Masyarakat Ammatoa merupakan salah
satu masyarakat adat yang masih eksis ditengah ‘gempuran’ kapitalisme liberal
dan merasuknya nilai-nilai ekstrimisme agama impor pada negeri ini.
Mereka berdomisili di Provinsi Sulawesi Selatan, tepatnya diwilayah Kecamatan
Kajang, Kabupaten Bulukumba. Eksistensi masyarakat Ammatoa ditopang oleh
keberhasilan mereka dalam mengelola ekosistem secara seimbang dan
berkesinambungan. Keberhasilan itu tak dapat dilepaskan dari sistem nilai
budaya mereka yang tertuang dalam Pasang ri Kajang.
Menjaga ’ Pesan’ Leluhur
Pasang ri Kajang merupakan pedoman hidup masyarakat Ammatoa yang terdiri
dari kumpulan amanat leluhur. Nilai-nilai yang terkandung dalam Pasang dianggap
sakral oleh masyarakat Ammatoa, yang bila tidak diimplementasikan dalam
kehidupan sehari-hari akan berdampak buruk bagi kehidupan kolektif orang
Ammatoa (Usop, 1978). Dampak buruk yang dimaksud adalah rusaknya
keseimbangan ekologis dan kacaunya sistem sosial. Begitulah keyakinan
masyarakat Ammatoa terhadap Pasang ri Kajang.
Pasang mengandung panduan bagi hidup manusia dalam segala aspek,
baik itu apek sosial, religi, mata pencaharian, budaya, lingkungan serta
sistem kepemimpinan. Bahkan Pasang juga mendeskripsikan proses
terjadinya bumi dengan berlandaskan pada mitologi masyarakat
Ammatoa. Secara esensi, Pasang mirip dengan Lontarak dalam sistem
kebudayaan Bugis.
Sekilas, Pasang menyerupai
ajaran agama yang mengatur pola kehidupan manusia secara
holistik. Meskipun tampaknya masyarakat Ammatoa tidak menganggap Pasang
sebagai suatu religi atau sistem kepercayaan, karena Pasang justru
dianggap lebih luas dari itu. Faktanya, masyarakat Ammatoa menganut
sistem kepercayaan yang dinamakan Patuntung. Dan ajaran Patuntung ini
menjadi bagian yang tak terpisahkan dari Pasang ri Kajang.
Sebagaimana halnya kearifan
lokal yang terdapat pada masyarakat adat pada umumnya, Pasang memuat
berbagai ajaran leluhur yang substansinya adalah menuntun manusia untuk
berbuat baik, hidup jujur dan sederhana. Hal itu tampak dalam ajaran
yang terdapat dalam Pasang berikut ini :
Patuntung manuntungi, Manuntungi
kalambusanna na kamase-maseanna, Lambusu’, Gattang, Sa’bara nappiso’na,
Artinya :
Manusia yang telah menghayati dan
melaksanakan apa yang dituntutnya dikawasan adat (Ammatoa), yakni yang menuntut
kejujuran, kesabaran, ketegasan, kebersahajaan dan kepasrahan dalam hidupnya.
Kebudayaan Ammatoa memang sangat
lekat dengan pola hidup sederhana. Itupun berkorelasi dengan ajaran Pasang yang
mengamanatkan kebersahajaan. Dalam konsepsi adat Ammatoa, ada ungkapan
yang berbunyi “Anre kalumanynyang kalupepeang,Rie’ Kamase-masea” yang
berarti “ditempat ini (kawasan adat Ammatoa) tidak ada kemakmuran, yang ada
hanya kebersahajaan . Hal ini mencerminkan pandangan hidup orang Ammatoa
yang menganggap kehidupan ideal itu adalah kehidupan yang sederhana atau
‘cukup’, bukan kehidupan yang makmur. Makmur diartikan sebagai kehidupan
yang berkelebihan.
Pasang mengajarkan :
Angnganre na rie’, care-care na rie,
Pammalli juku na rie’, tan koko na galung rie, Balla situju-tuju.
Artinya :
Hidup yang cukup itu adalah bila
makanan ada, pakaian ada, pembeli lauk ada, sawah dan ladang ada dan rumah yang
sederhana saja,
(Hijjang, 2002).
Kebersahajaan hidup inilah yang
berpengaruh pada sistem pengelolaan lingkungan hidup mereka yang berada di
hutan kawasan adat Ammatoa.
Hutan sebagai Tana Toa
Secara garis besar, sistem
pengelolaan hutan oleh masyarakat Ammatoa berbasiskan pada zonasi lahan yang
terbagi dalam dua area, yakni rabbang seppang (batas sempit) dan rabbang
laura (batas luas). Rabbang seppang mencakup kawasan adat Ammatoa
yang didalamnya terdapat hutan adat yang tidak boleh dirusak atau diganggu.
Sementara rabbang laura melingkupi kawasan yang dapat digunakan sebagai
sumber penghidupan orang Ammatoa yang rata-rata hidup dari berladang menetap serta
beternak. Wilayah rabbang laura mencakup seluruh kawasan diluar kawasan
adat atau rabbang seppang.
Hutan yang termasuk dalam kawasan
adat Ammatoa memiliki luas 110 hektar (Sakka, 1999). Kawasan adat ini
dinamakan juga Ilalang Embaya, sementara wilayah diluar kawasan adat
bernama Ipantarang Embaya. Pengelolaan hutan yang dilakukan masyarakat
Ammatoa sangat terkait dengan sistem religi mereka, Patuntung, yang merupakan
salah satu aspek dari sistem nilai Pasang ri Kajang.
Dalam konsepsi Patuntung, hutan
adat Ammatoa dipercaya sebagai tempat turunnya manusia pertama (Tau-Manurung)
dibumi. Tempat tersebut juga diistilahkan sebagai Tana Toa atau tanah
tua. Tana Toa juga diyakini sebagai tempat naiknya Tau-Manurung ke
langit untuk mencapai kehidupan bersama Tuhan yang dalam konsepsi
teologis Patuntung bernama Tau Rie’ A’ra’na (TRA).
Sakralitas kawasan adat Ammatoa
inilah yang membuat masyarakat Ammatoa enggan merusak ekosistem yang berada
dalam kawasan tersebut. Mereka melarang anggota masyarakatnya untuk menebang
pohon, berburu satwa serta melakukan perbuatan lainnya yang dapat merusak
sistem ekologi dalam Ilalang Embaya.
Dalam Pasang diserukan :
Punna nitabbangngi kayua,
Nipappirangngangngi angngurangi bosi, Appatanre’tumbusu, napau turiolowa.
Artinya :
Kalau kayu ditebang, akan mengurangi
hujan dan menghilangkan sumber mata air.
Begitu menurut nenek moyang kita
Lihat juga pernyataan penasehat adat
Ammatoa (Galla Puto) berikut ini :
Anjo borongna iya kontaki bosiya,
Nasaba konre mae anre’ pangairang, iyaminjo borongnga selaku pangairang, nasaba
iya nakabattui bosi.
Artinya :
Hutan adalah yang mengontak hujan,
sebab disini tidak ada pengairan, maka hutan lah yang berfungsi sebagai
pengairan, karena hutanlah yang menyebabkan turunnya hujan.
Dalam hal ini terlihat adanya
paradigma ekologis yang maju dari agama Patuntung. Sebuah kesadaran akan
fungsi hidrologis dari hutan sebagai pengatur tata air bagi kebutuhan
hidup masyarakat Ammatoa. Hutan dipandang sebagai tumbusu atau sumber
mata air.
Indigenous knowledge seperti itulah yang tampaknya melandasi sistem kepercayaan
mereka tentang sakralitas hutan adat sebagai tempat awal dan akhir dari
Tau-Manurung. Kepercayaan yang sifatnya fungsional karena lahir dari
pemikiran masyarakat peladang yang hidup menyatu dengan hutan sebagai
tempat tinggal maupun sumber pangan mereka. Bila hutan itu hancur, maka hancur
pula kehidupan mereka. Oleh sebab itulah lahir agama Patuntung serta Pasang
ri Kajang sebagai suprastruktur kebudayaan Ammatoa untuk menjaga
kelestarian hutan adat sebagai sumber penghidupan mereka.
Kearifan lokal masyarakat adat
Ammatoa yang berlandaskan pada Pasang ri Kajang dengan Patuntung sebagai
sistem religinya telah memberikan ‘pelajaran’ bagi kita, bahwasanya
pengelolaan hutan atau lingkungan hidup sangat berpengaruh bagi kehidupan
manusia secara keseluruhan. Bila pengelolaan hutan dilakukan dengan menggunakan
logika kapital yang tujuannya adalah akumulasi modal, maka kehancuranlah yang
didapat. Bukan hanya kehancuran hutan itu sendiri, namun juga kehancuran
manusia berikut peradabannya. Sementara bila pengelolaan hutan didasari
oleh kesadaran yang tinggi akan kebersinambungan hidup manusia, maka kita akan
selamat. Sudah saatnya kapitalisme ‘buta’ yang menjadi landasan dari
logika kapital dibuang ke ‘tong sampah’ peradaban, karena terbukti menistakan
kemanusiaan selama ratusan tahun.
.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !