusi dan sebagainya. Tetapi
malamnya terdengarlah pidato Soeharto, selaku Panglima Kostrad, setelah
ia merebut RRI kembali serta menguasai keadaan seperti semula. Reaksi batin saya pertama-tama mendenga itu, ialah bahwa in pasti PKI lagi…… (Hal 74)
….Dari pihak Islam reaksi itu amat kuat, terutama mereka yang selama ini merasa tertekan…
….. Setelah orang-orang Islam tahu bahwa
PKI mengadakan kup, tentara telah bertindak di bawah pimpinan
Soeharto, maka rakyat pun ikut bergerak dan bertindak membantu tentara sampai hampir sukar untuk dikendalikan… (Hal 75)
….
Tindakan rakyat yang selama ini tertekan dan kemudian membalas tidak
tanggung-tanggung, menunjukkan bahwa perkiraan Aidit itu tidak benar.
Rakyat dulu yang dia kira di belakangnya, ternyata tidak sebanyak yang diperkirakannya. Hal itu disebabkan karena cara-cara Aidit selama ini ang didasarkan kepada pengerahan-pengerahan massa berbondong-bondong, disertai agitasi dan terror mental,
sehingga banya orang hanya ikut-ikutan untuk mengamankan dirinya saja.
Itulah akibat dari kenyataan, bahwa faktor pendidikan dan keinsyafan
tidak didahulukannya, bahkan diabaikannya, dibandingkan dengan
gerakan-gerakan agitasi dan pengerahan-pengerahan secarai beramai-ramai.
Jadi prinsip-prinsip yang dianutnya itu belum berakar dan belum
dimengerti orang banyak….(Hal 76)
…. Mestinya kader yang
betul mengerti dan insaf dibina lebih dulu oleh PKI sehingga mencapai
jumlah yang cukup besar untu mendukung massa yang dikerahkan itu barulah
cukup kuat. Tetapi mereka telah merasa kuat dan bangga dengan massa
ramai-ramai dan selogan-selogan serta tempik sorak di lapangan
rapat-rapat terbuka yang sering dibikin seperti keranjingan. Tapi
semuanya tanpa akar yang tertanam kuat dalam masyarakat. Jadi
kalau dalam rapat-rapat umum dan pidato-pidato yang hebat, nampaknya
rakyat setuju semua. Tetapi di luar itu rakyat sebenarnya jengkel. Ini kurang diketahui oleh PKI…(hal 76-77)
Perjuangan Bung Hatta
tidak mungkin kita lupakan begitu saja, karena memiliki nilai sejarah
yang sangat berarti bagi negara dan bangsa Indonesia.
Beliau adalah figur yang sedikit bicara tetapi lebih banyak berbuat.
Oleh karena itu, Bung Hatta tidak hanya disegani oleh rakyat Indonesia,
tetapi juga oleh bangsa lain, terutama dalam era perjuangan kemerdekaan.
Bahkan beliau lebih disegani dan dikagumi karena kemampuannya
menggalang masyakat internasional dengan menguasai bahasa asing, seperti
bahasa Belanda, Inggris, Perancis, dan Jerman. Bung Hatta selain Wakil
Presiden RI pertama, beliau pernah menyamar sebagai co-pilot ke
India untuk bertemu dengan Gandhi dan Jawaharlal Nehru. Sebagai seorang
pejuang kemerdekaan, Bung Hatta mengalami penangkapan dan pembuangan
oleh pemerintah Belanda, antara lain ke Tanah Merah, Digul, ke Banda
Neira, kemudian ke Sukabumi, sebelum Belanda menyerah kepada Jepang
tahun 1942.
Pada dasarnya, penangkapan dan pembuangan Bung Hatta disebabkan oleh penolakannya atas bujukan Belanda untuk bekerja sama. Bung Hatta dikenal sebagai seorang yang sangat memegang teguh kedisiplinan, kesederhanaan, keimanan, dan ketakwaan yang tinggi kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, rasa kasih dan tidak kasar, bersih serta jujur, dan selalu berorientasi pada rakyat kecil dan lemah.
Pada dasarnya, penangkapan dan pembuangan Bung Hatta disebabkan oleh penolakannya atas bujukan Belanda untuk bekerja sama. Bung Hatta dikenal sebagai seorang yang sangat memegang teguh kedisiplinan, kesederhanaan, keimanan, dan ketakwaan yang tinggi kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, rasa kasih dan tidak kasar, bersih serta jujur, dan selalu berorientasi pada rakyat kecil dan lemah.
Beliau sangat suka membaca, rajin membeli buku, punya jadwal khusus
untuk membaca dan menulis di perpustakaan pribadi sehingga pada akhirnya
beliau meninggalkan puluhan ribu buku milik pribadi dan berbagai
tulisan yang tersebar di dalam maupun di luar negeri.
Berikut sepenggal kisah Bung Hatta tentang disiplin yang dikutip dari Seri Dimata
(Pribadi Manusia Hatta)
Membagi Disiplin Masyarakat
Bung Hatta dari kecil hidup sangat rapi dan teratur.
Segalanya diatur dengan rapi, begitu juga uang jajan sehari-hari yang
diperolehnya. Uangnya disusun begitu rupa, di atas meja tulis beliau,
agar nantinya kalau sudah cukup dimasukkan ke Postpaarbank (bank tabungan pos). Menurut beliau, dari uang itulah ia bisa membeli buku-buku untuk meneruskan sekolahnya.
Bila ada yang menukar susunan uang itu, maka beliau
pasti tahu. Begitu juga dengan barang-barang lainnya. Beliau tidak mau
acak-acakan.
Menyoal kedisiplinan, menurut beliau dalam masyarakat
ada tiga golongan. Pertama, golongan yang berdisiplin dan teratur.
Kedua, golongan yang acak-acakan dan mengikuti angin. Ketiga, golongan
yang sama sekali tidak mau berdisiplin atau bernorma.
Jadi, kita harus menempatkan tiap-tiap orang dalam
golongan yang mana, agar kita dengan dada lega menghadapi tiap-tiap
golongan mereka itu.
Bung Hatta dan Koperasi
Perhatian beliau yang dalam terhadap penderitaan rakyat kecil
mendorongnya untuk mempelopori Gerakan Koperasi yang pada prinsipnya
bertujuan memperbaiki nasib golongan miskin dan kelompok ekonomi lemah.
Karena itu Bung Hatta diangkat menjadi Bapak Koperasi Indonesia. Gelar
ini diberikan pada saat Kongres Koperasi Indonesia di Bandung pada
tanggal 17 Juli 1953.
Koperasi sebagai suatu sistem ekonomi, mempunyai kedudukan (politik)
yang cukup kuat karena memiliki dasar konstitusional, yaitu berpegang
pada Pasal 33 UUD 1945, khususnya Ayat 1 yang menyebutkan bahwa:
Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas
kekeluargaan. Dalam Penjelasan UUD 1945 itu dikatakan bahwa bangun usaha
yang paling cocok dengan asas kekeluargaan itu adalah koperasi.
Tafsiran itu sering dikemukakan oleh Bung Hatta, yang sering disebut
sebagai perumus pasal tersebut.
Ketertarikannya kepada sistem koperasi agaknya adalah karena pengaruh
kunjungannya ke negara-negara Skandinavia, khususnya Denmark, pada
akhir tahun 1930-an. Bagi Bung Hatta, koperasi bukanlah sebuah lembaga
yang antipasar atau nonpasar dalam masyarakat tradisional. Koperasi,
baginya adalah sebuah lembaga self-help lapisan masyarakat yang
lemah atau rakyat kecil untuk bisa mengendalikan pasar. Karena itu
koperasi harus bisa bekerja dalam sistem pasar, dengan cara menerapkan
prinsip efisiensi.
Koperasi juga bukan sebuah komunitas tertutup, tetapi terbuka, dengan
melayani non-anggota, walaupun dengan maksud untuk menarik mereka
menjadi anggota koperasi, setelah merasakan manfaat berhubungan dengan
koperasi. Dengan cara itulah sistem koperasi akan mentransformasikan
sistem ekonomi kapitalis yang tidak ramah terhadap pelaku ekonomi kecil
melalui persaingan bebas (kompetisi), menjadi sistem yang lebih
bersandar kepada kerja sama atau koperasi, tanpa menghancurkan pasar
yang kompetitif itu sendiri.
Di Indonesia, Bung Hatta sendiri menganjurkan didirikannya 3 macam
koperasi. Pertama, adalah koperasi konsumsi yang terutama melayani
kebutuhan kaum buruh dan pegawai. Kedua, adalah koperasi produksi yang
merupakan wadah kaum petani (termasuk peternak atau nelayan). Ketiga,
adalah koperasi kredit yang melayani pedagang kecil dan pengusaha kecil
guna memenuhi kebutuhan modal.
Bung Hatta juga menganjurkan pengorganisasian industri kecil dan
koperasi produksi, guna memenuhi kebutuhan bahan baku dan pemasaran
hasil. Menurut Bung Hatta, tujuan koperasi bukanlah mencari laba yang
sebesar-besarnya, melainkan melayani kebutuhan bersama dan wadah
partisipasi pelaku ekonomi skala kecil. Tapi, ini tidak berarti, bahwa
koperasi itu identik dengan usaha skala kecil.
Di tahun 1950-an, ketika Bung Hatta masih menjabat sebagai wakil
presiden Republik Indonesia, keteguhan prinsipnya kembali tercermin
dalam kehidupan keluarga. Pada saat sekarang, mungkin saja peristiwa
yang saya alami itu dapat direnungkan kembali.
Pada suatu waktu, uang Republik Indonesia (ORI) mengalami pemotongan.
Seperti halnya para ibu rumah tangga lainnya, di masa itu saya sedang
menabung karena saya berniat untuk membeli sebuah mesin jahit. Tentu
dapat dibayangkan betapa kecewanya hati saya saat itu. Ketika Bung Hatta
pulang dari kantor, saya mengeluh,
“Aduh, Ayah …! Mengapa tidak bilang terlebih dahulu, bahwa akan
diadakan pemotongan uang ? Yaaa, uang tabungan kita tidak ada gunanya
lagi! Untuk membeli mesin jahit sudah tidak bisa lagi, tidak ada
harganya lagi.”
Keluhan wanita mungkin mempunyai alasan tersendiri. Tetapi seorang pejabat negara seperti Bung Hatta menjawab,
“Yuke, seandainya Kak Hatta mengatakan terkebih dahulu kepadamu,
nanti pasti hal itu akan disampaikan kepada ibumu. Lalu kalian berdua
akan mempersiapkan diri, dan mungkin akan memberi tahu kawan-kawan dekat
lainnya. Itu tidak baik! Kepentingan negara tidak ada sangkut-pautnya
dengan usaha memupuk kepentingan keluarga. Rahasia negara adalah tetap
rahasia. Sunggguhpun saya bisa percaya kepadamu, tetapi rahasia ini
tidak patut dibocorkan kepada siapapun. Biarlah kita rugi sedikit, demi
kepentingan seluruh negara. Kita coba menabung lagi, ya?”
Akhirnya sebagai seorang istri saya sepenuhnya dapat memahami prinsip
suami saya itu. Berkat pengalaman hidup bersama bertahun-tahun,
keyakinan saya terhadap prinsip Bung Hatta makin besar pula. Prinsip itu
juga yang menyadarkan saya, agar saya tidak perlu menghalangi sikapnya
ketika Bung Hatta berniat untuk meletakkan jabatannya sebagai wakil
presiden Republik Indonesia.
Ny Rahmi Hatta, Pribadi Manusia Hatta, Seri 2, Yayasan Hatta, Juli 2002
SUMBER; Dikutip dari beberapa sumber .
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !