BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar belakang
Sangat boleh jadi, selama ini kita sudah akrab mengonsumsi bahan pangan produk tanaman transgenik ini. Sebut saja tempe atau tahu. Maklum karena kedelai yang kita manfaatkan sebagai bahan baku tahu atau tempe ini banyak kita impor dari AS -- notabene memanfaatkan benih kedelai transgenik. Tapi kenyataan itu seolah tak kita sadari. Atau mungkin kita abaikan. Dalam riuh-rendah pro-kontra tentang tanaman transgenik di Indonesia ini, kenyataan itu nyaris tak pernah menjadi sorotan. Berbagai kalangan yang bersikap antitransgenik, khususnya, lebih memokuskan perhatian pada kemungkinan kita memanfaatkan tanaman produk rekayasa genetika dalam kegiatan budidaya pertanian. Mungkin itu bisa terjadi karena sikap mereka yang kontra terhadap transgenik di Indonesia ini lebih mengikuti arus serupa yang berkembang di negara-negara maju.
Tak heran jika berbagai argumentasi yang mereka ajukan pun terkesan acap tidak berpijak pada rasionalitas ilmiah sesuai hasil pengujian mereka sendiri, melainkan cenderung bersandar pada wacana kontra transgenik yang berkembang di negara-negara lain. Tak jarang argumentasi tentang sikap antitransgenik ini terkesan tendensius dan mengada-ada. Kapas transgenik, misalnya, entah atas dasar apa, sampai mereka dengungkan bisa mengakibatkan penyakit raja singa segala. Sementara itu, wacana antitransgenik di luar negeri sendiri notabene kerap menjadi acuan berbagai pihak yang kontra terhadap tanaman transgenik di Indonesia tidak selalu benar-benar obyektif menurut takaran ilmiah. Berbagai argumentasi yang mengemuka terkesan cenderung bersifat emosional ketimbang rasional-ilmiah, dan karena itu jelas lebih mencerminkan kekhawatiran yang berlebihan. Bahkan kampanye yang dilakukan lembaga sekaliber Greenpeace di AS, misalnya, menurut Ketil Haarstad -- peneliti di Norwegian Center for Soil and Enviromental Research -- lebih berbau propaganda antitransgenik ketimbang fakta bahwa tanaman hasil rekayasa genetika berbahaya bagi lingkungan maupun kesehatan.
Berdasarkan uraian diatas maka perlu adanya diadakan diskusi tentang hal-hal yang bisa saja mengenai pro-kontra yang bisa saja ditimbulkan oleh tanaman transgenik ini.
I.2 Tujuan dan Kegunaan
Adapun tujuan diadakannya perampungan makalah biotekhnologi ini khususnya membahas tentang kontra transgenik (rekayasa genetika). Ialah, sekiranya dapat dijadikan sebagai bahan belajar dalam mengetahuai dan mempelajari risiko yang dapat saja ditimbulkan oleh tanaman yang termasuk dalam Agrotransgenik.
Adapun kegunaan dipelajarinya transgenik ini ialah, mahasiswa diharapkan mampu menjadi agen penyalur kesehatan yang berguna bagi masyarakat khususnya masyarakat tentang pro-kontra tanaman transgenik, serta dampak yang ditimbulkan tanaman transgenik.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Dengan perkembangan ilmu pengetahuan, terutama pengetahuan tentang genetika dan biologi perkembangan, manusia telah mampu memasukkan atau meningkatkan sifat-sifat tertentu pada sel atau virus melalui modifikasi DNA, untuk menghasilkan produk yang bermanfaat bagi manusia. Tindakan ini disebut dengan rekayasa genetika. Namun sebagaimana istilah-istilah lainnya, istilah rekayasa genetika pun bisa diartikan macam-macam. Kadang-kadang rekayasa genetika diartikan dengan bioteknologi, sehingga orang yang anti terhadap rekayasa genetika mungkin membuat tulisan semacam ini, "Bioteknologi, Imperialisme Modal dan Kejahatan Globalisasi" dan sebagian besar tulisannya adalah mengenai rekayasa genetika. Padahal bioteknologi bukan hanya mencakup rekayasa genetika karena termasuk kultur jaringan, produksi enzim dan lain-lain. Bahkan membuat keju atau yoghurt pun sering diartikan sebagai bioteknologi. Ada pula yang mengartikan rekayasa genetika ini sebagai modifikasi genetik makhluk hidup. (Anonim, 2011)
Sejarah penemuan tanaman transgenik dimulai pada tahun 1977 ketika bakteri Agrobacterium tumefaciens diketahui dapat mentransfer DNA atau gen yang dimilikinya ke dalam tanaman.[6] Pada tahun 1983, tanaman transgenik pertama, yaitu bunga matahari yang disisipi gen dari buncis (Phaseolus vulgaris) telah berhasil dikembangkan oleh manusia.[8][6] Sejak saat itu, pengembangan tanaman transgenik untuk kebutuhan komersial dan peningkatan tanaman terus dilakukan manusia.[9] Tanaman transgenik pertama yang berhasil diproduksi dan dipasarkan adalah jagung dan kedelai.[9] Keduanya diluncurkan pertama kali di Amerika Serikat pada tahun 1996.[9] Pada tahun 2004, lebih dari 80 juta hektar tanah pertanian di dunia telah ditanami dengan tanaman transgenik dan 56% kedelai di dunia merupakan kedelai transgenik
Kontroversi tentang benih dan produk tanaman hasil rekayasa bioteknologi (transgenik) tak kunjung reda. Pro-kontra terus berlangsung. Bahkan, seiring perkembangan transgenik yang terus melaju pasti, pro-kontra ini semakin seru. Kedua belah pihak terus bersikukuh pada teori maupun fakta dan argumentasi masing-masing. Titik temu pandangan kedua pihak, sejauh ini, sama sekali belum terlihat. Bagi pihak yang bersikap pro, transgenik adalah terobosan meyakinkan yang memungkinkan budidaya tanaman lebih efisien, murah, produktif, serta menghasilkan produk yang kualitatif jauh lebih baik. Sementara kelompok yang bersikap kontra, dengan nada yang kerap tendensius dan lebih berpijak pada asumsi ketimbang fakta, berpendirian bahwa transgenik potensial melahirkan masalah serius menyangkut keseimbangan lingkungan maupun kesehatan manusia.
Di Indonesia sendiri, kontroversi tentang transgenik ini tak terkecuali berlangsung ramai. Seperti juga di tingkat internasional, perdebatan seru dan melelahkan ini belum terlihat menuju titik akhir. Boleh jadi, kontroversi ini memang tak akan pernah berakhir. Justru itu, menjadi pertanyaan menggelitik: bagaimanakah kita terutama kalangan pengambil kebijakan harus bersikap terhadap transgenik ini? Haruskah kita malah ikut larut dalam perdebatan tiada akhir? Padahal perkembangan transgenik sendiri, seolah tak hirau oleh kontroversi yang terus berlangsung, kian melaju kencang menawarkan terobosan-terobosan menakjubkan di bidang pertanian secara umum. Kenyataan itu sungguh mengusik, karena kita berhadapan dengan problem pembangunan pertanian dalam arti luas yang sungguh merisaukan. Untuk sejumlah komoditas, produksi pertanian kita bahkan belum mampu memenuhi kebutuhan di dalam negeri. Selebihnya, secara keseluruhan, daya saing produk-produk pertanian kita tampaknya belum bisa diandalkan mampu bersaing dalam era perdagangan bebas yang tak lama lagi menjelang. Jadi, sekali lagi, bagimanakah kita harus bersikap terhadap perkembangan dan manfaat transgenik yang terus disaput pro-kontra ini? Sebagai produk yang menawarkan terobosan kuantitatif maupun kualitatif di bidang pertanian dalam arti luas, transgenik memang sangat menakjubkan.
Tak terkecuali bagi badan-badan dunia yang bertali-temali dengan masalah kependudukan, kesehatan, atau masalah pangan. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) ataupun Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO), misalnya, bahkan tegas-tegas mendukung penerapan dan pengembangan transgenik ini. Sikap itu tak sulit dipahami. Maklum, karena bagi lembaga semacam FAO, kondisi obyektif dunia di bidang pangan saat ini sungguh mengkhawatirkan. Itu terkait dengan laju pertumbuhan penduduk yang terus melaju kencang dan menuntut ketersediaan pangan. Menurut perkiraan PBB, penduduk dunia dewasa ini mencapai sekitar 6 miliar jiwa. Itu dua kali lipat dibanding kondisi 50 tahun silam. Lalu, dalam tempo setengah abad mendatang, jumlah penduduk dunia ini diperkirakan berlipat menjadi sekitar 9 miliar jiwa. Itu berarti, produksi pangan harus meningkat pula dan mesti mampu mencukup kebutuhan konsumsi. Untuk itu, jika berpijak pada teknologi konvensional, luas lahan pertanian jelas harus terus ditambah. Tapi, soalnya, lahan bagi budidaya pertanian kian hari kian terbatas. Karena desakan kebutuhan ruang bagi kepentingan pemukiman dan industri, areal baru pertanian semakin cenderung sulit dihamparkan. Bahkan areal pertanian produktif yang sudah tergelar pun tak jarang tergerogoti oleh pembangunan perumahan dan industri.
Dalam situasi seperti itu, transgenik serta-merta terasa menjadi solusi. Tanaman transgenik mampu meningkatkan hasil panen berkali lipat tanpa harus menambah areal tanaman. Hasil panen tanaman kapas transgenik yang mulai dikembangkan secara terbatas di tujuh kebupaten di Sulsel, misalnya, rata-rata mencapai 1 ton hingga 1,5 ton kapas per hektar. Sementara kapas varietas lokal, Kanesia, hanya menghasilkan 700-an kilogram per hektar. Bagi Indonesia, kenyataan itu menunjukkan bahwa pengembangan kapas transgenik bisa menjadi alternatif strategis guna memacu produksi kapas dalam negeri. Ini sungguh relevan karena dalam rangka menekan impor kapas yang sangat dibutuhkan industri tekstil di dalam negeri. Impor kapas ini mencapai sekitar 98 persen kebutuhan bahan baku industri tekstil. Sementara produksi kapas di dalam negeri sendiri baru sekitar 1 persen. Kenyataan itu makin terasa riskan, karena kebutuhan industri tekstil akan bahan baku kapas ini cenderung semakin meningkat. Pada 1990, misalnya, kebutuhan tersebut baru sekitar 347 ribu metrik ton. Tapi pada 1999, angka itu naik menjadi 410,6 ribu metrik ton. Bahkan pada 1995 mencapai 484 ribu metrik ton.
Itu bukan sekadar strategis dalam rangka mencapai swasembada kapas, melainkan juga karena tanaman transgenik sebagaimana tercermin dalam hasil uji-coba pertama di Sulsel mampu meningkatkan pendapatan petani secara signifikan. Peningkatan pendapatan ini bukan hanya dimungkinkan oleh tingkat produktivitas tanaman yang sangat mengesankan, melainkan juga karena ongkos produksi yang dikeluarkan petani dapat ditekan dalam hitungan amat meyakinkan. Pemakaian pestisida kimia, dalam konteks ini, amat sedikit. Maklum karena tanaman transgenik tahan serangan hama tanpa membunuh serangga lain. Atas dasar itu pula, bagi kalangan yang bersikap pro, tanaman transgenik sebenarnya ramah lingkungan. Di sisi lain, kualitas produk tanaman hasil rekayasa genetika ini juga jauh lebih baik. Buah pepaya Hawai, misalnya, selain tak cepat peot, juga memiliki rasa lebih manis dan harum dibanding buah pepaya liar atau alami. Begitu pula padi emas (golden rice) yang dikembangkan peneliti Swis, Ingar Potrykus: lebih pulen, wangi, serta mengandung provitamin A yang sangat bermanfaat mencegah kebutaan yang pekat membayangi penduduk miskin di negara-negara berkembang.
Menyadari kelebihan-kelebihan seperti itu pula, sejumlah negara sejak jauh-jauh hari menerapkan transgenik dalam kegiatan produksi pertanian mereka. Hingga pada tahun 2000, negara-negara yang telah memanfaatkan transgenik dalam kegiatan pertanian ini adalah AS, Argentina, China, Kanada, Afsel, Australia, Rumania, Meksiko, Bulgaria, Spanyol, Jerman, Prancis, serta Uruguay. Apa yang dilakukan negara-negara itu bukan lagi sekadar coba-coba seperti dalam konteks pengembangan kapas Bollgard di Indonesia sekarang ini. Mereka telah menerapkan transgenik dalam hamparan pertanian yang terbilang masif.
Reaksi yang ditimbulkan masyarakat terhadap rekayasa genetika ada bermacam-macam, baik pro-kontra maupun tidak peduli. Untuk masyarakat awam, mereka tidak peduli apakah makanan yang dimakanannya produk transgenik apa tidak, asal menguntungkan, murah, dan isinya kurang lebih sama dengan produk yang bukan transgenik. Contohnya adalah kedelai. Negara kita mengimpor kedelai transgenik dari amerika yang harganya cukup ekonomis di pasar, sehingga dijadikan bahan baku tempe dan tahu yang dikonsumsi sehari-hari. Dan juga dari buah-buahan impor di supermarket, boleh jadi ada diantaranya yang merupakan produk transgenik namun tidak diberi informasi mengenainya.
Berikut ini adalah pandangan orang yang kontra mengenai produk transgenik dan opini saya mengenainya :
1) Rekayasa genetika adalah perbuatan tercela, tidak alamiah karena hanya Tuhan yang berhak mengutak-atik gen!
Opini : Apabila dikatakan perbuatan tercela, kenapa tidak diprotes dari dulu? Sebelum teknologi transgenik ada, orang sudah melakukan berbagai kawin silang utnuk membentuk hibrida. Hasil pertanian yang kita makan adalah adalah benih hibrida hasil pemuliaan. Maka sebenarnya virus-virus dan bakteri tanah pun melakukan pemindahan gen dari satu spesies ke spesies yang lain. Dan kalau mutasi terjadi pada sel kelamin, bisa diturunkan. Namun mereka melakukannya secara sembarangan tentu saja.
2) Rekayasa genetika menghasilkan kondisi yang tidak bisa dipastikan, dan oleh karena itu membahayakan.
Dalam kenyataannya hasil kawin silang juga menghasilkan kondisi yang tidak dipastikan, dan seringkali hasilnya aneh-aneh juga. Dalam rekayasa genetika, setidaknya orang tahu gen apa yang dirubah atau dimasukkan, dan apa saja efek yang dapat diperkirakannya. Sedangkan dalam kawin silang, sulit diramal ekspresi fenotip yang bakal terjadi dari penggabungan alel yang tidak lazim.
3) Rekayasa genetika menghasilkan produk yang membahayakan bagi kesehatan dan lingkungan, dan sudah ada buktinya. Sebenarnya produk rekayasa genetika itu ada sangat banyak dan bila ada beberapa kasus yang benar terjadi, maka tidak mungkin menyama ratakan semuanya. Bahkan ada produk rekayasa genetika yang ditujukan untuk kesehatan seperti produksi gula sehat untuk diabetes dan vaksin yang bisa dimakan. Juga dengan teknologi penghasil insektisida biologis, orang akan mengurangi pengunaan pestisida kimiawi yang berbahaya bagi konsumen dan lingkungan. Bahkan makanan alamiah pun bila dikonsumsi oleh orang yang tidak tepat, bisa menyebabkan alergi, keracunan dan penyakit.
4) Rekayasa genetika adalah imperialisme modal dan kejahatan globalisasi.
Sebenarnya kalau orang mau melakukan imperialisme modal dan kejahatan globalisasi, bukan hanya rekayasa genetika saja yang bisa digunakan, apapun bisa digunakan seperti penjualan produk yang membahayakan kesehatan namun enak, pembuatan regulasi yang menyebabkan ketergantungan konsumen terhadap produk-produk tertentu dan lain-lain. Tapi sebenarnya produk rekayasa genetika bisa juga digunakan untuk kemakmuran masyarkat bila dilakukan oleh pihak dan cara yang tepat. Umpama pembuatan bibit padi yang bisa ditanam di lahan yang kurang subur, pembuatan vaksin murah oleh pemerintah dan sebagainya.
Sebenarnya masih banyak yang bisa dibahas namun karena keterbatasan pribadi, hanya ini opini saya yang bisa ditulis. Intinya adalah, masyarakat harus memperoleh informasi yang benar dan adil, bukan label-label rekayasa genetika, transgenik, organik dan lain-lain yang bisa diartikan macam-macam. Yang terpenting dari suatu tindakan adalah akibatnya, bukan label-labelnya. Kalau kita mendukung habis-habisan produk tertentu dan menolak habis-habisan produk yang lain dengan menambah-nambahi atau mengurang-ngurangi fakta yang ada, maka kita bisa saja secara tak sadar turut mendukung praktek kapitalis dan merugikan masyarakat, walaupun sebenarnya berniat sebaliknya.
Kenyataan itu sungguh mengusik, karena kita berhadapan dengan problem pembangunan pertanian dalam arti luas yang sungguh merisaukan. Untuk sejumlah komoditas, produksi pertanian kita bahkan belum mampu memenuhi kebutuhan di dalam negeri. Selebihnya, secara keseluruhan, daya saing produk-produk pertanian kita tampaknya belum bisa diandalkan mampu bersaing dalam era perdagangan bebas yang tak lama lagi menjelang. Jadi, sekali lagi, bagimanakah kita harus bersikap terhadap perkembangan dan manfaat transgenik yang terus disaput pro-kontra ini?
Sebagai produk yang menawarkan terobosan kuantitatif maupun kualitatif di bidang pertanian dalam arti luas, transgenik memang sangat menakjubkan. Tak terkecuali bagi badan-badan dunia yang bertali-temali dengan masalah kependudukan, kesehatan, atau masalah pangan. Jadi, sekali lagi, sikap yang harus kita tunjukkan di tengah kontroversi produk transgenik ini adalah hati-hati, kritis, plus memberi ruang kondusif bagi pengembangan dan pemanfaatan kemajuan ilmu pengetahuan. Jika kalangan pengambil kebijakan, khususnya, malah larut dalam kontroversi itu, pembangunan pertanian kita -- notabene selama ini terasa merisaukan -- niscaya tak akan menorehkan lompatan-lompatan. Memang patut diakui bahwa selama ini kalangan pengambil kebijakan di Indonesia cenderung terpaku terhadap riuh-rendah kontroversi tentang rekayasa genetika ini. Jika pun sedikit langkah ke arah itu terlihat diayunkan, kebijakan yang digariskan terasa kedodoran karena tak efektif mendorong berbagai pihak melakukan kegiatan penelitian dan pengembangan bioteknologi modern secara kompetitif. Tak heran pula, di tingkat aplikasi kita tertinggal jauh dibanding negara-negara lain. Kita hanya bisa terpana oleh kehebatan Thailand, misalnya, yang terbukti sudah begitu jauh di muka dalam memanfaatkan hasil penelitian bioteknologi modern ini.
BAB III
PENUTUP
III.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat ditarik dari hasil perangkuman materi Kontra - transgenik ini bahwa ;
1. Transgenik adalah tanaman yang dimodifikasi dari rekayasa genetika dan sangat berbahaya apabila dikomsumsi berkelanjutan
2. Transgenik adalah suatu organisme yang mengandung transgen melalui proses bioteknologi , Transgen adalah gen asing yang ditambahkan kepada suatu spesies. Suatu jasad yang memiliki sifat baru, yang sebelumnya tidak dimiliki oleh jenis jasad tersebut, sebagai hasil penambahan gen yang berasal dari jasad lain. Juga disebut organisme transgenik.
3. Untuk membuat suatu tanaman transgenik, pertama-tama dilakukan identifikasi atau pencarian gen yang akan menghasilkan sifat tertentu (sifat yang diinginkan). Gen yang diinginkan dapat diambil dari tanaman lain, hewan, cendawan, atau bakteri. Setelah gen yang diinginkan didapat maka dilakukan perbanyakan gen yang disebut dengan istilah kloning gen. Pada tahapan kloning gen, DNA asing akan dimasukkan ke dalam vektor kloning (agen pembawa DNA), contohnya plasmid (DNA yang digunakan untuk transfer gen)
4. Sejarah penemuan tanaman transgenik dimulai pada tahun 1977 ketika bakteri Agrobacterium tumefaciens diketahui dapat mentransfer DNA atau gen yang dimilikinya ke dalam tanaman. Pada tahun 1983, tanaman transgenik pertama, yaitu bunga matahari yang disisipi gen dari buncis (Phaseolus vulgaris) telah berhasil dikembangkan oleh manusia. Sejak saat itu, pengembangan tanaman transgenik untuk kebutuhan komersial dan peningkatan tanaman terus dilakukan manusia. Tanaman transgenik pertama yang berhasil diproduksi dan dipasarkan adalah jagung dan kedelai. Keduanya diluncurkan pertama kali di Amerika Serikat pada tahun 1996. Pada tahun 2004, lebih dari 80 juta hektar tanah pertanian di dunia telah ditanami dengan tanaman transgenik dan 56% kedelai di dunia merupakan kedelai transgenik
III. 2 Saran
Adapun saran yang dapat saya sampaikan sebagai pelajar di fakultas pertanian ini, ialah untuk mahasiswa (teman-teman) yang masih mencari dan menggali ilmu yang dapat dijadikan sebagai suatu acuan yang bermanfaat untuk kemaslahatan ummat.
Dari segi etika, pihak yang kontra dengan tanaman transgenik menganggap bahwa rekayasa atau manipulasi genetik tanaman merupakan tindakan yang tidak menghormati penciptaan Tuhan. Perubahan sifat tanaman dengan penambahan gen asing juga dianggap sebagai tindakan mempermainkan ciptaan Tuhan" karena mengubah makhluk yang telah diciptakan-Nya. Sikap kontra terhadap produk tanaman transgenik umumnya berasal dari organisasi non-pemerintah/LSM, seperti Greenpeace dan Friends of the Earth Internasional. Dari segi kesehatan, tanaman ini dianggap dapat menjadi alergen (senyawa yang menimbulkan alergi) baru bagi manusia. Untuk menanggapi hal tersebut, para peneliti menyatakan bahwa sebelum suatu tanaman transgenik diproduksi secara massal, akan melakukan berbagai pengujian potensi alergi dan toksisitas untuk menjamin agar produk tanaman tersebut aman untuk dikonsumsi. Apabila berpotensi menyebabkan alergi, maka tanaman transgenik tersebut tidak akan dikembangkan lebih lanjut.
Kekhawatiran lain yang timbul di masyarakat adalah kemungkinan gen asing pada tanaman transgenik dapat berpindah ke tubuh manusia apabila dikonsumsi. Pendapat tersebut dinilai berlebihan oleh para ilmuwan karena makanan yang berasal dari tanaman transgenik akan terurai menjadi unsur-unsur yang dapat diserap tubuh sehingga tidak akan ada gen aktif. Untuk memberikan kebebasan kepada masyarakat dalam memilih produk transgenik atau produk alami, berbagai negara, khususnya negara-negara Eropa, telah melakukan pemberian label terhadap produk transgenik. Pelabelan tersebut juga bertujuan untuk memberikan informasi kepada konsumen sebelum mengonsumsi hasil tanaman transgenik.
DAFTAR ISI
Anonym. 2011. http://www.agbioworld.org/biotech-info/articles/biotech- art/biosafety.html.
Antonius Suwanto. "Tanaman Transgenik: Bagaimana Kita Menyikapinya ?", BB- Bogor. Diakses pada 8 Juni 2011
Richardus Widodo. "Kontroversi Pangan Rekayasa Genetik", Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya, 23 April 2008. Diakses pada 17 Mei 2010
PENDAHULUAN
I.1 Latar belakang
Sangat boleh jadi, selama ini kita sudah akrab mengonsumsi bahan pangan produk tanaman transgenik ini. Sebut saja tempe atau tahu. Maklum karena kedelai yang kita manfaatkan sebagai bahan baku tahu atau tempe ini banyak kita impor dari AS -- notabene memanfaatkan benih kedelai transgenik. Tapi kenyataan itu seolah tak kita sadari. Atau mungkin kita abaikan. Dalam riuh-rendah pro-kontra tentang tanaman transgenik di Indonesia ini, kenyataan itu nyaris tak pernah menjadi sorotan. Berbagai kalangan yang bersikap antitransgenik, khususnya, lebih memokuskan perhatian pada kemungkinan kita memanfaatkan tanaman produk rekayasa genetika dalam kegiatan budidaya pertanian. Mungkin itu bisa terjadi karena sikap mereka yang kontra terhadap transgenik di Indonesia ini lebih mengikuti arus serupa yang berkembang di negara-negara maju.
Tak heran jika berbagai argumentasi yang mereka ajukan pun terkesan acap tidak berpijak pada rasionalitas ilmiah sesuai hasil pengujian mereka sendiri, melainkan cenderung bersandar pada wacana kontra transgenik yang berkembang di negara-negara lain. Tak jarang argumentasi tentang sikap antitransgenik ini terkesan tendensius dan mengada-ada. Kapas transgenik, misalnya, entah atas dasar apa, sampai mereka dengungkan bisa mengakibatkan penyakit raja singa segala. Sementara itu, wacana antitransgenik di luar negeri sendiri notabene kerap menjadi acuan berbagai pihak yang kontra terhadap tanaman transgenik di Indonesia tidak selalu benar-benar obyektif menurut takaran ilmiah. Berbagai argumentasi yang mengemuka terkesan cenderung bersifat emosional ketimbang rasional-ilmiah, dan karena itu jelas lebih mencerminkan kekhawatiran yang berlebihan. Bahkan kampanye yang dilakukan lembaga sekaliber Greenpeace di AS, misalnya, menurut Ketil Haarstad -- peneliti di Norwegian Center for Soil and Enviromental Research -- lebih berbau propaganda antitransgenik ketimbang fakta bahwa tanaman hasil rekayasa genetika berbahaya bagi lingkungan maupun kesehatan.
Berdasarkan uraian diatas maka perlu adanya diadakan diskusi tentang hal-hal yang bisa saja mengenai pro-kontra yang bisa saja ditimbulkan oleh tanaman transgenik ini.
I.2 Tujuan dan Kegunaan
Adapun tujuan diadakannya perampungan makalah biotekhnologi ini khususnya membahas tentang kontra transgenik (rekayasa genetika). Ialah, sekiranya dapat dijadikan sebagai bahan belajar dalam mengetahuai dan mempelajari risiko yang dapat saja ditimbulkan oleh tanaman yang termasuk dalam Agrotransgenik.
Adapun kegunaan dipelajarinya transgenik ini ialah, mahasiswa diharapkan mampu menjadi agen penyalur kesehatan yang berguna bagi masyarakat khususnya masyarakat tentang pro-kontra tanaman transgenik, serta dampak yang ditimbulkan tanaman transgenik.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Dengan perkembangan ilmu pengetahuan, terutama pengetahuan tentang genetika dan biologi perkembangan, manusia telah mampu memasukkan atau meningkatkan sifat-sifat tertentu pada sel atau virus melalui modifikasi DNA, untuk menghasilkan produk yang bermanfaat bagi manusia. Tindakan ini disebut dengan rekayasa genetika. Namun sebagaimana istilah-istilah lainnya, istilah rekayasa genetika pun bisa diartikan macam-macam. Kadang-kadang rekayasa genetika diartikan dengan bioteknologi, sehingga orang yang anti terhadap rekayasa genetika mungkin membuat tulisan semacam ini, "Bioteknologi, Imperialisme Modal dan Kejahatan Globalisasi" dan sebagian besar tulisannya adalah mengenai rekayasa genetika. Padahal bioteknologi bukan hanya mencakup rekayasa genetika karena termasuk kultur jaringan, produksi enzim dan lain-lain. Bahkan membuat keju atau yoghurt pun sering diartikan sebagai bioteknologi. Ada pula yang mengartikan rekayasa genetika ini sebagai modifikasi genetik makhluk hidup. (Anonim, 2011)
Sejarah penemuan tanaman transgenik dimulai pada tahun 1977 ketika bakteri Agrobacterium tumefaciens diketahui dapat mentransfer DNA atau gen yang dimilikinya ke dalam tanaman.[6] Pada tahun 1983, tanaman transgenik pertama, yaitu bunga matahari yang disisipi gen dari buncis (Phaseolus vulgaris) telah berhasil dikembangkan oleh manusia.[8][6] Sejak saat itu, pengembangan tanaman transgenik untuk kebutuhan komersial dan peningkatan tanaman terus dilakukan manusia.[9] Tanaman transgenik pertama yang berhasil diproduksi dan dipasarkan adalah jagung dan kedelai.[9] Keduanya diluncurkan pertama kali di Amerika Serikat pada tahun 1996.[9] Pada tahun 2004, lebih dari 80 juta hektar tanah pertanian di dunia telah ditanami dengan tanaman transgenik dan 56% kedelai di dunia merupakan kedelai transgenik
Kontroversi tentang benih dan produk tanaman hasil rekayasa bioteknologi (transgenik) tak kunjung reda. Pro-kontra terus berlangsung. Bahkan, seiring perkembangan transgenik yang terus melaju pasti, pro-kontra ini semakin seru. Kedua belah pihak terus bersikukuh pada teori maupun fakta dan argumentasi masing-masing. Titik temu pandangan kedua pihak, sejauh ini, sama sekali belum terlihat. Bagi pihak yang bersikap pro, transgenik adalah terobosan meyakinkan yang memungkinkan budidaya tanaman lebih efisien, murah, produktif, serta menghasilkan produk yang kualitatif jauh lebih baik. Sementara kelompok yang bersikap kontra, dengan nada yang kerap tendensius dan lebih berpijak pada asumsi ketimbang fakta, berpendirian bahwa transgenik potensial melahirkan masalah serius menyangkut keseimbangan lingkungan maupun kesehatan manusia.
Di Indonesia sendiri, kontroversi tentang transgenik ini tak terkecuali berlangsung ramai. Seperti juga di tingkat internasional, perdebatan seru dan melelahkan ini belum terlihat menuju titik akhir. Boleh jadi, kontroversi ini memang tak akan pernah berakhir. Justru itu, menjadi pertanyaan menggelitik: bagaimanakah kita terutama kalangan pengambil kebijakan harus bersikap terhadap transgenik ini? Haruskah kita malah ikut larut dalam perdebatan tiada akhir? Padahal perkembangan transgenik sendiri, seolah tak hirau oleh kontroversi yang terus berlangsung, kian melaju kencang menawarkan terobosan-terobosan menakjubkan di bidang pertanian secara umum. Kenyataan itu sungguh mengusik, karena kita berhadapan dengan problem pembangunan pertanian dalam arti luas yang sungguh merisaukan. Untuk sejumlah komoditas, produksi pertanian kita bahkan belum mampu memenuhi kebutuhan di dalam negeri. Selebihnya, secara keseluruhan, daya saing produk-produk pertanian kita tampaknya belum bisa diandalkan mampu bersaing dalam era perdagangan bebas yang tak lama lagi menjelang. Jadi, sekali lagi, bagimanakah kita harus bersikap terhadap perkembangan dan manfaat transgenik yang terus disaput pro-kontra ini? Sebagai produk yang menawarkan terobosan kuantitatif maupun kualitatif di bidang pertanian dalam arti luas, transgenik memang sangat menakjubkan.
Tak terkecuali bagi badan-badan dunia yang bertali-temali dengan masalah kependudukan, kesehatan, atau masalah pangan. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) ataupun Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO), misalnya, bahkan tegas-tegas mendukung penerapan dan pengembangan transgenik ini. Sikap itu tak sulit dipahami. Maklum, karena bagi lembaga semacam FAO, kondisi obyektif dunia di bidang pangan saat ini sungguh mengkhawatirkan. Itu terkait dengan laju pertumbuhan penduduk yang terus melaju kencang dan menuntut ketersediaan pangan. Menurut perkiraan PBB, penduduk dunia dewasa ini mencapai sekitar 6 miliar jiwa. Itu dua kali lipat dibanding kondisi 50 tahun silam. Lalu, dalam tempo setengah abad mendatang, jumlah penduduk dunia ini diperkirakan berlipat menjadi sekitar 9 miliar jiwa. Itu berarti, produksi pangan harus meningkat pula dan mesti mampu mencukup kebutuhan konsumsi. Untuk itu, jika berpijak pada teknologi konvensional, luas lahan pertanian jelas harus terus ditambah. Tapi, soalnya, lahan bagi budidaya pertanian kian hari kian terbatas. Karena desakan kebutuhan ruang bagi kepentingan pemukiman dan industri, areal baru pertanian semakin cenderung sulit dihamparkan. Bahkan areal pertanian produktif yang sudah tergelar pun tak jarang tergerogoti oleh pembangunan perumahan dan industri.
Dalam situasi seperti itu, transgenik serta-merta terasa menjadi solusi. Tanaman transgenik mampu meningkatkan hasil panen berkali lipat tanpa harus menambah areal tanaman. Hasil panen tanaman kapas transgenik yang mulai dikembangkan secara terbatas di tujuh kebupaten di Sulsel, misalnya, rata-rata mencapai 1 ton hingga 1,5 ton kapas per hektar. Sementara kapas varietas lokal, Kanesia, hanya menghasilkan 700-an kilogram per hektar. Bagi Indonesia, kenyataan itu menunjukkan bahwa pengembangan kapas transgenik bisa menjadi alternatif strategis guna memacu produksi kapas dalam negeri. Ini sungguh relevan karena dalam rangka menekan impor kapas yang sangat dibutuhkan industri tekstil di dalam negeri. Impor kapas ini mencapai sekitar 98 persen kebutuhan bahan baku industri tekstil. Sementara produksi kapas di dalam negeri sendiri baru sekitar 1 persen. Kenyataan itu makin terasa riskan, karena kebutuhan industri tekstil akan bahan baku kapas ini cenderung semakin meningkat. Pada 1990, misalnya, kebutuhan tersebut baru sekitar 347 ribu metrik ton. Tapi pada 1999, angka itu naik menjadi 410,6 ribu metrik ton. Bahkan pada 1995 mencapai 484 ribu metrik ton.
Itu bukan sekadar strategis dalam rangka mencapai swasembada kapas, melainkan juga karena tanaman transgenik sebagaimana tercermin dalam hasil uji-coba pertama di Sulsel mampu meningkatkan pendapatan petani secara signifikan. Peningkatan pendapatan ini bukan hanya dimungkinkan oleh tingkat produktivitas tanaman yang sangat mengesankan, melainkan juga karena ongkos produksi yang dikeluarkan petani dapat ditekan dalam hitungan amat meyakinkan. Pemakaian pestisida kimia, dalam konteks ini, amat sedikit. Maklum karena tanaman transgenik tahan serangan hama tanpa membunuh serangga lain. Atas dasar itu pula, bagi kalangan yang bersikap pro, tanaman transgenik sebenarnya ramah lingkungan. Di sisi lain, kualitas produk tanaman hasil rekayasa genetika ini juga jauh lebih baik. Buah pepaya Hawai, misalnya, selain tak cepat peot, juga memiliki rasa lebih manis dan harum dibanding buah pepaya liar atau alami. Begitu pula padi emas (golden rice) yang dikembangkan peneliti Swis, Ingar Potrykus: lebih pulen, wangi, serta mengandung provitamin A yang sangat bermanfaat mencegah kebutaan yang pekat membayangi penduduk miskin di negara-negara berkembang.
Menyadari kelebihan-kelebihan seperti itu pula, sejumlah negara sejak jauh-jauh hari menerapkan transgenik dalam kegiatan produksi pertanian mereka. Hingga pada tahun 2000, negara-negara yang telah memanfaatkan transgenik dalam kegiatan pertanian ini adalah AS, Argentina, China, Kanada, Afsel, Australia, Rumania, Meksiko, Bulgaria, Spanyol, Jerman, Prancis, serta Uruguay. Apa yang dilakukan negara-negara itu bukan lagi sekadar coba-coba seperti dalam konteks pengembangan kapas Bollgard di Indonesia sekarang ini. Mereka telah menerapkan transgenik dalam hamparan pertanian yang terbilang masif.
Reaksi yang ditimbulkan masyarakat terhadap rekayasa genetika ada bermacam-macam, baik pro-kontra maupun tidak peduli. Untuk masyarakat awam, mereka tidak peduli apakah makanan yang dimakanannya produk transgenik apa tidak, asal menguntungkan, murah, dan isinya kurang lebih sama dengan produk yang bukan transgenik. Contohnya adalah kedelai. Negara kita mengimpor kedelai transgenik dari amerika yang harganya cukup ekonomis di pasar, sehingga dijadikan bahan baku tempe dan tahu yang dikonsumsi sehari-hari. Dan juga dari buah-buahan impor di supermarket, boleh jadi ada diantaranya yang merupakan produk transgenik namun tidak diberi informasi mengenainya.
Berikut ini adalah pandangan orang yang kontra mengenai produk transgenik dan opini saya mengenainya :
1) Rekayasa genetika adalah perbuatan tercela, tidak alamiah karena hanya Tuhan yang berhak mengutak-atik gen!
Opini : Apabila dikatakan perbuatan tercela, kenapa tidak diprotes dari dulu? Sebelum teknologi transgenik ada, orang sudah melakukan berbagai kawin silang utnuk membentuk hibrida. Hasil pertanian yang kita makan adalah adalah benih hibrida hasil pemuliaan. Maka sebenarnya virus-virus dan bakteri tanah pun melakukan pemindahan gen dari satu spesies ke spesies yang lain. Dan kalau mutasi terjadi pada sel kelamin, bisa diturunkan. Namun mereka melakukannya secara sembarangan tentu saja.
2) Rekayasa genetika menghasilkan kondisi yang tidak bisa dipastikan, dan oleh karena itu membahayakan.
Dalam kenyataannya hasil kawin silang juga menghasilkan kondisi yang tidak dipastikan, dan seringkali hasilnya aneh-aneh juga. Dalam rekayasa genetika, setidaknya orang tahu gen apa yang dirubah atau dimasukkan, dan apa saja efek yang dapat diperkirakannya. Sedangkan dalam kawin silang, sulit diramal ekspresi fenotip yang bakal terjadi dari penggabungan alel yang tidak lazim.
3) Rekayasa genetika menghasilkan produk yang membahayakan bagi kesehatan dan lingkungan, dan sudah ada buktinya. Sebenarnya produk rekayasa genetika itu ada sangat banyak dan bila ada beberapa kasus yang benar terjadi, maka tidak mungkin menyama ratakan semuanya. Bahkan ada produk rekayasa genetika yang ditujukan untuk kesehatan seperti produksi gula sehat untuk diabetes dan vaksin yang bisa dimakan. Juga dengan teknologi penghasil insektisida biologis, orang akan mengurangi pengunaan pestisida kimiawi yang berbahaya bagi konsumen dan lingkungan. Bahkan makanan alamiah pun bila dikonsumsi oleh orang yang tidak tepat, bisa menyebabkan alergi, keracunan dan penyakit.
4) Rekayasa genetika adalah imperialisme modal dan kejahatan globalisasi.
Sebenarnya kalau orang mau melakukan imperialisme modal dan kejahatan globalisasi, bukan hanya rekayasa genetika saja yang bisa digunakan, apapun bisa digunakan seperti penjualan produk yang membahayakan kesehatan namun enak, pembuatan regulasi yang menyebabkan ketergantungan konsumen terhadap produk-produk tertentu dan lain-lain. Tapi sebenarnya produk rekayasa genetika bisa juga digunakan untuk kemakmuran masyarkat bila dilakukan oleh pihak dan cara yang tepat. Umpama pembuatan bibit padi yang bisa ditanam di lahan yang kurang subur, pembuatan vaksin murah oleh pemerintah dan sebagainya.
Sebenarnya masih banyak yang bisa dibahas namun karena keterbatasan pribadi, hanya ini opini saya yang bisa ditulis. Intinya adalah, masyarakat harus memperoleh informasi yang benar dan adil, bukan label-label rekayasa genetika, transgenik, organik dan lain-lain yang bisa diartikan macam-macam. Yang terpenting dari suatu tindakan adalah akibatnya, bukan label-labelnya. Kalau kita mendukung habis-habisan produk tertentu dan menolak habis-habisan produk yang lain dengan menambah-nambahi atau mengurang-ngurangi fakta yang ada, maka kita bisa saja secara tak sadar turut mendukung praktek kapitalis dan merugikan masyarakat, walaupun sebenarnya berniat sebaliknya.
Kenyataan itu sungguh mengusik, karena kita berhadapan dengan problem pembangunan pertanian dalam arti luas yang sungguh merisaukan. Untuk sejumlah komoditas, produksi pertanian kita bahkan belum mampu memenuhi kebutuhan di dalam negeri. Selebihnya, secara keseluruhan, daya saing produk-produk pertanian kita tampaknya belum bisa diandalkan mampu bersaing dalam era perdagangan bebas yang tak lama lagi menjelang. Jadi, sekali lagi, bagimanakah kita harus bersikap terhadap perkembangan dan manfaat transgenik yang terus disaput pro-kontra ini?
Sebagai produk yang menawarkan terobosan kuantitatif maupun kualitatif di bidang pertanian dalam arti luas, transgenik memang sangat menakjubkan. Tak terkecuali bagi badan-badan dunia yang bertali-temali dengan masalah kependudukan, kesehatan, atau masalah pangan. Jadi, sekali lagi, sikap yang harus kita tunjukkan di tengah kontroversi produk transgenik ini adalah hati-hati, kritis, plus memberi ruang kondusif bagi pengembangan dan pemanfaatan kemajuan ilmu pengetahuan. Jika kalangan pengambil kebijakan, khususnya, malah larut dalam kontroversi itu, pembangunan pertanian kita -- notabene selama ini terasa merisaukan -- niscaya tak akan menorehkan lompatan-lompatan. Memang patut diakui bahwa selama ini kalangan pengambil kebijakan di Indonesia cenderung terpaku terhadap riuh-rendah kontroversi tentang rekayasa genetika ini. Jika pun sedikit langkah ke arah itu terlihat diayunkan, kebijakan yang digariskan terasa kedodoran karena tak efektif mendorong berbagai pihak melakukan kegiatan penelitian dan pengembangan bioteknologi modern secara kompetitif. Tak heran pula, di tingkat aplikasi kita tertinggal jauh dibanding negara-negara lain. Kita hanya bisa terpana oleh kehebatan Thailand, misalnya, yang terbukti sudah begitu jauh di muka dalam memanfaatkan hasil penelitian bioteknologi modern ini.
BAB III
PENUTUP
III.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat ditarik dari hasil perangkuman materi Kontra - transgenik ini bahwa ;
1. Transgenik adalah tanaman yang dimodifikasi dari rekayasa genetika dan sangat berbahaya apabila dikomsumsi berkelanjutan
2. Transgenik adalah suatu organisme yang mengandung transgen melalui proses bioteknologi , Transgen adalah gen asing yang ditambahkan kepada suatu spesies. Suatu jasad yang memiliki sifat baru, yang sebelumnya tidak dimiliki oleh jenis jasad tersebut, sebagai hasil penambahan gen yang berasal dari jasad lain. Juga disebut organisme transgenik.
3. Untuk membuat suatu tanaman transgenik, pertama-tama dilakukan identifikasi atau pencarian gen yang akan menghasilkan sifat tertentu (sifat yang diinginkan). Gen yang diinginkan dapat diambil dari tanaman lain, hewan, cendawan, atau bakteri. Setelah gen yang diinginkan didapat maka dilakukan perbanyakan gen yang disebut dengan istilah kloning gen. Pada tahapan kloning gen, DNA asing akan dimasukkan ke dalam vektor kloning (agen pembawa DNA), contohnya plasmid (DNA yang digunakan untuk transfer gen)
4. Sejarah penemuan tanaman transgenik dimulai pada tahun 1977 ketika bakteri Agrobacterium tumefaciens diketahui dapat mentransfer DNA atau gen yang dimilikinya ke dalam tanaman. Pada tahun 1983, tanaman transgenik pertama, yaitu bunga matahari yang disisipi gen dari buncis (Phaseolus vulgaris) telah berhasil dikembangkan oleh manusia. Sejak saat itu, pengembangan tanaman transgenik untuk kebutuhan komersial dan peningkatan tanaman terus dilakukan manusia. Tanaman transgenik pertama yang berhasil diproduksi dan dipasarkan adalah jagung dan kedelai. Keduanya diluncurkan pertama kali di Amerika Serikat pada tahun 1996. Pada tahun 2004, lebih dari 80 juta hektar tanah pertanian di dunia telah ditanami dengan tanaman transgenik dan 56% kedelai di dunia merupakan kedelai transgenik
III. 2 Saran
Adapun saran yang dapat saya sampaikan sebagai pelajar di fakultas pertanian ini, ialah untuk mahasiswa (teman-teman) yang masih mencari dan menggali ilmu yang dapat dijadikan sebagai suatu acuan yang bermanfaat untuk kemaslahatan ummat.
Dari segi etika, pihak yang kontra dengan tanaman transgenik menganggap bahwa rekayasa atau manipulasi genetik tanaman merupakan tindakan yang tidak menghormati penciptaan Tuhan. Perubahan sifat tanaman dengan penambahan gen asing juga dianggap sebagai tindakan mempermainkan ciptaan Tuhan" karena mengubah makhluk yang telah diciptakan-Nya. Sikap kontra terhadap produk tanaman transgenik umumnya berasal dari organisasi non-pemerintah/LSM, seperti Greenpeace dan Friends of the Earth Internasional. Dari segi kesehatan, tanaman ini dianggap dapat menjadi alergen (senyawa yang menimbulkan alergi) baru bagi manusia. Untuk menanggapi hal tersebut, para peneliti menyatakan bahwa sebelum suatu tanaman transgenik diproduksi secara massal, akan melakukan berbagai pengujian potensi alergi dan toksisitas untuk menjamin agar produk tanaman tersebut aman untuk dikonsumsi. Apabila berpotensi menyebabkan alergi, maka tanaman transgenik tersebut tidak akan dikembangkan lebih lanjut.
Kekhawatiran lain yang timbul di masyarakat adalah kemungkinan gen asing pada tanaman transgenik dapat berpindah ke tubuh manusia apabila dikonsumsi. Pendapat tersebut dinilai berlebihan oleh para ilmuwan karena makanan yang berasal dari tanaman transgenik akan terurai menjadi unsur-unsur yang dapat diserap tubuh sehingga tidak akan ada gen aktif. Untuk memberikan kebebasan kepada masyarakat dalam memilih produk transgenik atau produk alami, berbagai negara, khususnya negara-negara Eropa, telah melakukan pemberian label terhadap produk transgenik. Pelabelan tersebut juga bertujuan untuk memberikan informasi kepada konsumen sebelum mengonsumsi hasil tanaman transgenik.
DAFTAR ISI
Anonym. 2011. http://www.agbioworld.org/biotech-info/articles/biotech- art/biosafety.html.
Antonius Suwanto. "Tanaman Transgenik: Bagaimana Kita Menyikapinya ?", BB- Bogor. Diakses pada 8 Juni 2011
Richardus Widodo. "Kontroversi Pangan Rekayasa Genetik", Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya, 23 April 2008. Diakses pada 17 Mei 2010
Terimakasih Sobat,, sudah berkunjung, jangan lupa di like yah atau tinggalkan pesan anda di kolom facebook paling bawah.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !