Sekilas Tentang Kajang
Masyarakat Kajang dengan identitas budayanya: berpakaian serba hitam
A. Asal-usul
Di tengah-tengah
maraknya aksi pembalakan liar oleh oknum-oknum tak bertanggung jawab
akhir-akhir ini, melihat praktek hidup Suku Kajang—atau yang juga disebut
masyarakat adat Ammatoa—dalam melestarikan kawasan hutannya seolah-olah memberi
secercah harapan bagi kelestarian lingkungan alam. Masyarakat adat Ammatoa yang
hidup di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, mengelola sumberdaya hutan
secara lestari, meskipun secara geografis wilayahnya tidak jauh (sekitar 50 km)
dari pusat kegiatan ekonomi dan pemerintahan Kabupaten Bulukumba. Hal ini
disebabkan oleh hubungan masyarakat adat dengan lingkungan hutannya didasari
atas pandangan hidup yang arif, yaitu memperlakukan hutan seperti seorang ibu
yang harus dihormati dan dilindungi (Suriani, 2006).
Secara geografis dan administratif, masyarakat adat Kajang terbagi atas Kajang Dalam dan Kajang Luar. Masyarakat Adat Kajang Dalam tersebar di beberapa desa, antara lain Desa Tana Toa, Bonto Baji, Malleleng, Pattiroang, Batu Nilamung dan sebagian wilayah Desa Tambangan. Kawasan Masyarakat Adat Kajang Dalam secara keseluruhan berbatasan dengan Tuli di sebelah Utara, dengan Limba di sebelah Timur, dengan Seppa di sebelah Selatan, dan dengan Doro di sebelah Barat. Sedangkan Kajang Luar tersebar di hampir seluruh Kecamatan Kajang dan beberapa desa di wilayah Kecamatan Bulukumba, di antaranya Desa Jojolo, Desa Tibona, Desa Bonto Minasa dan Desa Batu Lohe (Aziz, 2008).
Namun,
hanya masyarakat yang tinggal di kawasan Kajang Dalam yang masih sepenuhnya
berpegang teguh kepada adat Ammatoa. Mereka memraktekkan cara hidup sangat
sederhana dengan menolak segala sesuatu yang berbau teknologi. Bagi mereka,
benda-benda teknologi dapat membawa dampak negatif bagi kehidupan mereka,
karena bersifat merusak kelestarian sumber daya alam. Komunitas yang selalu
mengenakan pakaian serba hitam inilah yang kemudian disebut sebagai masyarakat
adat Ammatoa (Widyasmoro, 2006).
Masyarakat Kajang dalam sebuah upacara
Masyarakat
Ammatoa memraktekkan sebuah agama adat yang disebut dengan Patuntung.
Istilah Patuntung berasal dari tuntungi, kata dalam bahasa
Makassar yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia berarti “mencari sumber kebenaran” (to inquiri into or to investigate the truth). Ajaran Patuntung
mengajarkan—jika manusia ingin mendapatkan sumber kebenaran tersebut, maka ia
harus menyandarkan diri pada tiga pilar utama,
yaitu menghormati Turiek Akrakna (Tuhan), tanah yang diberikan Turiek
Akrakna, dan nenek moyang (Rossler, 1990). Kepercayaan dan penghormatan
terhadap Turiek Akrakna merupakan keyakinan yang paling mendasar dalam
agama Patuntung. Masyarakat adat Kajang percaya bahwa Turiek Akrakna
adalah pencipta segala sesuatu, Maha Kekal, Maha Mengetahui, Maha Perkasa, dan
Maha Kuasa (Adhan, 2005: 270).
Turiek
Akrakna menurunkan perintah-Nya kepada masyarakat Kajang dalam bentuk pasang
(sejenis wahyu dalam tradisi agama Abrahamik) melalui manusia pertama yang
bernama Ammatoa. Secara
harfiah, pasang berarti “pesan”. Namun, pesan yang dimaksud bukanlah
sembarang pesan. Pasang adalah keseluruhan pengetahuan dan pengalaman
tentang segala aspek dan lika-liku yang berkaitan dengan kehidupan yang
dipesankan secara lisan oleh nenek moyang mereka dari generasi ke generasi
(Usop, 1985). Pasang tersebut wajib ditatati, dipatuhi, dan dilaksanakan
oleh masyarakat adat Ammatoa. Jika masyarakat melanggar pasang, maka
akan terjadi hal-hal buruk yang tidak diinginkan. Hal ini disebutkan dalam
sebuah pasang yang berbunyi “Punna suruki, bebbeki. Punna nilingkai
pesokki” (Artinya: Kalau kita jongkok, gugur rambut, dan tidak tumbuh lagi.
Kalu dilangkahi kita lumpuh) (Adhan, 2005: 271).
Agar pesan-pesan yang
diturunkan-Nya ke bumi dapat dipatuhi dan dilaksanakan oleh manusia, Turiek Akrakna
memerintahkan Ammatoa untuk menjaga, menyebarkan, dan melestarikan pasang
tersebut. Fungsi Ammatoa dalam masyarakat Kajang adalah sebagai
mediator, pihak yang memerantarai antara Turiek Akrakna dengan manusia.
Dari mitos yang berkembang dalam masyarakat Kajang, Ammatoa merupakan
manusia pertama yang diturunkan oleh Turiek Akrakna ke dunia. Masyarakat
Kajang meyakini bahwa tempat pertama kali Ammatoa diturunkan ke
bumi adalah kawasan yang sekarang ini menjadi tempat tinggal mereka. Suku Kajang menyebut tanah tempat tinggal
mereka saat ini sebagai Tanatoa,
"tanah tertua", tanah yang diwariskan oleh leluhur mereka. Mereka percaya, konon di suatu hari dalam proses penciptaan manusia pertama di
muka bumi, turunlah To Manurung dari langit. Turunnya To Manurung itu mengikuti
perintah Turek Akrakna atau Yang
Maha Berkehendak. Syahdan, To Manurung turun ke bumi dengan menunggangi seekor
burung Kajang yang menjadi cikal bakal manusia. Saat
ini, keturunanya telah menyebar memenuhi permukaan bumi. Namun, di antara
mereka ada satu kelompok yang sangat dia sayangi, yakni orang Kajang dari Tanatoa.
Bagi orang Kajang, kepercayaan tentang To Manurung ini diterima sebagai sebuah
realitas. Di tanah tempat To Manurung mendarat, mereka mendirikan sebuah desa
yang disebut sebagai Tanatoa atau tanah tertua tempat pertama kali
manusia ada. Karena itu, mereka meyakini To Manurung sebagai Ammatoa (pemimpin tertinggi Suku Kajang) yang pertama dan mengikuti segala ajaran yang dibawanya.
Kini, ajaran tersebut menjadi pedoman mereka dalam hidup keseharian, dan
nama burung Kajang kemudian digunakan sebagai nama komunitas mereka (http://www.liputan6.com/progsus/?id=20087).
Melalui pasang,
masyarakat
Ammatoa menghayati bahwa keberadaan mereka merupakan komponen
dari suatu sistem yang saling terkait secara sistemis; Turiek Akrakna (Tuhan), Pasang, Ammatoa (leluhur pertama), dan tanah
yang telah diberikan oleh Turiek Akrakna
kepada leluhur mereka. Merawat hutan, bagi
masyarakat Kajang merupakan bagian dari ajaran pasang,
karena hutan merupakan bagian dari tanah yang diberikan oleh Turiek Akrakna
kepada leluhur Suku Kajang. Mereka meyakini bahwa di dalam hutan terdapat kekuatan gaib yang dapat menyejahterakan dan sekaligus mendatangkan bencana ketika tidak dijaga kelestariannya.
Kekuatan itu berasal dari arwah leluhur masyarakat Kajang yang senantiasa
menjaga kelestarian hutan agar terbebas dari niat-niat jahat manusia (Aziz,
2008). Jika ada orang yang berani merusak kawasan hutan, misalnya menebang
pohon dan membunuh hewan yang ada di dalamnya, maka arwah para leluhur tersebut
akan menurunkan kutukan. Kutukan itu dapat berupa penyakit yang diderita oleh
orang yang bersangkutan, atau juga dapat mengakibatkan berhentinya air yang
mengalir di lingkungan Tanatoa Kajang. Tentang hal ini, sebuah pasang
menjelaskan:
Naparanakkang juku
Napaloliko raung kaju
Nahambangiko allo
Nabatuiko Ere Bosi
Napalolo‘rang Ere Tua
Nakajariangko Tinanang
Napaloliko raung kaju
Nahambangiko allo
Nabatuiko Ere Bosi
Napalolo‘rang Ere Tua
Nakajariangko Tinanang
Artinya:
Ikan bersibak pohon-pohon bersemi,
Matahari bersinar,hujan turun,
Air Tuak menetes,
segala tanaman menjadi (Adhan, 2005: 262).
Matahari bersinar,hujan turun,
Air Tuak menetes,
segala tanaman menjadi (Adhan, 2005: 262).
Pasang di atas
merupakan gambaran bagaimana masyarakat Kajang menghormati lingkungannya dengan
cara menjaga hutan agar tetap lestari. Bagi orang Kajang, tetap terjaganya
kelestarian hutan juga merupakan petanda bahwa Ammatoa yang terpilih
diterima oleh Turiek Akrakna dan alam. Ammatoa dianggap telah
berhasil mengimplementasikan ajaran-jaran pasang sebagaimana dititahkan
oleh Turiek Akrakna. Terlepas dari benar-salahnya ajaran yang diyakini
masyarakat Kajang, yang pasti konstruksi mereka tentang hutan yang bersifat
sakral tersebut tidak dapat disangkal telah berperan besar dalam menjaga tetap
lestarinya kawasan hutan mereka.
B.
Konsep Kearifan Ekologis Suku Kajang
Berbicara tentang
kearifan ekologis yang dipraktekkan oleh masyarakat Kajang, kita tidak dapat
melepaskannya dari sebuah prinsip hidup yang disebut tallase kamase-mase,
bagian dari pasang yang secara eksplisit memerintahkan masyarakat Kajang
untuk hidup secara sederhana dan bersahaja. Secara harfiah, tallase
kamase-mase berarti hidup memelas, hidup apa adanya. Memelas, dalam arti bahwa tujuan hidup warga masyarakat Kajang menurut pasang adalah semata-mata mengabdi kepada Turek Akrakna. Prinsip
tallase
kamase-mase, berarti tidak
mempunyai keinginan yang berlebih dalam kehidupan sehari-hari, baik untuk makan, maupun dalam kebutuhan pakaiannya. Dengan cara yang
demikian, maka keinginan mendapatkan hasil berlebihan dari dalam hutan
dapat dihindari, setidak-tidaknya dapat ditekan seminimal
mungkin, sehingga hutan tidak terganggu kelestariannya (Salle, 2000).
Hidup sederhana bagi
masyarakat Kajang adalah semacam ideologi yang berfungsi sebagai pemandu dan
rujukan nilai dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Secara lebih jelas tallase
kamase-mase ini tercermin dalam pasang
sebagai berikut:
- Ammentengko nu kamase-mase, accidongko
nu kamase-mase, a‘dakkako nu kamase-mase, a‘meako nu kamase-mase artinya; berdiri engkau sederhana, duduk
engkau sederhana, melangkah engkau sederhana, dan berbicara engkau
sederhana.
- Anre kalumannyang kalupepeang, rie
kamase-masea, angnganre na rie, care-care na rie, pammalli juku na rie,
koko na rie, bola situju-tuju. Artinya;
Kekayaan itu tidak kekal, yang ada hanya kesederhanaan, makan secukupnya,
pakaian secukupnya, membeli
ikan secukupnya, kebun secukupnya, rumah seadanya
(Restu dan Sinohadji, 2008).
- Jagai lino lollong bonena, kammayatompa langika,
rupa taua siagang boronga. Artinya; Peliharalah dunia beserta isinya, demikian pula
langit, manusia dan hutan. Pasang ini mengajarkan
nilai kebersahajaan bagi seluruh warga
masyarakat
Kajang, tak terkecuali Ammatoa, pemimpin tertinggi adat Kajang. Hal ini dapat dipandang sebagai filosofi hidup
mereka yang menempatkan langit, dunia, manusia dan hutan, sebagai satu
kesatuan yang tak terpisahkan dalam suatu ekosistem yang harus dijaga
keseimbangannya. Manusia
hanyalah salah satu komponen dari makro kosmos yang selalu tergantung
dengan komponen lainnya. Untuk itu, dalam berinteraksi dengan komponen
makro kosmos lainnya, manusia tidak boleh bertindak sewenang-wenang karena
akan merusak keseimbangan yang telah tertata secara alami (Salle, 2000).
Masyarakat adat
Kajang sangat konsisten memegang teguh prinsip tallase
kamase-mase ini. Hal ini dapat dilihat dari cara
mereka mengimplementasikannya dalam praktek hidup sehari-hari sebagai berikut:
- Bentuk rumah yang seragam, seragam bahannya, seragam
besarnya, dan sedapat mungkin seragam arah bangunannya. Keseragaman itu
bermaksud menghindari saling iri di kalangan mereka, yang dapat berakibat pada keinginan memperoleh hasil lebih banyak dengan cara merusak hutan.
Bentuk bangunan rumah Suku Kajang
- Larangan membangun rumah dengan bahan bakunya
batu-bata. Menurut pasang, hal ini adalah
pantangan, karena hanya orang mati yang telah berada
di dalam liang lahat yang diapit oleh tanah. Rumah yang bahan bakunya berasal dari batu-bata, meskipun penghuninya masih hidup namun secara
prinsip mereka dianggap sudah mati,
karena sudah dikelilingi oleh tanah. Apabila diperhatikan hal tersebut
lebih jauh, maka sebenarnya pantangan yang demikian bersangkut-paut dengan
pelestarian hutan. Bukankah untuk membuat batu-bata, diperlukan bahan
bakar kayu, karena proses pembakaran batu-bata memerlukan kayu bakar yang
cukup banyak. Dengan pantangan itu sebenarnya memberikan perlindungan pada
bahan bakar kayu yang sumber utamanya berasal dari hutan.
- Memakai pakaian yang berwarna hitam. Warna hitam
untuk pakaian (baju, sarung) adalah wujud kesamaan dalam segala hal, termasuk kesamaan dalam
kesederhanaan. Menurut pasang, tidak ada
warna hitam yang lebih
baik antara yang satu dengan
yang lainnya. Semua hitam adalah sama. Warna hitam untuk pakaian
(baju
dan sarung) menandakan adanya kesamaan derajat bagi setiap orang di depan Turek
Akrakna. Kesamaan bukan hanya dalam wujud lahir, akan tetapi juga
dalam menyikapi keadaan lingkungan, utamanya hutan mereka, sehingga dengan
kesederhanaan yang demikian, tidak memungkinkan memikirkan memperoleh
sesuatu yang berlebih dari dalam hutan mereka. Dengan demikian hutan akan tetap terjaga kelestariannya (Salle, 2000).
Untuk memenuhi
kehidupan sehari-hari dalam kaitannya dengan pemanfaatan sumber daya alam di sekitar mereka, masyarakat adat Kajang dengan demikian bukanlah masyarakat yang mengejar kekayaan material, namun mengejar kehidupan abadi di akhirat. Karena itu, bagi mereka, tanah bukan untuk
dieksploitasi demi materi, melainkan sekedar untuk memenuhi kebutuhan hidup secukupnya. Dari penjelasan tersebut, tallase kamasa-mase juga
merupakan representasi dari tiga
prinsip utama. Pertama, perbuatan
manusia di dunia akan mempengaruhi kehidupannya di akhirat. Jika
manusia berbuat baik di dunia, maka ia akan menuai kebaikan pula kelak di
akhirat. Sebaliknya, jika ia berbuat kejahatan di dunia, maka kelak di akhirat
ia akan mendapat celaka. Kedua, setiap orang harus
mengerahkan unsur dirinya, jasmani maupun rohani, kepada nasihat, petuah, dan
petunjuk Yang Mahakuasa untuk mendapatkan kedudukan yang baik di sisi Tuhan.
Dan ketiga, paham kehidupan materialistis di dunia dapat berakibat buruk dalam
kehidupan manusia (Suriani, 2006). Dengan prinsip tallase
kamasa-mase ini, masyarakat adat
Kajang diharapkan
mampu mengekang hawa nafsunya, selalu bersikap jujur, tegas, sabar, rendah hati, tidak melakukan perbuatan yang merugikan orang lain, dan tidak memuja materi
secara berlebihan.
Selain ajaran tallase kamasa-mase, masyarakat
adat Kajang juga memiliki mekanisme lain untuk menjaga kelestarian hutan
mereka, yaitu dengan cara menetapkan kawasan hutan menjadi tiga bagian di mana
setiap bagian memiliki fungsi dan makna yang berbeda bagi masyarakat adat.
Ketetapan ini langsung dibuat oleh Ammatoa. Secara lebih jelas Al Rawali
(2008) menyebutkan tiga kawasan hutan tersebut sebagai berikut:
Kawasan yang pertama adalah Barong Karamaka
atau hutan keramat, yaitu kawasan hutan yang terlarang untuk semua jenis
kegiatan, kecuali upacara-upacara adat. Kawasan ini harus steril dari kegiatan
penebangan, pengukuran luas, penanaman pohon, pemanfaatan flora dan fauna yang
ada di dalamnya, ataupun kunjungan selain pelaksanaan upacara adat. Kawasan barong
karamaka ini begitu sakral bagi masyarakat Kajang karena adanya keyakinan
bahwa hutan ini adalah tempat tinggal para leluhur orang Kajang. Hal ini
diungkapkan secara jelas dalam sebuah pasang, yaitu: “Talakullei nisambei kajua, Iyato‘ minjo kaju timboa. Talakullei nitambai
nanikurangi borong karamaka. Kasipalli tauwa a‘lamung-lamung ri boronga,
Nasaba‘ se‘re wattu la rie‘ tau angngakui bate lamunna” (Artinya:
Tidak bisa diganti kayunya, itu saja kayu yang tumbuh. Tidak bisa ditambah atau dikurangi
hutan keramat itu. Orang dilarang menanam di dalam hutan sebab suatu waktu akan ada orang yang mengakui bekas tanamannya.
Kawasan yang kedua adalah Barong Batasayya
atau hutan perbatasan. Hutan ini merupakan hutan
yang diperbolehkan diambil kayunya sepanjang persediaan kayu masih ada dan
dengan seizin dari Ammatoa selaku pemimpin adat. Jadi keputusan akhir boleh tidaknya masyarakat mengambil kayu di hutan ini tergantung dari Ammatoa. Pun kayu yang ada dalam hutan ini hanya diperbolehkan
untuk membangun sarana umum, dan bagi komunitas Ammatoa yang tidak mampu membangun rumah. Selain dari tujuan itu, tidak akan
diizinkan.
Namun, tidak semua kayu boleh ditebang. Hanya beberapa jenis kayu saja yang boleh ditebang, yaitu kayu Asa,
Nyatoh, dan Pangi. Jumlah
kayu yang ditebang pun harus sesuai dengan kebutuhan, sehingga tidak jarang kayu yang ditebang akan dikurangi oleh Ammatoa.
Syarat utama
ketika orang
ingin menebang pohon adalah orang yang bersangkutan wajib menanam pohon sebagai penggantinya. Kalau
pohon itu sudah tumbuh dengan baik, maka penebangan pohon baru dapat dilakukan. Menebang
satu jenis pohon, maka orang yang bersangkutan wajib menanam dua pohon yang sejenis di lokasi yang telah ditentukan oleh Ammatoa. Penebangan pohon itu juga hanya boleh dilakukan dengan
menggunakan alat tradisional berupa kampak atau parang. Cara mengeluarkan kayu yang sudah
ditebang juga harus dengan cara digotong atau
dipanggul dan tidak boleh ditarik karena dapat merusak tumbuhan lain yang berada di sekitarnya.
Dan kawasan yang ketiga adalah Borong Luara‘
atau hutan rakyat. Hutan ini merupakan hutan yang dapat dikelola oleh masyarakat. Meskipun kebanyakan hutan jenis ini dikuasai
oleh rakyat, namun aturan-aturan adat mengenai pengelolaan hutan di kawasan ini
tetap
masih berlaku. Ammatoa melarang setiap
praktek kesewenang-wenangan dalam memanfaatkan sumberdaya
yang terdapat dalam hutan rakyat ini.
Agar ketiga kawasan hutan tersebut tetap mampu memerankan
fungsinya masing-masing, Ammatoa akan memberikan sangsi kepada siapapun
yang melanggar ketentuan yang telah dibuatnya itu. Sangsi yang diberikan
tidaklah sama, tergantung di kawasan hutan mana orang yang bersangkutan
melakukan pelanggaran. Pelanggaran yang dilakukan di hutan keramat akan
mendapatkan sanksi yang paling berat.
C.
Pengaruh Sosial
Masyarakat adat Kajang menerapkan ketentuan-ketentuan adat dalam kehidupan
sehari-hari termasuk dalam pemanfaatan hutan. Ketentuan adat yang diberlakukan
di wilayah adat Ammatoa Kajang diberlakukan kepada seluruh komponen masyarakat tanpa
kecuali. Ketentuan ini berlandaskan pesan leluhur yang disampaikan secara turun
temurun. Ketentuan adat ini dipandang sebagai sesuatu yang baku (lebba)
yang diterapkan kepada setiap orang yang telah melakukan pelanggaran
yang dapat merusak kelestarian lingkungan hutan. Dalam hal ini
diberlakukan sikap tegas (gattang), dalam arti konsekuen dengan aturan dan pelaksanaannya tanpa ada
dispensasi, sebagaimana
disebutkan dalam pasang yang berbunyi: ‘Anre na‘kulle nipinra-pinra punna anu
lebba‘ Artinya : Jika sudah menjadi
ketentuan, tidak bisa dirubah lagi (Restu dan Sinohadji,
2008).
Pasang secara eksplisit melarang setiap tindakan yang mengarah
pada kemungkinan rusaknya ekosistem hutan, seperti menebang kayu, memburu
satwa, atau memungut hasil-hasil hutan. Pasang inilah yang memberikan
ketentuan tersebut agar aturan yang ditetapkan berjalan dengan efektif. Konsekuensinya, bagi
siapa saja yang melanggar aturan-aturan yang telah ditentukan akan dikenai
sanksi yang tegas. Tentang bagaimana usaha agar warga
masyarakat menaati aturan pelestarian hutan yang berdasarkan atas pasang, maka di bawah kepemimpinan Ammatoa sebagai Kepala
Adat Keammatoaan mengadakan acara abborong (bermusyawarah) yang
menetapkan bahwa pelanggaran atas ketentuan pasang yang berhubungan dengan pelestarian hutan dikenakan denda
(apabila diketahui pelanggarnya) sebagai berikut:
Pertama, Cappa Ba‘bala atau pelanggaran ringan. Cappa Ba‘bala diberlakukan terhadap pelanggar yang menebang pohon dari
koko atau kebun warga masyarakat adat Ammatoa.
Hukumannya berupa denda enam real atau menurut mata uang Indonesia kira-kira setara
dengan uang enam ratus ribu rupiah. Selain
itu, pelanggar juga wajib memberikan satu
gulung kain putih kepada Ammatoa.
Kedua, Tangnga Ba‘bala atau pelanggaran sedang. Tangnga
ba‘bala merupakan sangsi untuk pelanggaran yang dilakukan dalam
kawasan hutan perbatasan atau Borong Batasayya. Pengambilan kayu atau rotan atau apa saja dalam kawasan
ini tanpa seizin Ammatoa berarti melanggar aturan Tangnga ba‘bala.
Ketika seseorang diizinkan oleh Ammatoa untuk
mengambil sebatang pohon kemudian ternyata mengambil lebih banyak dari yang
diizinkan, maka orang tersebut telah melanggar aturan Tangnga ba‘bala ini. Denda dari pelanggaran ini sebesar delapan real atau sebanding dengan delapan ratus
ribu rupiah dengan mata uang Indonesia ditambah satu gulung kain putih.
Ketiga, Poko‘ Ba‘bala atau pelanggaran berat. Poko‘
ba‘bala diberlakukan kepada seluruh masyarakat yang bernaung di
bawah kepemimpinan Ammatoa jika melakukan pelanggaran berat menurut adat. Poko‘ ba‘bala diberlakukan jika masyarakat adat melakukan pelanggaran di Barong
maraka atau hutan keramat dalam bentuk mengambil hasil hutan baik kayu maupun non kayu yang
terdapat di dalamnya. Poko‘ ba‘bala merupakan
hukuman terberat dalam konsep aturan adat masyarakat Ammatoa. Masyarakat adat yang melakukan pelanggaran
berat dikenai sanksi berupa denda dua belas real, atau dalam mata uang Indonesia setara dengan satu juta dua ratus ribu rupiah, kain putih satu lembar, dan kayu yang diambil dikembalikan ke dalam hutan (Restu
dan Sinohadji, 2008).
Di samping sanksi berupa denda, hukuman adat yang sangat mempengaruhi kelestarian hutan
adalah sanksi sosial berupa pengucilan. Hukuman ini bagi masyarakat adat kajang
lebih menakutkan. Jika masyarakat melanggar Poko‘ ba‘bala maka Ammatoa tidak akan menghadiri setiap acara atau pesta
yang dilangsungkannya.
Ketika Ammatoa tidak hadir maka setiap acara atau pesta yang berlangsung dianggap sia-sia.
Bagi mereka
yang
telah melanggarnya, lebih baik dipenjara seumur hidup
daripada harus terkena Poko‘ ba‘bala. Lebih menakutkan
lagi karena sanksi pengucilan ini berlaku juga bagi seluruh keluarga sampai
tujuh turunan.
Apabila sebuah
pelanggaran tidak diketahui siapa pelakunya,
maka
adat Ammatoa akan melangsungkan upacara attunu
panrolik (membakar linggis sampai merah karena panasnya). Mendahului
upacara tersebut dipukullah gendang di rumah Ammatoa dengan irama
tertentu yang langsung diketahui oleh warga masyarakat Keammatoaan, bahwa
mereka dipanggil berkumpul untuk menghadiri upacara attunu panrolik. Kepada
setiap warga masyarakat Keammatoaan dipersilakan memegang linggis yang
sudah berwarna merah karena panasnya. Bagi orang yang tangannya melepuh
ketika memegang linggis tersebut, maka dialah pelakunya. Sedangkan bagi yang bukan pelaku, tidak akan merasakan panasnya linggis
tersebut. Akan tetapi pada umumnya pelaku tidak mau menghadiri upacara
tersebut, sehingga untuk mengetahui pelakunya (yang mutlak harus dicari), maka
diadakan upacara attunu passauk (membakar dupa) (Salle, 2000).
Mendahului upacara tersebut, terlebih disampaikan pengumuman kepada segenap
warga selama sebulan berturut-turut, dengan harapan bahwa pelaku, maupun yang
mengetahui perbuatan penebangan pohon itu akan datang melapor kepada Ammatoa.
Hal itu sangat perlu, karena akibat dari attunu passauk yang sangat
berat, yaitu bukan hanya menimpa pelaku, akan tetapi juga kepada keturunannya. Attunu passauk diadakan setelah attunu panrolik gagal
menemukan pelaku. Upacara dilakukan oleh Ammatoa bersama pemuka adat di
dalam Barong Karamaka.
Attunu passauk adalah kegiatan menjatuhkan hukuman “in
absentia”. Hukuman ini
dipercaya langsung diberikan oleh Turek Akrakna, yang berupa musibah secara
beruntun, baik pada pelaku, keluarga, dan keturunannya, serta orang lain yang mengetahui perbuatan itu, namun tidak melaporkannya kepada Ammatoa (Salle, 2000).
Namun, dalam
masyarakat Kajang sendiri, pemberlakukan denda dan sanksi bagi pelanggar
kelestarian hutan hanyalah sarana saja (bukan tujuan itu sendiri) karena
idealitas yang mereka kehendaki sebenarnya adalah terciptanya sebuah tatanan
masyarakat yang terbebas dari sanksi apapun. Sanksi dalam konteks ini berarti
hanya berfungsi sebagai sarana prevensi agar pelanggaran terhadap kelestarian
hutan dalam bentuk apapun tidak akan dilakukan oleh komunitas Ammatoa. Lantas,
apa kira-kira rasionalisasi dari pemberlakuan sanksi tersebut?
Bagi
masyarakat Kajang, hutan ibarat seorang ibu yang memberikan perlindungan
sekaligus harus dilindungi. Perumpamaan ini sebenarnya tidak hanya mengandung
makna filosofis saja, tetapi juga berimplikasi pada manfaat praktis terkait
dengan kegiatan-kegiatan pelestarian hutan. Terkait dengan hal ini, setidaknya
ada dua fungsi utama hutan bagi masyarakat Kajang. Pertama, sebagai fungsi ritual yaitu salah satu mata
rantai dari sistem kepercayaan yang memandang hutan sebagai suatu yang sakral. Konsekuensi dari kepercayaan tersebut tergambar pada
upacara yang dilakukan dalam hutan, misalnya pelantikan pemimpin adat (Ammatoa), attunu passaung (upacara kutukan bagi pelanggar adat), upacara pelepasan
nazar dan upacara angnganro (bermohon kepada Turek Akrakna untuk
suatu hajat baik individu maupun kolektif). Kedua, sebagai fungsi ekologis, di
mana hutan dipandang sebagai pengatur tata air (appariek bosi, appariek
tumbusu), yang menimbulkan adanya hujan dan menyimpan cadangan air (Restu dan Sinohadji, 2008).
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !